JAKARTA. Keputusan pemerintah membuka keran impor daging untuk menstabilkan harga perlu dievaluasi. Pasalnya, terjadi persaingan tidak sehat antara perusahaan BUMN dan swasta dalam memborong daging yang jumlahnya terbatas dari Australia dan Selandia Baru.
Kondisi ini justru menguntungkan eksportir daging dari Negeri Kanguru tersebut, dimana dengan volume daging terbatas, mereka dapat menaikkan harga lebih tinggi lantaran permintaan melonjak tiba-tiba.
Niat pemerintah hendak menurunkan harga daging tidak terwujud. Yang terjadi justru sebaliknya, harga daging semakin mahal.
Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, kebijakan pemerintah memerintahkan Bulog melakukan impor daging secara mendadak pada 25 Mei 2016 tidak efektif.
Waktu yang mepet membuat upaya mendatangkan daging sapi dalam negeri tidak maksimal. Seharusnya, kebijakan ini sudah terencana dengan managemen yang baik, sehingga impor bisa dilakukan dua hingga tiga bulan sebelumnya.
Pasalnya, dalam melakukan impor, setiap perusahaan harus melakukan negosiasi harga agar bisa dijual dengan murah di Indonesia di bawah Rp 80.000 per kg.
Ketika Bulog melakukan negosiasi harga, tiba-tiba Kementerian Perdagangan (Kemdag) membuka izin impor dalam skala besar ke swasta.
"Akibatnya positioning Bulog di mata penjual daging di Australia jatuh dan ketika swasta datang membeli daging, mereka sudah memasang posisi baru yang membuat Bulog susah mendapatkan harga ideal," ujar Djarot, Selasa (28/7).
Menurut Djarot, ketika izin impor dibuka ke swasta, harga daging di Australia langsung menlonjak. Sebab, pada waktu bersamaan, ada perusahaan swasta raksasa dari Indonesia yang dapat melakukan negosiasi dengan segala fleksibilitas yang dimiliki dan akhirnya negosiasi yang dilakukan Bulog berhenti sampai pada posisi tawar menawar saja.
Akibatnya, rencana Bulog mengimpor 3.000 ton sampai awal Juli 2016 dari total izin impor 10.000 ton tidak kesampaikan. Hingga kini, Bulog baru berhasil mendatangkan 900 ton saja ke Tanah Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar