Jumat, 28 Februari 2014

Utang Gagal Turunkan Jumlah Orang Miskin

Jumat, 28 Februari 2014

Pengelolaan Anggaran I Pembiaran Kasus BLBI Berpotensi Picu Gejolak Sosial

JAKARTA – Indonesia mesti siap-siap menderita sakit akibat kebergantungan yang tinggi pada utang, mencapai 2.465 triliun rupiah per Januari 2014, atau naik sekitar 300 triliun rupiah dalam setahun. Ironisnya, utang yang terus membengkak tersebut gagal menyejahterakan rakyat banyak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah penduduk miskin meningkat dari 28,07 juta pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013, atau naik 480 ribu orang. Secara persentase, angka kemiskinan meningkat dari 11,37 persen menjadi 11,47 persen. Itu berarti, target penurunan kemiskinan menjadi 9,5–10,5 persen pada 2013 meleset jauh, bahkan intensitas kesengsaraan orang miskin makin hebat.

Oleh karena itu, pemerintah diminta segera menghentikan kecanduan utang yang justru akan semakin membebani dan memiskinkan bangsa Indonesia. Negara mesti fokus memperkuat fondasi ekonomi dari sumber pendanaan dalam negeri ketimbang terus mengandalkan era utang murah yang kini mulai berakhir.

Mengenai kecerobohan pemanfaatan utang, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Suharto, menyayangkan pemerintah yang hanya terlena dengan utang, namun mengabaikan tugas pokoknya memperbaiki fundamental ekonomi agar bisa bersaing dengan negara-negara lain. Penambahan utang juga dinilai tidak meningkatkan infrastruktur dasar, terutama di luar Jawa. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak merata sehingga berpotensi terjadi kecemburuan sosial.

“Utang telah membuat pemerintah kecanduan dan menyebabkan manajemen pemerintahan kendor, bahkan mismanajemen. Utang juga menyebabkan pemerintah sakit seperti pencandu narkoba (sakau) sehingga tidak pernah sadar bahaya utang,” kata Suharto saat dihubungi, Kamis (27/2).

Sebelumnya, kelompok negara maju mengisyaratkan agar negara berkembang, termasuk Indonesia, menyelesaikan pekerjaan rumah lebih dahulu, yakni memperkuat fondasi ekonomi, ketimbang menyalahkan negara lain atas berakhirnya era utang murah.

Pernyataan sikap negara maju seperti Jerman, Inggris, dan Prancis itu juga dinilai sebagai isyarat bahwa mereka yang selama ini menjadi kreditor kurang puas dengan hasil pemanfaatan bantuan dana mereka ke negara berkembang.
Suharto mengingatkan jika pemerintah terus mempertahankan rezim anggaran defisit yang ditutup dengan utang, kesalahan penggunaan utang makin sulit dikoreksi karena terlena seolah-olah masih memiliki uang.

Akibatnya, lanjut dia, yang menjadi korban adalah rakyat Indonesia karena kemiskinan bakal bertambah akibat melesatnya inflasi yang dipicu kenaikan belanja impor karena depresiasi rupiah.

Sementara itu, lanjut Suharto, kegagagalan memperkuat fundamental ekonomi dan meningkatkan daya saing global akan membuat pengangguran bertambah pesat, yang pada gilirannya akan membuat kemiskinan absolut dan persentase kemiskinan nasional bertambah.

Terancam Bangkrut
Sebelumnya dikabarkan, pemerintah diminta segera menghentikan kebergantungan pada utang meski dalam jangka pendek dampak kecanduan utang selama ini akan terasa “menyakitkan” perekonomian. Pada tahap awal, pemerintah mesti menghentikan utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekaligus melaksanakan hak tagih atas obligor yang belum melunasi kewajiban.

Seperti diketahui, utang negara yang kini mencapai 2.465 triliun rupiah, yang mayoritas bersumber dari utang BLBI, terbukti malah memiskinkan bangsa dan hanya memperkaya obligor pengemplang BLBI.

Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur dan tegas melaksanakan komitmen penghentian utang. Dan, selanjutnya konsisten membangun kemandirian pangan, energi terbarukan, dan industri dasar guna memperkokoh fundamental ekonomi nasional.

Sementara itu, pengamat hukum dan dosen ilmu kepolisian, Bambang Widodo Umar, mengatakan bila negara terus membayar kewajiban utang obligasi rekap, bukannya tidak mungkin kas negara terkuras dan akhirnya bangkrut. “Dalam keadaan seperti itu, tiap gesekan dalam masyarakat berpotensi memicu konflik sosial. Bukan tidak mungkin gejolak sosial seperti 1998 akan terulang,” ujar Bambang.

Untuk itu, lanjut dia, perlu ada pembenahan dan penyelesaian masalah BLBI, bukan hanya melalui sistem hukum dan perbankan, tetapi juga pembenahan sistem politik. “Pembenahan harus dilakukan secara terintegrasi, baik melalui jalur hukum, politik, maupun perbankan,” tukas Bambang.

Pasalnya, menurut dia, kasus BLBI ini sangat kental nuansa politiknya. Ia pun menilai skandal perbankan itu tergolong kejahatan kemanusiaan. Dalam kasus ini, pelaku menggunakan kelemahan dan kesempatan yang ada di sisi ekonomi, politik, dan hukum untuk merampok uang negara dalam jumlah besar. YK/eko/WP

http://www.koran-jakarta.com/?6861-utang-gagal-turunkan-jumlah-orang-miskin

Parpol untuk siapa?

Jumat, 28 Februari 2014

PARTAI politik atau parpol adalah prasyarat bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Karenanya, secara normatifteoretis kita tidak boleh anti dan alergi terhadap parpol.

Ini karena pada dasarnya, dan pada mulanya, parpol didirikan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih putra-putri bangsa terbaik untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat serta memilih presiden dan wakil presiden.

Jadi, betapa vital dan berkuasanya parpol bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan demokrasi yang sehat serta membangun parpol yang berkualitas tidaklah mudah.

Demokrasi dan parpol itu indah dibicarakan di ruang kuliah. Namun, yang kadang terjadi bukannya parpol memberikan kontribusi terbaik pada negara dari sisi program dan kader-kadernya, melainkan beberapa oknum dan elite parpol telah menjadi benalu, bahkan membajak kedaulatan dan kepentingan negara yang kemudian terbelokkan untuk melayani kepentingan dan selera dirinya. Kalau ditanya dan ditelusuri apa dan siapa yang ada dalam ”perut” parpol, jawabannya tidak selalu meyakinkan.

Benarkah parpol-parpol yang ada itu tempat berhimpunnya para pejuang kebangsaan dan pelayan rakyat yang merupakan putra-putri terbaik bangsa? Benarkah cita-cita dan kiprah parpol itu melebur ke dalam spirit dan citacita kemerdekaan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat?

Saya khawatir semangat dan kultur yang tumbuh dalam parpol disusupi oleh kepentingan kelompok, keluarga dan jejaring bisnis yang hanya ingin mendapatkan perlindungan dan fasilitas negara dengan label demokrasi.

Ada juga indikasi mereka yang aktif di parpol dan berjuang untuk lolos di kursi DPR lebih didorong untuk mencari pekerjaan baru dengan penghasilan lebih besar serta bergengsi ketimbang yang sudah dijalani selama ini. Maaf, tentu saja tidak semua seperti itu. Kita tidak boleh melakukan generalisasi.

Tetapi melihat pengalaman yang sudah-sudah dan mencermati daftar calon legislatif yang ada, terdapat beberapa nama yang sungguh kurang layak memerankan posisi wakil rakyat, sementara kondisi bangsa dan rakyat memerlukan perbaikan dan terobosan segera secara cerdas, konseptual, dan strategis.

Kita ingin mengakhiri keluh-kesah akibat pemerintahan yang tidak efektif namun menelan ongkos sosial dan materi yang amat mahal dengan menampilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan kredibel dan pemerintahan yang baru nanti.

Yang muncul ke permukaan, seakan negara ini dikuasai jejaring parpol, sementara kepercayaan rakyat pada parpol kian turun. Wajah dan retorika parpol muncul di mana-mana, memenuhi ruang publik. Namun, benarkah rakyat merasa terwakili oleh tokoh-tokoh dan sepak terjang parpol selama ini?

Kalau tidak, parpol yang tengah jungkir balik merayu dukungan dan simpati rakyat itu sesungguhnya untuk apa dan siapa? Yang perlu dipertimbangkan, banyak orang pintar, baik, dan sudah berkeringat melayani rakyat, tetapi tidak disenangi parpol, karena semata mereka itu bukan aktivis parpol dan ide serta kiprahnya dianggap tidak sejalan dengan elite-elite parpol. Ada juga bupati atau wali kota yang prorakyat namun menolak pesanan parpol, lalu kinerja mereka malah diganggu dan diganjal.

Di sinilah kita dihadapkan pada dilema antara parpol sebagai sebuah keharusan dalam berdemokrasi, di sisi lain kualitas parpol dan praktik berdemokrasi masih sebatas formalisme-prosedural, jauh dari substansi dan fungsi yang sama-sama kita dambakan. Sedemikian runyam dan busukkah kondisi parpol? Amati saja berbagai hasil survei dan pemberitaan kehidupan parpol yang hampir setiap hari kita baca beritanya. Bahkan kita juga bergaul langsung dengan mereka.

Yang pasti, demokrasi, pilkada, dan pemilu tidak mungkin tanpa parpol. Namun banyak pilkada yang hasilnya mengecewakan. Jika program, kualitas kader, dan pengurus sebuah parpol tidak paham, tidak setia dan tidak mau lebur ke dalam spirit dan agenda bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, rasanya parpol seperti itu lebih baik bubar saja. Secara moral mereka itu tidak sah untuk hidup. Mereka hanya akan jadi benalu demokrasi. Mereka hanya sibuk dan heboh memperjuangkan dirinya, pengurusnya, dan keluarganya.

Triliunan uang negara dibelanjakan untuk biaya politik, namun tidak seimbang hasil yang diraihnya. Panggung bangsa dan negara silakan diperebutkan oleh para politisi untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan. Tetapi program dan target yang telah dijanjikan pada rakyat mestilah dipenuhi. Jangan malah saling jegal dan sandera di antara sesama parpol yang berakibat merugikan rakyat banyak. Enough is enough.

Mari Pemilu 2014 ini kita jadikan momentum dan garis demarkasi untuk berpikir lebih rasional dan bekerja keras dengan menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan parpol. Ajaklah putra-putri bangsa terbaik yang sudah teruji dan punya prestasi diajak bersama-sama memperbaiki kehidupan bernegara yang kedodoran ini, sekalipun mereka itu berada di luar jejaring parpol.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

Kamis, 27 Februari 2014

KPK Diminta Memeriksa Skema Ekspor Impor di Kementerian Perdagangan

Rabu, 26 Februari 2014

 JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi diminta memeriksa skema kuota ekspor impor di Kementerian Perdagangan. Ada dugaan sejumlah praktik penyimpangan yang dapat merugikan negara.

"Kami minta KPK untuk segera memeriksa proses pembagian kuota ekspor impor perdagangan yang dijalankan Kementerian Perdagangan," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo, lewat keterangan tertulis, yang diterima di Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Pemeriksaan ini penting, menurut Firman, karena praktik penyimpangan kuota yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan negara diduga masih terjadi. Beberapa kasus impor ilegal yang terkuak, kata dia, sudah cukup menjadi alasan bagi KPK mengusut dugaan penyimpangan dalam pembagian kuota tersebut.

Firman menyebutkan beberapa kasus ekspor dan impor yang, menurut dia, dapat menjadi alasan KPK melakukan penyelidikan mendalam atas penentuan kuota tersebut. Selain kasus impor daging sapi, sebut dia, ada pula kasus gula rafinasi impor yang seharusnya untuk keperluan industri, tetapi ternyata masuk ke pasar dan dijual untuk rumah tangga.

Lalu, lanjut Firman, kasus impor ilegal garam yang ditemukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada 2013, ada temuan impor garam sebanyak 225.000 ton. Firman menyebutkan pula kasus penyelewengan pupuk bersubsidi yang justru diekspor dengan harga non-subsidi.

"Kami menduga, hasil praktik penyelewengan dan ilegal itu juga diberikan kepada pejabat negara. Dan itu jelas merupakan gratifikasi, yang harus segera diselidiki KPK," kata Firman. Dia berpendapat, KPK perlu segera memeriksa pejabat pemilik kewenangan terkait skema ekspor dan impor itu untuk menentukan siapa yang harus diminta bertanggung jawab.

Penyelidikan oleh KPK, kata Firman, diharapkan akan turut menciptakan stabilitas ekonomi sekaligus melindungi petani Indonesia. "Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai target swasembada pangan sesuai target yang direncanakan," kata dia.

http://nasional.kompas.com/read/2014/02/26/2352124/KPK.Diminta.Memeriksa.Skema.Ekspor.Impor.di.Kementerian.Perdagangan

Bulog Yogyakarta Gelar Operasi Pasar

Rabu, 26 Februari 2014

Teraspos – Badan Urusan Logistik Divisi Regional Daerah Istimewa Yogyakarta akan melakukan operasi pasar secara berkala di berbagai pasar untuk menyeimbangkan stok beras di pasaran.
Kepala Badan Urusan Logistik Divisi Regional Daerah Istimewa Yogyakarta Awaludin Iqbal mengatakan operasi pasar murni digelar berkoorinasi dengan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah setempat.
"Memang bukan operasi pasar dalam bentuk besar tapi operasi pasar untuk menyeimbangkan stok di pasaran," kata dia.
Saat ini memang belum terdapat kenaikan beras secara signifikan, namun, menurut dia, potensi kenaikan tetap harus diiantisipasi melalui OP.
OP juga dilakukan berdasarkan adanya permintaan dari pasar. "Sesuai prinsip ekonomi, apabila penawaran atau persediaan dan permintaan bisa seimbang maka harga akan tetap terjaga stabil."
Kenaikan harga beras secara signifikan, kata dia, baru akan terjadi pada akhir tahun, bulan November-Desember seiring musim panen. Dengan tinggi kenaikan pada bulan itu maka OP akan diintensifkan. "Nanti pada Maret bisa saja tidak ada operasi pasar sama sekali, karena sudah banyak petani yang panen."
Saat ini stok beras di gudang Bulog masih tersedia 32.000 ton sehingga masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hingga Juli.
"Cadangan beras kita masih aman sampai nanti bulan Juli, dan tetap tidak perlu dilakukan import sesuai kebijakan pusat."
Serapan beras Bulog DIY ditargetkan mampu mencapai 65.000 ton selama 2014. Untuk Januari-Februari serapan telah mencapai 1.000 ton.(ant)

Rabu, 26 Februari 2014

Beras Impor dan Kegagalan Revitalisasi Pertanian

Rabu, 26 Februari 2014

TERUNGKAPNYA praktik mafia pangan yang mengimpor beras secara ilegal mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.

Implikasinya kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bak sebuah mimpidisiangbolong. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan masuknya beras impor asal Vietnam.

Pemerintah selama ini selalu ”bernyanyi” tentang keberhasilan program pembangunan pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan, produksi gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.

Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya kuat di atas kertas namun lemah diimplementasikan. Sudah 10 tahun pemerintahan SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan dengan maksud supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor. Kenyataannya lain, revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin meminggirkan petani.

Harga Murah

Sektor pertanian selama ini selalu diposisikan untuk menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota.

Sementara itu, keseriusan pemerintah untuk membangun pertanian pangan yang berdaya saing tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian melemah. Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun 2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian menjauh. Indonesia yang kini berada di ambang pintu krisis pangan membuat kita prihatin dan hati miris. Sementara itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya.

Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh tergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangannya, dalam arti luas, dan terjadi surplus produksi. Kelebihan panganinimemungkinkanmereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus lagi.

Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat sebesar 2,62% dibanding tahun produksi 2012. Peningkatan produksi yang signifikan ini seakan abai terhadap sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi lahan yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare.

Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, bagaimana mungkin mengharapkan peningkatan produksi padi yang signifikan. Upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi daerah menetaskan pencapaian kedaulatan pangan semakin kehilangan arah. Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius bagi pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014 semakin jauh dari harapan.

Objek Pembangunan

Secara gradual, produksi beras Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang meningkat, walau tidak mampu menutup kran impor. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250 juta jiwa mengindikasikan pertumbuhan penduduk sudah beradu cepat dengan produksi pangan yang secara alamiah bergerak melambat. Konsekuensi logisnya keran impor beras akan selalu dibuka. Implikasinya, petani semakin susah karena kebijakan politik impor itu memicu pemiskinan petani dan mengganggu mekanisme pasar.

Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan, mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus rugi setiap siklus tanam. Harga produk pangan domestik dipaksa turun sebab kalah bersaing dengan produk impor.

Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang semakin merajalela. Jika angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya 70,87 juta ton, kebutuhan konsumsi 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan, Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. Lantas, mengapa di tahun 2013 pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani kita.

Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Sudah bukan rahasia lagi urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) di tahun politik ini. Indonesia sudah lama masuk dalam perangkap pangan impor, karena perilaku semacam ini.

Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya, menjadikan ”tradisi impor” itu seakan legal sebagai pilihan yang tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Jika impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnan proses produksi perberasan dalam negeri. Patut disadari karakteristik pasar beras global sangat tipis.

Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar, keempat terbesar setelah China, India, dan AS, dan sekitar 60 persen dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi kemiskinan.

Dengan mengatur tata niaga beras sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya. Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas di bidang apakah sektor pertanian yang sedang dan telah direvitalisasi yang mampu mengatrol kesejahteraan petani.

Dari pengalaman negara maju yang menyubsidi pertaniannya secara besar-besaran, bisa ditarik pelajaran bahwa pertanian monokultur berbasis padi (beras) tidak pernah akan memakmurkan petani.

Sudah saatnya mengakhiri politik beras murah dengan mendorong pembangunan pertanian yang berkelanjutan seraya memperluas diversifikasi produk pangan olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai beras impor.

POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan. Direktur dan Pendiri Center for National Food Security Research (Tenfoser)

(Koran SINDO//wdi)

http://economy.okezone.com/read/2014/02/26/279/946645/beras-impor-dan-kegagalan-revitalisasi-pertanian

Kemenkeu Cairkan Dana Raskin Rp1,5 T ke Bulog

Rabu, 26 Februari 2014

INILAH.COM, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelontorkan dana Beras Miskin (Raskin) sebesar Rp1,5 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askonali mengatakan anggaran tersebut yang mengelola adalah Badan Urusan Logistik (Bulog) "Iya, anggarannya Rp1,5 triliun kepada Bulog," ujar Askolani di Jakarta, Rabu (26/2/2014).

Askolani menjelaskan pihaknya mempercepat dana Raskin agar Bulog dapat menyalurkan Raskin. Rencananya Raskin dibagikan November-Desember 2014, namun dimajukan Maret-April 2014. Bahkan akan ada penambahan Raskin dengan Aanggaran Pendapatan Belaja Negara Perubnahan (APBNP) 2014 pada bulan tersebut.

"Iya yang lalu diusulkan jadi dipercepat jadi itu. Kalau bisa untuk dua bulan untuk stabilisasi harga. Jadi artinya 12 bulan sekarang dimajukan. Kemungkinan nanti kalau memang terjadi dua bulan, Itu berarti mungkin dalam APBNP akan kita lihat," jelasnya.

Setelah ada kepastian keputusan pemajuan penyaluran Raskin, Bulog masih akan menuggu Surat Keputusan (SK) Gubernur. Jadi untuk membagikan di masing-masing provinsi itu harus ada SK gubernur.

"Si Bulog ini bertugas sampai titik distribusi. Penerimanya Pemda yang bertanggung jawab. Makanya harus ada intinya harus. Sehingga mereka harus menunggu penetapan," paparanya. [hid]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2077650/kemenkeu-cairkan-dana-raskin-rp15-t-ke-bulog#.Uw1lG-OSydw

Selasa, 25 Februari 2014

Kemendag Akan Benahi Sistem Impor Beras

Selasa, 25 Februari 2014

BADUNG, KOMPAS — Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan kesiapannya membenahi sistem impor beras untuk menyelesaikan polemik terkait beras impor yang mencuat belakangan ini. Lutfi juga menyatakan akan mengenakan sanksi terhadap importir apabila terbukti melanggar ketentuan impor beras.
Hal itu dikatakan Lutfi seusai membuka Association Future Market 17th Annual Conference di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (24/2). ”Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang menyelesaikan perbaikan-perbaikan itu kalau memang perlu ada perbaikan sistem,” kata Lutfi ketika ditemui wartawan.

Terkait tertahannya 32 peti kemas yang membawa 800 ton beras impor dari Vietnam, Lutfi mengatakan, 800 ton beras impor itu sudah dijelaskan sebagai beras impor premium. Akan tetapi, menurut dia, pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan akhir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Sebanyak 32 peti kemas yang membawa 800 ton beras impor dari Vietnam ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, untuk keperluan pemeriksaan dan pengumpulan alat bukti. Hasil pemeriksaan sementara dengan menggunakan tiga parameter, yakni panjang bulir rata-rata, rasio panjang dibandingkan lebar, dan kandungan amilosa, menunjukkan, 24 peti kemas beras itu tidak sesuai dengan yang disebutkan dalam dokumen. Kesimpulan akhir masih menunggu hasil uji parameter keempat, yakni kemurnian varietas.

Lutfi juga memastikan, importir yang terbukti melanggar ketentuan impor beras akan dikenai sanksi. Ia tidak menjelaskan jenis sanksi ataupun importir yang diduga melanggar ketentuan impor beras.

Kisruh mengenai beras impor belum menyentuh pedagang beras di pasar tradisional di Denpasar, Bali. Pedagang beras di Pasar Nyanggelan, Denpasar, I Nengah Sutirka, menyebutkan, beras impor jarang diperdagangkan di pasar tradisional. ”Kelas berasnya berbeda. Selain itu, harganya juga mahal,” kata pengelola UD Sri Rejeki di Pasar Nyanggelan itu. Jenis beras yang banyak dijual pedagang di pasar tradisional adalah beras lokal dengan harga berkisar Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. (COK)

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005094040.aspx?epaper=yes

Profesionalisme Akan Menang

Selasa, 25 Februari 2014

Sutarto Alimoeso, Dirut Perum Bulog
Sutarto Alimoeso, Dirut Perum Bulog
Sutarto Alimoeso memulai karier di birokrasi. Ia bahkan menghabiskan separuh usianya di pemerintahan. Toh, Sutarto jauh dari kesan birokrat kebanyakan. Setidaknya hal itu tercermin pada gaya bicaranya yang lugas, tegas, dan blak-blakan.

“Saya bekerja secara profesional. Saya juga tidak mau ditekan atau didikte siapa pun. Saya yakin profesionalisme akan menang,” ujar Direktur Utama Perum Bulog itu di Jakarta, baru-baru ini.

Demi menjadikan Perum Bulog profesional, Sutarto berani mendobrak tradisi lama yang dianggapnya menyimpang atau berseberangan dengan visi dan misi Bulog. Terobosan yang dilakukannya tak hanya menyangkut perbaikan internal, tapi juga yang terkait dengan pengadaan pangan.

Pria yang menakhodai Perum Bulog sejak November 2009 ini pun gencar menanamkan pemahaman tentang perlunya perubahan di setiap karyawan. Ia memulai perubahan dari hal-hal kecil, misalnya membatasi operasional lift serta melaksanakan tertib administrasi dan tertib jam kerja.

“Perubahan harus dilakukan dari masing-masing individu. Saya dikomentari, dirut kok mengurusi yang kecil-kecil. Saya bilang, tersandung itu oleh batu yang kecil. Kalau batu besar, itu namanya nabrak,” katanya.

Di balik sikapnya yang tegas dan berani, Sutarto Alimoeso adalah seorang "penurut" Ia tak pernah menolak bertugas.

“Di mana pun ditugaskan, saya akan memberikan yang terbaik. Tugas merupakan amanah, sehingga harus dilaksanakan secara ikhlas. Bekerja itu kan bagian dari ibadah. Jadi, saya tidak pernah menggerutu,” tandasnya. Berikut wawancara dengannya.

Bagaimana perjalanan karier Anda hingga bisa menjabat sebagai dirut Perum Bulog?
Saya memulai karier di Kementerian Pertanian (Kemtan) sejak November 1974. Saya lulus sarjana pada 31 Agustus 1974. Saya sempat bingung mau bekerja di mana, tapi akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke Kemtan. Karier saya hampir 35 tahun dihabiskan di Kemtan. Saya memulainya sebagai tenaga honorer. Pada Maret 1976, saya baru diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Begitu diangkat, pada 1977 saya mendapat tugas sebagai kepala seksi di Kemtan.

Saya sudah berganti-ganti menjadi kepala seksi, sampai empat kepala seksi. Pada 1986, saya diangkat menjadi kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura VIII di Banjarmasin, persisnya di Bajarbaru hingga awal 1989. Kemudian saya pindah 1 April 1989 ke Sumatera Utara. Saya menjabat sebagai kepala Balai Poteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura I. Pada 1995, saya ditarik ke Jakarta sebagai kepala Subdirektorat Pengendalian Hama.

Pada akhir 1996, saya diminta menjadi penjabat kepala Dinas Pertanian Kalimantan Barat. Pada 1997, saya diangkat menjadi kepala Dinas Pertanian Kalimantan Barat. Kemudian pada 1998 saya ditarik ke Jakarta untuk menempati posisi sebagai direktur perlindungan tanaman pangan sampai 2003. Lalu saya mendapat tugas sebagai Setditjen Tanaman Pangan sampai 2006. Pada April 2006, saya diangkat menjadi dirjen tanaman pangan Kemtan sampai April 2010. Pada 1 Maret 2010, saya pensiun. Saya ditarik ke Bulog pada 23 November 2009.

Apa yang Anda lakukan untuk bertransformasi dari seorang birokrat menjadi eksekutif?
Selama saya menjadi PNS, prinsip saya sampai sekarang adalah di mana pun bertugas, saya akan melaksanakannya. Tugas merupakan amanah dan bagian dari ibadah, sehingga harus dilaksanakan secara ikhlas. Saya tidak pernah menggerutu. Misalnya saat saya dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan, saya tetap berangkat. Sebab, niat saya seperti itu. Niat akan mewarnai sikap, tindakan, maupun perilaku yang keluar atau dilakukan seseorang.

Saya berupaya bekerja secara profesional, mengikuti aturan yang ada. Saya juga tidak mau ditekan siapa pun. Kalau ada intervensi dari siapa pun dan dari mana pun, tidak saya layani. Di mana pun bertugas, saya selalu berupaya melakukan perubahan-perubahan. Saya selalu berupaya profesional. Saya tidak bekerja atas dasar karena ditaruh di situ, karena utang budi, atau bagian dari suatu kelompok. Saya tidak pernah punya kelompok-kelompok tertentu. Kelompok saya adalah di mana saya menjadi satu unit. Saya tidak mau didikte.

Beberapa kali Anda dikabarkan akan diganti, tapi batal. Apa yang Anda rasakan?
Jabatan adalah amanah. Kalau mau dicabut, itu merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Contohnya pada awal 2011 saya diarahkan bakal diganti, tapi saya tetap bekerja. Ada faktor lain. Mestinya saya pensiun, tapi karena saya dianggap berhasil, presiden bilang ada perpres yang bisa memperpanjang hingga usia 62 tahun. Saya dinilai berhasil sampai diberi bintang jasa utama dari pemerintah.

Saya dari dulu tidak pernah minta jabatan. Ditempatkan di mana pun, saya tidak pernah menolak. Saya ikuti saja seperti air mengalir. Waktu di Madinah, umroh, ada sahabat yang menginformasikan bahwa saya akan diganti. Reaksi saya waktu itu biasa saja. Orang lain mungkin kaget. Itu karena sejak awal saya tahu bahwa presiden akan memperpanjangnya. Saya sudah berupaya sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Baik itu kan belum tentu benar.

Waktu itu teman saya berseloroh, mumpung dekat dengan Tuhan, berdoalah agar tidak jadi diganti. Saya bilang, saya memang mau berdoa. Doa saya, ya Allah ya Tuhan kami. Kalau amanah ini dicabut demi kebaikan bangsa, negara, dan masyarakat, maka cabutlah. Tapi kalau saya masih diberikan amanah, maka berikanlah petunjukMu. Berilah saya petunjuk yang baik dan benar di Bulog.

Waktu pulang, saya diberitahu Seskab Dipo Alam, bahwa saya akan diganti. Bagi saya tidak apa-apa. Tapi Tuhan menghendaki lain. Ada yang bertanya, Pak Tarto berdoa apa waktu di Mekah, kok batal diganti? Saya bilang, saya tidak pernah mendoakan orang lain jelek. Dan, saya tidak pernah takut diganti.

Perubahan apa yang Anda lakukan di Bulog?
Saat saya masuk pertama kali di Bulog, pada bulan pertama, saya ikuti irama mereka. Tapi saya tidak masuk iramanya. Pada bulan berikutnya, saya mulai perubahan itu. Saya mulai dari persoalan mendasar, yaitu jiwa korps yang tidak kokoh. Makanya saya perkenalkan Bulog Incorporated. Misalnya, dulu masalah kecil saja, beras kualitas jelek dikirim dari divre satu ke divre lain, tetapi duitnya tidak jelas ke mana. Ternyata duitnya diberikan ke mitra atau kepala gudang. Dengan adanya Bulog Incorporated tidak ada tawar-menawar. Semua itu harus diubah karena membuka peluang terjadinya kecurangan.

Kemudian, prinsip saya, perubahan harus dilakukan dari masing-masing individu. Maka konsep yang saya buat adalah saya harus bekerja secara detail agar menyangkut individu, mulai dari menulis surat dan efisiensi. Di sini, dulu, penutup surat saja tidak ada. Penggunaan fasilitas umum boros. Contohnya lift. Saya bilang, kalau pukul 08.30 WIB lift jangan dinyalakan semua karena yang memakainya sudah berkurang. Saya minta tertib administrasi dan jam kerja.

Saya bilang, kita jangan terlambat dua kali, nanti salah dua kali. Kalau datang terlambat, salah. Tapi atasan tidak berani ambil tindakan karena takut bawahan bernyanyi. Saya bilang, biarkan dia nyanyi, nanti terbuka semua.

Anda memilih perubahan secara radikal?
Saya bisa dikatakan radikal jika dikaitkan dengan budaya waktu itu. Saya juga dikomentari, dirut kok mengurusi yang kecil-kecil. Saya bilang, tersandung itu oleh batu yang kecil. Kalau batu besar, itu namanya nabrak. Kenapa mulai dari yang kecil-kecil? Karena yang kecil itu urusan di bawah, sedangkan yang bawah tidak mengurusnya.

Kesimpulan saya, kalau mau melakukan perubahan, tantangan terbesar ada di internal. Eksternal tentunya ada. Tapi tantangan terbesarnya dimulai dari internal. Mau tidak mau, internal harus dibereskan.

Saya minta teman-teman lebih profesional, tidak boleh berkelompok. Ada orang yang tidak punya kesempatan, tapi ada orang yang naik luar biasa karena punya jalur itu. Bulog memiliki dewan pengawas. Saat ada kekosongan jabatan, ada yang sudah tahu jabatan itu untuk siapa. Saya minta semua yang punya potensi dibuka, sehingga sekarang tidak lagi beredar nama saat ada yang kosong. Siapa yang berprestasi untuk memimpin, akan dikasih kesempatan.

Anda juga melakukan perubahan di sisi kebijakan perusahaan?
Ada paradigma lama yang saya ubah. Khitah Bulog, kalau harga beras atau gabah jatuh, Bulog harus beli. Kalau harga bagus pun beli. Kalau tidak, tidak apa-apa. Kalau harga terlalu tinggi, Bulog melakukan operasi pasar. Kalau stok kurang, Bulog impor. Saya diomeli kiri-kanan, seolah-olah Bulog suka impor. Makanya paradigma itu saya ubah. Yang kita kejar adalah pengadaan dalam negeri dengan stok yang cukup sesuai kebutuhan pemerintah, yaitu pada akhir tahun harus dua juta ton. Akhirnya pada 2012-2013 kita tidak impor. Pada 2010 banyak persoalan di dalam negeri, sehingga harus impor. Pada 2011 lebih parah karena produksi minus 1,07 persen, sehingga kita masih impor. Tapi pada 2012, produksi tumbuh 5 persen.

Ada aksioma di Bulog bahwa kalau kenaikan produksi di bawah 5 persen, Bulog tidak mampu melakukan pengadaan beras di atas dua juta ton. Makanya, pada tahun pertama dan kedua, berat. Tapi saya tidak percaya itu. Saya bilang, kejar dulu. Saya ingin pecahkan aksioma bahwa pertumbuhan produksi tidak harus di atas 5 persen agar dapat menyerap di atas dua juta ton. Pada 2012, saat produksi relatif bagus, kami bisa melakukan pengadaan tertinggi.

Pada 2013, saya tidak mau tergantung pada produksi. Waktu itu diumumkan bahwa produksi naik 2 persen. Ternyata pengadaan tercapai 3,55 juta ton, sehingga kita tidak impor. Pada 2013 terjadi bencana banjir. Ada aksioma lagi. Kalau pengadaan tahun sebelumnya tinggi, tahun berikutnya rendah. Padahal, tidak boleh seperti itu.

Bagaimana Anda menanamkan nilai-nilai positif dan menerapkan law enforcement?
Ada falsafah Jawa, hati-hati terhadap mo limo, yaitu madat (narkoba), mabuk (minum minuman keras), main (judi), maling (mencuri), dan madon (main wanita). Ini harus dihindari.

Dulu, di Bulog, kalau ada yang merampok tidak diberhentikan, hanya tidak diberi tugas dan tanggung jawab. Mereka hanya disuruh menyicil. Namanya tuntutan ganti rugi. Sekarang tidak, merampok berapa oun akan dipecat, kemudian diserahkan ke pihak berwajib. Kami sekarang tegas. Kalau ada yang korupsi atau maling, kami berhentikan. Sudah puluhan orang diberhentikan.

Cara Anda menyelaraskan misi komersial dan PSO?
Misi utama Bulog adalah sebagai stabilisator pangan. Tapi di lain pihak, Bulog juga harus mampu menjalankan misi komersial. Jadi, ada dua sisi, sehingga public service obligation (PSO) harus tetap dikerjakan. Tapi fungsi komersial bisa dihubungkan dengan fungsi Bulog. Orang bilang, tidak mudah dilaksanakan karena harus bekerja dari hulu hingga hilir. Hulu bekerja sama dengan produsen, hilir bekerja dengan konsumen. Bulog juga punya jaringan distribusi melalui kerja sama langsung dengan produsen. Kami punya unit usaha yang bergerak di bidang distribusi.

Apa filosofi hidup Anda?
Ikut saja seperti air mengalir. Saya kan tidak tahu mau di mana dan mau apa. Makanya saya tidak pernah menolak. Di mana pun dan kapan pun harus memberikan yang terbaik.

Obsesi Anda yang belum tercapai?
Cita-cita saya waktu kecil adalah ingin menjadi insinyur. Tapi kemudian saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Waktu menjadi PNS, cita-cita saya ingin menjadi pejabat eselon satu. Dari aspek itu sudah tercapai. Sekarang, saya ingin pensiun dengan selamat dan tidak ada macam-macam. Kalau tidak ada halangan, saya ingin menulis pengalaman tentang hal-hal yang bersifat filosofis untuk ditularkan kepada orang lain. Misalnya, kita bisa bekerja secara profesional karena hal itu nanti berguna. Kesimpulan saya, profesionalisme akan menang.

Dukungan keluarga?
Anak dan istri saya sudah terbiasa dan tahu persis bahwa sebagian besar hidup saya dihabiskan untuk bekerja. Tahun ini merupakan tahun ke-40 saya bekerja. Kami selalu berkomunikasi secara intens, minimal melalui telepon seluler.

http://www.beritasatu.com/figur/167966-profesionalisme-akan-menang.html

Senin, 24 Februari 2014

KOMODITAS BERAS Bom Waktu

Senin 24 Februari 2014

BICARA pangan di Indonesia, tidak akan mungkin melupakan beras. Beras komoditas strategis, karena dikonsumsi 90 persen orang Indonesia.

Berdasar data Badan Pusat Statistik 2012, di perkotaan, beras memberikan kontribusi 26,92 persen terhadap kenaikan garis kemiskinan. Di perdesaan lebih besar lagi, mencapai 33,38 persen.

Di Indonesia beras diproduksi oleh 18 juta rumah tangga petani. Melibatkan 200.000 usaha penggilingan padi, 180.000 di antaranya penggilingan skala kecil. Sentra produksi beras di 97 kabupaten di 9 provinsi.

Bila dihitung secara kasar, lebih dari 100 juta penduduk Indonesia hidupnya terkait secara langsung atau tidak langsung dengan industri beras, mulai dari hulu seperti sarana produksi, budidaya, pengolahan, hingga perdagangan.

Meski bernilai strategis, komoditas beras di Indonesia belum dikelola dengan baik. Pada 2013 inflasi karena lonjakan harga bahan makanan, termasuk beras, mencapai 11,35 persen.

Naiknya inflasi tentu menggerus daya beli masyarakat, utamanya kelompok masyarakat miskin di Indonesia yang pada September 2013 jumlahnya mencapai 28,55 juta jiwa.

Indikator buruknya pengelolaan beras tampak dari politik perberasan nasional. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa negara harus menjamin akses pangan masyarakatnya. Oleh karena itu, harga pangan harus bisa terjangkau daya beli masyarakat.

Di sisi lain agar petani tetap mau berproduksi, harus bisa menjual gabah/beras pada tingkat yang wajar. Yang menguntungkan. Dengan kata lain, harga beras harus berada pada tingkat yang pas. Pas buat petani, pas buat konsumen.

Kalimat itu terasa indah kedengarannya. Enak dirasakan, terkesan adil. Dan juga menunjukkan kebijaksanaan pengelola negara. Tapi kalimat itu sekaligus juga ”menjerumuskan” negara.

Lupakan dulu politik perberasan kita! Sejenak kita tengok kebijakan perdagangan global Indonesia, yang menganut pasar bebas. Sudah tidak asing lagi prasyarat utama agar Indonesia mampu bertahan hidup di era perdagangan bebas adalah memenangkan kompetisi.

Agar komoditas beras Indonesia berdaya saing, produksi harus efisien. Untuk mencapai hal itu, skala produksi harus besar. Faktanya skala usaha tani padi di Indonesia kecil. Lahan pertanian padi hanya kurang dari 8 juta hektar, dikelola oleh 18 juta rumah tangga petani. Tiap petani rata-rata mengelola kurang dari 0,3 hektar lahan pertanian.

Kecenderungan luas kepemilikan lahan pertanian padi terus menurun akibat fragmentasi lahan sebagai dampak sistem bagi waris. Belum lagi masalah alih fungsi lahan.

Meski lima presiden Indonesia berganti dan sebentar lagi presiden habis masa jabatannya, tidak satu pun Presiden RI yang mampu menyelesaikan persoalan fragmentasi dan konversi lahan pertanian.

Karena politik pangan Indonesia mendua, salah satu solusi jalan pintas yang diambil pemerintah untuk menjaga harga jual gabah/beras pada tingkat yang pas bagi petani adalah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah.

Dampak harga patokan pemerintah yang selalu naik, harga beras lokal Indonesia sejak empat tahun lalu melebihi harga beras dunia. Bahkan hampir menembus dua kali lipatnya. Satu kenyataan: daya saing beras Indonesia kalah! Ke depan, beras sebagai komoditas akan menjadi persoalan utama yang berpotensi jadi bom waktu. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140224kompas/#/17/

Beda Harga Rp 2 Ribu, Importir Oplos Beras

Minggu, 23 Februari 2014

Liputan6.com, Jakarta : Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) untuk menyelidiki kasus peredaran beras impor asal Vietnam di Indonesia. Pihaknya menuding ada permainan oleh sejumlah importir besar yang merugikan pedagang kecil.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APPSI, Ngadiran mengatakan, KPPU perlu terlibat dalam kisruh beras impor medium Vietnam. Pasalnya, dia menilai para pedagang atau importir besar telah mengoplos beras medium tersebut sehingga bisa dijual murah di pasaran.

Hal ini sekaligus menjawab pernyataan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menduga menduga beras medium asal Vietnam yang beredar di pasar Induk Cipinang, Jakarta merupakan hasil campuran dengan beras lokal. Beras oplosan ini membuat harga beras premium asal Vietnam ini bisa dijual jauh di bawah kualitas beras lokal.

"Pengoplosan terjadi karena ada perbedaan harga sekitar Rp 2 ribu per liter antara beras dalam negeri dan impor, sehingga pedagang besar atau importir mencampur kedua beras itu," ungkapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (23/2/2014).

Dia menganggap, tindakan nakal semacam pengoplosan dilakukan oleh para pedagang besar. Mereka sengaja mencampur beras di gudang-gudang beras pasca masuknya barang dari pelabuhan.

"Yang nakal bukan pedagang yang ada di pasar eceran, tapi pedagang besar. Barang dari kapal langsung masuk ke gudang-gudang pedagang besar. Di sanalah kemungkinan terjadinya oplosan," jelas Ngadiran.

Indikasi ini, lanjut dia, membutuhkan penyelidikan dari KPPU supaya ada kejelasan siapa yang bersalah atas kasus tersebut. "Ya seharusnya diselidiki KPPU, karena kalau pedagang di pasar cuma terima barang dari pedagang besar dengan kondisi itu (oplosan) untuk dijual lagi secara eceran," tandas Ngadiran.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menduga, para pedagang sengaja mengoplos beras impor Vietnam agar eksklusifitas dari kualitas tak terlihat lagi. "Kalau konsumen yang sudah kaya, dia tentu akan pilih beras Indonesia. Tapi memang pedagang mungkin yang oplos itu beras makanya harganya murah," ucap Rusman.

Di sisi lain, Rusman menambahkan, peredaran beras impor Vietnam jenis medium akibat kesempatan memanfaatkan kesamaan kode HS antara beras impor premium dan medium.

"Saya tidak mengatakan importirnya nakal, tapi ini bisa terjadi karena (importir) sengaja atau tidak paham (aturan). Kalau memang sengaja mencari keuntungan, makanya izin harus dicabut dan di blacklist," tegas dia.

 (Fik/Ahm)
http://bisnis.liputan6.com/read/834629/beda-harga-rp-2-ribu-importir-oplos-beras?wp.trkn

Data Bappenas buktikan era SBY rajin impor pangan

Minggu, 23 Februari 2014

Merdeka.com - Importasi bahan pangan utama sepanjang pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami peningkatan sejak dia pertama kali menjabat pada 2004 hingga 2013, jelang setahun sebelum lengser.

Kebijakan impor ini, kata pemerintah, disebabkan cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi kebutuhan sehingga memicu melonjaknya harga.

Menurut data yang dikutip merdeka.com dari laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Minggu (23/2), catatan importasi bahan pangan utama sepanjang KIB II meningkat lebih besar dibanding dengan KIB I.

Importasi beras sejak 2004 hingga 2013 mengalami fluktuasi. Pada 2004, impor beras sebanyak 236 ribu ton, lantas, saat 2006 jumlah impor beras naik menjadi 438 ribu ton dan mencapai 1,4 juta ton pada 2007.

Sempat menurun dua tahun, tren impor beras kembali naik mulai tahun 2010, 2011, dan 2012 menjadi masing-masing sebesar 687 ribu ton, 2,7 juta ton serta 1,7 juta ton.

Impor komoditas cabai juga mengalami tren yang meningkat sejak tahun 2004 hingga 2013. Tahun 2004, impor cabai sebesar 7 ribu ton dan menurun menjadi 6 ribu ton pada tahun 2005.

Namun demikian, mulai tahun 2006, tren importasi cabai selalu meningkat dari 9 ribu ton berturut-turut menjadi 11 ribu ton, 14 ribu ton, 16 ribu ton, 18 ribu ton, 24,4 ribu ton, dan baru menurun di tahun 2012 serta 2013 menjadi masing-masing 17 ribu ton dan 12 ribu ton.

Sementara importasi daging sapi antara tahun 2004 hingga 2010 mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 11 ribu ton, 19 ribu ton, 24 ribu ton, 39 ribu ton, 45,6 ribu ton, 67 ribu ton, dan 90 ribu ton.

[bai]

http://www.merdeka.com/uang/data-bappenas-buktikan-era-sby-rajin-impor-pangan.html

Minggu, 23 Februari 2014

Pangan Jaminan Pertumbuhan Ekonomi

Sabtu, 22 Februari 2014

SINISME terhadap peran pertumbuhan ekonomis dari sektor pangan telah menjadi-jadi dilontarkan oleh sejumlah ekonom. Sekurang-kurangnya hal tsb tersirat dari rancangan, Masterplan Pengembangan dan Perluasan Pembengunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN). Bahkan juga promosi ekonomi RI oleh Mckinsey yang disampaikan Obermann dan kawan-kawan serta paparan Haryanto dalam Economic Outlook 2013.

Lebih formal dan lagi tersurat, sinisme dilontarkan Pejabat Negara RI 2014. Adalah Menteri Keuangan RI yang secara lantang baru-baru ini lebih-kurang menyatakan tidak ada harapan pada sektor pangan untuk bisa memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional RI. Sungguh menyakitkan sinisme Menkeu ini. Pertama, menteri itu terang-terangan telah melecehkan sektor pangan, peran rakyat tani yang mayoritas pelaku ekonomi RI, dan jutaan investor gurem.

Kedua, pemikiran itu harus direformat karena ternyata pejabat ini tidak pernah memahami bahwa minimalnya peran pangan itu semua adalah 'by design', Untuk mendukung sektor industri.

Ketiga, pemikiran seperti itu sama sekali tidak dilandasi dengan pemahaman proses yang memandang peran kontributif itu sebagai sebab atau akibat. Faktanya, ketidakadilan pembangunan perekonomian RI selama ini telah sengaja memarjinalkan peran sektor pangan yag hanya diposisikan sekedar sebagai penghasil pangan murah.

Keempat, menteri itu lupa bahwa pertumbuhan sektor jasa, pengolahan, transportasi dan lain-lain, hakekatnya adalah kegiatan yang menjadi marak karena melayani dan sebagai turunan sektor pangan. Turunlah ke kaki lima, bukankah semua kegiatannya nyaris agro-based.

Kelima, harus sepenuhnya disadari bahwa faktanya, pertumbuhan sektor industri yang selama ini telah menganaktirikan sektor pangan ternyata sangat cacat. Karena pertumbuhan yang protektif ini ternyata, menurut kritik global, merupakan pertumbuhan yang: pertama sangat tidak stabil, kedua sangat terpusat di Jakarta. Kemudian ketiga, mengandalkan konsumsi tetapi barang impor, dan terakhir berbasis sumberdaya alam mentah dan SDM melimpah.
Dalam watak pertumbuhan dengan segala cacat dimaksud, bisa dipertanyakan kepada Menkeu khususnya & Kabinet Indonesia Bersatu (KIB): bagaimana bisa mengatasi rentannya empat watak pertumbuhan ekonomi nasional yang mengkawatirkan itu? Omong kosong dan 'ndobos' adanya kalau penyelamatan yang paling potensial bukan sektor pangan.

Alasannya? Pertama, pengembangan seksama sektor pangan jelas sekali menjanjikan watak pertumbuhan yang sangat stabil karena nyaris sepenuhnya tergantung pada sumberdaya domestik, bukan sumberdaya impor. Bandingkan dengan industrialisasi yang selama ini terjadi di tanah air, yang hanya hidup berbasis bahan baku, teknologi, SDM, dan modal asing.

Kedua, sumberdaya domestik andalan sektor pangan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Karena itu pengembangannya adalah penyebaran pusat pertumbuhan RI. Ketiga, konsumsi dalam negeri diduga banyak komponen impor, terutama untuk sektor pangan yang hobinya impor. Dengan pengembangan sektor pangan maka struktur konsumsi akan bergeser ke pangan domestik. Keempat, kembali ke pangan melalui intensifikasi dan hilirisasi berarti meningkatkan nilai tambah SDA dan SDM. Pertumbuhan bukan lagi mengandalkan SDA dan SDM, tetapi nilai tambahnya.

Perlu diingatkan sekali lagi, bahwa selama ini potensi pangan memang sangat dimarjinalkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi nasional RI, karena terlanjur keblinger ke industrialisasi non-agro. Sudah waktunya kembali ke pengembangan pangan dan agroindustri. Itulah sumber kekuatan bagi kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian bangsa RI, Insya Allah.

Prof Dr M MaksuM Mahfoedz
(Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2698/pangan-jaminan-pertumbuhan-ekonomi.kr

Sabtu, 22 Februari 2014

Risma dan ''Kesalehan Kepemimpinan''

Sabtu, 22 Februari 2014

Visi kepemimpinan, agenda setting partai politik, dan kelindan kepentingan pemilik modal mengetengahkan sejumlah keniscayaan orientasi. Rakyat sebagai pemilik suara dan kedaulatan pun hanya menjadi objek yang terkalahkan oleh keterwakilan elite, sehingga terbentanglah kesenjangan antara ide dengan kenyataan.

Begitulah kira-kira deskripsi persoalan posisi kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, harihari ini. Niat mundur Risma karena merasakan tekanan politik yang tidak proporsional terkait dengan kebijakan- kebijakannya dalam memajukan Surabaya, menggambarkan betapa orang baik tidak selalu mendapat tempat semestinya dalam konstelasi kepentingan politik.

Capaiancapaian prestasi , bahkan pengakuan internasional tidak cukup untuk menciptakan kebanggaan bahkan di lingkungan politiknya tatkala ada kepentingan yang tak terakomodasi.

Indonesia punya mutiara-mutiara kepemimpinan dengan skala masing-masing pada diri Tri Rismaharini, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ridwan Kamil untuk menyebut sebagian yang memberi warna.

Pengakuan, capaian, dan kebutuhan rakyat, ternyata tak selalu paralel dengan dukungan yang seharusnya didapat tanpa reserve dari kekuatan-kekuatan politik. Keinginan mundur Risma memuat pesan kuat tentang kecenderungan itu.

Apakah ”kesalehan kepemimpinan”, dengan orientasi bekerja untuk rakyat, demi kemajuan daerah, dengan capaian yang diakui secara terukur, akan serta merta dianggap sebagai klilip ketika kelindan kekuasaan dan modal merasa terusik?

Apakah kemelejitan popularitas pemimpin yang baik itu disikapi sebagai ancaman bagi elite partai? Apakah keteguhan, kelurusan, dan kejujuran dianggap sebagai ”kekurangan” karena ia ”tak berguna” bagi partai?

Orang-orang seperti Risma, Jokowi, dan Ahok harus diakui sebagai pemimpin yang berani memilih ”jalan sunyi”, tapa ngrame di tengah gejolak kepentingan hedonispragmatis di langit politik kekuasaan.

Mereka memilih jalan asketis untuk total berpihak kepada rakyat dengan visi, konsep, kebijakan, dan perilaku kepemimpinan. Kesalehan seperti itulah yang rupanya dipandang sebagai ancaman bagi kekuatan-kekuatan yang pro-mindset instan.

Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat seharusnya terganggu oleh berbagai usikan terhadap para pemimpin itu. Jika kepemimpinan Risma memang merupakan kebutuhan bagi rakyat, keberpihakan harus ditunjukkan dengan mengaspirasikannya lewat para wakil di DPRD.

Mobilisasi opini publik tentang pentingnya keberadaan sang wali kotalah yang mestinya membuka mata dan hati para elite politik: mereka sejatinya tengah melawan kehendak rakyat.

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/22/253376

Jumat, 21 Februari 2014

Beras Tak Sesuai Dokumen

Jumat, 21 Februari 2014

Sistem Impor Dibenahi

JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih memeriksa status 32 peti kemas beras wangi impor dari Vietnam. Kesimpulan sementara menggunakan tiga parameter menyebutkan, 24 peti kemas beras diduga tidak sesuai dengan yang disebutkan dalam dokumen.
Ketiga kriteria yang digunakan laboratorium adalah panjang bulir rata-rata, rasio panjang dibandingkan lebar, dan kandungan amilosa. Pelaksana Tugas Harian Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Vincentius Sonny Loho dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/2), mengatakan, kesimpulan akhir atas status beras impor dari Vietnam itu masih akan menunggu hasil uji parameter keempat, yakni kemurnian varietas.

”Saat ini, 32 peti kemas yang membawa 800 ton beras impor dari Vietnam itu masih ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok untuk keperluan pemeriksaan dan pengumpulan alat bukti,” kata Sonny.

Pada 7 Februari lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menahan 32 peti kemas beras impor asal Vietnam dengan dokumen yang menyebutkan bahwa beras berjenis Thai Hom Mali dan berasal dari Thailand.

Kesimpulan atas status beras itu akan berpengaruh terhadap penanganan beras. Jika terbukti tidak sesuai dengan ketentuan impor, beras bisa direekspor atau disita untuk negara.

Beras khusus
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Yusni Emilia Harahap menjelaskan, Thai Hom Mali merupakan jenis beras khusus untuk keperluan tertentu. Selain Thai Hom Mali, yang termasuk jenis beras khusus adalah Japonica dan Basmati.

”Pemeriksaan kemurnian adalah bagian dari seluruh proses, tetapi penting karena menyangkut masalah teknis,” ungkap Emilia.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menyebutkan, impor beras khusus sepanjang tahun 2013 sebanyak 492.000 ton. Sebanyak 440.000 ton merupakan impor untuk keperluan industri, sementara 52.000 ton untuk keperluan konsumsi atau sekitar 0,1 persen dari konsumsi beras nasional sebanyak 39 juta ton.

Sistem diperbaiki
Hasil koordinasi sejumlah kementerian menyimpulkan, sistem impor beras perlu diperbaiki. Menurut Bachrul, mulai pekan depan akan diterapkan penyempurnaan aturan. Selama ini, impor beras bisa dilakukan importir yang telah memiliki nomor pengenal importir khusus.

”Nanti pengusaha yang bisa mengimpor beras hanya importir terdaftar dan importir produsen. Verifikasi akan dilakukan ke perusahaan sebelum perusahaan ditetapkan menjadi importir terdaftar dan importir produsen,” kata Bachrul.

Importir terdaftar dan importir khusus wajib mencantumkan nomor pengenal umum. Selain itu, importir juga harus membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa pihaknya tidak berafiliasi dengan importir lain yang sudah terdaftar sebagai importir terdaftar dan importir produsen. Hal ini dilakukan supaya impor tidak dikuasai satu pihak. (AHA)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140221kompas/index.html#/23/

Kamis, 20 Februari 2014

UU Perdagangan Belum Memihak Kepentingan Nasional

Kamis, 20 Februari 2014

UU Perdagangan Belum Memihak Kepentingan Nasional
Hendri Saparini, Direktur CORE (Centre of Reform on Economic) Indonesia


Coba, tunjukkan keberpihakannya di mana? Banyak hal di UU itu yang akan ditetapkan oleh Menteri sehingga arahnya menjadi tidak jelas

UU Perdagangan yang baru disahkan pemerintah ternyata isinya belum memihak kepentingan nasional. Tidak ada strategi pengendalian harga, lebih banyak hal yang akan diatur oleh menteri. 

Jakarta - Ekonom Hendri Saparini menilai UU Perdagangan yang disahkan DPR pada Selasa (11/2) belum berpihak kepada perdagangan nasional. Kurang nampak upaya DPR dan pemerintah memperjuangkan kepentingan nasional.

"Coba, tunjukkan keberpihakannya di mana? Banyak hal di UU itu yang akan ditetapkan oleh Menteri sehingga arahnya menjadi tidak jelas," kata Hendri Saparini, di Auditorium LIPI, Jakarta, Rabu (19/2).

UU Perdagangan mengamanatkan sembilan peraturan pemerintah, 14 peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri dengan 19 poin penting. Terlihat jelas bahwa peraturan menteri mendominasi isi UU tersebut.

Memang, salah pasal UU tersebut mencamtukan soal pengendalian harga. Namun, tidak jelas komoditas apa saja yang dikendalikan. Dengan demikian, tak jelas pula instrumen apa yang ditentukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian.

Menurut Hendri, inflasi akan tetap tinggi karena harga tidak dikendalikan. Taruhlah Bulog bisa mengendalikan harga beras, "Tapi berasnya tidak dia kendalikan. Bulog hanya melakukan operasi pasar untuk beras. Sedang untuk pengendalian komoditi lain, Bulog tak punya kewenangan."

Hal itu terjadi karena UU Perdagangan tidak menentukan pihak yang menetapkan komoditas strategis. Soal kedelai, misalnya, "Sudah ada UU Perdagangan, masa harus ada kebijakan lagi untuk menjaga agar kedelai bisa terpenuhi harganya supaya stabil."

Mestinya, kata dia, UU Perdagangan mengatur soal pasokan harga dikaitkan dengan banjirnya komoditas dari luar dan upaya peningkatan produksi dalam negeri. "Hal itu harus saling dikaitkan sebagai strategi bersama. Tanpa strategi, harga tak bakal terkendali," kata direktur CORE (Centre of Reform on Economic) ini.

http://www.jurnalparlemen.com/view/7826/ruu-perdagangan-belum-memihak-kepentingan-nasional.html

DUGAAN KORUPSI Pejabat Kementan Menjadi Tersangka

Kamis, 20 Februari 2014

JAKARTA (Suara Karya): Dirjen Tanaman Pangan Kementan Udhoro Kasih Anggoro (UKA) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengendalian Serangan Pangan.
Penetapan Undhoro sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan kasus pengadaan alat pengendali serangga (light trap) yang telah disidik Kejati DKI Jakarta sejak September 2013.
"Berdasarkan pengembangan, penyidik melihat keterlibatan beberapa orang yang, menurut analisis, sangat layak ditetapkan sebagai tersangka," kata Kajati DKI Adi Toegarisman, Rabu, di Jakarta.
Selain Undhoro, Kejati DKI Jakarta juga menetapkan empat tersangka baru dalam kasus yang, berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), merugikan negara Rp 33 miliar. Keempat tersangka baru itu adalah EB (Direktur Tanaman Pangan), MS (swasta), ACR (perusahaan penghubung), dan MAS (rekanan perusahaan pemenang lelang).
Sebelumnya, 10 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka pula. Mereka adalah Agung Wradsongko (pejabat pembuat komitmen di Ditjen Tanaman Pangan Kementan), Alimin Sola (Ka ULP di Ditjen Tanaman Pangan), Hidayat AR (Ketua Pokja Pengadaan Bantuan Sarana OPT di Ditjen Tanaman Pangan), Iksan Nugraha (General Manager PT Hariff Daya Tunggal Enginering), Azi Nurzaman (Direktur CV Prima Sejahtera), Moch Yamin (Direktur PT Farsindo), Amsar Sheba (Direktur PT Puma Dharma Perdana), Agus Irmanto (Direktur PT Formita), WB Didit Hanindipto (Direktur CV Hanindra Karya), dan Yanuar (Direktur PT Andalan Mitra Persada).
Menurut Adi, saat ini pemberkasan terhadap sepuluh tersangka sudah hampir rampung. "Segera kesepuluh tersangka itu bisa didorong ke tahap penuntutan," katanya.
Anggaran dalam proyek pengadaan 7.000 unit light trap tahun 2012 ini diduga telah digelembungkan. Saat itu, anggaran proyek mencapai Rp 135 miliar. Terdapat lima perusahaan rekanan yang menang proses pelelangan. Namun, Kejati belum melakukan penahanan atas seluruh tersangka.
Modus perbuatan yang menggerogoti keuangan negara tersebut dilakukan para pejabat Kementan dan pengusaha dengan pengaturan lelang serta penggelembungan harga.
Light trap dimaksud ada, tetapi kualitasnya tidak sebagaimana ditetapkan. Penurunan kualitas barang ini dilakukan agar bisa mendapatkan barang sejenis dengan harga murah.
Ditambah lagi dengan mark-up, maka semakin besarlah nilai anggaran yang diselewengkan dalam proyek pengadaan light trap tersebut.
Selain itu, dalam kasus ini, pihak Kejati DKI menyita sejumlah barang bukti berupa uang dan dua unit mobil mewah.
"Barang bukti dalam perkara ini yang dapat kami sita ada mobil Wrangler Rubicon, dan kami dapat uang Rp 6 miliar," ujar Adi.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan light trap, Udhoro juga pernah diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan perkara dugaan korupsi Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Paket 1 tahun 2012 di Kementan.
Usai diperiksa penyidik Pidsus Kejaksaan Agung, akhir Januari lalu, Udhoro, yang enggan memberi keterangan soal materi pemeriksaan, hanya menegaskan bahwa dirinya wajib memberi keterangan sebagai salah satu kuasa pengguna anggaran (KPA).
Udhoro menolak menjawab mengenai proses penunjukan pemenang lelang, yakni PT Hidayah Nur Wahana (HNW). Udhoro meminta untuk menanyakan hal tersebut kepada panitia lelang. Diduga PT HNW dikelola oleh petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam kasus itu, Kejaksaan menetapkan enam tersangka yang terdiri dari dua orang dari swasta dan empat orang dari Kementan. Dua tersangka itu adalah Dirut PT HNW Sutrisno dan Pimpinan Produksi PT HNW Mahfud Husodo.
Sementara empat tersangka dari Ditjen Tanaman Pangan Kementan adalah Ketua Pokja Hidayat Abdul Rahman, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Zaenal Fahmi, anggota Tim Verifikasi Teknis Lapangan untuk Daerah Jatim (Jember) Sugiyanto, serta Staf Direktorat Aneka Kacang dan Umbi Alimin Sola.
Kejaksaan menduga penyaluran BLBU senilai Rp 209 miliar berupa padi lahan kering, padi hibrida, padi non-hibrida, dan kedelai itu tidak sesuai varietasnya, dan beberapa pelaksanaannya tidak sesuai dengan peruntukkannya atau fiktif. (Jimmy Radjah)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=344875


Program Raskin Gubernur NTT Kurang Didukung Bawahan

Rabu, 19 Februari 2014

Tidak ada satu daerah pun yang mengusulkan raskin kepada Bulog.

KUPANG, Jaringnews.com - Kepala Devisi Bulog Nusa Tenggara Timur (NTT), Miftah, menilai kinerja Pemerintah Daerah se-Nusa Tenggara Timur masih perlu ditingkatkan dalam penyaluran  Beras Miskin (Raskin) kepada masyarakat. Pasalnya sampai saat ini belum ada daerah yang mengusulkan permintaan Raskin. Padahal Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT),  Frans Lebu Raya telah meluncurkan program raskin di Kota Maumere Kabupaten Sikka-Flores.

Dia menambahkan, dorongan dari Pemda terhadap pemerintah di tingkat desa dan kelurahan masih sangat kurang. Padahal pemerintah desa dan kelurahan merupakan ujung tombak suksesnya program yang sangat membantu masyarakat miskin.

“Dari sisi perekonomian masyarakat miskin, raskin ini sangat membantu mereka, namun pemerintah kadang datang ambilnya 2 atau 3 bulan sekali, ini buktinya bahwa kinerja mereka rendah,” kata Miftah.

Raskin, menurut dia,selain membantu masyarakat miskin, juga akan membantu menekan inflasi. Pagu beras miskin untuk NTT pada tahun 2014, menurut Miftah kurang lebih 76.000 ton. Kemudian pagu bulanannya 6.300 ton. Namun, sejak awal Januari hingga saat ini tidak ada satu daerah pun yang mengusulkan raskin ke pihak Bulog.

Kesadaran untuk mendistribusikan raskin ke rumah tangga sasaran, tutur dia, belum ada di kalangan pemerintah. Nyatanya untuk dua bulan ini masih tertampung 12.600 ton untuk keluarga miskin di Nusa Tenggara Timur.

“Perlu diketahui pula bahwa harga beras dari kami hanya Rp.1600 per kg dan masing-masing kepala keluarga memiliki jatah sebanyak 15 kg setiap bulan,” kata Miftah.

Ditanya soal adanya penjualan beras raskin dengan harga yang ditentukan Bulog kepada masyarakat miskin, Miftah mengatakan bahwa soal adanya penjualan diatas harga yang ditentukan Bulog bukan merupakan hak dan tanggungjawab Bulog, tetapi hal itu merupakan hak pihak Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta pihak penegak hukum seperti kepolisian.

Dia menambahkan bahwa beras miskin yang dibeli oleh masyarakat melalui desa atau kelurahan, akan diantar langsung pihak Bulog sampai pada tempat yang ditentukan kepala desa atau lurah dan biaya pengangkutan hingga tiba di tempat tersebut merupakan tanggungjawab bulog, bukan kepala desa, lurah atau masyarakat, sehingga jika ada yang mengatakan bahwa ada biaya pengangkutan dan lain sebagainya itu merupakan penipuan terhadap rakyat kecil, tandas Miftah.

(lmd / Ben)

http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/56749/program-raskin-gubernur-ntt-kurang-didukung-bawahan

Rabu, 19 Februari 2014

Mentan Minta Impor Beras Vietnam Ditunda

Rabu, 19 Februari 2014

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan sebaiknya rencana impor beras ditunda sementara. Hal ini mengingat belum tuntasnya kasus beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Beras Cipinang.

"Kami pada dasarnya sangat mendukung kalau memang ditunda dulu (impor beras), supaya kasus ini terungkap dulu di mana masalahnya. Siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak," kata Suswono saat ditemui di kompleks DPR Jakarta, Selasa (18/2).

Mentan berpendapat bahwa impor beras tidak harus dilakukan secepatnya. Jadi, menurutnya, bisa ditunda sementara hingga persoalan ini selesai. "BPK sudah melakukan audit dan investigasi. Lalu, kemarin Bea Cukai sempat menahan 12 kontainer. Artinya, saya kira ada baiknya ditunda sementara sampai persoalan tuntas. Apalagi, bukan kebutuhan yang mendesak," katanya.

Namun, Mentan mengatakan, kasus ini sudah dirapatkan dengan semua pihak yang terkait, termasuk Kementerian Perdagangan. "Kementan berkomitmen akan mengikuti keputusan yang nanti didapatkan dalam rapat koordinasi," tegas Suswono.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meminta kementerian teknis membahas kasus keberadaan beras Vietnam secara bilateral. Hatta mengaku telah melakukan koordinasi untuk keperluan tersebut. "Setelah itu, saya minta diumumkan," katanya, Selasa (18/2).
Ia meminta semua pihak tidak saling menyalahkan dan mengkaji penyebab kebocoran tersebut. Apabila memang ditemukan kelemahan dalam proses rekomendasi maupun izin impor maka harus segera diperbaiki.

Perihal proses impor beras tertentu, menurut dia, tidak perlu dibahas secara khusus. Impor beras dibenarkan selama ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Khusus beras medium, hanya Perum Bulog yang bisa melakukan impor melaui rapat koordinasi. Hatta mengemukakan, impor Bulog bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika harga beras terlalu tinggi atau stok Bulog tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Hatta pun mengaku belum mengetahui rencana penghentian impor beras. Menurut dia, hal tersebut menjadi kewenangan Mentan. "Saya belum tahu karena itu menjadi kewenangan Mentan karena dia yang tahu apakah kita perlu (impor) atau tidak," katanya. N meilani fauziah ed: irwan kelana

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/02/19/n16ye9-mentan-minta-impor-beras-vietnam-ditunda

Bulog Sumatera Selatan Siap Suplai Beras ke Jawa

Rabu, 19 Februari 2014

TEMPO.CO, Palembang - Bulog Divisi Regional Sumatera Selatan memastikan siap mengirim beras ke daerah bencana di Pulau Jawa dan Sumatera. Beras tersebut bersumber dari sentra-sentra produksi petani seperti di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Banyuasin, Musi Rawas, dan Ogan Komering Ilir. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan meyakini pengiriman beras ke luar daerah tidak akan mengganggu sistem ketahanan pangan bagi sekitar delapan juta penduduk provinsi ini.

Kepala Perum Bulog Sumatera Selatan Bambang Napitupulu menjelaskan, pengiriman tersebut tergantung pada permintaaan dari daerah yang terkena bencana. Dia memastikan pengiriman beras ke luar daerah tidak menyalahi prosedur karena Sumsel dia sebut memiliki kelebihan atau surplus beras dalam beberapa tahun terakhir. Selama ini kelebihan beras di Sumsel disalurkan untuk kebutuhan warga di Jambi, Bengkulu, Lampung, Riau, hingga Sumatera utara.

"Kami sudah siapkan, tergantung kebutuhannya berapa, karena di sini berasnya surplus," kata Bambang Napitupulu, Selasa, 18 Februari 2014.

Pengiriman beras ke luar daerah, kata Bambang, bakal menyenangkan petani karena harganya dipastikan jauh lebih mahal. Paling tidak, saat ini Bulog bersama enam pengusaha penggilingan padi sudah menyiapkan sekitar enam ton beras untuk dikirim keluar daerah setiap satu kali pengilingan.

Wakil Gubernur Sumsel Ishak Mekki, ketika ditemui di sela-sela acara sosialisasi penyaluran beras untuk rakyat miskin, juga meyakini penjualan beras keluar daerah tidak akan mengganggu sistem ketahanan pangan. Menurut dia, stok beras di Sumsel masih cukup aman. "Untuk raskin dan non-raskin, semuanya dalam keadaan aman," katanya.

Dia menggambarkan, kuota raskin tahun 2014 sama dengan tahun lalu, yakni 6.293.685 kilogram per bulan atau 75.524.220 kilogram dalam setahun. Beras raskin itu saat ini sudah tersedia di beberapa gudang Bulog. Raskin ini bakal diterima oleh 419.579 rumah tangga sasaran (RTS). "Asal tidak diselewengkan, maka stok beras akan tetap aman," katanya.

Tahun ini Bulog Divisi Regional Sumsel menargetkan pengadaan beras dari petani sebanyak 125 ribu ton. Angka tersebut dipastikan jauh lebih besar dari target tahun 2013 yang hanya 90 ribu ton.

PARLIZA HENDRAWAN

http://www.tempo.co/read/news/2014/02/18/090555435/Bulog-Sumatera-Selatan-Siap-Suplai-Beras-ke-Jawa

Bulog Kotabaru Targetkan Serap 3.000 Ton Beras Lokal

Rabu, 19 Februari 2014

Metrotvnews.com, Kotabaru: Bulog Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, menargetkan bisa mnyerap beras hasil panen petani lokal sebanyak 3.000 ton, untuk memenuhi kebutuhan beras untuk rumah tangga miskin di Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu.

"Anggaran 2014 kita mendapat tugas untuk membeli beras lokal 3.000 ton, sama dengan target pembelian periode sebelumnya," kata Kepala Bulog Kotabaru, Rony Harianto, di Kotabaru, Rabu (19/2).

Pemerintah menetapkan dengan harga pemerintah Rp6.600 per kg, sama dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) periode 2013.

Roni menjelaskan, pembelian beras lokal tersebut baru bisa dilakukan pada Maret atau April, mengingat petani baru panen raya sekitar bulan tersebut.

Periode 2013 Bulog Kotabaru hanya mampu menyerap beras lokal 1.380 ton dari target 3.000 ton, yang sebagian besar beras tersebut dibeli dari kelompok tani di Kabupaten Tanah Bumbu dan sisanya diperoleh dari petabi di Kotabaru.

Menurut Kepala Bulog, tidak terealisasinya target 3.000 ton karena harga beras lokal lebih tinggi daripada harga beras yang ditetapkan pemerintah.

Dia mengemukakan, penyerapan beras lokal merupakan upaya pengamanan pemerintah dalam menjaga atau menstabilkan harga beras, agar petani tidak merugi.

Karena  sering terjadi, pada musim panen raya, harga beras di tingkat masyarakat murah, hal ini membuat petani merugi.

Apabila harga beras lokal sudah lebih tinggi dari HPP, Bulog akan membeli beras dari daerah lain, terutama daerah yang menjadi sentra padi dan harga berasnya lebih rendah dari HPP. (Ant)

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/02/19/6/217120/Bulog-Kotabaru-Targetkan-Serap-3.000-Ton-Beras-Lokal

Selasa, 18 Februari 2014

Kisruh Impor Beras

Selasa, 18 Februari 2014

Belum tuntas kisruh impor beras 16.900 ton asal Vietnam, kini muncul dugaan impor beras ilegal 800 ton.

Belum ada tanda-tanda dari otoritas yang berwenang untuk menuntaskan masalah ini. Seperti yang sudah-sudah, tiga kementerian yang terlibat langsung dalam urusan impor beras, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan, justru terlibat saling lempar tanggung jawab. Saat pertama muncul, awal Januari lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, beras dari Vietnam masuk atas rekomendasi Kementan.

Masalah ini lantas jadi kisruh di kabinet karena Mentan Suswono membantah mengeluarkan rekomendasi impor beras medium. Menurut Suswono, sepanjang 2013 kementeriannya hanya menerbitkan rekomendasi impor beras premium 400.000 ton, bukan beras medium. Pertanyaannya, jika tak ada rekomendasi, bagaimana bisa beras medium asal Vietnam masuk? Tak ingin terpojok, Kemendag membentuk tim guna menelusuri impor beras oleh 58 importir. Tim juga melibatkan dua pakar perberasan. Hasilnya, seperti disampaikan Wakil Mendag Bayu Krisnamurthi, cukup mengejutkan: hanya ada beras premium, bukan beras medium. Bayu tak bisa memastikan mengapa beras premium impor dijual murah setara beras medium lokal?

Penyelundupan?
Bayu menduga, banting harga itu strategi atau persaingan dagang. Lazimnya, disparitas harga dalam persaingan dagang berkisar Rp 100-Rp 200/kg. Jika lebih dari Rp 1.000, bahkan di atas Rp 2.000/kg, kemungkinan ada penyelundupan alias impor ilegal dengan modus memalsukan dokumen atau cara kotor lainnya. Sampai artikel ini ditulis belum ada jawaban mengapa harga beras premium impor dibanting.

Ada sejumlah pertanyaan yang disodorkan media, salah satunya: ”sulitkah menelusuri kasus ini?” Semestinya tidak. Penelusuran siapa salah dan siapa benar jadi sulit lantaran tak ada komitmen menuntaskan masalah. Ini bisa dilihat dari saling lempar tanggung jawab dan tak ada upaya membentuk tim bersama guna menuntaskan. Tim ini bisa menelusuri dokumen impor dari awal, termasuk klarifikasi data dan dokumen antar-kementerian. Jika memang tak bersalah, mengapa harus takut terhadap pembentukan tim bersama?

Mengapa tim bersama? Menurut Permendag No 12/Tahun 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, beras medium hanya bisa diimpor oleh Perum Bulog untuk stabilisasi harga, keadaan darurat, masyarakat miskin, dan kerawanan pangan. Beras premium bisa diimpor importir (swasta) untuk kepentingan tertentu: kesehatan, komunitas tertentu, dan bibit. Beras baru bisa diimpor setelah lewat alur di tiga kementerian. Pertama, importir mengajukan ke Kemendag guna ditetapkan sebagai importir. Kedua, Kemendag menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) setelah ada rekomendasi Kementan. Ketiga, Ditjen Bea dan Cukai (BC) Kemenkeu memastikan beras impor sesuai dengan izin. Idealnya, sistem berjenjang ini memungkinkan saling koreksi jika ada kesalahan di satu kementerian.

Masalah terjadi karena sistem pengawasan berjenjang macet. Ini terbukti dari tak adanya uraian komplet dalam SPI dari Kemendag untuk 58 importir. Kesalahan bermula dari rekomendasi impor Kementan yang tak dilengkapi persyaratan yang harus dipenuhi importir. Celah ini dimanfaatkan importir guna mendatangkan beras medium asal Vietnam memakai SPI beras khusus: Japonica dan Basmati. Beras itu melenggang masuk pelabuhan via jalur hijau tanpa pemeriksaan fisik karena terkategori low risk. Ketika BC sebagai penjaga gawang terakhir bobol, loloslah pelanggaran.

Memang benar sebelum beras dikapalkan di pelabuhan muat negara asal, surveior yang ditunjuk akan memverifikasi. Namun, sesuai Permendag No 12/2008 Pasal 14, verifikasi impor/ekspor oleh surveior ”tidak mengurangi kewenangan Ditjen BC melakukan pemeriksaan pabean”. Mengapa BC menerjemahkan impor beras termasuk kategori low risk dan tak perlu pemeriksaan fisik? Bukankah ini berarti BC lepas tangan dan memberikan kelonggaran luar biasa bagi importir untuk melanggar?

Memanfaatkan celah
Bukan mustahil celah ini telah lama dimanfaatkan importir untuk mengeruk untung besar lewat impor. Ini terbukti dengan ditahannya 800 ton beras impor saat BC mengubah impor beras dari kategori low risk ke high risk, 29 Januari 2014. Dalam dokumen izin, beras yang diimpor jenis Thai Hom Mali, tetapi yang didatangkan jenis fragrance rice (beras wangi) asal Vietnam. Importir mana yang tidak tergiur mengimpor karena untung besar di depan mata. Sampai saat ini harga beras impor masih lebih murah daripada harga beras di pasar domestik. Untuk kualitas serupa disparitasnya bisa Rp 1.000/kg.

Celah pelanggaran makin longgar karena dari sisi tata kelola Permendag No 12/2008 mengandung cacat. Pasal 11 Ayat 4 menyebutkan, biaya survei di pelabuhan muat negara asal beras (preshipment inspection) dibebankan kepada importir. Aturan ini memunculkan konflik kepentingan. Sebagai pengawas, bagaimana mungkin surveior bisa independen jika dia dibayar pihak yang diawasi? Seharusnya sebagai kepanjangan tangan negara surveior mesti dibayar oleh negara, bukan importir. Celah ini membuka peluang para importir melakukan pelanggaran secara paripurna tanpa terdeteksi.

Ke depan, agar karut-marut tak berulang, tata kelola impor/ekspor beras harus diperbaiki. Perbaikan dimulai dari revisi Permendag No 12/2008 berikut penerjemahannya di lapangan oleh aparat BC. Perbaikan peraturan itu tak lebih macan kertas jika di antara tiga kementerian masih mempertahankan sikap paling benar sendiri dengan menyalahkan pihak lain. Terakhir, harus ada tindakan tegas dan keras terhadap pelanggar aturan, termasuk yang terjadi saat ini. Tak cukup sanksi administratif seperti diatur Permendag No 12/2008, tetapi juga perlu diseret ke meja hijau agar ada efek jera.

Mengimpor beras dari luar negeri, meski dengan harga lebih murah ketimbang harga beras petani domestik, akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai (multiplier effect) di luar negeri. Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik, meski lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri, baik konsumsi, pendapatan, maupun penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif terhadap beras produksi petaninya tak lain karena efisiensi sosial itu.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)

http://epaper.kompas.com/kompas/books/140218kompas/#/7/

Senin, 17 Februari 2014

Benarkah Indonesia Butuh Impor Beras?

Senin, 17 Februari 2014

PERSOALAN teknis seputar impor beras dinilai hanya sebagian kecil dari masalah yang dihadapi dunia perdagangan Tanah Air. Ujung permasalahan yang sebenarnya adalah Indonesia telah terjebak dalam perangkap impor pangan.

Lalu apakah benar Indonesia membutuhkan impor beras?

”Nggak, produksi (beras) lokal cukup. Kalau pemerintah berani nggak usah impor. Untuk stok juga cukup,” tegas Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa.

Pengamat pertanian itu menyatakan sebagai gambaran saja, luas panen rata-rata 13 juta- 14 juta hektare. Kalau luas panen terpenuhi saja maka produksinya sudah mencapai 70 juta ton gabah kering giling. Hal itu sudah jauh mencukupi dari kebutuhan.

”Kalau kita memanfaatkan tingkat produktifitasnya. Pertanyaannya apakah petani terdorong untuk menanam itu sehingga luas panen kita meningkat. Dorongan yang paling besar adalah dari sisi harga. Itulah karut marut kita. Pemerintah seringkali tidak mau tahu, seringkali impor,” tandasnya.

Namun, ketika ditanya apakah mimpi Indonesia mengekspor beras bisa terwujud, Andreas langsung menjawab, itu omong kosong.

”Kecuali kalau pemerintah benar-benar luar biasa serius mewujudkan kedaulatan pangan,” tambahnya.

Sayangnya, dia menilai kedaulatan pangan hanya lip service. Sebab, selama ini kebijakan pemerintah justru lebih banyak membuka keran impor pangan.

Dia menyatakan impor pangan Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. ”Makin lama impor pangan kita semakin tinggi. Sebagai contoh dalam 3 tahun terakhir meningkat 60%. Bayangkan saja, ini negara agraris kok,” katanya Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia itu.

Soal apakah ada beras premium atau medium yang menyalahi prosedur impor, Andreas tak ambil pusing. Dia justru mencermati kesalahan pemerintah yang telah membuka keran impor untuk pangan.

”Impor beras tanpa izin pemerintah, nggak hanya beras. Impor pangan secara umum luar biasa, persoalannya seperti kedelai. Pemerintah mengizinkan 20 importir baru masuk, ini apa-apaan? Mendag mengeluarkan banyak aturan yang meliberalisasi sektor pangan kita. Kita sekarang masuk perangkap impor pangan, sekali masuk ke sana agak susah keluar lagi. Karena banyak kepentingan masuk, dan kepentingan uang yang sangat menentukan saat ini,” paparnya.

Dia menilai impor pangan itu belum tentu dilakukan saat kondisi stok defisit. Untuk cabai misalnya, ada impor, padahal produksi nasional mencukupi.

Menurutnya, tidak tertutup kemungkinan ada permainan kuota impor akibat data yang masih tidak sinkron antarinstansi.

Dia menegaskan, harga pangan impor seperti beras atau kedelai yang lebih murah dari produksi lokal karena harga itu artisifial.

”Beras dari Vietnam atau Thailand atau kedelai dari Ameria bisa murah karena pemerintahnya memberikan subsisi yang sangat besar. Jadi komoditas itu dikeluarkan dari negara mereka saja sudah untung, karena jika tidak diekspor maka akan mengganggu harga di sana,” ungkapnya.

Produksi mereka yang murah kemudian berhadapan langsung dengan produksi petani Indonesia yang dinilai Andreas masih minim insentif. Akibatnya, harga pangan lokal pun kalah saing dengan produk impor.

Petani pun menjadi malas dan memilih beralih ke produk tanam yang menguntungkan.  Akibatnya, stok dalam negeri pun tidak memadai dan akhirnya pemerintah mengambil langkah impor. ”Itulah namanya perangkap impor pangan,” tandasnya.

Memang, pemerintah tidak mengimpor beras pada tahun lalu dan tahun ini. ”Pada 2013 dan sampai sekarang Bulog tidak impor beras,” kata Dirut Bulog Sutarto Ali Moeso.

Menurutnya, hal itu merupakan kesepakatan yang diambil pemerintah berdasarkan tiga indikator penting. ”Pertama, produksi, kalau produksi bagus tentunya suplai cukup dan pengaruhnya terhadap harga. Kedua, harga stabil yang akan mempengaruhi, ketiga, stok pemerintah yang dikuasai Bulog cukup. Karena tiga indikator tersebut tercapai pemerintah tidak menugaskan Bulog untuk impor,” jelasnya. Kementerian Pertanian mengungkapkan selama 2013 produksi beras secara nasional mengalami surplus sebanyak 5,4 juta ton. Di mana kebutuhan beras dalam negeri sebanyak 34,4 juta ton, sedangkan ketersediaan mencapai 39,8 juta ton. (Kartika Runiasari-71)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252770

Dari Inspeksi Jadi Kontroversi

Senin, 17 Febrauri 2014

 Polemik Beras Vietnam


Kisruh beras impor membanjiri pasar bukan permasalahan baru. Jauh sebelum permasalahan beras Vietnam mengemuka, para pedagang dan petani kerap mengeluhkan kebijakan tersebut. Sebab, dinilai merugikan mereka.  

BANJIR yang melanda sebagian wilayah DKI Jakarta beberapa pekan, membuat pemerintah kha­watir. Rapat koordinasi tentang stabilisasi harga pangan yang biasa di­gelar di Kantor Kemenko Perekonomian, Lapangan Banteng pun ber­pindah tempat.  Beberapa menteri ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa meluncur ke Pasar Induk Cipinang di Jakarta Timur, Rabu (22/1)

Tujuannya, untuk memantau harga beras di tengah kondisi banjir pada awal tahun ini. Agenda lalu dilanjutkan dengan rapat koordinasi di Gudang Bu­log, Ke­lapa Ga­ding, Ja­karta.

Sesampainya di Pa­sar Induk Ci­pi­nang, mereka me­ninjau kios  Bu­log yang sudah di­siap­kan. Be­bera­pa warta­wan televisi dan foto­grafer pun si­buk mengambil gam­bar Hatta Ra­jasa, Men­teri Pertanian Suswo­no, dan Kepala Badan Pusat Sta­tistik Suryamin saat me­ninjau beras di kios tersebut.

Wartawan ce­tak yang berada di be­lakang kerumunan lalu melihat Wakil Menteri Perdagangan Ba­yu Krisnamur­thi dihampiri se­orang pria.

Usut punya usut, pria itu bernama Bili Harianto, se­orang pedagang beras di pasar itu. Bili menyampaikan protes ke pemerintah.

”Begini Pak, ada beras Viet­nam mulai marak masuk di pasar. Harganya murah, tapi bukan beras khusus. Harganya itu lebih murah Rp 500. Ini kan bikin harga jatuh,” ka­ta Bili.

Dia mengaku rugi dengan masuknya beras impor tersebut.

”Kata pedagangnya itu legal. Karena ada surat dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Ke­mendag). Itu ada kop suratnya,” katanya.

Setelah melihat beras tersebut, Bayu menyatakan, beras tersebut tidak boleh diimpor. Sebab, beras umum dan hanya Bulog yang boleh mengimpor. Sementara pengusaha swasta hanya diperbolehkan impor beras khusus.

Mereka akhirnya berdebat. Beberapa pedagang lain juga ikut protes ke Bayu.

Bayu menjanjikan akan mengecek izin impor beras itu. Menurutnya, beras tersebut ilegal. Namun, pedagang menilai beras tersebut resmi diimpor karena ada izinnya. Hatta yang ditemui usai rakor juga berujar beras tersebut ilegal.

Beberapa hari kemudian, inspeksi ke pasar ini akhirnya menjadi kontroversi beras Vietnam. Beritanya menghiasi beberapa media. Bayu kemudian meralat pernyataannya. Ia menyebut beras tersebut berjenis premium yang sah diimpor. Pihaknya kemudian menyelidiki dugaan permainan impor beras.

Dia menegaskan pihaknya tidak menemukan kesalahan prosedur pada beras Vietnam tersebut.

Menurutnya, wewenang Ke­men­terian Perdagangan dalam kasus ini adalah menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) atas rekomendasi Kementerian Pertanian. Dan, itu sudah dija­lankan dengan benar.

Menurut Bayu, ketentuan mengimpor beras khusus diatur berdasarkan Peraturan Menteri perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras.

Berdasarkan peraturan tersebut, diatur tata niaga impornya, antara lain beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, raskin dan kerawanan pangan. Beras tersebut diimpor Perum Bulog dengan tingkat kepecahan 5%-25%.

Selain itu, beras yang diatur tata niaga impornya adalah beras untuk keperluan tertentu (beras konsumsi khusus) yang terkait dengan kesehatan/dietary dan konsumsi khusus/segmen tertentu, antara lain beras ketan, beras ketan pecah 100%, beras pecah 100%, beras kukus, beras Thai Hom Mali, beras Japonica, dan beras Basmati (tingkat keterpecahan paling tinggi 5% untuk beras Japonica dan Basmati).

Menurut Bayu, pihaknya telah meneliti sampel beras asal Vietnam tersebut. Dari penelitian di laboratorium, tambah dia, beras tersebut ternyata premium, yang memang diizinkan untuk diimpor. ”Anehnya, harganya lebih murah ketimbang beras medium lokal,” katanya.

Sebanyak 165 importir beras sudah diperiksa. Bahkan sudah mengerucut pada tiga importir. Namun, menurut Bayu, tidak ada pelanggaran prosedur impor beras.

Persaingan Bisnis

Bayu menduga persoalan beras Vietnam di Pasar Induk Cipinang itu soal persaingan bisnis antarpedagang. Hal senada juga disampaikan oleh Penga­mat Pertanian dari Institut Perta­nian Bogor, Dwi Andreas San­tosa. ”Itu hanya masalah peng­kodean, mengenai beras kan mereka tidak pilah mana beras medium mana beras premium, berdasarkan kualitasnya. Dari sisi pedagang tidak bisa disalahkan, kesalahan terbesar di pemerintah. Jadi untuk apa gontok-gontokan sendiri saling menyalahkan dan sebagainya, wong kelakuan mereka sendiri,” kata Guru Besar IPB ini.

Andreas menekankan masalah kode HS impor beras hanya sebagian kecil masalah yang timbul akibat persoalan serius, yakni impor pangan yang masif.

Bea Cukai sebagai garda terdepan masuknya barang impor mengakui beras adalah barang impor yang tergolong berisiko rendah, sehingga tidak melalui pemeriksaan fisik. Ditambah lagi, impor beras masih menggunakan satu kode HS untuk jenis premium maupun medium, yakni 1006.30.99.00 untuk beras Japonica, Basmati, dan beras yang diimpor Bulog. Selain itu, bea masuk untuk semua jenis beras sama, yakni Rp 450 per kilogram sehingga tidak bisa dibedakan mana beras premium dan medium.

Bea Cukai Kementerian Ke­uangan mencatat pemasukan impor beras selama 2013 totalnya 445.259 ton. Angka itu terdiri dari bibit sebanyak 1.219 ton, beras ketan 190.996 ton, beras Thai Hom Mali dari Thailand 22.843 ton, dan beras setengah masak 418 ton.  Beras lain yakni Japonica, Basmati, Bulog 34.823 ton, beras pecah 194.960 ton.

Namun, data tersebut berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat realisasi impor beras. Dalam laporan BPS, tercatat selama 2013 ada 472.000 ton beras yang diimpor atau senilai dengan 246 juta dolar AS. Jumlah itu lebih banyak dibanding data impor Bea Cukai, yaitu 445.259 ton.

Data BPS untuk impor beras khusus dan kode HS pada 2013, terdiri atas beras pecah 100% sebanyak 201.099,8 ton, beras ketan utuh dan pecah 198.943,65 ton, beras Thai Hom Mali se­banyak 23.117,8 ton, beras ku­kus/setengah matang sebanyak 418 ton, beras Basmati, Japonica, dan beras hibah sebanyak 47.867,1 ton.

Belakangan, Bea Cukai me­nemukan dugaan pelanggaran lainnya, yakni 32 kontainer beras impor yang saat ini masih berada di Pelabuhan Tanjung Priok.

”Harusnya yang masuk beras Thai Hom Mali dari Thailand tapi yang masuk (beras) Vietnam. Yang paling penting perizinan dan impornya cocok atau tidak,” kata Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu.

Beras dengan ketentuan impor kuota ini ternyata ketika sampai di pelabuhan menjadi beras lain yakni beras wangi dari Vietnam.

Adapun beras Vietnam yang ditemukan di Pasar Induk Cipi­nang adalah beras jenis Ja­ponica, Basmathi yang satu kode HS dengan beras Bulog.

”Hasil sementara diduga terjadi pelanggaran dengan menyalahgunakan SPI (Surat Persetujuan Impor) sehingga importasi barang menjadi tidak sesuai antara laporan surveyor dengan ijin SPI-nya,” jelasnya.

Importasi 32 kontainer tersebut dilakukan oleh CV PS sejumlah 200 ton (8 kontainer), CV KFI sejumlah 400 ton (16 kontainer) dan PT TML sejumlah 200 ton (8 kontainer).

Saat ini, baik Bea Cukai mau­pun Kemendag masih menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut. Jika terbukti melanggar, importir akan kena sanksi.

Selain itu, Bea Cukai memutuskan menaikan tingkat peme­riksaan beras impor menjadi high risk.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengusulkan agar kode HS beras premium dan medium dipisah. Namun, Men­teri Keuangan Chatib Basri menyatakan, perbedaan tarif bea masuk bisa dilakukan jika kode HS impor beras tidak disamakan. Menurutnya, jika Kemendag menginginkan kode HS berbeda maka harus diajukan ke tim tarif.

Dia menilai pemisahan kode HS tidak mudah dilakukan karena hal itu merupakan kesepakatan dagang dengan negara-negara lain. (Kartika Runiasari-71)

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/17/252771

Bulog Cari Pasokan Gula

Senin, 17 Februari 2014

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Perum Bulog sedang menjajaki pasar untuk mendapatkan stok gula yang akan dijadikan cadangan. Stok gula itu untuk melakukan stabilisasi harga sebelum musim giling tebu di Pabrik Gula (PG) mulai dilakukan sekitar pertengahan tahun.

Bachrul Chairi Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, bilang, pihaknya mendapat informasi bahwa Bulog saat ini sedang melakukan pertemuan dengan pemangku kepantingan di sektor pergulaan di dalam negeri.

"Saya belum mendapatkan feedback dari mereka, tapi kami tahu mereka melakukan pertemuan dengan kelompok petani, BUMN dan lain-lain," kata Bachrul baru-baru ini. Dia menambahkan, saat ini, pihaknya juga belum mengeluarkan izin impor kepada Bulog untuk melakukan impor gula.

Seperti diketahui, dalam upaya untuk stabilisasi gula tahun ini, Bulog diberikan penugasan untuk menguasai stok gula sebanyak 350.000 ton. Adapun alasan penugasan kepada Bulog adalah untuk menjaga kebutuhan gula konsumsi sampai musim giling tahun 2014.

Diproyeksikan, menjelang musim giling itu Indonesia kekurangan stok gula sebanyak 122.000 ton. Selain itu, musim giling yang mundur satu bulan mengakibatkan perlunya tambahan pasokan sekitar 220.000 ton.

Sekedar gambaran, biasanya masa giling perdana tebu di pabrik gula (PG) dalam negeri berlangsung bulan Mei, namun tahun ini diproyeksikan mundur menjadi bulan Juni. *

http://manado.tribunnews.com/2014/02/17/bulog-cari-pasokan-gul

Minggu, 16 Februari 2014

Bulog salurkan beras bantu pengungsi Gunung Kelud

Minggu, 16 Februari 2014

Surabaya (ANTARA News) - Kepala Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Jawa Timur, Rusdianto, menyatakan, telah menyalurkan sebanyak 50 ton beras untuk membantu sejumlah masyarakat yang kini menjadi pengungsi akibat letusan Gunung Kelud di Kediri.

"Kami menjamin ketersediaan beras bantuan untuk masyarakat yang terdampak letusan Gunung Kelud. Bantuan itu akan terus disalurkan sesuai dengan kebutuhan pengungsi," katanya, dihubungi di Surabaya, Minggu.

Upaya penyaluran bantuan beras tersebut, ungkap dia, dilakukan dengan pemerintah kabupaten/kota yang terkena bencana letusan Gunung Kelud untuk berkoordinasi misalnya di Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo.

"Tujuan koordinasi itu guna menjamin kelancaran arus bantuan beras bencana di beberapa wilayah yang terdampak," katanya.

Di setiap kabupaten/kota, jelas dia, pagu beras bantuan bencana dari Cadangan Beras Nasional (CBN) mencapai 100 ton per tahun. Angka pagu tersebut bisa ditambah apabila masyarakat di daerah terdampak bencana memang dibutuhkan.

"Kami juga memastikan distribusi arus beras bencana tersebut tidak akan tersendat. Jam berapapun dibutuhkan, kami siap mengirimkan komoditas itu," katanya.

Di sisi lain, tambah dia, pihaknya juga melakukan penyelamatan aset di gudang Bulog baik yang berada di Blitar, Kediri, Ponorogo, maupun, Tulungagung.

"Penyelamatan aset ini kami realisasi dengan menutupi beras memakai plastik. Dengan demikian, debu vulkanik Gunung Kelud tidak bisa masuk dan merusak beras," katanya.

Bulog juga terus melakukan pemantauan komoditas di pasar. Khususnya, apakah bencana letusan Gunung Kelud berdampak pada terjadinya lonjakan harga beras karena dipicu kemacetan distribusi.

"Untuk daerah di luar bencana Gunung Kelud, kamipun selalu berupaya mengoptimalkan penyaluran beras miskin (raskin)," katanya.

Editor: AA Ariwibowo

http://www.antaranews.com/berita/419285/bulog-salurkan-beras-bantu-pengungsi-gunung-kelud