SELASA, 31 MEI 2016
SEMUA pihak tentu kecewa dengan publikasi Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2015 hanya 4,92%. Nilai ini turun dari kuartal IV 2015 sebesar 5,02 % dan juga di bawah eskpetasi pemerintah yang menyebut pertumbuhan ekonomi 2016 akan di atas 5%. Karena terjadi penurunan di dua kuartal yang berurutan, secara teknis dapat dikatakan kita saat ini sedang berada dalam tahap awal economic slowdown.
Presiden Jokowi memandang bahwa solusi untuk memperbaiki kondisi ini terutama melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Pandangan yang tentu dapat dimaklumi karena Presiden memang belasan tahun menjabat selaku pemegang kuasa anggaran sebagai Walikota maupun Gubernur. Kebijakan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat guna memang dapat membantu, tapi perlu diketahui sebenarnya belanja negara hanya menyumbang kurang dari 20% output perekonomian Indonesia.
Artinya sebanyak 80% output perekonomian kita disumbangkan sektor bisnis. Lalu apa kabar sektor bisnis Indonesia? Di dunia bisnis, berbagai rencana investasi asing ke dalam negeri yang bernilai besar ternyata belum terealisasi komitmennya. Hal ini menandakan, bahwa sebenarnya investor asing masih dalam posisi wait and see melihat kondisi perekonomian Indonesia. Bagi investor, tentu pertumbuhan ekonomi India dan Filipina yang di atas 7% jauh lebih menarik daripada Indonesia yang masih dikisaran 4-5%. Bila pertumbuhan ekonomi tak kunjung membaik dalam kuartal ke II 2016 nanti, trend ini dapat membalikkan persepsi dunia internasional terhadap Indonesia yang sudah sempat positif menjadi negatif. Perlu diketahui, trend positif ini terjadi terutama semenjak dilakukan reshuffle Kabinet sekitar delapan bulan lalu, saat Presiden memasukkan figur yang kemudian sukses membawa optimisme baru bagi investor asing (terutama di sektor pariwisata dan maritim), seperti Rizal Ramli.
Paket Kebijakan Deregulasi Tidak Nendang
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, berulang kali menyatakan resep yang manjur untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia adalah dengan melakukan deregulasi, deregulasi, dan deregulasi. Rumus yang -mau tidak mau- dipercaya juga oleh Presiden karena Darmin terus menerus merapal resep tersebut. Padahal menurut kami, fokus perhatian pemerintah pada deregulasi tidak akan terlalu berguna untuk memacu pertumbuhan ekonomi dalam waktu singkat. Hal ini karena situasi Indonesia sekarang jauh berbeda dari tahun 1970-an, yang ketika saat itu dilakukan deregulasi dampaknya mampu menurunkan tarif dari 70% ke 15%. Signifikannya dampak deregulasi pada tahun 1970-an, pada turunnya tarif secara drastis, berhasil menyebabkan dunia bisnis menjadi bergairah. Sedangkan Indonesia saat ini situasinya tarif sudah berada di kisaran 0-3%, sangat semipt ruang yang tersedia untuk penurunan tarif, maka deregulasi menjadi kurang signifikansinya.
Komponen lain dalam deregulasi, yaitu pembenahan perizinan juga dampaknya baru akan terasa pada periode menengah (3-5 tahun). Itupun dampak kemudahannya hanya terbatas bagi para pelaku bisnis skala kecil dan skala menengah saja. Sedangkan dampaknya bagi para pebisnis besar tidak akan terlalu besar (memang mereka seolah selalu memprotes masalah perizinan ini), karena dalam prakteknya para pebisnis besar ini sudah dapat dengan mudah membayar jasa biro hukum profesional untuk mengurus masalah perizinan mereka (hal yang sulit dilakukan oleh pelaku bisnis skala yang lebih kecil).
Usulan dari Rizal Ramli agar seluruh BUMN (kecuali sektor energi) melakukan revaluasi aset, yang seharusmya dapat menyelamatkan pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh Tim Ekonomi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perekonomian dan jajarannya seperti Kementerian BUMN. Karena tidak jelasnya arahan dari Tim Ekonomi, akhirnya hanya sebagian saja BUMN yang melakukan revaluasi asetnya, itupun ternyata sudah berhasil menciptakan tambahan modal sebesar Rp 800 triliun. Menurut perhitungan Rizal Ramli, bila seluruh BUMN melakukan revaluasi asetnya, akan terjadi peningkatan modal hingga sebesar Rp 2500 triliun. Dengan peningkatan modal tersebut, BUMN-BUMN kita dapat melakukan pinjaman setidaknya sebesar Rp 1300 triliun (US$ 10 miliar) yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur di luar Jawa yang terancam mangkrak karena kurangnya dana (seperti proyek kereta Sumatera dan Sulawesi). Aktivitas revaluasi ini juga akan memberikan banyak pekerjaan bagi perusahaan-perusahaan evaluator, notaris, hingga bank-bank investasi asing, yang mereka semua akan mengabarkan situasi ekonomi Indonesia yang sedang bergeliat membaik kepada investor asing. Sayang sekali, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, sebenarnya hasil dari revaluasi asset ini sudah dapat kita saksikan di kuartal ke II 2016.
Pembangunan insfrastruktur yang tampak menjadi program andalan Pemerintah, yang secara jor-joran sedang dilakukan di mana-mana menggunakan anggaran negara (yang terbatas), baru akan dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat sekitar 3 tahunan lagi. Tidak mungkin kita biarkan rakyat Indonesia menunggu hingga selama itu tanpa ada sedikitpun perbaikan-perbaikan dalam kehidupan mereka di jangka pendek. Jika dibiarkan dapat saja terjadi backfire. Karena sangat mungkin situasi ekonomi rakyat yang terus memburuk ini dimanfaatkan oleh para oposan dan petualang politik untuk semakin menajamkan konflik, sehingga krisis ekonomi bukan tidak mungkin dapat berkembang menjadi krisis sosial. Untuk mencegahnya skenario terburuk tersebut terjadi haruslah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama yang berada di level 80% berpendapatan menengah ke bawah. Jadi harus ada terobosan di jangka pendek, karena ternyata 12 paket yang diluncurkan Tim Ekonomi Pemerintah tidak nendang! Alias gagal memperbaiki perekonomian sesuai target. Maka wajar bila akhirnya Presiden Jokowi dikabarkan kesal, dan berencana melakukan evaluasi untuk ke -12 paket kebijakan ini. Ya, logika sederhana saja, bila terdapat seorang pesakitan yang tak kunjung sembuh setelah 12 kali diberikan resep obat berbeda, apa gerangan artinya??
Kebijakan Nendang: Berantas Kartel Impor Pangan
Lalu, apakah kebijakan yang nendang? Yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat secepatntya? Jawabannya adalah dengan memberantas kartel impor pangan yang selama ini bergelayut dan menghisap daya beli rakyat Indonesia. Dengan mengubah sistem kuota ke sistem tarif, kartel impor pangan dapat diberantas. Pendapatan besar yang selama ini diterima oleh 8 taipan besar yang menguasai seluruh impor komoditi pangan akan berkurang, namun di sisi lain pendapatan rakyat banyak akan meningkat karena harga-harga pangan jatuh. Rakyat Indonesia akan memiliki uang lebih, sehingga daya beli meningkat yang akan akibatkan konsumsi rakyat pun meningkat. Meningkatnya konsumsi pada akhirnya akan menggerakkan kembali perekonomian secara keseluruhan.
Sebagai gambaran betapa besarnya pendapatan yang diperoleh kartel ini: Menteri Perdagangan Tom Lembong, dalam kesempatan tertutup, pernah bersaksi bahwa keuntungan yang diperoleh oleh para kartel impor suatu komoditi seperti bawang putih saja, dapat mencapai US$ 500 juta (Rp 6 triliun)! Sulit dibayangkan besar keuntungaqn para kartel di komoditi impor lainnya seperti misalnya daging sapi yang selisih harganya dengan harga di luar negeri mencapai 100%! Dengan melihat besarnya keuntungan, nilai sebesar Rp 1 triliun yang disisihkan oleh para kartel ini untuk menyuap birokrasi pemerintahan terkait, dari level terendah hingga pejabat eselon 1, untuk mengamankan system kuota impor ini terlihat kecil saja. Perlu diketahui, system ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak era Pemerintahan SBY, dan tak pernah luput dikritisi oleh Rizal Ramli.
Namun hambatan terbesar kita untuk memberantas kartel impor ternyata malah datang dari Menko Perekonomian Darmin- orang yang seharusnya kita harapkan untuk dapat memimpin pemberantasannya. Maklum saja, Menko Perekonomian kita ini berasal dari kalangan birokrat yang tidak mengerti bisnis, walaupun agak mengerti soal makro, tapi jelas bahwa sebenarnya ia tidak mengerti permasalahan. Seharusnya seorang Menteri Perekonomian mengerti cara untuk menciptakan keuntungan (create profit), menciptakan nilai (create value) yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat. Namun yang paling penting, ternyata dia juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan. Ya, seperti layaknya birokrat umumnya yang cenderung bermain aman demi menjaga posisi jabatannya. Jelas, Darmin adalah tipe orang yang menjabat untuk berkuasa saja, bukan untuk mengubah sesuatu system. Jadi seandainya pun Darmin mengerti permasalahan, belum tentu ia berani membongkar permasalahan tersebut ��"seperti yang diinginkan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di Univ. Muhamaddiyah Jogjakarta (23/5/2016) mengenai keinginan Presiden agar para menterinya dapat menurunkan harga daging sapi hingga di bawah Rp 80 ribu sebelum lebaran 2016.
Seharusnya, bila Pemerintahan berani melakukan kebijakan berantas kartel impor pangan, ini akan menjadi kebijakan yang nendang. Kebijakan yang dapat menggairahkan perekonomian rakyat, bahkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 6% di tahun 2016. Dan yang paling penting, sedikit kilas balik, ini akan menjadi penggenapan dari berbagai pidato Jokowi sejak 2014 hingga 2015 yang menjanjikan kepada rakyat untuk memberantas mafia (kartel) impor pangan.
OLEH: FAISAL MAHRAWA
*Penulis adalah Kaba Litbang RMOL
http://politik.rmol.co/read/2016/05/31/248350/Menggenapi-Janji-Jokowi-Berantas-Kartel-Impor-Pangan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar