Selasa, 30 September 2014

Setelah Zaman Pak Harto, 40% Gudang Bulog di Kelapa Gading Kosong

Selasa, 30 September 2014

Jakarta -Bulog Divisi Regional DKI Jakarta yang berada di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara memiliki 68 gudang penyimpanan. Dari jumlah itu hanya 60% yang digunakan Bulog untuk menyimpan beras dan gula, 40% sisanya kosong.

"Sisanya kosong (tidak digunakan)," ungkap Kepala Divisi Regional Bulog DKI Jakarta Achmad Ma'mun saat ditemui media di kantor Bulog DKI Jakarta, Selasa (30/09/2014).

Untuk meminimalisir kerusakan, gudang Bulog yang kosong sengaja disewakan kepada perusahaan swasta. "Kita sewakan untuk komersil," imbuhnya.

Padahal menurut Achmad, gudang Bulog yang dibangun pada era Presiden Soeharto tersebut dulunya selalu penuh. Oleh Soeharto gudang Bulog tidak hanya digunakan untuk menyimpan beras dan gula tetapi kedelai, sembilan bahan pokok, tepung ikan, dan ikan.

"Dulu saat zaman Pak Harto gudang ini penuh sekarang hanya diisi beras dan gula saja," katanya.

Namun pasca, Orde Baru Perum Bulog hanya berperan melakukan stabilisasi harga beras dengan menyediakan stok beras pemerintah. Namun beberapa tahun ini, Bulog mulai masuk ke bisnis kedelai dan gula, namun dilakukan secara komersial.

(wij/hen)

http://finance.detik.com/read/2014/09/30/131947/2705224/4/setelah-zaman-pak-harto-40-gudang-bulog-di-kelapa-gading-kosong?f9911023

Menengok Gudang dan Cara Bulog Merawat Raskin di Jakarta

Selasa, 30 September 2014

Jakarta -Bulog Divisi Regional (Divre) DKI Jakarta hari ini menggelar kunjungan ke gudang mereka di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka memperlihatkan proses penyimpanan beras, penawatan, dan alat pengolahan beras, termasuk beras-beras untuk program beras keluarga miskin (raskin).

Pihak Perum Bulog menjamin beras miskin yang tak layak konsumsi di DKI Jakarta bisa langsung ditukarkan ke gudang Bulog yang berada di Kawasan Kelapa Gading. Sehingga masyarakat penerima manfaat program beras raskin tetap menerima beras yang sesuai standar.

"Kalau sudah mengalami perubahan kualitas, kalau ada keluhan, kita akan mengganti langsung," ungkap Kepala Divre Bulog DKI Jakarta Achmad Ma'mun saat ditemui media di kantor Bulog DKI Jakarta, Selasa (30/09/2014).

Beras raskin yang tidak sesuai standar tersebut nantinya akan kembali diolah dengan sebuah mesin khusus yang berada di gudang Bulog DKI Jakarta.

"Ada mesin pengolah, diolah melalui prosedur baku. Kotoran terbuang dan dikarungkan," katanya.

Selain itu untuk perawatan beras raskin, Bulog telah memberlakukan prosedur baru dengan teknik CO2 stek mulai awal tahun ini. Sistem ini adalah sistem modern seperti di Thailand dan Vietnam.

Sistemnya adalah tumpukan ribuan karung raskin dikemas di dalam plastik yang diberi gas fumigan. Dengan cara ini beras raskin yang nantinya akan dibagikan bebas kutu dan mikro organisme lainnya.

"Jadi dengan cara ini biaya pemeliharaan makin rendah. Biasanya kita lakukan dengan teknik spraying dan fungigasi. Dengan cara seperti kita masukan zat fumigan. Tiap 15 hari sekali kita kontrol dan kita lihat. Plastik akan dibuka setiap 7-10 hari sekali," jelasnya.
(wij/hen)

http://finance.detik.com/read/2014/09/30/121818/2705143/4/menengok-gudang-dan-cara-bulog-merawat-raskin-di-jakarta

Senin, 29 September 2014

Harapan Petani untuk Presiden

Senin, 29 September 2014

Satu hal yang luput dari para pengamat adalah peran petani yang luar biasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden ketujuh.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan Kompas sehari setelah pencoblosan (Kompas 10/7/2014), petani menduduki posisi tertinggi dari kelompok pemilih yang memberikan suara ke Jokowi-JK, yaitu 59,4 persen. Urutan selanjutnya ibu rumah tangga (55,2 persen), pelajar/mahasiswa (54,1 persen), pedagang (51,3 persen), pengangguran (47,6 persen), pegawai swasta (40,4 persen), pensiunan (38,7 persen), dan pegawai negeri sipil (35,2 persen). Dengan jumlah rumah tangga petani 26,15 juta dan dengan asumsi terdapat tiga pemilih per rumah tangga, menghasilkan angka 78,45 juta. Apabila suara petani tersebar merata pada kedua kandidat (50-50), Jokowi-JK memperoleh angka 63.623.550 (47,63 persen) sehingga kalah dari Prabowo-Hatta dengan angka 69.950.744 (52,37 persen).

Meski miskin liputan media, petani bergerak luar biasa dalam memenangkan Jokowi-JK. Salah satunya melalui beragam organisasi relawan, seperti Seknas Tani Jokowi, Jokowi untuk Petani Nusantara, dan Aliansi Tani Indonesia Hebat. Ratusan ribu petani kecil menyumbangkan yang mereka miliki berupa gabah, beras, dan hasil pertanian lain untuk mendukung gerakan memenangkan Jokowi-JK.

Sudah puluhan tahun petani merindukan sosok yang mampu mengangkat penghidupan dan kehidupan mereka dari keterpurukan. Dalam khazanah Jawa itu diwujudkan dalam harapan munculnya Satrio Piningit atau Ratu Adil (istilah yang muncul pada zaman pujangga Keraton Mataram) yang diilhami dari mahakarya Prabu Sri Jayabaya dari Kerajaan Kediri (1135-1157 M). Hal sama dikatakan Soekarno pada pleidoi persidangan Landraad di Bandung 1930 yang menyatakan, ”Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.” Pertolongan itu diharapkan datang dari Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu yang mampu membawa Indonesia gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo (mencapai kemakmuran) melalui suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti (keluhuran budi mengalahkan angkara murka) atau meminjam istilah Jokowi melalui revolusi mental.

Ingatan itu terus membekas di kalangan masyarakat petani Jawa pada khususnya atau petani Indonesia pada umumnya. Pesta demokrasi lima tahunan yang selama ini berlangsung tak pernah menyuntikkan api semangat untuk petani sebesar pesta demokrasi tahun ini. Mereka memiliki harapan luar biasa.

Situasi petani kecil
Sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari lahan garapan mereka. Sensus Pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga per tahun selama 10 tahun terakhir. Data penurunan jumlah rumah tangga petani disambut gembira beberapa kalangan yang menunjukkan proses ”involusi pertanian” berlangsung. Petani pindah profesi masuk sektor industri dan jasa, yang menyebabkan jumlah petani menurun yang berdampak positif karena jumlah lahan yang dikuasai per rumah tangga petani meningkat.

Fenomena itu tak terjadi, yang sebenarnya terjadi mereka didera kemiskinan akut sehingga terpaksa harus keluar dari lahan atau tanah garapan mereka. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hampir di semua golongan luas penguasaan lahan, jumlah rumah tangga petani menurun 10 tahun terakhir. Hanya di kelompok petani yang memiliki luas lahan 0,1-0,2 hektar yang sedikit meningkat, sebanyak 8.658 rumah tangga tani. Penurunan drastis terjadi pada kelompok dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar, yaitu 1.321.787 keluarga tani. Kelompok kedua yang mengalami penurunan cukup besar adalah pemilik lahan 0,2 hektar-0,5 hektar dan 0,5 hektar-1 hektar. Bahkan petani kaya yang punya lahan lebih dari 1 hektar jumlahnya juga turun (diolah dari ST 2013). Fenomena konversi kepemilikan ini jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan penyediaan pangan kita dibandingkan dengan sekadar konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.

Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Hanya dalam tempo sangat singkat rasio Gini (alat ukur ketimpangan pendapatan penduduk, semakin tinggi semakin timpang) meningkat tajam dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Pendapatan per kapita petani saat ini jauh di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar rumah tangga pertanian, petani padi, dan palawija, pendapatannya hanya Rp 912.000 per rumah tangga petani per bulan (diolah dari Iswadi, Kompas, 14/7). Padahal, mereka selama ini yang mencukupi kebutuhan pangan pokok kita.

Kajian penulis menghasilkan angka hampir mirip, antara Rp 1.000.000 dan Rp 1.300.000 per bulan per rumah tangga petani padi untuk lahan beririgasi teknis. Jika harus menyewa lahan, pendapatan petani hanya Rp 670.000-Rp 1.000.000 per bulan. Secara agregat (BPS 2014), rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian juga menghasilkan angka tak jauh berbeda dengan angka di atas, Rp 1,03 juta per bulan. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia 2014. Upaya petani bertahan hidup menyebabkan mereka harus mengais rezeki di luar pertanian atau beralih usaha ke pertanian hortikultura yang berisiko sangat tinggi. Usaha budidaya cabe, misalnya, perlu modal Rp 50 juta-Rp 80 juta per hektar per musim, bawang merah Rp 35 juta-Rp 75 juta per hektar per musim. Ketika harga cabe jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram seperti dua bulan lalu, itu menimbulkan dampak luar biasa bagi keluarga petani.

Impor pangan 10 tahun terakhir meningkat luar biasa, 173 persen untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34 miliar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5 kali lipat. Jika data itu disandingkan dengan anggaran pemerintah untuk pangan dan pertanian, akan menghasilkan ironi karena anggaran sektor itu meningkat 611 persen hanya dalam 9 tahun. Sering dikemukakan impor pangan serta integrasi masif sistem pangan Indonesia dengan global adalah penyebab utama yang menggerus kapasitas petani memproduksi pangan. Harga impor yang lebih murah (low artificial price) dan praktik dumping menyebabkan produk lokal dan produk petani kecil tergeser produk impor.

Harapan untuk presiden
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama pemerintah di bawah presiden terpilih. Pola pikir dan platform ketahanan pangan yang sudah dikerjakan puluhan tahun ini perlu dirombak mendasar sehingga dunia pertanian memiliki wajah yang sama sekali baru. Platform yang hanya menempatkan pangan sekadar komoditas perdagangan, menempatkan petani hanya sebagai obyek kebijakan, dan penekanan terlalu tinggi pada sisi konsumen perlu dirombak secara mendasar. Paradigma kedaulatan pangan yang dijanjikan presiden terpilih dan ingin diwujudkan di Indonesia perlu dirumuskan dengan tepat, benar-benar dipahami oleh semua birokrat, serta menjadi roh yang menjiwai semua perumusan kebijakan dan program pertanian dan pangan.

Sebagai penutup, visi pertanian Indonesia diharapkan: ”Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agroekologi, serta pelindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil” (deklarasi Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014). Penulis yakin harapan petani akan terpenuhi di pemerintahan mendatang. Dengan memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kita semua selamat dari jurang kehancuran.

Dwi Andreas Santosa Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Ketua Umum Bank Benih Tani Indonesia

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140929kompas/#/7/

Jokowi Yakin Kedaulatan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi Cepat Tercapai

Minggu, 28 September 2014

RMOL. Capres terpilih Joko Widodo (Jokowi) optimis pemerintahannya bisa mewujudkan swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun.

"Negara ini banyak masalah, tapi tidak menyurutkan optimisme kami untuk bersama-sama membangun Indonesia. Setelah kami hitung-hitung, swasembada pangan dapat kita pegang tiga sampai empat tahun," ujar Jokowi saat sambutan pembubaran kelompok kerja Tim Transisi di Rumah Transisi, Jalan Situbondo 10, Menteng, Jakarta, Minggu malam (28/9).

Namun demikian, dia mengakui tidak semua komoditi pangan dapat ditargetkan swasembada dalam beberapa tahun. Seperti bahan pokok kedelai dan daging yang masih membutuhkan waktu panjang.

"Mungkin kedelai dan daging agak mundur," beber Jokowi.

Selain swasembada pangan, dia juga optimis dapat mencapai pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen dalam kurun waktu tersebut.

"Tapi, kita akan mencapai pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen dalam tiga tahun ke depan," tegas Jokowi.[dem]

http://www.rmol.co/read/2014/09/28/173845/Jokowi-Yakin-Kedaulatan-Pangan-dan-Pertumbuhan-Ekonomi-Cepat-Tercapai-

Sabtu, 27 September 2014

Bulog Diminta Beli Kedelai Lokal agar Harga Stabil

Sabtu, 27 September 2014

BANYUWANGI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, meminta Perum Bulog menstabilkan harga kedelai lokal dengan membeli kedelai lokal hasil panenan petani. Harga kedelai lokal selama ini fluktuatif. Saat petani panen raya, harga kedelai bisa anjlok menjadi hanya Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Saat tak ada panen, harga kedelai bisa Rp 7.000 per kilogram.
”Saat panen raya, kami meminta Bulog ikut membeli kedelai lokal sehingga harga akan terangkat. Setelah panen, kedelai bisa dilepas lagi,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Rabu (24/9).

Jika harga kedelai stabil, kata Anas, petani akan tetap menanam kedelai. Jadi, produksi nasional bisa dikatrol. Pemerintah pusat juga diminta ikut menstabilkan harga dengan mengendalikan tata niaga kedelai.

”Kalau harga kedelai sudah tinggi, pemerintah solusinya, ya, hanya impor. Padahal, kami juga tanam kedelai, tetapi belum bisa dipanen,” kata Mustaim, petani kedelai di Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, saat dihubungi Kompas.

Produkstivitas kedelai di Banyuwangi 1,9 ton hingga 2,4 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas nasional yang hanya 1,4 ton per hektar. Selama ini Banyuwangi menjadi salah satu daerah pemasok kedelai terbesar di Jatim.

Produksi kedelai lokal di banyuwangi pada tahun lalu mencapai 67.441 ton dari sekitar 34.021 hektar lahan tanam. Jumlah produksi kedelai itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 58.648 ton.

Untuk meningkatkan produksi kedelai, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melaksanakan program pendampingan kepada para petani. Pendampingan ini dilakukan oleh para penyuluh.

”Namun, pendekatannya diubah dari top down ke bottom up. Beda lahan beda problem, beda petani juga beda masalah, jadi pendekatannya dari petani terlebih dulu,” kata Anas. (NIT)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140927kompas/#/23/

Jumat, 26 September 2014

Bulog Jatim Tak Butuh Beras Impor

Kamis, 25 September 2014

Divisi Regional Perum Bulog Jatim menegaskan tidak membutuhkan beras impor kendati pemerintah tahun ini menitipkan beras impor ke Bulog Pusat sebanyak 425.000 ton. Sebab, saat ini, stok beras di Jatim cukup melimpah dengan produksi yang mencapai 496.000 ton tahun ini.

“Stok beras untuk Jatim masih aman. Sampai saat ini stok kami mencapai 496.000 ton dan itu juga mencukupi untuk 11 bulan ke depan,” ungkap Kepala Divisi Regional (Kadivre) Perum Bulog Jatim Rusdianto Rusdianto, Kamis (25/9/2014). Stok beras tersebut juga untuk menopang kebutuhan di Indonesia Timur.

Keberadaan beras impor yang dititipkan pemerintah ke gudang Bulog kantor pusat tidak tertutup kemungkinan masuk ke Jatim. Sebab Bulog Pusat bisa saja menitipkan beras tersebut atau malah mendistribusikan ke daerah. Hal ini tidak lepas dari kapasitas gudang Bulog pusat mencapai 1,2 juta ton, sedangkan didareah kapasitasnya lebih kecil.

Ancaman rembesan beras ke pasaran, diakui Rusdianto, sebagai momok bagi petani. Tetapi Rusdianto menegaskan beras impor tidak akan masuk ke Jatim mengingat ketersediaan yang masih memadai. “Masyarakat tidak perlu khawatir karena kami pastikan beras impor tidak akan merembes ke pasar Jatim,” tegasnya.

Jaminan yang diberikan Bulog Jatim ini tidak lepas dari pengalaman mendistribusikan beras impor pada tahun 2011-2012. Dimana Bulog Jatim mendapat titipan beras impor untuk didistribusikan ke dareah lain. Sepanjang mendapat titipan, Bulog Jatim tidak menyalurkan beras impor ke provinsi salah satu lumbung pangan nasional ini.

Rusdianto menegaskan selain membantu Bulog Pusat menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga beras dalam negeri dengan memeratakan stok beras di seluruh wilayah Indonesia, dengan menjadi gudang penyimpanan akan menambah kegiatan di pelabuhan, angkutan atau distribusi dan buruh di pelabuhan. (wh)

http://www.enciety.co/bulog-jatim-tak-butuh-beras-impor/

Kamis, 25 September 2014

APTRI Desak Bulog Serap Gula Petani

Kamis, 25 September 2014

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berharap pemerintah pusat membeli gula petani sesuai dengan HPP karena saat ini stoknya cukup melimpah.

"Apalagi Perum Bulog juga melakukan pengadaan gula sebagai stok cadangan atau 'buffer stock'," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional APTRI M. Nur Khabsyin di Kudus, Kamis (25/9).

Hingga saat ini, kata dia, kuota stok cadangan gula yang dimiliki Perum Bulog baru terealisasi 43.000 ton dari rencana sebanyak 350.000 ton.

Dari realisasi sebanyak 43.000 ton gula, kata dia, sebanyak 22.000 ton di antaranya merupakan gula impor dan selebihnya gula lokal.

Untuk itu, dia berharap, pemerintah melalui Perum Bulog membeli gula petani sesuai dengan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp8.500/kg.

Gula hasil produksi secara nasional yang terserap di pasar, katanya, baru 10 persen sehingga di masing-masing pabrik gula saat ini masih tersedia stok gula yang melimpah.

Bahkan, kata dia, ada pabrik gula yang terpaksa menyimpan gula hasil produksinya di halaman parkir maupun tempat yang lapang karena gudang penyimpan gula selama ini sudah penuh.

"Jika kondisi saat ini tidak ada perbaikan maka banyak pabrik gula yang akan berhenti produksi," ujarnya.

Menurut dia, tidak maksimalnya penyerapan gula dari pabrik gula di Tanah Air, salah satunya karena surplus gula di pasar mencapai 2,8 juta ton sehingga gula petani tidak laku di pasaran karena sudah kelebihan stok.

Melimpahnya stok gula di pasaran, kata dia, karena gula impor pada 2012 dan 2013 masih tersisa cukup banyak sehingga gula dari pabrik tidak bisa terserap di pasar secara maksimal.

Akibatnya, kata dia, harga lelang gula petani juga rendah karena saat ini berkisar Rp8.000 hingga Rp8.100/kg.

Harga lelang gula tersebut, kata dia, jauh dari HPP gula yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp8.500/kg.

Sebetulnya, kata Khabsyin, HPP tersebut juga menyebabkan petani rugi karena biaya produksinya mencapai Rp8.791 per kilogram.

Kondisi tersebut, kata dia, semakin diperparah dengan rendahnya rendemen gula rata-rata secara nasional pada tahun ini hanya 6,5 persen atau turun dibanding dengan tahun sebelumnya mencapai 7,5 persen.

Produktivitas tanaman tebu tahun ini, kata dia, juga mengalami penurunan antara 25-30 persen karena faktor iklim yang panas sehingga kandungan niranya juga menurun.

Akibatnya, kata dia, kerugian yang ditanggung petani semakin besar karena per hektare lahan tanaman tebu rata-rata bisa mencapai Rp15 juta.

Biaya produksi tanaman tebu per hektare, kata dia, antara Rp30 juta hingga Rp35 juta, sedangkan tanaman tebunya hanya laku Rp15 jutaan untuk setiap haktare.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/09/25/ncftlb-aptri-desak-bulog-serap-gula-petani

Bulog kantongi deal impor beras 425.000 ton

Kamis, 25 September 2014

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Hingga akhir September ini, Perum Bulog telah mengantongi deal kontrak pembelian beras sebanyak 425.000 ton yang berasal dari Thailand dan Vietnam. Dari jumlah tersebut sebanyak 50.000 ton beras sudah direalisasikan.

Sutarto Alimoeso Direktur Utama Bulog mengatakan, perincian dari impor beras tersebut adalah sebanyak 175.000 ton berasal dari Thailand, dan sisanya sebanyak 250.000 ton dari Vietnam. "Impor tersebut merupakan bagian dari keputusan rakor," kata Sutarto, Rabu (24/9).

Jenis beras yang diimpor sendiri terbagi kedalam dua jenis. Dari kontrak pembelian yang telah disepakati saat ini, sebanyak 125.000 ton merupakan beras jenis premium. Sementara sisanya sebanyak 300.000 ton berupa beras medium.

Meski tidak merinci, Sutarto bilang, kesepakatan harga yang didapat dari impor tersebut masih lebih murah dibandingkan harga beras dalam negeri. Saat ini tren harga beras internasional kecenderungannya mengalami kenaikan. Hal ini tidak lain karena negara-negara lain seperti Filipina dan Malaysia juga mencari pasar impor beras.

Realisasi pemasukan impor beras dari kesepakatan yang telah terjadi tersebut akan segera masuk dalam waktu dekat. Untuk penyalurannya, Sutarto bilang akan di kirim ke beberapa lokasi di Indonesia yang membutuhkan.

http://aceh.tribunnews.com/2014/09/24/bulog-kontongi-deal-impor-beras-425000-ton

Bulog Tak Bisa Beli Seluruh Produk Pertanian

Kamis, 25 September 2014

JAKARTA, (PRLM).- Usulan para pengamat pertanian agar Bulog bisa membeli semua produk pertanian dari petani, tampaknya tak bisa dilakukan seluruhnya oleh Bulog. Selama ini Bulog hanya mampu membeli 5 persen saja dari produk pertanian. Perannya lebih pada mengendalikan harga komoditi pertanian..

Anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudohusodo, menegaskan, selama ini Bulog tak pernah bisa menjamin membeli produk pertanian 100 persen. Untuk beras saja, misalnya, Bulog hanya bisa membeli 2 juta ton dari total produksi sekitar 40 juta ton. “Jadi Bulog hanya mengambil 5 persen saja. Tetapi dia menjadi penjamin harga, karena kalau Bulog tidak membeli, psikologis harga itu akan rendah,” papar Siswono..

Tapi, sebaliknya bila Bulog membeli cukup banyak, harga akan naik. “Jadi jangan diharapkan Bulog akan mampu membeli seluruh produksi yang ada. Tapi kalau Bulog bisa mengambil peran 5-10 persen saja itu sudah bagus sekali,” kata politisi Partai Golkar tersebut.

Setelah berperan baik untuk menstabilkan harga beras, selanjutnya Bulog diharapkan bisa memainkan perannya untuk menstabilkan harga gula, kedelai, dan jagung..

“Kita berharap Bulog bisa memainkan perannya untuk komoditi gula. Ketika harga gula turun, Bulog membelinya supaya naik. Nanti dia jual ke pasar. Kemudian kedelai dan jagung juga demikian,” ujarnya.

Sementara itu pada bagian lain Siswono juga mengutarakan persoalan insentif bagi para petani. UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengamanatkan agar insentif itu dilakukan dalam bentuk melarang pemerintah membeli produk pertanian impor yang sudah cukup melimpah diproduksi di dalam negeri..

“Selama ini kalau terjadi banjir atau puso, pemerintah yang menggantikan dari dana APBN. Tapi itu pun terbatas jumlahnya, hanya untuk lahan pertanian yang fatal gagal panen saja,” tuturnya. Dengan insentif yang lebih jelas ini, petani dipastikan lebih sejahtera hidupnya. (Sjafri Ali/A-88)***

http://www.pikiran-rakyat.com/node/298328

Rabu, 24 September 2014

Bulog perketat pengawasan penyaluran raskin

Rabu, 24 September 2014

Palembang (ANTARA News) - Perum Bulog memperketat pengawasan dalam penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin), agar tidak terjadi penyimpangan.

"Kami terus mengawasi penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) agar tidak terjadi penyimpangan," kata Kepala Perum Bulog Divre Sumsel, Bambang Napitupulu, di Palembang, Rabu.

Bambang menambahkan, pengawasan tersebut juga untuk melihat kualitas beras tersebut apakah sama dengan yang disalurkan. Dalam pengawasan tersebut pihaknya bekerja sama dengan instansi terkait supaya dapat dilaksanakan secara maksimal.

Bahkan, jelas dia, pihaknya juga membuka layanan pesan singkat melalui telepon genggam agar masyarakat dapat memberikan laporan bila ada penyimpangan.

Namun, dalam penyaluran sekarang ini belum ada yang menyampaikan keluhan terkait adanya penyimpangan tersebut.

Kesemuanya itu dilakukan agar penyaluran beras untuk keluarga miskin tersebut tepat sasaran.

Penyaluran raskin, tambah dia, berjalan lancar dan sesuai program. Begitu juga persediaan beras sekarang ini cukup hingga April 2015, namun dia tidak menyebutkan jumlahnya.

(U005)
Editor: Ella Syafputri

http://www.antaranews.com/berita/455094/bulog-perketat-pengawasan-penyaluran-raskin

Bulog Sulteng Jual Ikan Tuna 1,5 Ton

Rabu, 24 September 2014

Palu,  (antarasulteng.com) - Bulog Sulawesi Tengah kini sedang menjajaki bisnis baru dan pada tahap awal berhasil menjual ikan tuna sebanyak 1,5 ton kepada eksportir dari Surabaya.

"Ini baru tahap penjajakan. Kalau bisnis ini bagus dan berjalan dengan lancar tentu akan ditingkatkan lagi," kata Kepala Perum Bulog Sulteng, Mar`uf di Palu, Rabu.

Ia mengatakan, bisnis penjualan ikan tuna sebenarnya sangat menguntungkan, tetapi juga resikonya cukup besar.

Menurut dia, jika dilihat dari harga memang cukup mahal dan untuk mendapatkan ikan tuna sangat mudah karena memang perairan laut Sulteng merupakan wilayahnya ikan tersebut.

Bagi nelayan yang ada di wilayah perairan Sulteng tidak sulit untuk menangkap ikan tuna. Apalagi di perairan Kabupaten Tolitoli.

Di perairan Kabupaten Tolitoli banyak sekali ikan tuna.

Ikan tuna sebanyak 1,5 ton yang dijual Bulog kepada eksportir, semuanya berasal dari Kabupaten Tolitoli.

"Kita membeli kepada nelayan, lalu menjualnya kepada eksportir di Surabaya," katanya.

Harga daging ikan tuna di pasaran dalam negeri saat ini berkisar Rp70 ribu per kilogram.

Sementara harga daging ikan tuna di pasaran luar negeri seperti Jepang dan Tiongkok hingga mencapoai Rp600 ribu/kg.

Bulog Sulteng, kata Mar`uf saat ini telah merintis beberapa usaha baru selain beras. Usaha-usaha baru yang sementara dirintis Bulog Sulteng dalam rangka meningkatkan penghasilan perusahaan itu termasuk kedelai, gula pasir dan tepung terigu.

"Kami sekarang ini punya stok gula pasir dan tepung terigu di gudang cukup banyak untuk dijual kepada konsumen di Sulteng," katanya.

Ia menambahkan, jika bisnis ikan tuna bisa terus berlanjut dan berkembang, akan memberikan penghasilan besar bagi perusahaan itu. (skd)

Editor: Santoso
http://www.antarasulteng.com/berita/16119/bulog-sulteng-jual-ikan-tuna-15-ton

Pemerintah mendatang diharapkan kurangi impor produk pertanian

Selasa, 23 September 2014

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mendatang diharapkan berkomitmen untuk mengurangi impor semua produk yang berbasis komunitas besar seperti petani dan nelayan.

"Di catatan kami yang impornya besar antara lain gula, jagung, kedelai, daging, beras, ikan. Sehingga semua itu perlu dipangkas,"  kata  Direktur Utama PT Gendhis Multi Manis, Kamajaya saat dihubungi pers di Jakarta, Selasa.

Selain itu, katanya,  perusahaan yang boleh mengimpor tersebut juga harus perusahaan yang membeli produk-produk petani dan nelayan.

Misalnya ada satu perusahaan dapat jatah (impor) 100 juta ton gula. Bayangkan Rp10 triliun itu hanya dipegang satu orang.

"Itu menurut saya mesti dihapus. Separuhnya dia harus membeli produk lokal," kata Kamajaya, yang selama ini dekat dengan petani terbukti dengan pabrik gulanya dimana 100 persen berasal dari kebun plasma petani.

Dia menekankan, hal itu harus dilakukan oleh pemerintah mendatang. Kalau perusahaan tersebut tidak bersedia, maka tidak perlu diberi jatah impor.

"Kalau perusahannya nggak mau, jangan dikasih sama sekali. Gampang sekali. Tinggal ambil pulpen, buat putusan yang benar. Itu saja. Jadi (impor) pangkas, minimum separuh. Itu (jatah impor) diberikan kepada mereka yang menyerap produk lokal," katanya.

Kamajaya mengingatkan, apapun kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, kalau tidak memprioritaskan basis tenaga kerja banyak, seperti petani padi, gula, kedelai, jagung, dan nelayan, itu tidak ada manfaatnya.

"Jadi potensi (pangan Indonesia) sangat besar. Saya kira nggak susah-susah amat (untuk memaksimalkannya) kalau dikelola dengan baik. Makanya kita tergantung Pak Jokowi sekarang," tutupnya.(*)

Editor: Tasrief Tarmizi

http://www.antaranews.com/berita/455032/pemerintah-mendatang-diharapkan-kurangi-impor-produk-pertanian

Harga Pasar Lebih Tinggi Dari HPP, Bulog Susah Beli Beras Petani Sumut

Selasa, 23 September 2014

Bisnis.com, MEDAN - Harga pasar yang lebih tinggi dari HPP menjadi hambatan Bulog belum mencapai setengah dari target pembelian beras petani Sumatra Utara.

Rudi Adylin, Humas Bulog Sumut mengungkapkan, pembelian beras petani hingga September tahun ini masih rendah, yakni baru sebanyak 472 ton dari target 10.000 ton.

Menurutnya, kondisi itu terjadi akibat adanya selisih harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga pasar.

"Realisasinya memang masih relatif sedikit dari yang ditargetkan, kendalanya adalah harga jual petani yang sering di atas HPP (Harga Pembelian Pemerintah)," katanya di Medan, Selasa (23/9/2014).

Besaran HPP masih di angka Rp6.600 per kg, sedangkan harga di petani sudah di kisaran Rp7.000 per kg.

"Masalah harga itu yang jadi kendala peningkatan pembelian beras petani," jelasnya.

Meski ada kendala, lanjut dia, Bulog terus berupaya meningkatkan pembelian, seperti kerja sama dengan kelompok tani atau perusahaan penggilingan padi di daerah.

Dengan langkah itu diharapkan pembelian bisa lebih banyak lagi dan bisa mencapai target. Apalagi target tahun ini lebih rendah 5.000 ton dari rencana tahun lalu yang sebanyak 15.000 ton.

Target 10.000 ton pada tahun ini dilakukan untuk lebih realistis dengan mengacu pada realisasi 2013 yang sangat kecil dari yang ditargetkan atau hanya 310 ton.

Menurut dia, disparitas harga HPP dengan harga pasar itu sulit dihindari saat ini karena Pemerintah biasanya baru menambah besaran HPP di saat musim paceklik di akhir tahun.

Terlebih saat ini terjadi tren kenaikan harga beras di Sumut sebagai akibat dari tidak serentaknya panen petani. "Harga beras di Sumut semakin mahal karena produksi juga tidak terlalu banyak dampak anomali cuaca," katanya.

Dia melanjutkan, meskipun pembelian beras petani belum mengarah ke pencapaian target, tetapi stok beras Bulog masih tetap aman karena adanya pasokan dari daerah lain, seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Stok beras Bulog pada pekan ini ada sebanyak 41.000 ton, cukup untuk kebutuhan daerah itu selama tiga bulan lebih.


Source : Antara
Editor : Yoseph Pencawan

http://sumatra.bisnis.com/read/20140923/13/52167/harga-pasar-lebih-tinggi-dari-hpp-bulog-susah-beli-beras-petani-sumut

Selasa, 23 September 2014

Prof. DR. Drs. Mohamad Husein Sawit, MSc "Sutarto Itu Sederhana, Tegas & Punya Prinsip"

Senin, 22 September 2014

Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoeso, merupakan pemimpin yang mempunyai karakter. Sosoknya sederhana, mempunyai prinsip yang kuat, dan tegas. Di bawah kepemimpinannya Bulog berhasil melakukan pengadaan beras tidak berasal dari impor. Itu pendapat Prof. DR. Drs. Mohamad Husein Sawit, MSc tentang tokoh kelahiran Pacitan itu.

Setiap sosok yang memimpin Bulog punya karakteristik masing-masing. Dan untuk Sutarto Alimoeso, dia mempunyai pendirian yang kuat. Apalagi Sutarto orang lapangan, yang dalam hal produksi, bisa mengetahui sentra-sentra padi nasional. Sutarto bisa memetakan produksi beras. “Jadi orang lapangan tidak bisa bohong dengannya,” kata Prof. DR. Drs. Mohamad Husein Sawit, MSc.

Gudang-gudang Bulog sekarang sudah bersih dan tertib. Kalau dibandingkan dengan kepala Bulog sebelumnya, tidak ada yang mengalahkan Sutarto dalam persoalan ini. Itu karena Sutarto sering berkunjung ke daerah untuk melihat kondisi gudang. Dia bakal menegur bawahannya di lapngan,  jika gudangnya tidak bersih. Sering mengontrol, akhirnya gudang dicat dengan rapi, bersih dan tertata dengan baik. Itu menjadi standar untuk mengamankan pangan. “Beliau cukup konsen terhadap kebersihan dan kerapian gudang Bulog,” katanya.

Perubahan lain yang dilakukan pada masa kepemimpinan Sutarto adalah mengerahkan semua sumber daya yang ada untuk melakukan pengadaan beras dari dalam negeri. Kemudian memperbaiki kualitas dan penampilan gudang.

Selain itu, kesejahteraan karyawan juga mulai ditingkatkan. Dia benar-benar melakukan punishment and reward bagi karyawan Bulog di semua posisi. Dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawah. Bila kinerja baik, maka karyawan akan dinaikkan jabatannya, dan begitu pula sebaliknya.

Menurut Husein Sawit, ketika Sutarto masuk ke Bulog lumayan shock karena perbedaan kultur dari sebelumnya di Kementerian Pertanian. Di pemerintahan lebih terlihat birokrasinya. Namun bulan ketiga Sutarto sudah mampu beradaptasi, mengetahui medan, dan dapat menentukan prioritas.

Ketika diminta untuk mengkritisi Bulog, Husein Sawit menyebut, bahwa di tangan Sutarto belum terlihat visinya untuk jangka panjang. Namun untuk jangka pendek itu bagus. Mustinya lembaga ini dibawa bersaing, bekerja efisien, dan penguatan sumber daya manusia. Bulog untuk ketahanan pangan harus dilihat jangka panjang.

Sutarto memang tipe sederhana, tegas dan punya prinsip. Misalnya pernah diundang ke luar negeri untuk menghadiri suatu acara. Disana juga akan presentasi soal kebijakan Bulog. Stafnya menyiapkan bahan presentasi, lantas dia tidak yakin, kemudian meminta pandangan saya.

“Saya bilang, bapak harus bedakan paper yang ingin disampaikan di Menko Perekonomian dengan di luar negeri. Akhirnya diubah dan mengikuti masukan saya,” kenang Husein Sawit yang memperoleh gelar PhD dalam bidang Economics dari University of Wollongong, NSW Australia ini. “Namun di satu sisi, dia kukuh dengan pendiriannya,” tambahnya.

Menurut Husein Sawit, Sutarto dengan keyakinannya untuk pengadaan beras tidak bergantung pada produksi itu baik. Akan tetapi, gerakan sampai tingkat bawah atau disebut jaringan semut itu boleh dilakukan, bila produksi beras lagi bagus. Namun gerakan itu bakal kesulitan menyerap beras lebih banyak, kalau panen tidak bagus, seperti yang terjadi di tahun 2012.

Dan itu kembali terulang. Tahun ini, kondisi produksi anjlok. Digerakkan dengan cara apapun sulit mencapai target yang diinginkan. Itu lantaran harga beras sedang tinggi. Seharusnya ini tidak dilakukan, karena harus memperhatikan sisi produksi. Namun karena ada keinginan supaya beras tidak impor dari luar negeri, gerakan itu masih dilakukan. “Saya melihat Sutarto bergerak melakukan itu, dengan semua resources yang ada,” ujar mantan Ketua FKPR (Forum Komunikasi Profesor Riset) Badan Litbang Pertanian itu.

Kelemahan lain, dalam jangka pendek di penggilingan padi ini umumnya 93% skala kecil. Produksi beras diperkirakan sekitar 1,5 ton/jam, sedangkan penggilingan besar di atas 3 ton/jam. “Penggilingan kecil ini tidak mampu menghasilkan beras kualitas bagus dengan harga rendah. Ongkos tenaga kerja semakin mahal, terjadi losses lantaran dijemur. Padahal masyarakat sekarang menyukai beras premium,” katanya kepada Agrofarm.

Mustinya Bulog mendorong penggilingan kecil meningkatkan kualitas. Caranya pengeringan gabah harus menggunakan alat pengering (hair dryer). Penggilingan dari dijemur diubah menjadi menggunakan alat pengering. “Ini harus diubah,” tukasnya.

http://www.agrofarm.co.id/read/successstoryp/818/prof-dr-drs-mohamad-husein-sawit-msc-sutarto-itu-sederhana-tegas-punya-prinsip/#.VCDULM5nOho

Investasi Tidak Ditutup

Selasa, 22 September 2014

Kedaulatan Pangan agar Tak Terganggu

Jakarta, Kompas Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak harus menutup aliran modal asing dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Investasi itu harus dikelola secara tepat agar tidak mengganggu pencapaian kedaulatan pangan.
Menurut Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, Senin (22/9), saat dihubungi di Jember, Jawa Timur, kita hidup di alam global yang tidak mungkin lagi menutup diri dari dunia luar. Apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan dimulai pada 2015.

”Dengan demikian, jelas kebijakan pangan kita ikut memperhatikan dinamika itu. Hal terpenting adalah kebijakan pangan bangsa ini tetap mengedepankan kemandirian, ketahanan, dan keamanan pangan rakyat. Hal ini harus berlaku untuk aspek produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi. Tidak mungkin kebijakan pangan kita tak mempertimbangkan jejaring global, khususnya ASEAN,” katanya.

Perdagangan dan investasi di bidang pangan tidak mungkin ditutup. Akan tetapi, mesti mengedepankan kebijakan kerja sama berdasarkan kerja sama saling menguntungkan agar kita tetap mampu menjaga kedaulatan bangsa, terutama di bidang pangan.

Investasi di bidang pangan harus mengedepankan pemanfaatan sumber pangan lokal yang sekaligus meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengungkapkan, bagaimanapun Indonesia membutuhkan modal untuk percepatan pembangunan sektor pertanian dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Saat ini berbagai industri komponen pendukung kedaulatan pangan merupakan hasil penanaman modal asing. Mereka sudah puluhan tahun berinvestasi dan melakukan penelitian sehingga secara perlahan menguasai pasar. Hal seperti ini bisa dilihat pada industri benih jagung.

”Kita tentu tidak bisa meminta mereka untuk menutup investasinya karena itu akan berdampak terhadap ketersediaan benih jagung nasional dan akan berpengaruh pada produktivitas dan produksi jagung,” katanya.

Memaksakan diri untuk berkompetisi dengan perusahaan multinasional juga membutuhkan persiapan yang matang dan strategi.

Jika tak bisa bersaing dengan mereka, cara yang terbaik adalah melakukan pengaturan sehingga investasi masih tetap berjalan sementara kepentingan kedaulatan pangan tidak terganggu.

Dalam hal komponen bahan baku industri pupuk kimia, misalnya, kebutuhan fosfat dan kalium untuk industri pupuk masih diimpor. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, impor tidak harus dihentikan sekarang.

Gatot melihat ada baiknya jika penggunaan pupuk kimia dikurangi sambil menggantikannya dengan pupuk organik. Akan tetapi, pengembangan industri pupuk organik harus dipersiapkan dengan baik.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, strategi peningkatan produksi pangan melalui pertanian presisi dan perubahan teknologi plus perluasan areal pangan masih menjadi pilihan yang rasional. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140923kompas/#/18/

Atasi Dampak Kekeringan Bulog Siagakan Stok Beras

Senin, 22 September 2014

LAMPUNGKU.com – Mengatasi dampak kekeringan maupun kondisi kekurangan pangan di wilayah Provinsi Lampung, Perum Buloog Divisi Regional (Divre) Lampung menyatakan segera turun ke lapangan bersama pihak berwenang untuk melakukan antisipasi pencegahan dan siagakan cadangan beras.

“Ya, perum Bulog Lampung akan segera turun bersama pihak berwenang untuk memastikan kondisi di lapangan khususnya di Kabupaten Mesuji yang dilaporkan warganya mengalami dampak buruk kemarau tahun ini,”  kata M Firdaus, Kepala Bidang Pelayanan Publik Perum Bulog Divre Lampung atas nama Kepala Bulog Lampung Djono Nur Ashari di Bandarlampung,Kamis pekan lalu.

Menurut Firdaus, dari hasil rakor dengan dinas dan instansi yang dipimpin Sekdaprov Arinal Junaidi baru-baru ini, antara lain diputuskan semua pihak segera mengambil langkah strategis yang diperlukan dalam menanggulangi dampak kemarau tahun ini.

Dia menyatakan, bila memang diperlukan dalam mengatasi persoalan kekurangan pasokan bahan pangan di wilayah tertentu, terdapat persediaan beras berupa cadangan beras pemerintah di gudang Perum Bulog Divre Lampung, yaitu sebanyak 100 ton jatah alokasi masing-masing pemda kabupaten/kota di Lampung dan 200 ton beras alokasi untuk Pemprov Lampung.

“Bila benar warga di Mesuji membutuhkan pasokan beras itu, kami akan segera berkoordinasi dengan pemda setempat, untuk segera mendistribusikannya ke sana,” ujar Firdaus lagi.

Berkaitan penanganan dampak kemarau dan kekeringan itu, sebelumnya Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo, seusai menghadiri diskusi peluncuran buku “Dari Oedin ke Ridho Kado 100 Hari Pemerintahan M Ridho Ficardo-Bachtiar Basri” di sebuah harian lokal Lampung menegaskan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan jajaran pemda kabupaten/kota se-Lampung dan instansi berwenang untuk mengetahui permasalahan yang dialami masyarakat daerah masing-masing.

“Kami akan memperkuat koordinasi dan memantapkannya untuk mengantisipasi dampak kemarau di daerah ini, sehingga dapat diatasi dengan baik bersama-sama,” ujar dia lagi.

Gubernur Ridho berharap para bupati dan wali kota di seluruh Lampung dapat pula mengambil inisiatif untuk mengatasi setiap permasalahan dialami di daerah masing-masing.

Sementara itu, Kepala Perum Bulog Divre Lampung Djoni Nur Ashari mengatakan persediaan beras di gudang Bulog Divre Lampung saat ini mencapai 52.506 ton dan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penyaluran dalam enam bulan ke depan.

Persediaan beras itu, kata Djoni berada di gudang Bulog Lampung per 15 September 2014 yang diperoleh melalui pembelian beras petani Lampung atau pengadaan dalam negeri.

“Perum Bulog Divre Lampung merupakan Divre penyangga persediaan beras di beberapa daerah lain di Sumatera, seperti Jambi dan Bengkulu,” terangnya.

Dia menyebutkan Provinsi Lampung memiliki pelabuhan yang cukup besar dengan kemampuan kapasitas bongkar mencapai sekitar 40.000 ton per hari.

Gudang beras Bulog Lampung tersebar pada empat wilayah di daerah ini, yaitu di Kota Bandarlampung sebanyak tiga unit gudang dengan kapasitas simpan 48.500 ton, di Metro dua gudang dengan kapasitas 11.500 ton, di Kotabumi Kabupaten Lampung Utara sebanyak empat gudang dengan kapasitas 12.500 ton, dan di Kalianda Kabupaten Lampung Selatan dengan kapasitas simpan 5.000 ton.

“Secara keseluruhan, total kapasitas simpan di gudang Bulog Lampung mencapai 77.500 ton,” kata Djoni lagi.

Ia menegaskan bahwa pengadaan beras/gabah yang dijalankan Perum Bulog Divre Lampung dilakukan melalui saluran yang telah ditetapkan dengan harga dan kualitas sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Tujuan pengadaan dalam negeri itu, katanya lagi, untuk menjaga harga produsen tidak berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), terutama saat panen raya, dan memupuk stok untuk kebutuhan penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin), cadangan beras pemerintah, maupun untuk golongan anggaran dengan melakukan pembelian beras atau gabah dari petani.

Pada tahun 2014, Perum Bulog Divre Lampung menargetkan pengadaan sebanyak 115.000 ton, dan hingga September 2014 telah terpenuhi sebanyak 69,91 persen (pengadaan 80.397 ton).(nd/ant/fer)

 http://lampungku.com/ekonomi/atasi-dampak-kekeringan-bulog-siagakan-stok-beras/#.VCCo5pR_vyQ

Senin, 22 September 2014

Ini Kata Bulog Penyebab Produksi Beras Riau Turun

Senin, 22 September 2014

PEKANBARU - Kendala yang dihadapi Bulog Riau Kepri dalam menyerap beras petani lokal di Riau salah satunya adalah tingginya alih fungsi lahan persawahan dan tanaman padi. Banyak lahan persawahan dijadikan perekebunan kelapa sawit.

"Itu menjadi penyebab utama menurunnya produksi padi di provinsi Riau dari tahun ke tahun," ujar Humas Bulog Riau Kepri, Usman.

Lebih lanjut dikatakannya, peralihan lahan persawahan ke perkebunan sawit mengakibatkan produksi beras lokal untuk diserap Bulog tidak begitu banyak. Bahkan secara nasional Bulog juga mengalami kekuranga.

"Karena itu Bulog terpaksa melalukan impor beras," kata Usman.

Untuk memenuhi kebutuhan Raskin di Riau dan Kepri, Bulog memerlukan 4.385.730 kilogram per bulan. Rinciannya, 3.414.840 kilogram untuk riau dan 970.980 kilogram untuk Kepulau Riau. (tks)

http://politikriau.com/read-6993-2014-09-21-ini-kata-bulog-penyebab-produksi-beras-riau-turun.html

Jokowi Harus Berantas Mafia Pangan

Senin, 22 September 2014

Ketahanan Pangan | Bulog Jangan Sekadar Berorientasi pada Keuntungan

JAKARTA – Kedaulatan serta ketahanan pangan tidak akan terwujud apabila praktik kartel atau mafia di sektor pangan terus dibiarkan. Karena itu, pemberantasan mafia pangan harus menjadi prioritas dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Demikian ditegaskan Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benni Pasaribu, dalam diskusi bertajuk “Membaca Arah Politik Pangan di Era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla” di Jakarta, kemarin.

Menurut Benni, salah satu masalah yang terus membuat sektor pangan tak pernah berdaulat di negeri ini adalah kuatnya cengkeraman para mafia, salah satunya mafia pupuk. “Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam. Kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk,” kata Benni.

Tidak hanya mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga harus mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih. Selama ini, pupuk dan benih selalu menjadi “permainan” oknum-oknum di sektor pangan. Dan itu bukan rahasia lagi.

“Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching, Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, di bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia seharusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan,” katanya.

Padahal, kata dia, Indonesia sangat mungkin untuk secepatnya bisa berdaulat di sektor pangan. Tetapi memang sektor ini seperti salah urus dan kelola. Ia pun mencontohkan BUMN Sang Hyang Sri yang bergerak dalam pembudidayaan benih. Perusahaan pelat merah yang memunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3.000 hektare itu kini megap-megap. Padahal, kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi “juru selamat” bagi petani, terutama untuk memenuhi bibit atau benih unggul tanaman pangan atau komoditas.

“Sang Hyang Sri punya 3.000 hektare lahannya. Kini apa coba? Itu karena orientasinya proyek sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak? Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional,” kata dia.

Apalagi Bulog, kata Benni, sudah punya gudang-gudang di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali sehingga, ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem.

“Sekarang kan gudang-gudang Bulog atau KUD menganggur, jadi lapangan futsal malah karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar,” kata Benni.

Yang paling menjengkelkan, menurut Benni, para mafia pemburu rente di sektor pangan itu masuk di kala musim panen petani. Contohnya membanjirnya bawang impor dari luar yang masuk ke Brebes. “Contoh bawang impor masuk lewat Brebes. Bawang impor yang masuk jelek-jelek, sementara bawang Brebes itu kualitas nomor satu. Tapi di-packing jadi bawang Brebes dikirim ke Papua. Lha orang Papua bilang kok sekarang jelek ya bawang Brebes,” katanya.

Praktik-praktik curang seperti itulah, kata Benni, yang mesti diberantas di era Jokowi. Ia yakin Jokowi berani. Karena itu, menteri pertaniannya pun mesti berani memberantas mafia, bukan malah melanggengkannya. “Berantas mafia. Bagi saya, nomor satu kembali ke rule yang ada. Kalau ada regulasi yang condong pada penguasaan pasar oleh sekelompok orang, atau monopolistik, itu kita evaluasi, kita perbaiki. Karena di situ mafia atau kartel bermain,” katanya.

Oleh sebab itu, di awal pemerintahannya, pemberantasan mafia impor pangan atau praktik kartel dalam tata niaga, mesti jadi prioritas, bahkan mesti jadi prioritas dalam program 100 hari Jokowi-Jusuf Kalla.

Menurut Benni, harus dikembangkan usaha di luar masa tanam agar petani tak menganggur ketika masa tanam usai. Ia pun mengusulkan agar pemerintah ke depan membangun industri dasar pengelolaan hasil pertanian. “Di industri dasar ini, produk pertanian paling tidak bisa diolah dalam satu atau dua proses. Nah, industri hilirnya di pelabuhan,” kata dia.

Menurut Benni, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi di sektor pangan, terutama komitmen Jokowi untuk melindungi petani dari serbuan produk pangan impor. Oleh sebab itu, produktivitas petani domestik mesti digenjot dan didukung, baik oleh politik anggaran, regulasi, maupun riset serta teknologi tepat guna.

Benni bersyukur kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Setidaknya, ada lima strategi dasar yang harus dilakukan. Lima strategi itu, antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan agri-industri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petani, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan. “Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijakan di level petani, lahan, infrastruktur, teknologi, industri, benih, dan kelembagaan,” kata Benni.

Benni juga menyarankan pemerintahan Jokowi segera menyiapkan infrastruktur pendukung pertanian, misalnya membangun 25 waduk baru dan saluran irigasi baru untuk 3 juta hektare serta mencetak sawah baru seluas 1 juta hektare. Reformasi agraria juga mutlak dilakukan. Hal ini penting untuk memperbesar akses petani terhadap lahan pangan baru, yakni seluas 9 juta hektare.

“Saya yakin, kalau pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen penuh, bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu dua tahun, selambatnya di tahun 2017,” katanya.

Swasembada itu, kata Benni, termasuk beras, jagung, gula, sagu, singkong, kentang, rumput laut, daging, dan ikan yang saat ini masih dilakukan impor. Kementerian Pertanian harus bisa mewujudkan swasembada pangan dan menghilangkan kebergantungan pada impor pangan. “Kita seharusnya mengurut dada, nasib petani selalu termarjinalkan,” katanya.

Fakta yang terjadi, ketimpangan kesenjangan kian menganga. Padahal 60 persen penduduk tinggal di perdesaan dan 70 persen di antaranya berprofesi sebagai petani. Di sisi lain, sektor pertanian hanya menyumbang 13,6 persen PDB.



Masalah Besar

Sementara itu, pengamat politik pangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Peneliti The Indo Strategy Foundation, Pandu Yuhsina, mengatakan di bidang administrasi dan pemetaan pertanahan, Indonesia memunyai masalah yang besar. Dari total 191,02 juta hektare luas tanah di Indonesia, ternyata masih ada 65 juta hektare yang sama sekali belum tersedia data citra satelitnya. Luas wilayah yang sudah tersedia data citra satelitnya baru seluas 102,51 juta hektare.

“Dari luasan tanah yang sudah bisa dicitrakan lewat satelit itu, baru 25,43 juta hektare saja yang sudah diolah menjadi peta dasar pertanahan,” katanya.


Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu mempercepat tersedianya peta dasar pertanahan yang baku. (ags/N-1)

Jumat, 19 September 2014

Menteri Pertanian Harus Berani Berantas Mafia

Kamis, 18 September 2014

INILAHCOM, Jakarta - Masalah pangan akan menjadi salah satu fokus dalam pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Selama ini sektor pangan, khususnya pertanian, banyak masalah. Salah satunya yang banyak memukul para petani domestik adalah praktek kartel. Praktek kongkalikong inilah yang mesti diberantas tuntas Jokowi-Jusuf Kalla.

"Masih ada mafia pupuk. Sebentar lagi, bulan Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Nah, saat Jokowi dilantik, itu sudah masuk musim tanam, kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk," ujar Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benny Pasaribu di Jakarta, Kamis (18/9/2014).

Tidak hanya mengantisipasi potensi kelangkaan pupuk di musim tanam, tapi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga mesti mengantisipasi kemungkinan kelangkaan benih. Selama ini, pupuk dan benih selalu menjadi 'permainan'oknum-oknum di sektor pangan. Dan itu bukan rahasia lagi.

"Lihat saja kita masih menemukan pupuk bersubsidi di Kuching Malaysia. Ini kan permainan, persis kayak mafia BBM. Nah, di bulan Oktober, saat Jokowi sudah mulai bekerja, masalah mafia harusnya sudah bisa diberantas. Oktober mafia pupuk harus diselesaikan," katanya,

Ini momentum bagi Jokowi untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara agraris. Benni melihat selama 10 tahun kepemimpiman SBY, sektor pangan terutama pertanian tak ada perubahan signifikan.

"Coba berapa irigasi yang di bangun SBY. Dulu ada Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani. Sekarang kelembagaan itu seperti dihancurkan," katanya.

Indonesia sangat mungkin secepatnya bisa berdaulat di sektor pangan asalkan tidak salah urus. Benny pun mencontohkan BUMN Sang Hyang Sri, yang bergerak dalam pembudidayaan benih. Perusahaan plat merah yang mempunyai lahan untuk pembudidayaan benih hingga 3000 hektar itu kini megap-megap.

Kalau diurus dengan benar, Sang Hyang Sri bisa jadi 'juru selamat' bagi petani, terutama untuk memenuhi bibit atau benih unggul tanaman pangan atau komoditas.

"Sang Hyang Sri punya 3000 hektar lahannya, kini apa coba. Itu karena orientasinya proyek, sehingga kreativitas tak ada lagi. Badan Urusan Logistik atau Bulog dulu bisa jadi pengaman harga pangan, kenapa sekarang tidak. Kita ada semua, tinggal kembalikan fungsi Bulog. Bulog juga tak perlu melulu cari untung, tapi jadi agen development, menjadi stabilisitator harga dan penjaga stok nasional," kata dia.

Apalagi Bulog, kata Benny, sudah punya gudang-gudang baik itu di pelabuhan atau di kota-kota di daerah. Tinggal fungsikan itu kembali, sehingga ketika masa paceklik tiba, masalah pangan tak terus jadi problem.

"Sekarang kan gudang-gudang Bulog, atau KUD, nganggur, jadi lapangan futsal malah. Karena sekarang barang dari pelabuhan langsung masuk pasar," kata Benni.

Menurut Benny, yang paling menjengkelkan para mafia pemburu rente di sektor pangan itu masuk dikala musim panen petani. Contohnya, membanjirnya bawang impor dari luar yang masuk ke Brebes.

"Contoh bawang impor masuk lewat Brebes. Bawang impor yang masuk jelek-jelek, sementara bawang Brebes itu kualitas nomor satu. Tapi dipacking jadi bawang Brebes di kirim ke Papua, lha orang Papua bilang kok sekarang jelek ya bawang Brebes," katanya.

Praktek-praktek curang seperti itulah yang mesti diberantas di era Jokowi. Ia yakin Jokowi berani. Karena itu Menteri Pertaniannya pun mesti berani memberantas mafia, bukan malah melanggengkannya.

Benny menambahkan, yang pasti banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Jokowi, di sektor pangan. Terutama komitmen Jokowi untuk melindungi petani dari serbuan produk pangan impor. Sebab itu, produktivitas petani domestik mesti digenjot dan didukung baik oleh politik anggaran, regulasi maupun riset serta teknologi tepat guna.

"Sudah jelas, pemerintahan Jokowi, seyogyanya mampu melakukan perlindungan kepada petani dari produk impor dan persaingan tidak sehat. Karena itu semua telah melemahkan petani kita," katanya.

Benny bersyukur kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Setidaknya ada lima strategi dasar yang harus dilakukan.

Lima strategi itu antara lain, pengembangan usaha tani berbasis agrobisnis dan agroindustri, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petanu, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan.

"Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijajkan di level petanu, lahan, infrastruktur,teknologi, industri, benih dan kelembagaan," kata Benny.

Benny juga menyarankan, pemerintahan Jokowi segera menyiapkan infrastruktur pendukung pertanian, misalnya membangun 25 waduk baru dan saluran irigasi baru untuk 3 juta hektar serta mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar. Reformasi agraria juga mutlak dilakukan. Hal ini penting untuk memperbesar akses petani terhadap lahan pangan baru yakni seluas 9 juta hektar.

"Saya yakin, kalau pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen penuh, bisa mencapai swasembada pangan dalam waktu 2 tahun, selambatnya di tahun 2017," katanya. [rok]

http://nasional.inilah.com/read/detail/2137091/menteri-pertanian-harus-berani-berantas-mafia#.VBtnNZR_vyQ

Kemarau Tak Pengaruhi Ketahanan Pangan Bulog

Kamis, 18 September 2014

Badan Urusan Logistik (Bulog) Subdivisi Regional Kediri, Jawa Timur, menegaskan kemarau tidak akan memengaruhi ketahanan pangan karena stok beras masih melimpah.

Kepala Bulog Subdivre Kediri Arif Mandu di Kediri, Kamis mengatakan pihaknya sudah menyerap sekitar 40 ribu ton beras petani yang berada di wilayah Bulog Kediri, baik kabupaten/kota maupun Kabupaten Nganjuk.

"Untuk stok yang ada, masih 26 ribu ton dan ini masih bertahan sampai delapan bulan ke depan. Jadi, ketahanan pangan itu masih mencukupi sampai 2015," katanya kepada wartawan.

Ia mengakui, saat kemarau seperti yang terjadi kini, penyerapan sudah tidak maksimal. Selain karena panen raya yang sudah hampir selesai, harga jual petani saat ini juga sudah di atas harga pembelian pemerintah. HPP beras yang ditetapkan Bulog sebesar Rp6.600 per kilogram, sedangkan harga pembelian di luar Bulog berkisar Rp6.800-Rp7.000 per kilogram.

Namun, pihaknya juga menyebut, sejumlah lahan masih ada yang panen seperti di Kabupaten Nganjuk. Luas lahan yang panen itu hanya sedikit, tidak sebanyak saat panen di musim panen raya sebelumnya.

Ia juga mengakui, penyerapan beras saat ini masih kurang, jika dibandingkan dengan target penyerapan pada 2014, yang seharusnya mencapai 75 ribu ton. Saat ini, memasuki September 2014, penyerapan masih berkisar di 40 ribu ton beras saja.

Arif mengatakan, Bulog selalu melakukan evaluasi pada penyerapan beras. Evaluasi keseluruhan akan dilakukan pada triwulan keempat, dan jika perlu target bisa diturunkan.

Ia juga menyebut, fenomena penyerapan yang kurang maksimal ini bukan hanya terjadi di Bulog Kediri, melainkan di seluruh Bulog yang ada di Jatim. Penyebabnya, karena faktor produksi dan alam.

"Bukan kami (Bulog Kediri) saja yang turun, ini hampir merata di se-Jatim. Namun, kami optimistis, bisa capai 100 persen (penyerapan beras)," pungkas Arif.(ant/ris)

http://www.ciputranews.com/kesra/kemarau-tak-pengaruhi-ketahanan-pangan-bulog

Kamis, 18 September 2014

HKTI: Jokowi-JK Harus Berani Berantas Mafia Pangan

Rabu, 17 September 2014

Jakarta - Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan wakil presiden terpilih, Jusuf Kalla (JK) harus berani memberantas mafia pangan. Pasalnya karut-marut pangan selama ini dinilai terjadi karena maraknya mafia.

"Praktik kongkalikong dan mafia harus diberantas tuntas Jokowi-JK. Menteri Pertanian yang dipilih harus benar-benar berani memberantas mafia pangan," kata Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Benni Pasaribu dalam keterangan pers, Rabu (17/9) malam.

Ia memberi contoh praktik mafia yang hingga saat ini sulit diberantas adalah mafia pupuk. Oleh oknum-oknum tertentu, pupuk dijadikan lahan menumpuk uang untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu.

"Sebentar lagi, Januari musim panen. Bulog mestinya difungsikan. Saat Jokowi dilantik, sudah masuk musim tanam. Kita harus antisipasi kelangkaan pupuk yang selalu jadi mainan mafia pupuk," ujarnya.

Dia menegaskan, saatnya bagi Jokowi untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara agraris. Selama 10 tahun kepemimpiman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sektor pangan terutama pertanian tak ada perubahan signifikan.

"Coba berapa irigasi yang dibangun SBY. Dulu ada Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani. Sekarang kelembagaan itu seperti dihancurkan," tegasnya.

http://www.beritasatu.com/nusantara/210655-hkti-jokowijk-harus-berani-berantas-mafia-pangan.html

Rapor SBY di bidang pangan rendah, Jokowi harus kurangi impor

Rabu, 17 September 2014

Merdeka.com - Peneliti LIPI di bidang Politik Daerah sekaligus peneliti di The Indo Strategi Fondation (TISF) Pandu Yusni Adaba menyatakan bahwa rapor pemerintahan SBY di sektor pangan masih masih rendah. Hal itu menurutnya dilihat dari aspek distribusi lahan dan sirkulasi komoditas.

"Rencana distribusi lahan dari 8 juta hektare yang direalisasi hanya 8.000, itu kalau satu sampai sepuluh skalanya, jadinya berapa? Di sisi sirkulasi komoditas, seperti kedelai, permintaan masyarakat 2,4 juta ton, tapi kemampuan penyediaannya kalau dibulatkan hanya 900 ribu ton," papar Pandu dalam acara diskusi di Galeri Cafe di Cikini, Jakarta, Rabu, (17/9).

Menurutnya, penanganan soal pangan harus berbasis pada pemetaan wilayah yang jelas sehingga pertanian yang dibangun sesuai dengan kondisi geografisnya.

"Yang paling dibutuhkan pertama-tama adalah pemetaan wilayah lengkap dengan jenis tanahnya, sehingga kita bisa tahu di wilayah itu cocok untuk pertanian apa," ujarnya.

Senada dengan Pandu, Sekjen HKTI Benny Pasaribu mengemukakan bahwa saat ini kebijakan pangan nasional terlalu liberal. Hal itu terlihat dari tingginya angka impor pangan pemerintah.

"Kita terlalu liberal. Terlalu andalkan impor untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri," katanya.

Oleh karenanya, menurut Benny, agar bangsa Indonesia keluar dari krisis pangan, pemerintahan Jokowi-JK perlu persiapkan Bulog secara baik untuk membeli hasil pertanian masyarakat.

"Persiapkan Bulog, untuk tujuan dua hal. Satu menjaga harga panen tak sampai jatuh, kedua stok nasional, maka kita usulkan harga dasar, sebagai pegangan, bukan harga pembelian sebagai dasar lindungi petani," paparnya.

http://www.merdeka.com/peristiwa/rapor-sby-di-bidang-pangan-rendah-jokowi-harus-kurangi-impor.html

Selasa, 16 September 2014

Saatnya Ubah Pola Insentif bagi Petani

Selasa, 16 September 2014

YOGYAKARTA, KOMPAS — Untuk mencegah konversi lahan pertanian secara berkelanjutan, pemerintah perlu mengubah pola insentif yang selama ini diberikan kepada petani. Mereka perlu mendapatkan insentif yang bisa langsung dirasakan manfaatnya, seperti pemberian subsidi harga jual produk pertanian dan beasiswa kepada anak petani.
”Saat ini, pemerintah memberikan insentif kepada petani berupa subsidi melalui pihak lain. Misalnya, subsidi benih dan pupuk yang diberikan melalui pabrik benih dan pabrik pupuk sehingga nilai subsidi yang sampai ke petani tidak sebesar yang tertulis di atas kertas,” kata Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jamhari, Senin (15/9).

Menurut dia, ada dua bentuk subsidi yang bisa diberikan pemerintah agar petani tidak menjual lahannya. Pertama, subsidi harga jual untuk menjaga harga produk pertanian tidak anjlok. Subsidi itu akan menjamin petani mendapat keuntungan yang memadai dari menjual hasil pertanian. ”Ini bisa dilakukan jika pemerintah memberikan mandat kepada Perum Bulog untuk membeli produk pertanian dari petani,” katanya.

Langkah kedua, memberikan beasiswa pendidikan kepada anak petani. Tahap awal, pemberian beasiswa itu bisa mengacu pada data petani yang terlibat dalam program lahan pangan berkelanjutan di setiap provinsi. ”Kalau anak mereka diberi beasiswa, petani tak mau mengonversi lahannya karena mereka pasti berpikir untuk masa depan anak-anaknya,” ujar Jamhari.

Seperti diberitakan, alih fungsi lahan makin sulit dibendung. Setiap tahun tidak kurang dari 110.000 hektar sawah beralih fungsi jadi perumahan dan kawasan industri (Kompas, 15/9).

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang mempertimbangkan pemberian insentif bagi petani. Salah satu opsi, membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada lahan pertanian irigasi. Alasannya, selama ini lahan irigasi teknis masih dikenai PBB. ”Kalau PBB bisa dihapuskan, setidaknya jadi alternatif bagi petani pemilik tetap mempertahankan sawahnya,” kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Petani di Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Sobari, menyatakan, lahan sawahnya seluas 3.000 meter persegi yang berada di tepi jalan desa dikenai pajak Rp 83.000 per tahun. ”Untuk lahan sawah dengan luas yang sama, tetapi lokasinya jauh dari jalan desa, pajaknya setahun Rp 18.000,” kata Sobari seraya menyatakan, banyak lahan beralih fungsi karena petani terdesak kebutuhan, antara lain biaya sekolah anak.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah Agus Eko Cahyono mendukung penghapusan pajak bagi lahan sawah yang produktif. Meski nilai pajak relatif murah, PBB merepotkan petani. ”PBB untuk lahan sawah irigasi atau sawah non-irigasi tidak sama,” ujarnya.

Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Ilfantria mengatakan, faktor utama alih fungsi lahan sawah karena petani belum sejahtera. ”Ini ditemui di sawah yang baru satu kali panen, seperti di kawasan rawa dan pasang surut,” katanya, di Palembang.

Dari 800.615 hektar lahan padi di Sumatera Selatan, 443.199 hektar baru ditanami sekali dalam setahun. Ia meyakini, jika sudah sejahtera, petani tak akan tergiur alih fungsi lahan. Selama ini, permasalahan utama petani Sumatera Selatan adalah minimnya modal dan infrastruktur pertanian. (HRS/WHO/IRE)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140916kompas/#/1/

Senin, 15 September 2014

Deputi Tim Transisi Usulkan Jokowi Bangun Bulog di Level Provinsi

Minggu, 14 September 2014

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi tim transisi mengusulkan agar presiden terpilih Joko Widodo membangun tempat penyimpanan beras atau Badan Urusan Logistik (Bulog) di level provinsi. Nantinya Bulog ini akan menjadikan stock buffer di setiap provinsi agar dapat terkontrol dengan baik.
"Kami usulkan di setiap provinsi ada bulog, fungsinya untuk menyimpan stok beras untuk kebutuhan masyarakat," kata Eko Putro Sandjojo, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK di Hotel Acacia, Jakarta, Minggu (15/09/2014).
Eko mengatakan bahwa persoalan beras karena tidak adanya koordinasi di tingkat provinsi. Dia juga mengatakan bahwa hal itu diharapkan dapat menjadi solusi terhadap kelangkaan beras yang kerap terjadi pada pemerintahan sebelumnya.
"Makanya kelangkaan beras ini menjadi salah satu perhatian jokowi karena kami akan lebih memerhatikan petani supaya bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri dan melakukan ekspor," katanya.

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/14/deputi-tim-transisi-usulkan-jokowi-bangun-bulog-di-level-provinsi

Sabtu, 13 September 2014

Bulog Malang Dukung Penaikan HPP Beras

Jumat, 12 September 2014

Bisnis.com, MALANG—Bulog daerah mendukung usulan penaikan harga pembelian pemerintah (HPP) beras agar penyerapannya bisa maksimal.

Kepala Subdivre Bulog Malang Langgeng Wisnu Adinugroho mengatakan dengan HPP beras sebesar Rp6.600/kg, maka sulit bagi badan tersebut untuk menyerap beras petani.

“Harga beras kualitas medium di pasar dalam beberapa tahun terakhir  tidak pernah di bawah HPP, bahkan saat ini mencapai Rp7.200/kg,” kata Langgeng di Malang, Jumat (12/9/2014).

Selain itu, penaikan HPP untuk meningkatkan kesejahteraan petani di tengah tren melemahnya harga komoditas lainnya, seperti tebu.

Namun, lanjut dia, perlu dicari strategi agar kenaikan HPP beras jangan sampai memicu inflasi yang tinggi sehingga memberatkan perekonomian masyarakat.

Meski beras yang dikonsumsi masyarakat kebanyakan berbeda dengan beras pengadaan Bulog, namun tetap saja kenaikan HPP beras dikhawatirkan berdampak pada kenaikan inflasi jika tidak dilakukan secara hati-hati.

Beras yang dikonsumsi masyarakat kebanyakan kualitas premium, sedangkan beras yang diserap Bulog kualitas medium standar nasional 3.

Melihat pola konsumsi masyarakat yang seperti itu, perlu pula difikirkan peningkatan kualitas beras yang diserap Bulog. Ada wacana seperti itu di kantor pusat.

Beras yang diserap tidak lagi kualitas medium SN3, melainkan bisa di atasnya. Beras medium kualitas SN3 dengan spesifikasi patahan 20% dan kadar air 14%.

“Bisa saja patahannya diturunkan menjadi 15%, begitu juga kadar air sehingga kualitasnya lebih bagus,” ujarnya.

Yang menjadi masalah, lanjut dia, jika kualitas  beras yang diserap Bulog menjadi lebih baik, maka dikhawatirkan beras petani yang digiling di perusahaan penggilingan jelek, tidak mampu memenuhi kriteria Bulog sehingga tidak dapat diserap.

Karena itulah, jika kualitas beras yang diserap Bulog ditingkatkan, maka harus pula dibarengi dengan revitalisasi penggilingan padi di daerah.

Dengan adanya revitalisasi penggilingan padi, maka tingkat patahan beras bisa ditekan serendah mungkin.

Terkait dengan penyerapan beras oleh Bulog Malang, kata dia, sampai saat ini sudah mencapai 43.400 ton dari target pengadaan 70.000 ton sampai akhir tahun.

Dengan penyerapan beras sebesar itu, maka sulit untuk memenuhi target pengadaan sebesar itu. Dia memprediksikan pengadaan sampai akhir 2014 hanya mencapai 50.000 ton.

Namun bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain, pencampaian penyerapan Bulog masih tergolong bagus. Posisi penyerapan mencapai 8 besar, padahal sebelumnya berada di paling bawah, nomor13.

Hal itu terjadi karena Bulog Malang langsung menyerap beras petani dengan melibatkan satuan tugas dan langsung bermitra dengan perusahaan penggilingan padi. “Sumbangan mereka cukup lumayan, yakni 22.000 ton,” ujarnya.

Sumber : JIBI
Editor : Wahyu Darmawan

http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140912/10/74452/bulog-malang-dukung-penaikan-hpp-beras

Jumat, 12 September 2014

Nilai Sebuah Swasembada

Jumat, 12 September 2014

DALAM komparasi antarsektor, selalu saja pertanian umumnya dan pangan khususnya, menghadapi kritik, tidak punya harapan untuk menghasilkan nilai tambah dan pertumbuhan. Tidak sedikit bahkan yang menyebut bahwa sektor ini sudah berada dalam kondisi kritis, the point of missing return, selalu merugi. Lebih jauh, tidak bisa diandalkan sebagai penyedia lapangan kerja. Akibatnya, usaha tani merugi dan pendapatan buruh terbatas.
Ketidakmampuan ekonomis untuk menghasilkan pertumbuhan adalah alasan utama sinisme terhadap sektor ini. Tentu saja  tanpa merujuk pada sejarah pembangunan ekonomi bangsa yang selama ini menempatkan pertanian sebagai tumbal pembangunan. Kritik dimaksud biasa dipakai sebagai pembenaran importasi. Importasi yang murah selalu dipilih sebagai modus pengadaan pangan dibandingkan memproduksi sendiri di dalam negeri yang mahal menurut mereka dengan tanpa pernah mempertanyakan mengapa impor murah.
Adalah sebuah kecelakaan kebangsaan ketika pemikiran sederhana tersebut menempatkan impor selalu menjadi solusi pragmatis krisis pangan. Tidak pernah disadari bahwa akibatnya kecanduan, impor ini bagai narkoba. Gampang solusinya, selalu impor. Dan pada gilirannya perut bangsa ini makin tergantung terhadap pangan impor.
Pemikiran tersebut hari ini memperoleh tantangan Jokowi-JK dalam prinsip Trisakti dan kemandirian pangan yang dibungkus dalam tekad swasembada. Tentu  untuk melepaskan diri dari semakin akutnya ketergantungan Bangsa RI. Sekaligus dengan mempertimbangkan nilai swasembada yang bukan main besar dalam segala aspeknya.
Secara finansial, besarnya nilai pasar pangan domestik menempatkan konflik kepentingan antara importasi dengan sejumlah rentenya pada satu sisi, dan kemandirian produksi dalam negeri diperjuangkan para nasionalis pada sisi lain. Market size untuk pangan memang luar biasa besar. Untuk lima pangan strategis saja, setiap tahunnya dibutuhkan 32 juta ton beras. Selain itu masih diperlukan  2,6 juta ton kedelai, 570 ribu ton daging sapi,  5,7 juta ton gula kristal dan 27 juta ton jagung.
Apabila jumlah kebutuhan ini dikalikan dengan harga pasar terendah berdasarkan harga referensi, harga dasar, atau Harga Pembelian Pemerintah (HPP), angkanya cukup fantastis. Untuk beras sebesar Rp 6600/kg, kedelai Rp 8.490/kg, daging sapi Rp 76.000/kg, gula kristal RP 8.500 kg, dan jagung sebesar Rp 2.700/kg, maka nilai konsumsi lima komoditas pangan mencapai Rp 397.84 Triliun. Angka sejumlah hampir Rp 400 Triliun tersebut dihitung berdasarkan harga minimum.
Kalau pergerakan harga terjadi sampai tingkat harga eceran tertinggi (HET), dengan ruang gerak sampai 25% misalnya, maka kisaran nilai komoditas ini akan mencapai Rp 500 Triliun. Suatu ukuran pasar dan kegiatan ekonomi bahan baku yang bukan main besarnya. Ketika diasumsikan bahwa aktivitas hilirisasi bisa menghasilkan nilai tambah sekitar 20%, maka nilai ekonomi pangan strategis ini saja bisa mencapai angka Rp 600 Triliun.
Besaran finansial nilai lima komoditas strategis ini mencapai lebih 30% APBN 2014 maupun APBN 2015. Sementara itu, multiplier effects dalam hal pertumbuhan dan ketenagakerjaan mulai dari hulu sampai hilir tentu sangat spektakuler. Itu baru lima pangan strategis, dan baru nilai finansial yang terkait dengan ukuran pasar. Belum mempertimbangkan komoditas pangan lainnya yang tidak terbatas dan belum melihat nilai kebangsaannya.
Pilihan produksi sendiri atau importasi sudah semestinya memperhitungkan potensi ekonomi dan nilai politik kebangsaan secara menyeluruh. Semua  berangkat dari pertanyaan mendasar: akankah nilai pasar sebesar itu dengan segala multipier effects terkait akan dipersembahkan bagi pelampiasan syahwat rente segelintir komprador dan antek Nekolim? Menurut peringatan Bung Karno atau akan dikelola bagi penguatan kedaulatan sebuah bangsa yang hebat.
Sebuah pilihan yang sungguh teramat sederhana. Manakala Kabinet Trisakti yang akan terbentuk serius berkhidmad kepada revolusi mental yang dijanjikan. (Prof Dr M Maksum Machfoedz,Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3331/nilai-sebuah-swasembada.kr

Kamis, 11 September 2014

Belum Tepat Naikkan Harga Eceran Pupuk Subsidi

Rabu, 10 September 2014

HARGA Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubisi saat ini dinilai masih relevan untuk beberapa waktu ke depan. Sehingga, desakan agar HET tersebut dinaikkan dinilai belum tepat untuk saat ini. “Saat ini timingnya mungkin tidak tepat,” kata Direktur Pupuk dan Pestisida Direktorat Prasarana da Sarana (PSP) Kementerian Pertanian, Muhrizal Sarwani kepada Jurnal Nasional saat dihubungi, Rabu, (10/9).

Apalagi, lanjut Muhrizal, para petani saat ini sedang menghadapi musim kering yang cukup panjang. Dimana dalam kondisi seperti itu tentu sangat sulit bagi petani untuk melakukan penanaman berbagai jenis tanaman sela untuk sekedar mendapat penghasilan tambahan. “Ini kan musim keringnya cukup lama, kasihan mereka,” lanjut Muhrizal.

Muhrizal juga menambahkan, waktu yang tepat jika HET pupuk subsidi harus dinaikkan, adalah ketika para petani sedang memegang uang dalam jumlah banyak. Sebab, dalam kondisi seperti itu kemampuan petani untuk membeli pupuk meski dalam harga lebih tinggi masih ada. “Tunggulah nanti saat mereka panen. Kalau kita paksakana menaikkan sekarang, keterlaluan kata orang,” tambah Muhrizal.

Apalagi, Muhrizal mengatakan serapan pupuk subsidi belakangan ini tidak mencapai 100 persen. Kondisi itu bisa dijadikan indikasi bahwa pupuk subsidi yang telah dialokasikan sebelumnya tidak terserap semuanya. “Serapan pupuk selama ini saja 9,5 hanya diserap 8,9, artinya kemapuan daya beli petani harus juga dipikirkan,” tegas Muhrizal.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, E HERMAN Khaeron. Menurut dia harus ada perencanaan yang matang untuk menaikkan HET pupuk subsidi itu. “Sebaiknya bertahap-lah. Jangan membebani masyarakat dalam hal ini para petani, dalam situasi yang beberapa variable lainya sedang mengalami kenaikan. Toh ketersediaan anggaran subsidi pupuk udah terpenuhi. Kalau mau dinaikkan HET-nya harus ada program akselerasinya, misalnya penyediaan sarana lain,” kata Herman kepada Jurnal Nasional.

Dalam kesempatan itu Herman juga mengatakan betapa beratnya beban hidup yang akan diderita petani jika HET dinaikkan saat ini. Sebab, untuk musim tanam mendatang saja petani harus mempersiapkan modal awal dalam jumlah yang tidak sedikit. “Kasihan-lah petani kita. Mereka yang selama ini memproduksi bahan kebutuhan pokok kita, kok malah masih dibebani dengan kenaikan HET pupuk subsidi,” ujar Herman.

Komentar berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ibnu Multazam. Menurut Multazam, sudah seharusnya HET pupuk subsidi mengalami peningkatan. Sebab, jika dibiarkan pada harga saat ini, dikhawatirkan pupuk subsidi tidak akan ditemukan petani dipasaran. “Tahun 2014 jumlah kuantum puouk subsidi hanya 7,5 juta ton. Kalau diasumsikan dlm satu tahun musim tanam ada 3, kan hanya cukup sampai agustus september. Subsidi itu sudah habis,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ibnu Multazam kepada Jurnal Nasional, Rabu, (10/9).

Multazam berpendapat bahwa, petani saat ini tidak terlalu mempersoalkan harga beli pupuk subsidi di pasaran. Yang terpenting bagi petani, kata Multazam, adalah aspek ketersediaan pada waktu tepat. “Petani itu maunya pupuk ada di pasaran pada waktu yang tepat. Jadi kalau pupuk itu adanya dua minggu setelah waktu yang seharusnya, malah tidak menguntungkan bagi petani,” tegas Multazam.

Dengan menaikkan HET pupuk subsidi, Multazam juga mengatakan perlunya pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah milik petani oleh Bulog. “Jadi Bulog-pun sudah saatnya menaikkan HPP gabah para petani. Dengan begitu kan petani juga yang akan merasakan manfaatnya,” ujar Multazam.  

Reporter : Heri Arland
Redaktur : Rihad Wiranto

http://m.jurnas.com/news/148845/Belum-Tepat-Naikkan--Harga-Eceran-Pupuk-Subsidi--2014/1/Ekonomi/Ekonomi/

Indonesia Lumbung Pangan

Rabu, 10 September 2014

Salah satu elemen fundamental pertahanan sebuah negara adalah sektor pangan (pertanian). Sebab, hal itu terkait erat dengan kebutuhan paling mendasar dalam kehidupan manusia. Tanpa kecukupan pangan, mustahil negara tersebut mampu mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, bahkan sebaliknya menuju jurang kehancuran. Sebagai negara agraris dengan potensi sumber pangan melimpah, sangat ironis jika Indonesia justru menjadi importir pangan. Hal ini akibat sektor pertanian belum mendapat perhatian memadai.

Jika mata rantai produksi pertanian dibenahi, bukan mustahil Indonesia berbalik menjadi lumbung pangan yang tidak saja mencukupi kebutuhan domestik, tetapi lumbung pangan bagi dunia. Persoalan pangan, harus menjadi agenda utama pemerintah baru mendatang. Sebab, fakta bahwa tantangan utama umat manusia di dunia di masa mendatang adalah sektor pangan.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di dunia, kebutuhan pangan tentu saja meningkat. Di sisi lain, penyediaan pangan oleh negara-negara produsen relatif tetap. Teori Thomas Robert Malthus kini menjadi kenyataan, bahwa pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur telah melampaui kemampuan atau pertumbuhan produksi pangan yang mengikuti deret hitung.

Jika bangsa-bangsa di dunia gagal mengelola produksi pangan secara baik, bukan mustahil di masa mendatang akan terjadi peperangan memperebutkan sumber daya pangan. Dalam konteks inilah, Indonesia harus bersiap diri menghadapi tantangan global tersebut.

Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi lumbung pangan, diperlukan kerja serius pemerintah. Beberapa agenda yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah, pertama, menjamin ketersediaan lahan pertanian untuk menopang produksi pangan. Terkait hal itu, agenda reformasi agraria mutlak direalisasikan. Sebab, saat ini terjadi persoalan struktural di sektor pertanian. Salah satu indikatornya, 60% petani di Indonesia adalah petani gurem, dengan luas lahan hanya 0,3 ha. Idealnya, kepemilikan lahan minimal 2 ha per petani. Dengan demikian, produksi pertanian akan signifikan untuk menopang kesejahteraan petani dan memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Semakin menyempitnya luas lahan pertanian, berdampak serius terhadap jumlah petani. Sensus pertanian 2013 menyebutkan, terjadi penurunan rumah tangga petani, dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003, menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Artinya dalam satu dekade Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Mayoritas dari mereka beralih profesi ke sektor perdagangan dan perindustrian, karena usaha pertanian tidak memberi output yang maksimal dengan luas lahan yang sangat kecil.

Jumlah rumah tangga petani tersebut, jika dibandingkan dengan luas lahan pertanian yang ada, sangat jauh dari ideal. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 13,5 juta ha luas panen gabah. Sehingga wajar jika tiap rumah tangga petani hanya menggarap lahan rata-rata 0,3 ha. Bandingkan dengan Thailand yang memiliki luas lahan panen gabah 9 juta ha, sehingga setiap petani memiliki rata-rata 3 ha lahan pertanian.

Dalam beberapa dekade terakhir, luas lahan pertanian di Indonesia terus menyusut. Diperkirakan, laju degradasi lahan pertanian mencapai 113.000 ha per tahun. Hal itu akibat akselerasi pembangunan sektor lain, terutama sektor industri dan permukiman.

Kedua, pembenahan mata rantai produksi pertanian, mulai prapanen hingga pascapanen. Terkait hal ini, penggunaan bibit padi varietas unggul dan pemanfaatan teknologi pertanian harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Bibit varietas unggul harus digunakan antara lain untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim yang melanda dunia, yang telah mempengaruhi musim tanam dan curah hujan di sentra-sentra pertanian.

Di samping itu, sudah saatnya memberikan sentuhan teknologi pada kegiatan prapanen dan pascapanen. Dengan teknologi diperkirakan bisa meningkatkan produksi beras 30%. Penggunaan mesin penggilingan padi modern, misalnya, memberikan efisiensi tinggi dan menghasilkan beras dengan tingkat kepecahan hanya 5%. Kemampuan mesin giling modern ini nyaris menghasilkan beras dengan zero waste.

Penerapan teknologi pertanian, bisa menaikkan produktivitas padi dari 5,1 ton ke 5,2 ton per ha. Kenaikan itu sudah cukup besar karena secara agregat akan mendongkrak tambahan produksi beras nasional 1,4 juta ton. Langkah ini tentu akan mendorong surplus beras yang tahun ini diperkirakan mencapai 5 juta ton, dari keseluruhan produksi gabah 69,8 juta ton atau setara 40 juta ton beras.

Namun disadari, penggunaan mesin penggilingan modern sangat mahal, sehingga tidak mungkin terjangkau oleh petani. Untuk itu, keterlibatan swasta, di antaranya PT Lumbung Padi Indonesia, sangat diharapkan memberi kontribusi terhadap produktivitas beras dan pangan nasional. Untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan, tentu tak cukup hanya di sektor pertanian, khususnya beras. Secara simultan, pemerintah juga perlu membenahi pengelolaan dan produktivitas perkebunan dan perikanan. Dengan demikian, kedaulatan pangan benar-benar terwujud. ***

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/indonesia-lumbung-pangan/64398

Bos Bulog: Sistem Pasar Bebas Terbukti Gagal, Harus Ada Intervensi

Rabu, 10 September 2014

Jakarta -Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso memiliki pemandangan terkait kondisi pangan nasional. Untuk menjaga agar harga dan pasokan pangan tetap aman maka negara sudah sewajarnya punya badan sebagai stabilisator harga dengan melakukan intervensi.

Tugas penjaga ini bisa untuk memastikan harga dijual di tingkat konsumen tidak tinggi sehingga merugikan konsumen atau harga jual tidak terlau rendah sehingga merugikan produsen atau petani.

"Pemerintah harus punya alat. Bulog alat pemerintah untuk stabilisator jaga harga di level produsen dan konsumen," kata Sutarto saat peluncuran diskusi dan bedah buku BUMN dan Kesejahteraan Rakyat di Djakarta Theatre, Jakarta, Rabu (10/9/2014).

Untuk stabilisator harga pangan, BUMN harus masuk mulai dari sektor produksi, distribusi, tata niaga hingga penciptaan nilai tambah. Lini tersebut harus dipegang agar harga pangan bisa dijaga.

"Kita harus masuk ke sana. Kita nggak setuju ada pasar bebas yang terbukti gagal. Harus ada intervensi," jelasnya.

Sutarto menilai selama ini tugas BUMN sebagai stabilisator pangan sudah berjalan dengan baik. Hal ini dinilai dari ketersediaan, keterjangkuan hingga stabilitas harga. Meski ada sedikit gejolak harga namun itu bisa terselesaikan.

"Itulah ketahanan. Kita bukan hanya ketahanan tapi kita daulat dan mandiri," jelasnya.

(feb/hen)

http://finance.detik.com/read/2014/09/10/215236/2686989/4/bos-bulog-sistem-pasar-bebas-terbukti-gagal-harus-ada-intervensi?f9911023

Rabu, 10 September 2014

Kedaulatan Pangan dan Jargon Politik (2-Habis)

Selasa, 9 September 2014

Kebijakan agraria memang tidak melulu dibebankan kepada BPN. Lagi-lagi, koordinasi menjadi bagian penting dan menuntut ketegasan pimpinan nasional.

Apakah pembangunan berhasil atau setidaknya kedaulatan bangsa atas pangan menunjukkan kemajuan? Harus diakui bahwa kegagalannya lebih banyak ketimbang prestasi. Sebaliknya, kesenjangan dalam dunia pertanian serta jurang si miskin dan si kaya terus melebar. Arya Hadi Darmawan sebagai salah satu dosen IPB yang banyak terjun ke daerah akhirnya membuat surat terbuka pada Januari 2012 lalu mempertanyakan gebyar pembangunan dan kesenjangan yang terus meningkat.

“Sekiranya Anda dulu saat belajar di IPB sempat memelajari ilmu-ilmu sosiologi pedesaan, maka Anda akan segera paham bahwa akar persoalan itu sesungguhnya bukan kekerasan biasa. Gejolak ini berakar kuat pada krisis perdesaan di pelosok-pelosok negeri yang bertali-temali dengan krisis penguasaan sumber-sumber penghidupan (tanah, air, hutan, dsb). Sayangnya, waktu terlalu cepat dan Anda tidak sempat berkenalan dengan sosiologi perdesaan,” demikian penggalan surat terbuka tersebut.

Tanggung jawab SBY dan pemerintahannya dalam pembangunan pertanian sepertinya harus terus disempurnakan agar Indonesia tak semakin terpuruk. Bisa dimaklumi jika SBY malah lebih banyak menyerahkan kembali persoalan pangan tersebut.
Pada Desember 2013, ketika hadir dalam dies natalis ke-50 IPB, sembari mengenang kembali masa-masa kuliahnya satu dekade silam, SBY meminta IPB untuk memainkan tiga peran besar. Salah satunya, kembali meminta IPB untuk berkontribusi secara aktif bagi pencapaian ketahanan dan kemandirian pangan di Tanah Air.

Perjalanan satu dekade bersama IPB tersebut menyiratkan betapa pemerintahan SBY seharusnya bisa mengegolkan sejumlah agenda pertanian. Kemauan dan komitmen politik sudah ada, mungkin pada tahap implementasi ketegasan pemerintahan masih menjadi sebuah tanda tanya. Di sisi lain, tekanan pasar internasional dan tingkat ketergantungan Indonesia pun semakin membesar. Tanpa menegasikan peran dunia kampus lain atau para akademisi yang mungkin lebih brilian dari yang ada di IPB, harapan yang besar terhadap IPB tersebut butuh eksekusi pada tingkat operasional dan perlu orang yang tepat.

Kini, harapan yang begitu besar kembali disematkan kepada Jokowi-JK sebagaimana SBY ketika 2004 lalu. Visi hingga program (jangka pendek, menengah, dan panjang) sudah digagas untuk mencapai kedaulatan pangan dan mencapai kesejahteraan masyarakat, khususnya di pedesaan.

Dwi Andreas Santosa, pakar pertanian dan bioteknologi dari IPB yang juga salah satu tim inti dalam penyusunan konsep pertanian Jokowi-JK, menegaskan tidak mudah untuk mewujudkan berbagai program terkait pangan: mulai dari kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani, peningkatan produksi dan produktivitas, reformasi agraria untuk petani kecil, infrastruktur irigasi dan transportasi, pengembangan sumber daya manusia petani, hingga informasi dan pasar pertanian.

"Konsep kedaulatan pangan sebagai bagian dari program Jokowi-JK sudah merupakan kemajuan yang sangat berarti,” kata Dwi yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) di Bogor, pekan lalu.

Kini, kata jebolan Universitas Gadjah Mada ini, perlu orang yang tepat agar mampu mengoperasionalkan berbagai gagasan kedaulatan pangan tersebut. Jangan sampai gagasan yang bagus justru dipahami secara parsial, sehingga mengulang kembali perjalanan satu dekade pertanian Indonesia.

Mudah-mudahan, presiden terpilih Jokowi bisa menjadi pemimpin yang tegas dan konsisten dalam melaksanakan konsep dan programnya. Setidaknya dalam dua pekan terakhir, komitmen itu sudah digariskan Jokowi ketika berbicara dalam forum organisasi relawan Seknas Tani Jokowi di Jakarta dan ketika berbicara dalam Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Surabaya, Jawa Timur.

Kemauan dan komitmen politik harus diperkuat dengan dukungan politik yang besar. Partai politik yang tidak menyandera presiden dan relawan yang tetap konsisten tetap mengawal berbagai gagasan dalam pembangunan pertanian mendatang.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/208570-kedaulatan-pangan-dan-jargon-politik-2habis.html

Kedaulatan Pangan dan Jargon Politik (1)

Selasa, 9 September 2014

Gaung kedaulatan pangan begitu menggema semasa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) beberapa bulan lalu. Baik Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sebentar lagi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI, maupun Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, menempatkan kedaulatan pangan sebagai sesuatu yang penting. Entah itu kemudian hanya sebagai isu politis atau sekadar jargon, setidaknya ada komitmen dan turunan program pertanian (dalam arti luas sebagai pangan meliputi pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan) yang patut diacungi jempol. Sebagai isu politis, mempertanyakan kesejahteraan petani atau impor pangan, pasti disambut antusiasme yang tinggi. Apakah bisa terlaksana? Masih menjadi pertanyaan besar.

Perdebatan konsep dan apa saja langkah prioritas yang harus dilakukan dalam pembangunan pertanian sudah berakhir. Kini saatnya membumikan visi dan misi pembangunan pertanian sebagai program yang realistis dalam segala keterbatasan. Tentu bukan dukungan politik sebagaimana dalam perolehan suara pilpres, namun dukungan berupa kebijakan pemerintah, anggaran, institusi, dan komitmen dari para elite yang terpilih.

Pada titik ini, sikap pesimistis pun mulai muncul usai euforia terbentuknya pemerintahan baru. Contoh paling aktual adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan saja isu pertanian (pangan) yang kemudian menjadi daya dongkrak ketika hendak mencalonkan diri jadi presiden pada 2004, tetapi juga langkah menyelesaikan studi doktoral di Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat harapan begitu besar atas kemandirian pertanian. Dramatisasi kelulusannya dan solusi persoalan pertanian di Indonesia seakan menempatkan SBY sebagai sosok yang bisa menjadi solusi kerumitan pertanian Indonesia. Disertasi berjudul Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik, Kebijakan Fiskal telah menghipnotis banyak orang di republik ini.

Banyak konsep dan program yang dicanangkan SBY dengan dukungan beberapa dosen IPB yang mengajarnya beserta para elite yang melingkarinya. Mulai dari program Revitalisasi Pertanian tahun 2004 hingga terakhir Rencana Aksi Buktitinggi pada November 2013 lalu, ternyata tidak memberikan kemajuan berarti. Bahkan, sejumlah target Rencana Aksi Bukittinggi bidang pangan kemudian direvisi lagi pada awal 2014 lalu.

"Sudah direvisi, target padi awalnya 76 juta ton menjadi 73 juta ton, kedelai dari yang awalnya 1,5 juta ton menjadi 1,3 juta ton," kata Menteri Pertanian Suswono akhir Maret lalu.

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pembangunan Pertanian 2010-2014, uraian rencana dan pencapaian pembangunan pertanian biasanya terkesan tidak terlalu parah. Demikian juga implementasi melalui rencana strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014, diulas beberapa hal yang terkesan jauh dari fakta-fakta yang ada. Revisi yang lumrah sebagaimana dilakukan pada berbagai program swasembada pangan.

Surplus 10 juta ton beras yang diandalkannya melalui Kementerian Pertanian tidak lebih dari sekadar jargon. Swasembada daging sapi dengan sistem kuota impor justru hanya memperpanjang rente ekonomi dan lahan korupsi segelintir elite atas nama partai politik tertentu. Belum lagi beberapa program atau komoditas lainnya. Itu belum termasuk salah kaprah sejumlah staf khusus SBY yang menerjemahkan pertanian sebagai sesuatu yang sederhana dan seakan-akan bisa diselesaikan dengan membalik telapak tangan. Hasilnya malah blunder yang tidak menyelesaikan persoalan, tetapi menjadi bahan tertawaan karena lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal, dana yang digelontorkan untuk berbagai program swasembada tersebut harus dipertanggungawabkan.

Tidak hanya itu, dalam periode kedua pemerintahannya, sejumlah posisi pendukung pertanian kembali dipegang orang-orang kepercayaannya. Mungkin itu agar berbagai program bisa dieksekusi dengan baik. Sebut saja, Joyo Winoto yang menjadi salah satu think thank pertanian SBY dan getol dengan reformasi agraria jauh sebelum itu, sepertinya tak bisa berbuat apa-apa justru pada saat didaulat menjadi kepala Badan Pertanahan Negara (BPN). Malah, pimpinan Brighten Institute yang berbasis di Bogor ini diduga ikut dalam mafia perizinan tanah, seperti kasus Hambalang yang menyeret sejumlah petinggi Partai Demokrat.

Reformasi agraria yang didengungkan Joko Winoto melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang lebih dikenal dengan program reformasi agraria pun dalam kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat propasar, sehingga segera dievaluasi agar efektif mencapai keadilan dan pengurangan kemiskinan. Memang semangat PPAN merupakan strategi mengurangi ketimpangan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dan mengentaskan kemiskinan. Di samping itu, juga berkontribusi menciptakan lapangan kerja dan menciptakan ketahanan pangan terutama di perdesaan.

Kepala Peneliti Kajian Agraria LIPI Lilis Mulyani di Jakarta, pada awal Januari lalu, menyatakan PPAN merupakan program yang baik di tingkat kebijakan, namun terdapat hambatan pada pelaksanaannya, sehingga ketimpangan penguasaan lahan semakin tak terkendali. Pada saat yang sama jumlah dan luasan perkebunan besar justru semakin meningkat, demikian juga pemilikan lahan perorangan baik dalam rangka investasi atau spekulasi.

Menurutnya, menjalankan reformasi agraria dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak mudah. Kebijakan pembangunan ekonomi yang ada telah secara eksplisit memberi porsi dominan pada pasar, perkebunan besar, pembangunan infrastruktur besar-besaran, atau bentuk pembangunan ekonomi yang "rakus lahan".


Bulog Tarakan Tindak Tegas Oknum Masyarakat Menjual Kembali Raskin

Selasa, 9 September 2014

MBNews, Tarakan - Sesuai surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Kantor Badan Urusan Logistik (Bulog) Tarakan terus meningkatkan penyaluran raskin di beberapa wilayah kerja khususnya di area Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Kepala Seksi Pelayanan Publik kantor Bulog Tarakan, Maradona Singal saat di konfirmasi MBNews, Senin (8/9/2014) mengatakan, penyaluran untuk Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Tana Tidung sudah mencapai 100%, sedangkan untuk nunukan masih 91%. Dijelaskan untuk jumlah raskin di Kota Tarakan yang disalurkan sebanyak 1188 Ton, Untuk kabupaten bulungan 698 Ton, kemudian Kabupaten Tana tidung 175 Ton dan nunukan 1764 Ton. "Penyaluran ini kami Targetkan selesai pada bulan Oktober 2014, kemudian untuk kuota raskin yang di salurkan masih sama dengan tahun 2013 lalu." Jelas Maradona. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa raskin yang telah disalurkan merupakan hak rakyat miskin, oleh sebab itu sesuai aturan pemerintah yang mengatur tentang bulog bahwa raskin yang di salurkan dilarang untuk diperjualbelikan, namun dipantau masih ada beberapa oknum yang menjual kembali raskin tersebut. "Jika kami mendapatkan oknum-oknum yang memperjual belikan raskin maka akan kami tindak dan diberikan sanksi tegas." tegasnya.(CTR/HFA)

http://www.merahbirunews.com/bulog-tarakan-tindak-tegas-oknum-masyarakat-menjual-kembali-raskin-2206.html