Senin, 20 Juni 2016

Pemerintah Fokus pada Stok Pangan Murah

Minggu, 19 Juni 2016

Harga Jual di Pasar Masih Tinggi.


JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah fokus pada penyediaan bahan pangan murah untuk menstabilkan harga. Upaya jangka pendek untuk memenuhinya adalah dengan membuka keran impor dan mendistribusikan ke konsumen melalui operasi pasar umum hingga khusus.

Upaya jangka panjang yang ditempuh pemerintah adalah membenahi stok, distribusi, dan memperkuat peran Bulog. Hal itu untuk memutus rantai pasok pangan agar lebih efisien.

Hal itu mengemuka dalam diskusi Teras Kita yang digelar Kagama, Kompas, dan Radio Sonora, di Jakarta, Sabtu (18/6). Hadir sebagai pembicara Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Wahyu Suparyono, serta Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana, dimoderatori wartawan Kompas, Banu Astono.

Thomas Lembong mengatakan, setiap komoditas pangan pokok mempunyai persoalan masing-masing. Pemerintah akan membenahi persoalan itu satu per satu dari hulu hingga hilir.

Pembenahan itu mulai dari pembenahan dan penggunaan data yang sama, produksi, pengadaan sarana dan prasarana pascapanen, industrialisasi pangan, serta rantai pasok. Pemerintah juga akan menyeimbangkan neraca ekspor dan impor pangan.

”Selama swasembada belum tercapai 100 persen, apabila terjadi defisit pasokan, kita akan mengimpor. Namun, sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok, kita akan mengekspor. Itu komitmen kami,” kata Lembong.

Pada tahun ini pemerintah memutuskan mengimpor beras, daging sapi, dan gula mentah karena stok kurang.

Daging sapi, misalnya, stok berkurang karena pemerintah terlalu percaya diri sehingga memutuskan mengurangi impor sapi bakalan secara drastis dan mendadak.

Impor sapi bakalan yang semula rata-rata 160.000 ekor per triwulan menjadi hanya 50.000 ekor per triwulan.

”Kami memperburuk situasi itu pada awal tahun. Seharusnya kami mengeluarkan izin impor 650.000 ekor untuk setahun ke depan, ternyata pada awal tahun hanya menerbitkan izin 180.000 ekor. Hal itu menyebabkan kelangkaan pasokan sehingga memicu harga tinggi,” katanya.

Lembong menambahkan, awal untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, pemerintah menutup impor oleh swasta. Tujuannya agar tidak terjadi sistem oligopoli. Kebijakannya, izin impor hanya diberikan kepada BUMN, yakni Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.

Namun, realisasinya yang mampu mengimpor hanya PT Berdikari. Kondisi pasokan makin seret karena ”pipa” sapi impor makin kecil. Pemerintah lalu memutuskan membuka keran impor daging sapi beku kepada swasta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sapi murah Rp 80.000 per kg.

Daging sapi

Dalam diskusi tersebut terungkap daging sapi beku yang tersedia di pasar adalah jenis CL 95 (mengandung 5 persen lemak) dan CL 85 (mengandung 15 persen lemak. Daging sapi beku ini umumnya digunakan untuk berbagai produk olahan. Harga daging sapi ini Rp 80.000 per kg hingga Rp 90.000 per kg.

Hal itu diakui Wahyu Suparyono. Menurut Wahyu, harga sejumlah pangan pokok, terutama daging sapi, memang masih tinggi. Kendati begitu, Bulog memastikan masyarakat bisa mendapatkan daging sapi beku dengan harga murah sesuai dengan instruksi Presiden.

Bulog menyediakannya melalui Rumah Pangan Kita (RPK), operasi pasar di perumahan- perumahan, dan mengelar pasar murah di instansi-instansi pemerintah. Hingga saat ini Bulog telah mendistribusikan 20.000 ton daging sapi beku.

”Selain daging sapi beku, Bulog juga menyediakan beras medium dan premium serta bawang merah. Melalui operasi pasar dan RPK, kami secara otomatis memotong rantai pasok pangan,” ujarnya.

Swasembada gagal

Sementara itu, Teguh Boediyana mengatakan, titik pangkal dari persoalan harga adalah kegagalan program swasembada pangan. Daging sapi, misalnya, pemerintah telah mengeluarkan dana sekitar Rp 18 triliun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tetapi Indonesia masih belum swasembada daging sapi.

Di sisi lain, lemahnya mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat ikut berkontribusi dalam pembentukan harga daging sapi. Selama nilai dollar AS di atas Rp 10.000, harga daging sapi per kg hidup sebesar Rp 43.000-Rp 44.000.

”Pemerintah tiba-tiba membuka impor daging sapi secara besar-besaran. Banyak pemain baru yang masuk. Ini perlu dicermati. Jangan sampai nanti impor justru mendominasi setelah lebaran ini sehingga peternak lokal terabaikan,” katanya.

Sementara itu, sampai saat ini berdasarkan data Kementerian Perdagangan per 17 Juni 2016, rata-rata nasional harga daging sapi mencapai Rp 114.630 per kg, beras medium Rp 10.580 per kg, bawang merah Rp 37.110 per kg, daging ayam ras Rp 32.300 per kg, dan telur ayam ras Rp 24.040 per kg.

Harga itu masih jauh di atas target yang ditetapkan Presiden. Untuk harga daging sapi ditetapkan Rp 80.000 per kg, bawang merah Rp 25.000 per kg, beras Rp 9.500 per kg, dan telur ayam Rp 23.000 per kg. Hanya daging ayam ras yang harganya di bawah harga yang diinstruksikan Presiden, yaitu Rp 35.300 per kg.

Jika harga-harga bahan pangan itu masih tinggi, ini akan berpengaruh ke inflasi. Pada Jumat lalu, Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada Juni 2016 sebesar 0,6 persen. Inflasi disumbang dari kenaikan harga komoditas dari kelompok volatile food, terutama daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan minyak goreng.

Dalam diskusi itu juga terungkap alasan Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar harga daging sapi harus Rp 80.000 per kg. Lembong menuturkan, Presiden ingin harga daging sapi di Indonesia seperti di Malaysia.

Sebelumnya, Presiden mengirim utusan ke Malaysia dan Singapura untuk memantau harga daging sapi. Harga daging sapi di pasar modern dan tradisional kedua negara itu Rp 70.000 per kg-Rp 80.000 per kg.

”Dengan kamera ponsel, mereka memotret harga daging di supermarket dan pasar tradisional di sana dan dikirimkan kepada Presiden,” kata Lembong.

Menanggapi hal itu, Teguh mengatakan, daging di Malaysia dan Singapura rendah karena itu daging sapi impor, bukan daging lokal.

Mereka tidak mempunyai peternakan rakyat sehingga harus mengimpor daging. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160619kompas/#/1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar