Minggu, 31 Mei 2015

Daripada Dibubarkan, DPR Dukung Bulog Direformasi

Sabtu, 30 Mei 2015

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijaya mengatakan, harus ada langkah reformasi di dalam internal Perum Bulog dibanding harus membubarkannya.

"Kita sepakat soal reformasi intern, termasuk seluruh kepala-kepala divisi Bulog yang ada di daerah-daerah, di tingkat kabupaten dan provinsi yang bermasalah harus dilakukan reformasi," ujar Azam ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Sabtu (30/5/2015).

Pasalnya, kata Azam, banyak barang-barang konsumsi yang rusak di daerah akibat kurang kompetennya divisi Bulog di daerah.

"Banyak yang barangnya rusak, berkutu, dan itu sudah 10 tahun saya lihat, dan harus ada perbaikan betul dari pemerintah sekarang," ujar Azam.

Menurut dia, manajemen di daerah-daerah memang terlalu besar, sehingga menimbulkan pelaksanaan kebijakan di daerah setempat di luar kontrol.

"Itu yang maksud saya manajemennya harus direformasi. Memperbaiki menajemn dari pusat sampai daerah karena yang banyak terjadi, Bulog ini sampai daerah terlalu besar, sehingga out of control terhadap pelaksanaan kebijakan beras rakyat di kabupaten-kabupaten. Jadi jangan dibubarkan, tapi diperbaiki," tutur dia.

Di samping itu, Azam menyarankan agar orang-orang baru yang bahkan di luar Bulog bisa direkrut dalam penempatan posisi divisi Bulog di pusat dan daerah. Kemudian harus dilakukan koordinasi dengan orang-orang yang sudah berkompeten lama di Bulog.

"Saya kira tetap harus digabung, yang lama yang punya kompetensi baik, dengan orang yang baru. Yang baru ini bisa masuk, asalkan diperiksa dan diseleksi dulu, dilakukan verifikasi," imbuh dia.

Namun yang terpenting, menurut dia, itikad baik untuk memperbaiki manajemen pengadaan bahan pokok di daerah.

"Jadi jangan barang-barang itu berputar saja, tidak ada barang baru, sehingga menimbulkan beras berkutu. Masa selama 10 tahun beras berkutu terus? Artinya apa, kekeliruan manajemen dalam pengadaan itu harus diperbaiki," tandas dia.

http://ekbis.sindonews.com/read/1007105/34/daripada-dibubarkan-dpr-dukung-bulog-direformasi-1432977303

DPR: Bulog Perlu Diaudit BPK

Sabtu,30 Mei 2015

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijaya menilai audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Perum Bulog diperlukan untuk membongkar dan mencegah penyimpangan di BUMN tersebut.

"Perlu sekali audit BPK, terutama yang di daerah-daerah, di provinsi dan kabupaten karena banyak penyelewengan-penyelewengan dalam pengadaan beras di daerah," ujar Azam kepada Sindonews di Jakarta, Sabtu (30/5/2015).

Hal tersebut, menurut Azam, dibuktikan dengan banyaknya kepala divisi dan kepala Bulog di daerah yang berurusan dengan hukum karena kasus penyelewengan.

"Itu sebagai salah satu indikator bahwa memang ada masalah dalam pengadaan beras," ujar dia.

Karena itu, dia berharap agar pemerintah segera membenahinya,  mengingat masyarakat Indonesia juga akan memasuki bulan Ramadan dan manajemen Bulog harus tertata agar penyaluran logistik menjadi lancar dan tidak ada masalah.

"Harus segera sebab kalau tidak akan terulur terus waktunya dan masyarakat kita nanti kasihan. Harus dilakukan perbaikan manajemen Bulog, bukan hanya di pusat tapi di daerah yang belum tersentuh. Kalau semua bisa dibereskan, pasti akan lancar," pungkas dia.

Sabtu, 30 Mei 2015

Lembaga Pangan Dipercepat

Sabtu, 30 Mei 2015

Perum Bulog Perlu Kembali Jadi Penjaga Stok

JAKARTA, KOMPAS — DPR meminta pemerintah mempercepat regulasi dan pembentukan lembaga pangan nasional. Lembaga pangan tersebut penting untuk menjamin kedaulatan dan harga pangan di tengah mengecilnya peran pemerintah dalam tata niaga pangan strategis.

Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron kepada Kompas, Jumat (29/5), mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) telah membuat rancangan peraturan presiden tentang lembaga pangan nasional. Regulasi itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Rancangan peraturan presiden itu tinggal menunggu tanda tangan presiden. Dengan peraturan presiden tersebut, lembaga pangan nasional bisa terbentuk dan berperan menjaga dan mencitakan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, dan keamanan pangan.

"Melalui lembaga pangan nasional itu, peran Perum Bulog bisa diperkuat. Syaratnya, Bulog harus menjadi operator pengendali stok dan harga pangan di bawah lembaga tersebut," ujarnya.

Menurut Herman, pembentukan lembaga pangan nasional pada tahun ini sangat tepat. Apalagi di tengah memburuknya tata niaga bahan pokok yang dikuasai pelaku usaha dan pedagang.

Pada tahun ini, Bulog sulit menyerap beras karena harga beras tinggi dan dikuasai pedagang. Pada saat yang sama pula, harga beras medium melambung tinggi dan pemerintah sulit menstabilkannya.

"Kami akan mendukung pemerintah untuk membentuk lembaga pangan nasional. Kami juga telah memberikan masukan agar strata Bulog dinaikkan menjadi bagian dari lembaga itu sehingga tidak lagi mengedepankan bisnis," katanya.

Selama ini, lanjut Herman, peran Bulog yang bukan komersial masih terbatas, yaitu menyediakan stok beras dan melakukan operasi pasar. Pada tahun ini, anggaran Bulog untuk raskin Rp 18,8 triliun dan untuk beras cadangan pemerintah Rp 1,5 triliun.

content
Untuk pengadaan beras itu, Bulog harus menggunakan pinjaman dana dari bank terlebih dahulu, baru kemudian diganti dari anggaran pemerintah. Artinya, Bulog harus menanggung bunga bank dari pinjaman itu rata-rata Rp 1 triliun.

"Jika Bulog bertugas sebagai operator lembaga pangan nasional, Bulog bisa memperoleh dana APBN secara langsung dan tidak perlu harus menanggung bunga sebesar itu," ujarnya.

Sambut baik

Pakar pertanian HS Dillon menyambut baik rencana Presiden Joko Widodo merombak Perum Bulog. Bulog memang perlu dikembalikan ke fitrahnya sebagai penjaga stok pangan yang melindungi petani dan konsumen.

"Selama ini, peran Bulog sebagai penyangga dan penjaga stok pangan dan stabilitator harga bahan pokok kurang kuat," kata HS Dillon.

Menurut Dillon, peran Bulog sebenarnya sangat sederhana, yaitu menyerap beras petani sebagai stok dan cadangan nasional. Ketika harga beras di tingkat petani rendah, Bulog wajib menyerapnya sehingga melindungi petani dari kerugian.

Kemudian ketika harga beras di pasar tinggi, Bulog harus segera menggelontorkan beras untuk menstabilkan harga. Dengan begitu, Bulog juga menjadi pelindung dari konsumen.

"Namun, belakangan ini, Bulog kesulitan menyerap beras petani karena harga beras di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Celah tersebut sudah dibaca dan dimanfaatkan para pelaku perberasan. Celah itulah yang perlu dievaluasi dan dicarikan solusi," ujarnya. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150530kompas/#/18/

Kisruh Urusan Beras

Sabtu,30 Mei 2015

Beras sebagai sumber bahan pangan utama rakyat Indonesia tidak henti-hentinya diterpa persoalan: produksi, pasca panen, hingga gejolak harga. Paling akhir masalah beras palsu berbahan baku plastik yang dioplos dengan beras konsumsi.

Masih dalam ingatan harga beras naik di awal tahun 2015. Dan pada Mei 2015 harga beras kualitas medium kembali naik.

Melonjaknya harga beras di awal tahun sejatinya tidak lepas dari kebijakan strategi stabilisasi harga. Kekosongan penyaluran raskin di akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, serta panjangnya musim paceklik akibat mundurnya musim tanam dan musim panen padi di musim hujan, tidak diantisipasi dengan penggelontoran beras ke pasar melalui operasi pasar (OP).

Dalam kondisi genting, OP distop. Strategi OP diubah total. Tuduhan mafia kepada para pedagang beras, serta penghentian OP melalui pedagang, memicu kekisruhan harga.

Harga beras menjadi liar. Memasuki panen raya padi, sudah terbentuk tingkat harga beras baru yang tinggi. Perum Bulog merupakan garda terdepan pelaksanaan stabilisasi harga beras tidak banyak bisa berbuat. Padahal, Bulog sangat dibutuhkan kehadirannya di pasar, termasuk sekadar menenangkan publik.

Sikap yang menggampangkan pengelolaan beras akan berbuah "bencana". Belum lagi adanya perubahan karakteristik pola pertanaman padi dalam kondisi iklim anomali.

Dalam kondisi musim tanam padi yang mundur di musim hujan, biasanya akan berdampak pada tidak terjadinya panen raya padi secara serentak. Panen padi berlangsung dalam waktu yang berbeda di setiap wilayah.

Pola panen bergilir ini mengakibatkan harga gabah sulit turun. Kondisi ini diperparah dengan kehadiran pemain baru dengan modal kuat dalam bisnis penggilingan padi dan perdagangan beras. Mereka punya kemampuan mengendalikan harga beli gabah di tingkat petani.

Meski sudah diingatkan terus bahwa kehadiran pemain baru bisa mengganggu stabilitas pasar gabah, pemerintah bergeming. Kehadiran mereka akan mengatrol harga gabah petani, dan ini menguntungkan bagi produksi.

Kehadiran perusahaan penggilingan padi besar dan modern baru dengan kapasitas giling di atas 1 juta ton jelas akan mengatrol harga gabah. Dengan kehadiran beberapa pemain besar secara simultan, membuat persaingan dan perburuan gabah di lapangan kian ketat. Dampaknya, harga gabah tetap tinggi sekalipun panen berlangsung.

Perum Bulog diyakini bakal tidak mampu melakukan pembelian beras sesuai target 4,5 juta ton. Dari data Bulog, per 25 Mei 2015, total pengadaan beras Bulog baru 1,1 juta ton. Dengan tambahan pengadaan beras sebesar itu, total stok beras nasional di gudang Bulog kini hanya 1,3 juta ton.

Untuk negara dengan penduduk 250 juta jiwa yang 80 persen masyarakatnya mengonsumsi nasi berbahan baku beras, mengandalkan stabilisasi harga beras hanya dengan 1,3 juta ton raskin adalah keliru. Dengan stok kecil, Bulog bisa apa?

Data di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, sebagai barometer beras nasional menunjukkan, harga beras kualitas medium pada Mei 2015 mulai naik. Beras IR-64 kualitas II yang akhir April 2015 harganya Rp 8.100 per kilogram (kg), pada 27 Mei naik menjadi Rp 8.500 per kg.

Begitu pula harga beras IR-64 kualitas III, setara beras medium Bulog, pada periode sama harganya naik Rp 200 per kg, dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.700 per kg. Untuk beras kualitas lebih tinggi dan premium, harganya masih stabil.

Perjalanan tahun 2015 masih panjang, setidaknya masih tujuh bulan lagi. Masih harus melalui bulan Ramadhan dan Lebaran, serta musim paceklik 2015/2016 yang belum bisa diprediksi kondisinya secara pasti.

Presiden Joko Widodo harus turun tangan. Segera mencermati dengan baik situasi perberasan kini hingga awal tahun 2016, dan membuat keputusan-keputusan strategis yang bisa mengendalikan harga beras. Urusan pangan ini selalu berat taruhannya. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150530kompas/#/17/

Akademisi Anggap Wacana Pembubaran Bulog Berbahaya

Jumat, 29 Mei 2015

Jakarta- Akademisi menganggap wacana pembubaran Bulog yang akhir-akhir ini berkembang berbahaya. Hal ini karena Bulog masih dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pangan sepanjang tahun.

“Pemikiran tersebut sangat berbahaya. Itu kan seperti semangat International Monetery Fund (IMF) dahulu,” ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hermanto Siregar dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (29/5).

Wacana pembubaran Bulog mengemuka akhir-akhir ini. Salah satunya dilontarkan Guru Besar IPB, Profesor Dwi Andreas Santoso, yang merasa Perum Bulog sudah tidak mampu menjalankan fungsinya, sehingga sudah saatnya dibubarkan. “Sah-sah saja beliau memiliki pendapat itu. Namun saya sangat tidak setuju dengan pemikiran tersebut,” ujar Hermanto, menyikapi wacana yang dilontarkan Dwi Andreas.

Menurut Hermanto, jika Bulog dibubarkan, mekanisme perdagangan beras sepenuhnya di tangan pedagang. Kondisi tersebut mudah memunculkan praktik penimbunan yang menyebabkan harga meningkat tajam.

Bulog juga dinilai menjadi instrumen untuk menstabilkan harga. Melalui Bulog, imbuhnya, harga beras bisa dikendalikan sehingga tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. “Kalau tidak ada Bulog, lantas siapa?” tukas dia.

Namun dia mengakui saat ini Bulog kurang berperan optimal, karena tidak diberi keluasaan menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, Bulog diamanahkan menyerap sebanyak-banyaknya gabah dan beras dari petani, namun tertahan oleh aturan untuk membeli sesuai harga pembelian petani (HPP).

Hermanto menambahkan, persoalan akan timbul ketika harga beras di tingkat petani jauh melebihi HPP, karena Bulog akan kesulitan bersaing dengan para spekulan. Sebagai solusinya, dia mengusulkan supaya inpres terkait HPP untuk direvisi.

Dia ingin Bulog diberi fleksibilitas agar bisa membeli di atas harga HPP sekitar 10 persen. Selain itu, dia mengusulkan supaya Bulog dialokasikan modal yang cukup supaya bisa menjalankan perannya dengan lebih baik. “Kalau takut terjadi penyalahgunaan kan mudah. Sistem pengawasannya saja yang lebih diperketat,” lanjut Hermanto.

Hal senada dikemukakan Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Nellys Sukidi. Dia bahkan mempertanyakan munculnya wacana tersebut. “Saya orang swasta. Tapi saya bilang bahwa rencana itu sangat berbahaya. Ada apa di balik semua itu?,” kata Nellys.

Dia berpendapat jika Bulog dibubarkan, maka negara akan kacau, karena dikuasai pihak swasta. Jika harga beras tinggi, tidak ada institusi yang mengintervensi. "Begitu pula jika harga di tingkat petani rendah yang menyebabkan petani menjerit, siapa yang bisa membeli dengan harga sesuai HPP? Tentu saja Bulog,” katanya.


Wahyu Sudoyo/WBP

http://www.beritasatu.com/ekonomi/278376-akademisi-anggap-wacana-pembubaran-bulog-berbahaya.html

Jumat, 29 Mei 2015

‎Kasus Sawah Fiktif, Kabareskrim Panggil Dahlan Iskan

Jumat, 29 Mei 2015

Jakarta - Kabareskrim Komjen Budi Waseso (Buwas) memastikan nama mantan menteri BUMN Dahlan Iskan masuk dalam daftar panggilan Bareskrim terkait kasus korupsi sawah fiktif di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

"Nanti akan terlihat (siapa yang paling bertanggungjawab). Tetapi beliau (Dahlan) pasti akan dipanggil, dimintai keterangan, karena waktu itu jadi pejabat saat itu," kata Buwas di Mabes Polri Jumat (29/5).

Menurut jenderal bintang tiga itu kasus ini bermula dari adanya laporan yang masuk. Setelah itu Bareskrim pun melakukan cek ke lapangan dan menemukan fakta di lapangan secara fisik kegiatan sawah itu tidak ada.

"Sementara pengeluaran dananya ada, tetapi fisiknya tidak ada. Maka itu kita akan proses ini secara keseluruhan. Semua akan diperiksa dan akan dikumpulkan seluruh alat bukti," sambungnya.

Namun Buwas belum mengetahui dana milik BUMN mana yang tersedot untuk kegiatan fiktif itu. Juga apakah dana itu diambilkan dari pos dana corporate social responsibility (CSR) atau pos lain.

"Pokoknya ada dana negara yang harus dipertanggungjawabkan. Ada dugaan penyimpangan dana itu. Nilainya belum bisa dipastikan, nanti setelah diperiksa, dan setelah ini kami mungkin sita dokumen, baru minta audit kepada BPK," lanjutnya.

Untuk itu Buwas juga belum bisa memastikan apakah tersangkanya kelak di level KPA, PPK, atau lainnya. Dia meminta publik untuk bersabar.

Seperti diberitakan kasus ini diduga melibatkan sejumlah perusahaan BUMN yang terjadi dalam kurun waktu 2012-2014.

Proyek ini dimulai pada Desember 2012 lalu. Niatnya merupakan proyek patungan sejumlah perusahaan BUMN yang nilainya mencapai Rp 317 miliar.

Awalnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Di tahun 2013 akan diteruskan menjadi 40.000 ha dan di tahun 2014 bisa mencapai 100.000 ha. Untuk itu BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun, kata Dahlan, saat itu.

Penanggung jawab proyek ini adalah salah satu BUMN pangan PT Sang Hyang Seri (SHS).

Lalu juga ada yang membantu teknologi (seperti PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia), ada juga yang ambil bagian untuk land clearing dan penyiapan lahan (PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya), dan konsultan perencanaan dan pengawasan (PT Indra Karya dan PT Yodya Karya).

Bank BNI, Bank BRI, Bank Mandiri, PGN, Pertamina, Indonesia Port Corporation (IPC), dan beberapa BUMN lain mendukung dari sisi pendanaan, ungkap Dahlan kala itu.

Sedianya polisi akan memeriksa mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan dan Dirut PGN Hendi Priyosantoso kemarin namun, keduanya dipastikan tidak hadir dan akan dipanggil kembali.

Penyelidikan kasus ini telah dilakukan sejak April 2015. Ada 21 saksi yang telah diperiksa, termasuk enam orang camat, kepala desa, ketua RT, dan petani di Kecamatan Hilir Utara.

Farouk Arnaz/NAD

http://www.beritasatu.com/hukum/278213-kasus-sawah-fiktif-kabareskrim-panggil-dahlan-iskan.html

Begini Cara Agar Bulog Optimal Jaga Harga Pangan

Jumat, 29 Mei 2015

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta tak lagi menganggap Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti selama ini. Sebagai Perum, Bulog diimbau agar tidak berorientasi keuntungan.

Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengungkapkan, harusnya peran penting Bulog adalah menjaga kestabilan pasokan dan harga pangan terutama beras, bukan sebagai penghasil keuntungan bagi negara seperti BUMN-BUMN lain.

"Bulog jangan dijadikan pusat keuntungan. Dia harus jadi penyangga pangan nasional. Sekarang Bulog disamakan dengan BUMN lain, ini gila," ujar Qodari di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Jakarta, Jumat (29/5/2015).

Qodari mengatakan, selama ini Bulog disamakan dengan BUMN lain yang harus menghasilkan keuntungan. Dampaknya, ruang gerak Bulog sebagai penjaga stabilitas pangan nasional, khususnya beras menjadi terbatas. "Bulog sekarang tidak berdaya. Bulog mau beli beras tidak bisa karena uang tidak ada," lanjutnya.

Qodari mengatakan seharusnya Bulog diberikan kewenangan yang lebih luas supaya memiliki kemampuan sesuai dengan tugasnya. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi bermasalah soal pasokan dan harga beras.

"Bulog harus diberi uang yang cukup, supaya dia bisa beli. Ini perlu perhatian karena juga soal kelembagaan," kata Qodari.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan merombak fungsi Perum Bulog agar lebih memiliki kedaulatan luas terkait pengendalian harga beberapa komoditas di Indonesia.

Perombakan yang dimaksud jika sebelumnya Bulog hanya bertugas mengendalikan pasokan dan harga beras, nantinya Perum ini juga berkewajiban mengendalikan komoditas lain seperti cabai, bawang merah dan lain sebagainya.

"Kita juga ingin merombak fungsi Bulog sebagai penyangga tidak hanya beras, tapi komoditas lain, tapi ini masih dalam proses, revisi, regulasi dan juga kelembagaan," kata Jokowi.

Perombakan fungsi Bulog lantaran pemerintah mengaku saat ini sangat sulit mengendalikan harga komoditas dengan kenaikan selalu terjadi setiap tahun. (Dny/Ahm)


http://bisnis.liputan6.com/read/2241778/begini-cara-agar-bulog-optimal-jaga-harga-pangan

Robohnya Lumbung Padi Kami

Jumat, 29 Mei 2015

Pada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk menemui sejawat lama, sahabat semasa sekolah dasar belasan tahun silam. Sebut saja namanya Yuliswar. Dua kali saya menyambanginya di warung kopi, tempat ia bersantai melepas lelah setelah seharian bergelimang lumpur sawah.

Namun, Yuliswar seolah-olah telah membaca kedatangan saya. Tak seperti biasanya, ia ternyata tidak berada di sana. Saya menduga-duga, jangan-jangan Yuliswar sengaja menghindar? Padahal saya sangat merindukan perjumpaan itu. Lalu, saya mendatangi rumah orangtuanya. "Mungkin Yuliswar malu karena kini ia sudah menjadi orang tani," kata ibunya dengan nada yang terdengar begitu dingin.

Jarak ideologis

Apa sebenarnya yang salah dengan orang tani? Kenapa Yuliswar mesti menanggung malu hanya karena ia orang tani? Apakah sudah terbentang jarak ideologis yang memisahkan orang tani dan orang rantau seperti saya? Apakah terminologi "orang tani" sudah tegak sebagai martabat rendah yang merepresentasikan peruntungan tidak mujur? Sementara "orang rantau" hendak memperlihatkan sebentuk cita-cita, bahkan puncak pencapaian yang hendak direngkuh oleh semua orang? Padahal, tidak semua orang rantau itu terbilang bernasib mujur. Banyak yang "jadi orang", tetapi tak terhitung pula yang terpelanting sebagai pecundang.

Saya tak pernah lupa, dahulu Yuliswar murid paling menonjol di kelas kami. Cepat menangkap penjelasan guru, kuat daya ingat, dan andal dalam ilmu hitung. Bila belum dapat disebut jenius, paling tidak ia murid paling tanggap, cepat, dan tepat, hampir di setiap mata pelajaran. Tak ada yang sanggup menumbangkan rekornya sebagai pemegang juara I di kelas kami. Dari kelas I hingga VI, ia pemegang tampuk juara abadi di sekolah kami yang sederhana itu.

Dengan potensi kecerdasan tersebut, saya ketika itu memperkirakan kelak ia bakal menjadi orang besar. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, setelah menyandar gelar sarjana geografi dari sebuah perguruan tinggi negeri, dengan kerendahan hati Yuliswar memilih hidup sebagai petani, tinggal di kampung, tidak seperti saya yang kemudian memilih terbang-hambur dari tanah kelahiran.

Tetapi, kenapa ia malu bertemu saya? Saya curiga, jangan- jangan orang tani telah menjadi pertanda bagi ketidakmujuran nasib sejawat saya itu. Menjadi petani bukan lagi cita-cita luhur yang terpancang sejak semula, tetapi telah beralih menjadi sekadar ranah pelarian guna bersunyi-diri, dan merayakan kekalahan dari hidup yang keras.

"Akhirnya di pematang sawah juga ia menambatkan kekalahan," begitu kira-kira ungkapan peyoratifnya. "Apalah guna sekolah tinggi bila ujung-ujungnya bergelimang lumpur sawah juga?" Inilah pertanyaan yang kerap mengusik-bila tak bisa disebut mengancam-kaum terdidik pedesaan.

Bagi kaum tani masa kini, berpendidikan tinggi berarti upaya menjauh dari dunia tani, dunia lumpur, dan dunia cangkul. Pencapaian utamanya tentulah menjadi pegawai negeri sipil dengan segenap atribut, seperti seragam, lembaga tempat bekerja, dan tak lupa; status sosial yang terpuji di tengah-tengah masyarakat.

Maka, bila seorang sarjana menjatuhkan pilihan menjadi petani, itu akan menjadi masalah, bahkan tak jarang dipandang sebagai aib. Bagi keluarganya, kalau tidak berhasil menjadi pegawai negeri sebagaimana yang diidam- idamkan, setidaknya ia bisa merantau jauh, bekerja apa saja di kota, asal tidak mengayun cangkul di sawah, sebagaimana keseharian ibu-bapaknya.

Demikian gambaran sederhana tentang mentalitas petani masa kini. Orang-orang yang terlahir di lingkungan masyarakat tani tidak lagi tergiur, apalagi bersetia kepada ibu kultural yang melahirkannya.

Lain sejawat saya, lain pula tetangga saya, yang tak segan-segan menggadai, bahkan menjual lahan sawah guna membiayai keberangkatan anak gadisnya untuk menjadi TKI di Timur Tengah. Baginya, sejumlah bidang sawah warisan keluarga tidak lagi dapat diandalkan. Hasil panen dari musim ke musim merosot jauh.

Alih-alih mendatangkan hasil yang memadai, dari panen ke panen, lubang utang kepada tauke justru semakin menganga. Sebegitu gampangnya petani merelakan lahan sawah, guna membangun rumah, membiayai pesta pernikahan, hingga membeli sepeda motor keluaran terkini. Padahal, sawah itu adalah nyawa mereka, identitas, dan sidik jari mereka.

Lalu, bagaimana strategi pertahanan pangan dapat ditegakkan di negara agraris ini? Alih- alih dapat memperkuat ketahanan pangan, yang berlangsung saban hari justru kian rapuhnya etos kepetanian yang di masa lalu dipercayai sebagai fondasi utama ketahanan pangan.

Maka, sebelum terlalu jauh mencanangkan program-program teknis dalam menyongsong swasembada beras, barangkali negara perlu mempertimbangkan mentalitas petani yang sedang keropos ini. Membangun irigasi, penyebarluasan bibit unggul, dan penerapan teknologi pertanian guna mendongkrak kapasitas produksi tentulah penting, tetapi yang jauh lebih mendesak adalah membangun manusia petani itu sendiri.

Bila ini diabaikan, tekad pemerintah untuk menghentikan impor beras tetap akan dikalahkan oleh ancaman ketidakstabilan harga karena dari tahun ke tahun stok beras selalu tidak cukup. "Kalau tidak impor, harga naik. Kalau impor, petani jadi tidak rajin berproduksi," demikian kata Presiden ( www.kompas.com, 18/4/2015).

Mentalitas kepetanian

Kalimat "rajin berproduksi" tentu erat kaitannya dengan mentalitas kepetanian yang sedang tergerus itu. Perlahan-lahan petani kita sedang bergeser menjadi sekadar buruh tani. Akibatnya, di berbagai belahan wilayah, banyak petani yang membeli beras untuk kebutuhan dapur sendiri. Sama sekali tak ada cadangan pangan yang dapat disisihkan dari setiap panen mereka. Ribut-ribut soal beras sintetis boleh jadi bagian dari problem ketidakmampuan petani kita dalam mempertahankan, apalagi meningkatkan kapasitas produksi gabah, selain tentu saja karena faktor-faktor eksternal dan nonpetani, yang selekasnya harus menjadi perhatian pemerintah.

Orang-orang bijak sudah mencatat, setiap manusia memiliki kesetiaan kepada alam kulturalnya. Buktinya, sejauh ini kita masih bersetia kepada adat istiadat, etnis, dan agama, tetapi kenapa kita tidak punya keteguhan hati untuk bertahan sebagai petani?

Bila mentalitas kepetanian yang sejati tidak segera dibangkitkan, apalagi kalau dibiarkan terus-menerus mengalami keretakan, maka lumbung-lumbung padi di seantero negeri bakal roboh, dan ketahanan pangan kita akan semakin bergantung pada kiriman beras dari luar negeri.

DAMHURI MUHAMMAD

SASTRAWAN, ALUMNUS PASCASARJANA FILSAFAT UGM

http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000014150104.aspx

Komisi IV DPR minta Presiden ubah Bulog jadi LPNK

Kamis, 28 Mei 2015

Komisi IV DPR minta Presiden ubah Bulog jadi LPNK

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi meminta Presiden Jokowi untuk mengubah status Badan Urusan Logistik (Bulog) dari Perusahaan Umum Negara (Perum) menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden.

"Bulog yang harus memberikan up date data real time langsung kepada Presiden tentang penyerapan, kelangkaan beras, dan bahan pangan lainnya," kata Viva di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis menanggapi pernyataan Presiden Jokowi tentang keinginan untuk mengubah status Bulog.

Presiden RI Joko Widodo menyampaikan, pemerintah akan mengubah fungsi perum Bulog sebagai lembaga peyangga kebutuhan bahan pokok masyarakat. Tidak hanya mengurusi masalah beras.

Sesuai amanat UU Pangan, kata Viva, pemerintah harus membentuk Badan Otoritas Pangan di tahun 2015 ini. Badan ini bisa saja menggabungkan badan ketahanan pangan dan Bulog menjadi satu.

"Jika pemerintah tidak membuat badan khusus di bidang pangan, maka pemerintah akan melanggar UU. Jadi apa yang dilakukan Presiden Jokowi sudah tepat, harus menjalankan amanat UU Pangan," katanya.

Ditambahkannya, Bulog harus diberi tambahan kewenangan oleh Presiden dalam pengelolaan tata niaga pangan selain beras. Misalnya gula, kedele, jagung. Bahan pangan haruslah dikendalikan negara. "Negara harus hadir di tengah masyarakat melalui instrumen-instrumennya, salah satunya adalah badan otoritas pangan," sebutnya.

Perum Bulog, kata Viva, saat ini adalah bentukan IMF karena program liberalisasi pangan ala IMF telah mematikan Bulog sebagai lembaga buffer stock negara. Maka saat itu status Bulog diubah dari lembaga pemerintah non departemen (LPND) menjadi Perum.

"Status Bulog sebagai Perum memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial. Bulog secara organisasi bertanggungjawab kepada kementrian BUMN. Jika Bulog tidak menjalankan fungsi komersial maka para direksinya akan dianggap tidak berprestasi. Sedang di satu sisi, Bulog harus menjalankan fungsi sosialnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketersediaan beran nasional," kata politisi PAN itu.

Bulog Siap Jadi Penyangga Empat Komoditas Pokok

Kamis, 28 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS — Meski konsep perombakan Perum Bulog yang digaungkan pemerintah belum terperinci, Perum Bulog sudah mulai berbenah secara kelembagaan dan internal. Bulog sudah menyiapkan konsep menjadi penyangga stok bahan pokok selain beras, yaitu gula, jagung, dan kedelai.

"Kami memang belum mendapat konsep terperinci dari pemerintah. Kemungkinan ke depan pemerintah akan membahasnya bersama kami. Namun, secara internal, kami sudah mempunyai konsep," kata Direktur Utama Pelayan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekty kepada Kompas di Jakarta, Kamis (28/5).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Perum Bulog atas rencana Presiden Joko Widodo merombak Bulog sebagai penyangga stok pangan beras dan sejumlah komoditas bahan pokok lain. Jokowi menyatakan hal itu dalam pidato pembukaan di Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) pada Rabu kemarin.

Menurut Lely, Bulog ke depan memang ingin berkembang sebagai lembaga penyangga stok pangan. Tidak hanya beras, tetapi juga gula, jagung, dan kedelai.

Bulog juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi penyangga stok daging. Daging merupakan bahan pokok penting yang juga mempunyai implikasi terhadap inflasi di Indonesia.

"Kami masih menunggu arahan langsung dari pemerintah pusat. Jika sudah ada, Bulog pasti akan menjalankan amanah itu," ujarnya.

Lely menambahkan, Bulog berharap pemerintah memberikan paket lengkap. Paket tersebut berupa konsep, regulasi, kelembagaan, dan anggaran.

"Kami juga berharap pemerintah memberikan dukungan dalam proses bisnis Bulog ke depan. Sarana dan prasarana serta infrastruktur terkait juga perlu disediakan," ujarnya.

Kamis, 28 Mei 2015

Jokowi Rombak Perum Bulog

Kamis, 28 Mei 2015

Pemerintah Daerah Perlu Anggarkan Dana Operasi Pasar

jakarta, kompasPresiden Joko Widodo berencana merombak fungsi Perum Bulog sebagai penyangga stok bahan pokok masyarakat. Ke depan, Bulog tidak hanya berperan sebagai penyangga stok beras nasional, tetapi juga sejumlah bahan pokok penting yang lain. Bulog juga akan diperkuat oleh pemerintah daerah terutama dalam operasi pasar.

"Kami ingin Bulog tidak hanya mengurusi beras, tetapi juga komoditas pangan yang lain. Namun, ini masih dalam proses, merevisi regulasi, dan membenahi kelembagaan," kata Presiden Joko Widodo ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurut Joko Widodo, peran Bulog sebagai penyangga stok pangan itu harus diperkuat. Bulog juga harus dibantu pemerintah daerah (pemda) terutama dalam operasi pasar.

Pemda harus mengalokasikan anggaran untuk operasi pasar di daerah masing-masing guna mengendalikan harga. Jika pemda, TPID, dan Bulog mampu mengendalikan harga, inflasi dapat ditekan. "Saya berharap TPID sesering mungkin terjun ke distributor, pedagang besar, dan ke gudang-gudang mereka agar mereka merasa diawasi. Jangan sampai mereka tidak merasa diawasi sehingga bisa mempermainkan harga," katanya.

Joko Widodo menegaskan, permainan harga itu ada di gudang-gudang, terutama di tempat-tempat yang jangkauannya sulit. Karena itu, Joko Widodo memerintahkan Kejaksaan dan Kepolisian turut serta dalam pengecekan dan pengawasan tersebut dalam rangka upaya untuk mengendalikan inflasi.

Joko Widodo berharap agar target inflasi pada tahun ini tercapai, yaitu 3-5 persen. Percepatan pembangunan infrastruktur dan pembenahan tata niaga bahan pangan akan menjadi faktor penentu pencapaian target itu.

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menambahkan, Presiden memang berkomitmen menjadikan Bulog sebagai penyangga stabilisasi harga pangan. Komoditasnya tidak hanya beras, tetapi juga gula dan komoditas penting lain.

"Kami masih akan menghitung dan memastikan komoditasnya, kesiapan Bulog, serta anggaran. Komoditas yang dipilih nanti adalah komoditas yang memberikan implikasi pada stabilitas harga," ujarnya.

Sebelumnya, Sofyan pernah menyatakan, pemerintah juga akan menyerap gula kristal putih yang diproduksi pabrik gula PT Perkebunan Nusantara. Penyerapan akan dilakukan oleh badan usaha milik negara dengan target serapan 30 persen, sehingga pemerintah mempunyai cadangan gula guna mengendalikan harga gula di pasar (Kompas, 13 Mei 2015).

Tantangan struktural

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengemukakan, Indonesia menghadapi enam tantangan struktural pengendalian inflasi. Pertama, terbatasnya kapasitas produksi pangan strategis. Hal itu terjadi karena luas lahan pertanian menyusut berganti dengan permukiman dan kawasan industri. Kedua, nilai rupiah masih rentan karena bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada barang impor.

"Ketiga, produksi pangan kita juga masih rentan terhadap iklim sehingga pasokan kerap terganggu," ujarnya.

Keempat, lanjut Agus, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak. Kelima, konektivitas antardaerah, terutama antarpulau, masih lemah sehingga menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi.

"Keenam, kami juga melihat rantai distribusi pangan di Indonesia itu masih panjang dan dikuasai segelintir pelaku saja sehingga selalu ada oligopoli dan monopoli. Bukan petani yang menikmati harga pangan, melainkan para pemain tersebut," katanya.

Oleh karena itu, Agus berharap pemerintah harus memiliki solusi struktural. Untuk saat ini, serapan dana pembangunan infrastruktur di sektor pangan, industri, energi, dan maritim, perlu dipercepat.

Pembenahan tata niaga pangan juga harus dilakukan, terutama dalam rangka memutus rantai distribusi pangan yang panjang dan pengendalian harga. Pemda juga harus mengalokasikan anggaran guna membantu Bulog dalam operasi pasar.

"Di sisi lain, setiap daerah harus mempunyai TPID dan peta jalan pengendalian inflasi. Saat ini, sudah ada 432 TPID, dan ke depan akan terus ditambah. Pada 2013, baru ada 183 TPID," ujar Agus. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150528kompas/#/17/

Sofyan Djalil: Enggak Masalah Bulog Cari Untung

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA - Menteri Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menilai wajar jika Bulog mencari keuntungan dari kegiatan operasionalnya. Sebagai sebuah perusahaan, tidak ada masalah jika Bulog mencari keuntungan asalkan tidak berlebihan.

"Enggak ada masalah Bulog cari keuntungan, karena Bulog kan perusahaan, perusahaan juga cari untung,"tuturnya di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Namun, Sofyan menegaskan, karena Bulog juga memiliki fungsi sebagai penyangga komoditas pangan nasional, maka keuntungan yang didapat Bulog dikontrol pemerintah.

"Dengan surplus itu maka mereka akan bekerja secara profesional, tanpa profit motif akan sulit sekali. Tetapi tentu jangan sampai mereka itu mengejar keuntungan saja, ini tentu pemerintah yang menentukan,"jelasnya.

"Misalnya,tugas Bulog untuk mendistribusikan beras raskin yang notabenenya produk subsidi. Di satu sisi Bulog tidak diperkenankan untuk mematok harga beras raskin dengan harga tinggi, namun di sisi lain Bulog tetap harus mendapat surplus,"tambah dia

Sebab itu,Sofyan mengatakan pemerintah dapat mengambil peranan untuk menanggung beban bunga pinjaman perbankan, jika memang Bulog melakukan pinjaman ke perbankan. Dengan begitu, Bulog tidak perlu menaikkan harga barang tertentu untuk memperoleh keuntungan.

"Misalnya dengan bunga yang lebih rendah, lalu perusahaan pinjam uang dari bank bunganya 10 persen, kalau pemerintah bisa memberikan bunga sampai 4 persen sampai 5 persen, sisanya disubsidi pemerintah," ucapnya.

Maka dari itu, Dia mengatakan, Bulog tidak terlalu perlu untuk menaikkan harga tertentu untuk memperoleh keuntungan.

(rzy)

http://economy.okezone.com/read/2015/05/27/320/1156223/sofyan-djalil-enggak-masalah-bulog-cari-untung

Perombakan Fungsi Bulog Dilakukan Bertahap

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, perombakan fungsi Perum Bulog yang diinginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan dilakukan secara bertahap. Menurut Sofyan, nantinya fungsi Bulog bukan hanya sebagai penjangga stabilisasi harga komoditas beras, namun akan ditambah dengan dua hingga tiga komoditas pangan lainnya.

"Target berikutnya adalah bagaimana Bulog menjadi penyangga stabilisasi harga, bukan hanya beras, gula pasir tetap. Tapi akan kita diskusikan, tentu barang komoditas utama seperti gula," kata Sofyan di ‎Hotel Grand Sahid, Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Godok Aturan Baru Bulog


Sofyan menambahkan, sebelum fungsi Bulog dirombak, yang utama saat ini adalah bagaimana kesiapan Bulog untuk kembali dibentuk menjadi institusi. Lantaran, sejak 1999 Bulog tidak lagi memiliki institusi dan hanya fokus pada komoditas beras saja.

‎"Saat ini Bulog kan belum punya institusi, institusinya itu setelah 1999 tidak ada lagi, mereka fokus hanya beras. Kalau ini diperbaiki mereka akan mulai dengan dua, tiga hingga empat komoditas dulu," sebutnya.



Menurut Sofyan, hal-hal lain seperti persiapan anggaran dan perubahan organisasi Bulog pun harus dipikirkan secara matang. Namun, perombakan fungsi Bulog ini harus tetap untuk menjaga harga yang berdampak kepada inflasi.

"Utamanya kesiapan institusi Bulog dan kemudian kita lihat perlu anggaran juga. Tapi yang paling penting memberikan implikasi pada stabilitas harga dan inflasi," pungkasnya. (fsl)

http://economy.okezone.com/read/2015/05/27/320/1156219/perombakan-fungsi-bulog-dilakukan-bertahap



Rabu, 27 Mei 2015

Sofyan Djalil Tolak Usulan Pembubaran Bulog

Rabu,  27 Mei 2015

JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Sofyan Djalil menolak usulan beberapa pihak untuk membubarkan Perum Bulog. Bahkan, peran dan fungsi Bulog justru akan dikembalikan seperti awal pembentukannya sebagai penyangga utama pangan nasional.

Dia mengatakan, sejak awal pembentukannya Bulog memang memiliki peranan sebagai penyangga utama komoditas pangan. Namun, saat krisis ekonomi pada 1998-1999, peranan Bulog dipangkas hanya mengatur komoditas beras.

"‎Sekarang merasa dibutuhkan kembali peran Bulog, tapi kita tentu harus menyiapkan secara hati-hati," ucapnya di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Menurutnya, pemerintah perlahan akan mengembalikan peran Bulog untuk mengatur dan menjaga stabilitas harga seluruh komoditas pangan. Namun untuk tahap awal, pemerintah baru akan menambah satu hingga dua komoditas yang akan diserahkan kewenangannya kepada lembaga pimpinan Lenny Sugihat ini.

"‎Kemudian kita perbaiki governance-nya, kita perbaiki manajemennya, sehingga dengan demikian Bulog bisa berperan sebagai penyangga dan stabilisasi harga," imbuh dia.

Mantan menteri BUMN ini menjelaskan, kendati kewenangan Bulog akan dilimpahkan untuk menjaga seluruh komoditas pangan, namun tetap dengan peranan sebagaimana layaknya perusahaan, dengan catatan tugasnya untuk menyangga dan menstabilkan harga komoditas tersebut.

"Kita perlu hati-hati memperbaiki governance, perbaiki manajemen, penyiapan dana, sehingga bisa berperan sebagaimana layaknya perusahaan, tapi tugasnya penyangga," jelasnya.

Sementara, mengenai usulan Bulog dilebur ke lembaga otoritas keamanan pangan, sambung Sofyan, ‎pendekatan korporasi akan jauh lebih baik dibanding pendekatan birokrasi. Sebab, jika menggunakan pendekatan birokrasi akan terlalu banyak distorsinya.

"‎Tapi kalau pendekatan korporasi, Bulog bagaimanapun sudah punya pengalaman cukup lama, tinggal kita perbaiki saja dengan menambah modal dan menambah barang yang mereka kelola," jelas dia.

Sebelumnya, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan saat ini, Perum Bulog sudah tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan sudah saatnya dibubarkan. Pasalnya, Bulog sebagai penyangga utama pangan nasional tidak mampu menjalankan fungsinya untuk menstabilkan harga pangan.


26 BUMN Rugi Rp 11,7 Triliun

Rabu, 27 Mei 2015

MedanBisnis - Jakarta. Saat ini terdapat 119 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi tidak semuanya memiliki kinerja keuangan kinclong alias mampu meraih laba bersih sepanjang tahun 2014.
Tercatat, sebanyak 26 perusahaan pelat merah masih rugi. Total kerugian dari 26 BUMN tersebut ialah Rp 11,7 triliun.

Meski masih ada perusahaan pelat merah yang rugi, tapi jumlah BUMN dan nominal kerugian pada tahun 2014 ternyata menurun bila dibandingkan tahun 2013. Tahun 2013, tercatat 30 BUMN mengalami rugi sebesar Rp 34,68 triliun, jadi ada penurunan 65,77%. "Secara umum kinerja BUMN membaik karena jumlah BUMN yang rugi berkurang. BUMN yang mengalami kerugian besar seperti Garuda, Antam dan Krakatau Steel," kata Asdep Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian BUMN, Seger Budiarjo, Selasa (26/5).

Dari data tahun 2014, sebanyak 14 BUMN merupakan pemain lama alias tercatat mengalami kerugian dari tahun 2013, sedangkan sisanya sebanyak 13 BUMN sebagai pendatang baru.

Dari 26 BUMN yang tercatat rugi, sebanyak 5 BUMN laporan keuangan dalam status anaudited sedangkan 1 BUMN memakai laporan keuangan (audited) tahun 2013 karena telah berhenti operasi.

Adapyn daftar 26 BUMN yang rugi sepanjang tahun 2014 adalah Perum Produksi Film Negara rugi Rp 1 miliar, PT Energy Management Indonesia rugi Rp 3 miliar (unaudited), PT PDIP Batam Rugi, rugi Rp 5 miliar, PT INUKI, rugi Rp 6 miliar (unaudited), PT Primissima rugi Rp 7 miliar, PT Balai Pustaka rugi Rp 8 miliar, PT Indra Karya rugi Rp 9 miliar, PT Survai Udara Penas rugi Rp 21 miliar, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia rugi Rp 37 miliar, PT Berdikari rugi Rp 48 miliar, PT Industri Sandang Nusantara rugi Rp 68 miliar, PT Kertas Kraft Aceh rugi Rp 81 miliar (unaudited), PT Dok & Perkapalan Surabaya rugi Rp 90 miliar, PT Barata Indonesia rugi 97 miliar, PT Iglas rugi Rp 101 miliar, PT Pertani rugi Rp 123 miliar (unaudited), PT ASEI REI, rugi Rp 128 miliar, PT Sang Hyang Seri rugi Rp 160 miliar (unaudited), PT Dok & Kodja Bahari, rugi Rp 176 miliar, PT INTI rugi Rp 266 miliar, PT Rajawali Nusantara Indonesia rugi Rp 281 miliar, Perum Bulog rugi Rp 459 miliar, PT Antam Tbk Rugi Rp 775 miliar, PT Merpati Nusantara Airlines rugi Rp 1,57 triliun (audited 2013), PT Krakatau Steel Tbk rugi Rp 2,59 triliun, dan PT Garuda Indonesia Tbk rugi Rp 4,62 triliun

Laba Terbesar
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mencatat 92 dari 119 perusahaan pelat merah mendapat laba bersih di 2014. Ada 20 BUMN yang meraih laba bersih di atas Rp 900 miliar.

Peringkat pertama untuk BUMN peraih laba bersih tertinggi dipegang oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dengan laba bersih Rp 24,25 triliun. BRI berhasil menggeser posisi PT Pertamina (Persero) yang sebelumnya berada di peringkat pertama 2013.

Di 2013, Pertamina meraup laba bersih Rp 32,05 triliun dan turun menjadi Rp 18,23 triliun di 2014. BUMN yang berhasil naik peringkat dari rugi menjadi laba ialah PT PLN (Persero).

PLN masuk daftar 20 BUMN dengan laba tertinggi yakni dari rugi Rp 29,56 triliun pada tahun 2013 berubah menjadi untung Rp 11,74 triliun.

Dari 20 BUMN dengan laba terbesar, sebanyak 11 BUMN berstatus perusahaan tertutup dan 9 BUMN sudah terdaftar di lantai bursa alias perusahaan terbuka.

Hebatnya, 20 BUMN dengan laba terbesar ini menyumbang 97,94% dari total perolehan laba perusahaan pelat merah 2014. Total laba seluruh BUMN senilai Rp 148,17 triliun sedangkan total laba 20 BUMN dengan urutan teratas yakni Rp 145,13 triliun.

Adapun daftar 20 BUMN dengan laba bersih terbesar pada tahun buku 2014 adalah

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Rp 24,25 triliun, PT Telkom Tbk Rp 21,44 triliun, PT Bank Mandiri Tbk Rp 20,65 triliun, PT Pertamina (Persero) Rp 18,23 triliun, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Rp 11,74 triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) laba Rp 10,82 triliun, PT Perusahaan Gas Negara Tbk Rp 8,88 triliun, PT Semen Indonesia Tbk Rp 5,57 triliun, PT Pupuk Indonesia (Persero) Rp 4,82 triliun, PT TASPEN (Persero) Rp 3,46 triliun, PT Jasa Raharja (Persero) Rp 2,36 triliun, PT Bukit Asam Tbk Rp 2,01 triliun, PT Pegadaian (Persero) Rp 1,70 triliun, PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Rp 1,58 triliun, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) (Persero) Rp 1,6 triliun, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Rp 1,57 triliun, PT Jasa Marga Tbk Rp 1,21 triliun, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Rp 1,11 triliun, PT Angkasa Pura II (Persero) Rp 1,09 triliun, dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), laba Rp 943,42 miliar

Laba Menipis
Seger mengatakan 119 BUMN mencatat perolehan total laba bersih Rp 148,17 triliun. Laba bersih BUMN tersebut turun 1,9%, bila dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 151,85 triliun."Penurunan laba BUMN sangat dipengaruhi oleh penurunan laba Pertamina yang signifikan. Tahun 2013 laba senilai Rp 32 triliun kemudian turun ke Rp 19 triliun di 2014. Penurunan laba Pertamina dipengaruhi oleh turunnya harga minyak," katanya.

Pertamina sendiri merupakan satu BUMN penyumbang laba terbesar. Berkurangnya total laba BUMN juga dipengaruhi oleh proses penurunan nilai aset atau impairment asset. (ant)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/05/27/165930/26-bumn-rugi-rp-117-triliun/#.VWW_JtK8PGc

Tak Dibubarkan, Bulog Akan Tambah Pekerjaan

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan Bulog tidak dibubarkan tapi akan diberdayakan untuk dapat menyerap dua komoditi tambahan. Namun, diperlukan kehati-hatian dalam memberdayakan peran Bulog dengan terlebih dulu memperbaiki governace dan manajemennya.

"Memberdayakan Bulog, tentu harus menyiapkannya secara hati-hati. Mungkin ditambah satu sampai dua komoditas, kemudian perbaiki governance-nya, dan kita perbaiki manajemennya, sehingga Bulog bisa berperan sebagai penyangga dan menjaga stabilisasi harga," tuturnya, di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Sofyan mengatakan, perlu kehati-hatian dalam memperbaiki governance dan manajemen sehingga Bulog bisa berperan sebagaimana layaknya perusahaan namun juga bertugas sebagai penyangga.

"Tetap Bulog harus dapat memastikan stok-stok beras dan dua komoditi tambahannya aman, sehingga stabilitas harga bisa dijaga," ucapnya.

"Oleh karena itu, kita harus terus melakukan studi, harus pelan-pelan, jangan tiba-tiba. Mungkin akan ditambah satu per satu dulu," lanjutnya.

Sementara terkait isu Bulog yang hanya mencari untung, jelas Sofyan, Bulog itu sebuah perusahaan yang juga mencari keuntungan, tapi tetap tugasnya sebagai penyangga.

"Tidak masalah cari untung, asal tidak berlebihan. Tapi tentunya tidak mengejar keuntungan, karena itu yang menentukan pemerintah," tuturnya.

(rzy)

http://economy.okezone.com/read/2015/05/27/320/1156192/tak-dibubarkan-bulog-akan-tambah-pekerjaan

Perombakan Bulog Bisa Tekan Laju Inflasi

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempunyai cara untuk menekan laju inflasi di daerah yang berdampak kepada tingkat inflasi nasional. Cara tersebut adalah berencana membuat pasar lelang dan merombak fungsi dari Perum Bulog untuk tidak hanya sebagai penyangga beras tetapi komoditas pangan lainnya.

Menurut Jokowi, jika kedua rencana tersebut dapat direalisasikan akan banyak sekali menekan laju inflasi yang membuat tingkat inflasi Indonesia akan turun di regional ASEAN.

"Perlu waktu bahwa Bulog harus menjadi penyangga, tapi kalau sistem pasar lelang itu berhasil dan juga Bulog sebagai penyangga juga baik itu saya kira akan menekan banyak sekali inflasi," yakin Jokowi di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Namun, saat ini kedua rencana tersebut masih dalam tahap proses. Untuk rombak Bulog sendiri masih menunggu revisi legalitas regulasi dan kelembagaan.

"Masih dalam proses, cukup. Masih diproses juga (pasar lelang)," singkatnya.

Sekedar informasi, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berupaya mencapai target inflasi tahun ini yang mencapai 4 plus minus 1 persen.

(rzy)
http://economy.okezone.com/read/2015/05/27/320/1156096/perombakan-bulog-bisa-tekan-laju-inflasi

Presiden Jokowi Akan Rombak Fungsi Bulog

Rabu, 27 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden RI Joko Widodo menyampaikan, pemerintah akan mengubah fungsi perum Bulog sebagai lembaga peyangga kebutuhan bahan pokok masyarakat.

“Kita juga ingin merombak fungsi Bulog sebagai lembaga penyangga, dan tidak hanya mengurusi masalah beras,” kata Jokowi dalam pidatonya dalam Rapat Koordinasi Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), di Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Jokowi mengatakan, nantinya Bulog tidak hanya mengurusi komoditas beras saja, melainkan juga komoditas pangan lain. “Tapi ini masih dalam proses, merevisi regulasi dan kelembagaan,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Selain merombak fungsi Bulog, Jokowi juga meminta kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD tahun depan untuk stabilisasi harga, yakni melakukan kegiatan operasi pasar.

“Sekarang ini yang melakukan operasi pasar baru Bulog. Tapi, kalau Provinsi, Kabupaten, Kota bersama-sama melakukan itu, inflais bisa kita tekan serendah-rendahnya,” ucap Jokowi.

Dia menyebut, banyak hal yang menyebabkan inflasi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif listrik, kenaikan tarif angkutan umum, kenaikan harga LPG mempengaruhi gejolak harga yang bisa meningkatkan inflasi.

“Dan yang paling banyak pengaruhnya adalah beras, cabai, bawang merah, daging ayam dan daging sapi,” ujar Jokowi.

Kapolri Pastikan Tak Ada Beras Plastik

Selasa, 26 Mei 2015


JAKARTA - Pemerintah dan Polri akhirnya mengumumkan hasil penelitian atas sampel beras sintetis. Berdasarkan uji atas sampel beras yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Pusat Laboratorium Forensik Polri, ternyata tidak ditemukan beras yang bercampur plastik.

“Hasil pemeriksaan laboratotium forensik itu negatif. Tidak ada unsur plastik dari hasil pemeriksaan laboratorium itu,” ujar Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/5).

Untuk mempertegas hasil uji laboratorium itu, kata Badrodin, dirinya bersama Menteri Perdagangan Rahmat Gobel telah meminta sample yang masih tersisa di Sucofindo untuk diperiksa lagi di laboratorium BPOM dan Puslabfor Polri. Sebab, sebelumnya penelitian Sucofindo menunjukkan adanya kandungan sintetis dalam beras yang diuji.

Namun, dari pemeriksaan ulang itu ternyata tak ditemukan kandungan sintetis. “Hasilnya juga negatif,” tegas Badrodin.

Karenanya pemerintah memastikan beras yang diduga plastik itu tidak benar. Meski demikian Badrodin meminta masyarakat tetap melaporkan ke polisi jika memang menemukan beras sintetis.

“Saya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak resah. Kalau ada yang dicurigai, silakan memberikan informasi kepada aparat pemerintah setempat atau kepada petugas kepolisian di tempat masing-masing untuk bisa dilakukan pengecekan,” pinta Badrodin.

Sedangkan Kepala Badan POM  Roy Alexander Sparringa mengungkapkan hal senada. Menurutnya, hasil uji BPOM atas beras yang diduga sintetis itu juganegatif.

“Jadi jelas kami ingin sampaikan di sini masyarakat diimbau tenang. Kami Badan POM telah menginstruksikan jajaran di daerah  untuk mengawal kasus ini dan siap untuk menguji jika diduga ada,” tutur Roy.(flo/jpnn)

http://www.jpnn.com/read/2015/05/26/306209/Kapolri-Pastikan-Tak-Ada-Beras-Plastik

Politikus Golkar Curiga Beras Plastik Skenario Hancurkan Bulog

Selasa, 26 Mei 2015

JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo mencurigai ada upaya menghancurkan kredibilitas Badan Urusan Logistik (Bulog) melalui skenario beras plastik.

"Ini rekayasa sedemikian rupa oleh kelompok tertentu ingin menghancurkan Bulog. Karena itu sekarang sudah mulai masuk, bahwa beras plastik itu ditemukan bercampur di raskin. Raskin itu siapa penyelengaraanya? Bulog," kata Firman di gedung DPR Jakarta, Selasa (26/5).

Menurut Firman, para mafia beras takut tak bisa “bermain” lagi. Itu akan terjadi jika posisi Bulog diperkuat sebagai buffer stock beras nasional sekaligus penyangga harga hingga menjadi lembaga pangan nasional. “Maka (muncul skenario) dihancurkan dulu Bulognya," jelas Firman.

Namun, Firman tak menyebutkan dengan rinci pihak yang ingin menghancurkan Bulog. Dia meminta agar pihak terkait melakukan investigasi untuk meneliti masuknya beras itu legal atau ilegal.

"(Bisa saja) disusupi beras campuran. Indikasinya adalah, satu disebarkan ke pasaran, dua dimasukkan ke Bulog tadi supaya Bulog posisinya terpojokkan. Sehingga ada ketidakpercayaan dari publik dan pemerintah mengambil kebijakan bubarkan Bulog. Ini politiknya di situ," tandas Firman. (fat/jpnn)

Selasa, 26 Mei 2015

Hari Ini, Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Beras Plastik

Selasa, 26 Mei 2015


JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo akan menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri dan pejabat terkait di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (26/5/2015). Rapat akan secara khusus membahas temuan beras plastik.

"Besok (hari ini), Presiden akan ada rapat bersama menteri, BPOM, dan Polri khusus bahas beras plastik. Jadi tunggu hasilnya," ujar Menteri Perdagangan Rachmat Gobel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/5/2015).

Gobel mengatakan, BPOM nantinya akan menyampaikan hasil uji laboratorium ke Presiden. BPOM sebelumnya sudah menyatakan bahwa hasil uji laboratorium terhadap sampel beras plastik sudah selesai dan telah diserahkan ke kepolisian untuk diusut. (baca: Kapolri Bentuk Tim Khusus untuk Usut Beras Plastik)

Menurut Gobel, hingga saat ini Kementerian Perdagangan belum menemui kasus beras plastik lainnya. Bekasi, menjadi satu-satunya lokasi penemuan beras yang kabarnya mengandung bahan plastik itu.

Dia juga memastikan bahwa beras plastik itu bukanlah hasil dari impor beras yang dilakukan pemerintah. (Baca: Jokowi Minta Kasus Beras Plastik Jangan Dibesar-besarkan)

"Kita belum pernah terbitkan izin impor beras," ucap Gobel.

Pria yang merintis karier sebagai pengusaha barang elektronik itu mengaku sudah pula menanyakan soal beras impor ini ke Menteri Perdagangan Malaysia dan Menteri Perdagangan Tiongkok. Mendag Malaysia menyatakan bahwa beras itu bukan berasal dari mereka. Demikian pula dengan Tiongkok.

"Di Tiongkok, hanya ada satu perusahaan BUMN mereka yang melakukan ekspor beras. Tapi mereka pastikan beras itu bukan punya mereka," ucap Gobel.

Saat ditanyakan apakah kemungkinan beras plastik itu diproduksi dalam negeri, Gobel menyatakan, masih harus ada pengkajian mendalam. Pasalnya, pemerintah melihat ada keganjilan dari temuan beras plastik ini. (Baca: Mentan: Beras Plastik Tidak Mungkin Menguntungkan)

"Harga plastik itu lebih mahal daripada beras. Jadi kalau dicampurkan, bukannya untung, malah rugi. Makanya ini ada motif apa, yang harus ditelusuri," papar dia.

http://nasional.kompas.com/read/2015/05/26/10104461/Hari.Ini.Jokowi.Kumpulkan.Menteri.Bahas.Beras.Plastik

Hasil uji lab beras plastik diminta segera diumumkan

Selasa, 26 Mei 2015

Hasil uji laboratorium tentang beras plastik yang ramai diberitakan dalam beberapa hari terakhir diminta untuk segera diumumkan pemerintah.
Sekitar sepekan setelah penemuan beras plastik di salah satu pasar tradisional di Bekasi, Mabes Polri hingga Senin malam (25/05) masih meneliti sampel beras plastik bersama dan BPOM dan IPB.
Penelitian serupa yang dilakukan sebuah BUMN sudah mengukuhkan bahwa beras yang ditemukan di Bekasi adalah beras plastik.
Sejauh ini polisi belum menerima laporan mengenai beredarnya beras plastik di daerah lain, kata juru bicara Mabes Polri Kombes Polisi Agus Rianto.
"Belum menemukan di tempat lain, kemarin ada informasi di salah satu kabupaten di Jawa Barat tetapi kita telusuri belum ada dan kita sudah memberikan sampel kepada pihak terkait tetapi belum ada hasilnya," jelas Agus.
Dugaan peredaran beras plastik ini jelas membuat para pedagang maupun konsumen khawatir, seperti yang ditemui BBC Indonesia di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat, hari Senin.
Salah seorang pedagang beras di pasar tersebut, Liani Megawati, mengatakan pekan lalu petugas dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan sudah mengambil sampel beras yang dijualnya.
Kita memasang spanduk dan memeriksa beras di pasar ini agar konsumen tidak resah.
Priatna
"Iya sudah diambil tetapi tidak ditemukan ada beras plastik, tapi ya kita waspada melihat ciri-cirinya yang tidak mudah patah, walaupun sulit juga ya karena dicampur," kata Mega.
Tidak mudah patah
Sementara pedagang nasi di pasar yang sama, Hana, mengatakan kini lebih hati-hati dalam membeli beras.
"Ya kita lebih berhati-hati. Kita tanya ke penjualnya apakah dicampur plastik atau tidak berasnya, kan kasian yang makan kalau ada beras plastiknya. Sampai sekarang sih tidak ada," kata dia.
Sementara Kepala PD Pasar Gondangdia, Priatna, mengatakan pencegahan peredaran beras plastik dilakukan dengan pengecekan ke pedagang dan juga pemasangan spanduk.
Pemerintah meminta konsumen agar tidak khawatir dan tidak membesar-besarkan kemungkinan peredaran beras plastik.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, bahkan mengeluarkan tudingan isu beras plastik digulirkan pihak-pihak tertentu untuk merongrong pemerintah.
Pasar Gondangdia
Spanduk di Pasar Gondangdia, Jakarta, memastikan produk beras yang dijual kepada konsumen.
Apapun alasannya, dugaan peredaran beras plastik -yang ciri-cirinya antara lain tidak mudah patah, berwarna sangat putih, dan tanpa serat- Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, menegaskan masyarakat seharusnya diberi kepastian secepatnya dengan segera mengumumkan hasil penelitian.
"Masyarakat harus diberi tahu apakah memang kejadian hanya di Bekasi atau ada potensi kejadian di tempat lain, itu harus dibuktikan dengan sampling dari berbagai titik paling tidak di Jabodetabek dulu. Paling tidak pasar itu aman, uji laboratorium paling tiga atau empat hari, jangan sampai menunggu terlalu lama," kata Tulus.
Peredaran beras plastik terungkap melalui seorang pedagang bubur di Bekasi yang mengunggah foto beras plastik yang telah dimasak dan menyampaikan keheranannya.
PT Sucofindo, perusahaan BUMN, kemudian meneliti beras itu dan mengungkapkan kandungan plastik bahan pembuat pipa dan kabel terdapat dalam beras tersebut.
Bagaimanapun hingga kini belum diketahui asal usul beras, tetapi wakil menteri perdagangan Cina telah menyatakan akan membantu Indonesia untuk melacak asal beras.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150525_indonesia_beras

Penetrasi oleh Pemerintah Lemah

Selasa, 26 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan pemerintah memenetrasi harga pasar kebutuhan pokok, terutama beras, masih sangat lemah. Hal itu menyebabkan pedagang dengan leluasa mengatur harga pasar. Jika hal tersebut masih terjadi, konsumen dan petani yang dirugikan.

Hal itu mengemuka dalam talkshow Radio Republik Indonesia bertema "Pangan Kita" di Jakarta, Senin (25/5).

Pembicara dalam kegiatan itu adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina, anggota DPD Ajiep Padindang, dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santoso.

Ajiep Padindang mengemukakan, harga kebutuhan pokok kerap kali bergejolak di saat-saat tertentu. Di sisi lain, pemerintah kerap kesulitan menstabilkan harga karena mekanisme harga masih ditentukan pasar.

"Kenaikan harga beras beberapa waktu lalu, misalnya, membuat pemerintah sulit mengendalikan harga karena cadangan beras nasional sangat terbatas. Beras telah dikuasai pedagang, sedangkan Perum Bulog kesulitan menyerap. Karena itu, perlu ada regulasi yang memungkinkan pemerintah memenetrasi harga," ujarnya.

Memegang kendali

Dwi Andreas Santoso mengatakan, pemerintah seharusnya bisa memegang kendali untuk mengamankan stok dan harga pangan strategis, terutama beras. Selama ini, pedagang dan pengusaha penggilingan padi rata-rata menguasai stok beras 92-93 persen per tahun, sedangkan Bulog hanya 7-8 persen per tahun.

Maka, ketika harga beras tinggi, mereka yang mempunyai stok banyak yang untung. Sementara petani justru tidak untung sama sekali karena mereka menjual gabah kering panen dengan harga Rp 2.900-Rp 3.600 per kilogram.

"Harga beras itu lebih rendah dari harga gabah di tengkulak, yaitu Rp 4.400-Rp 4.700 per kilogram. Hal ini menunjukkan tidak hanya konsumen yang dirugikan, tetapi juga petani. Banyak gabah petani yang dibeli tidak sesuai dengan harga pembelian pemerintah," katanya.

Dwi menambahkan, hal itu menyebabkan tingkat kesejahteraan petani turun tajam beberapa bulan terakhir ini. Pada April 2015, ketika harga beras tetap bertahan tinggi, nilai tukar petani (NTP) justru jatuh.

Pada April 2015 NTP petani turun dibandingkan dengan Maret 2015, yaitu minus 1,37 dari 101,53 menjadi 100,14. NTP sektor tanaman pangan mengalami penurunan terbesar, yaitu minus 3,44, dan masuk ke ambang bahaya karena sudah di bawah 100, yaitu 97,33.

Operasi pasar

Srie Agustina mengemukakan, selama ini penetrasi harga beras di pasar dilakukan pemerintah melalui operasi pasar. Beberapa bulan yang lalu pemerintah menggelar operasi pasar untuk menurunkan harga beras yang melonjak.

Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden tentang bahan pokok strategis dan penting.

"Salah satu isi regulasi itu adalah pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengintervensi harga ketika harga kebutuhan pokok naik tidak wajar. Di sisi lain, pemerintah juga tengah menata distribusi komoditas di setiap daerah untuk mengurangi disparitas harga," katanya. (HEN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150526kompas/#/17/

Nasionalisme dan Ekonomi

Senin, 25 Mei 2015

Nasionalisme dan ekonomi seolah-olah tidak berhubungan. Rasa berbangsa dan bertanah air satu membangun sebuah kesadaran bahwa tanah dijajah untuk memakmurkan penjajah. Penjajahan Barat (Portugal, Spanyol, dan Belanda) di Nusantara berawal dari keunggulan Barat dalam berdagang.

Ketika nasionalisme menemukan bentuknya dalam negara-bangsa, kedaulatan republik tidak mudah melepaskan diri dari kepentingan ekonomi Barat. Heroisme bambu runcing mampu mengusir penjajah, tetapi tidak cukup untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Kedaulatan republik baru diakui Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda (1949).

Itu pun Indonesia harus berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Uni Indonesia-Belanda dibentuk dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni itu. Semua utang Hindia Belanda sampai batas penyerahan Jepang, sebesar 4,3 miliar gulden (sekitar Rp 14 triliun sekarang), ditanggung oleh RIS. Semua aset asing dikembalikan. Negara boleh mengambilnya dengan kompensasi yang adil. Secara ekonomi, republik tersandera.

Kedaulatan ekonomi

Para bapak bangsa dengan sadar menjadikan sosialisme sebagai ideologi tandingan bagi kapitalisme. Visi ekonomi negara dirumuskan sederhana dalam tiga ayat konstitusi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bumi, air, kekayaan alam di dalamnya, dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Nasionalisme sumber daya alam dan cabang-cabang produksi bertentangan dengan spirit individualistis kapitalisme, tetapi juga bukan etatisme (rakyat untuk negara). Meski tidak eksplisit, UUD 1945 dijiwai sosialisme religius. Spirit sosialistis terasa semasa rezim Orde Lama yang tidak mau tersandera utang luar negeri dan modal asing. Ketergantungan pada bantuan luar negeri (baca: utang) dalam praktiknya menggerogoti kedaulatan ekonomi nasional.

Rezim Orde Baru menegaskan ideologi ekonomi Indonesia bukan kapitalisme, juga bukan sosialisme. Namun, dalam praktiknya, akumulasi modal dan kekayaan terpusat di luar negara. Yang bertambah kaya bukan negara, melainkan elite penguasa dan kroninya. Nasionalisme dilepaskan dari kedaulatan ekonomi. Sampai sekarang, dominasi ekonomi negara lain dan eksploitasi sumber daya alam untuk kemakmuran para kapitalis dilindungi undang-undang.

Kapitalisme global memaksa negara menyerahkan sebagian kedaulatannya. Negara berkembang biasanya lebih tunduk pada tuntutan korporasi global daripada sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara tidak berdaya atas kekayaan bumi tanah Papua, meski investasi asing di sana tidak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat.

Selama puluhan tahun negara hanya dalam posisi penerima royalti dari hasil eksploitasi yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Setelah ada tekanan publik, barulah besaran royalti itu sedikit meningkat jadi 3,75 persen (emas), 4 persen (tembaga), dan 3,25 persen (perak). Penerimaan sesungguhnya perusahaan itu tidak bisa diaudit dan, konsekuensinya, lolos dari skema perpajakan.

Kebijakan negara menyangkut tenaga buruh didikte kepentingan kapitalisme global yang bermarkas di luar Indonesia. Regulasi tenaga kerja alih daya yang menjadikan buruh seperti sekrup mesin produksi tak kunjung dibatalkan.

Kekuatan ekonomi sebuah perusahaan multinasional melampaui kekuatan ekonomi suatu negara. Angka penjualan korporasi multinasional General Motors, Wal-Mart, Exxon Mobil, Ford Motor, ataupun Daimler Chrysler di atas produk domestik bruto Indonesia. Sedikit di bawah Indonesia adalah Mitsui, Mitsubishi, Toyota Motor, dan General Electric. Peta kekuatan ekonomi kini mengalami pergeseran dengan masuknya korporasi global dari kapitalis negara, terutama Tiongkok.

Kebangkitan ekonomi

Sebuah laporan dari Institute for Policy Studies (2000) memperlihatkan kebangkitan spektakuler korporasi global. Pada tahun 1999, seratus kekuatan ekonomi terbesar di dunia terdiri dari 51 korporasi dan 49 negara. Peta jalan ekonomi nasional masih belum memperlihatkan situasi darurat dalam kepungan kapitalisme pasar bebas dan kapitalisme negara.

Nasionalisme Indonesia seharusnya menjadi spirit kebangkitan ekonomi. Selama ini kita masih banyak hidup dengan slogan nasionalisme: cintailah produk Indonesia, (dalam praktiknya) belilah produk luar negeri. Swasembada pangan pun terancam gagal apabila negara membiarkan usaha rakyat bersaing sendiri melawan kekuatan kapitalis pasar bebas dan kapitalis negara.

Konsumen di Pulau Jawa lebih memilih jeruk mandarin ketimbang jeruk medan yang lebih murah. Itu berarti aktivitas ekonomi kita menghidupi petani di Tiongkok dan dalam jangka panjang secara tak langsung mematikan usaha petani jeruk di Sumatera Utara. Jeruk yang hanya menyeberangi selat kalah bersaing dengan jeruk yang melintas samudra. Mustahil petani jeruk kita mampu bersaing dengan petani jeruk Tiongkok yang ditopang (kapitalisme) negara.

Untuk menghindari tafsir keliru atas pasal ekonomi yang begitu singkat dalam UUD 1945, amandemen konstitusi menambahkan, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".

Namun, praktik ekonomi dalam banyak contoh lebih liberal daripada negara kapitalis. Di negara-negara Uni Eropa, transaksi sehari-hari harus dalam mata uang euro. Di Indonesia, dollar Amerika Serikat menjadi primadona. Pejabat yang disuap pun memilih mata uang asing. Lalu lintas devisa terlalu bebas. Negara hanya mencatat devisa hasil ekspor, tetapi uangnya sendiri tersimpan di luar negeri dan menguatkan cadangan devisa negeri asing.

Koperasi di negara kapitalis Barat memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap perusahaan dan pemodal besar. Cerita sukses koperasi seperti itu jarang terdengar di Indonesia. Badan-badan usaha milik negara (BUMN/BUMD) harus layak bisnis dan mengamankan kepentingan nasional. Era BUMN/BUMD sebagai sapi perah atau tempat penampungan loyalis penguasa harus berakhir.

Di era globalisasi, negara-negara seperti tidak berbatas. Negara-bangsa seperti sebuah ilusi. Namun, Amerika dan Tiongkok masih berbicara tentang kepentingan nasional. Nasionalisme berarti memihak kepentingan nasional, bukan membela identitas bangsa. Untuk itu, politik harus melepaskan diri dari personalisasi kekuasaan. Kepentingan bangsa di atas segala-galanya untuk kebangkitan ekonomi.

YONKY KARMAN PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

http://print.kompas.com/baca/2015/05/25/Nasionalisme-dan-Ekonomi

Senin, 25 Mei 2015

Inpres Beras Selalu Bermasalah

Senin, 25 Mei 2015

JAKARTA, suaramerdeka.com - Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai selalu kesulitan dalam memenuhi target pengadaan beras pemerintah. Penyebabnya, harga beras di pasaran selalu lebih tinggi ketimbang patokan pemerintah seperti tercantum dalam instruksi Presiden (Inpres).

“Inpres perberasan memang selalu problematik mulai dari pemerintahan SBY, sampai pemerintah Jokowi,” ujar Peneliti Senior Pusat Studi dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum, baru-baru ini.

Jika Bulog tidak boleh membeli beras di atas HPP, hampir dipastikan cadangan beras nasional, 1,5 juta hingga 1,8 juta ton, sulit tercapai. “Bedanya, zaman SBY mudah ditambal importasi, jamannya Jokowi dibatasi janji tak akan impor dan kedaulatan pangan,” ungkapnya.

Tahun ini, lanjut  Mochammad Maksum, Presiden Jokowi lewat Inpres No.5/2015 menetapkan HPP Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 3.700 per kilogram (kg) di petani atau Rp3.750 per kg di penggilingan.

Sementara itu, HPP Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp 4.600 per kg di penggilingan atau Rp 4.650 per kg di gudang Bulog.

Adapun HPP beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp 7.300 per kg di gudang Bulog.

“Inpres 5/2015 proporsi harga antara beras Rp 7.300 per kg dan GKP Rp 7.300 per kg, dengan biaya penggilingan Rp 300-Rp 500 per kg, secara teknis hanya bisa terwujud ketika rendemennya penggilingannya 66 persen-67 persen, ini menjadi krisis akademik karena angka rendemen ini tidak pernah ada, di laboratium sekalipun,” kata Maksum.

(A Adib / CN26 / SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/inpres-beras-selalu-bermasalah/

Beras Sintetis Tak Masuk Akal

Senin, 25 Mei 2015

Perum Bulog Terus Tingkatkan Serapan Gabah

SOLO, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menegaskan, peredaran beras yang mengandung bahan sintetis berbahaya di pasaran adalah tidak masuk akal. Pasalnya, harga bahan baku plastik yang tercampur di dalam beras itu lebih mahal daripada harga beras yang dikonsumsi masyarakat.

Pemerintah masih mendalami motivasi mereka yang mengedarkan beras bermasalah itu. Pemerintah juga sedang memastikan apakah peredaran beras itu hanya ada di satu lokasi atau di banyak tempat.

"Yang penting, akar masalahnya perlu dipastikan dulu, apakah benar ada peredaran beras di banyak tempat. Lalu motivasinya apa menjual beras itu, apakah mencari keuntungan? Menurut saya tidak untuk itu karena kalau begitu tidak logis. Bahan plastik itu lebih mahal daripada beras," kata Presiden Jokowi saat ditemui di acara hari tanpa kendaraan bermotor di Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (24/5).

Presiden berharap kasus beras ini tidak terlalu dibesar-besarkan sebelum ada hasil penelitian. Saat ini pemerintah sedang menguji sampel beras di laboratorium Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan PT Sucofindo. "Jika sudah selesai diteliti sejumlah laboratorium, baru kami dapat bicara. Jangan semua orang ikut bicara dan malah membesarkan masalah," kata Jokowi.

Menurut Presiden, penggunaan bahan plastik sebagai campuran beras sulit diterima akal sehat. Saat ditanya, apakah ada kemungkinan beras itu dari luar negeri, Presiden mengatakan, "Saya belum tahu. Kasus ini perlu didalami terlebih dahulu."

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga ada motif politik dalam munculnya kasus ini. Pasalnya, Menteri Perdagangan dan Perusahaan Umum Bulog sudah menyatakan tak ada impor beras sejak Januari 2015. Artinya, beras sintetis yang ditengarai dari luar negeri itu ilegal. "Harus diusut tuntas dan pasti ketemu siapa otak pelaku ini semua," ujarnya.

Sejak awal, pemerintah pimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menaruh perhatian serius pada persoalan beras. Pemerintah bertekad menciptakan swasembada beras dengan menggenjot produksi beras nasional. Karena itu, pemerintah menargetkan dapat menyerap beras petani 3 juta-4,5 juta ton hingga akhir tahun ini.

Kepala Perum Bulog Subdivisi Regional Cirebon Miftahul Ulum mengatakan, belum ada kasus beras sintetis di wilayah tugasnya. Dari 10 gudang penyimpanan di wilayahnya, semua beras aman dari bahan sintetis.

Di luar persoalan beras sintetis yang sedang ramai dibicarakan, Bulog terus berusaha meningkatkan serapan gabah petani. Tantangan Bulog saat ini adalah harus bersaing dengan harga pasar yang sudah telanjur tinggi.

Bulog Cirebon, sementara ini, berhasil menyerap beras sebanyak 52.000 ton dari target 95.000 ton dalam satu tahun. Penyerapan itu sementara aman untuk kebutuhan enam bulan ke depan. Adapun stok beras Bulog secara nasional saat ini sekitar 1,2 juta ton. (RWN/NDY)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150525kompas/#/15/

Ada Agenda Terselubung dari Penyebaran Beras Sintetis

Senin, 25 Mei 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bustanul Arifin menilai dalam kasus temuan beras sintetis tidak mengarah kepada motif ekonomi. Menurutnya, jika pelaku penyebar beras sintetis memiliki motif ekonomi, maka harga beras sintetis tidak akan murah.

“Spekulasi saya, motif pelaku beras sintetis di sini ada agenda lain,” ungkap Bustanul kepada ROL, Ahad (24/5). Menurutnya, motif pelaku ada kemungkinan mengenai politik atau intelejen atau keamanan pangan atau mengancam gagalnya program pemerintah terkait ingin membuat beras analog.

Lebih lanjut ia menjelaskan, selain yang sudah jelas temuan tersebut sudah bisa mengancam keamanan pangan namun juga ada hal lain. Menurut Bustanul, ini bisa mengancam keberhasilan program pemerintah mengenai produksi beras analog yang hingga kini masih dirintis.

“Dikhwatirkan motifnya bisa mengancam beras analaog. Beras analog ini kan ibaratnya sama seperti beras sintetis namun dicampur dengan bahan pangan yang sehat seperti singkong dan umbi-umbian. Tujuannya supaya ada keanekaragaman bahan pangan utama, jadi masyarakat Indonesia tidak selalu bergantung dengan beras,” jelas Bustanul.

Terkait dengan hal tersebut, masih menurut Bustanul, munculnya beras sintetis bisa mengurangi kepercayaan masyarakat nanti terhadap beras analog. Menurutnya, ditakutkan nantinya masyarakat akan ragu untuk mengkonsumsi beras analog karena serupa pembuatannya dengan beras sintetis atau yang dikenal dengan beras plastik saat ini walaupun beras analog menggunakan bahan yang aman.

Kasus Beras Plastik Dinilai Untungkan Beras Lokal

Senin, 25 Mei 2015

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beredarnya beras plastik yang diduga berasal dari beras impor, memiliki nilai positif.
Sisi positifnya, beras plastik menambah nilai beras dalam negeri. Sebab, konsumen kian percaya atas produk pangan aman asli lokal.
Beras plastik yang diduga berasal dari beras Tiongkok memicu dampak psikologis masyarakat untuk mengkonsumsi beras lokal. Meskipun sampai saat ini beras plastik belum bisa dibuktikan kebenarannya berasal dari Tiongkok.
Namun, temuan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) di penggilingan beras kecil (petani) tidak ditemukan beras plastik.
Artinya, dugaan sementara beras plastik bukan dihasilkan dari produksi lokal. Winarno Tohir, Ketua KTNA menjelaskan, hikmah yang bisa didapat dari beredarnya beras plastik di pasar adalah kepercayaan masyarakat akan produksi beras lokal akan semakin tinggi.
"Beras plastik yang dicampur adalah beras jenis medium yang harganya diatas Rp 8.000 per kg. Sementara beras dengan kualitas yang tidak bisa diserap Bulog karena kadar airnya tinggi akan dipilih. Sebab, meski kualitasnya dibawah rata-rata namun beras tersebut aman dan bukan dari plastik," papar Winarno pada Minggu (24/5/2015).
Ia menjelaskan, masyarakat akan lebih memilih beras dengan kualitas rendah ketimbang beras medium. Beras medium bewarna putih dan terlihat bagus membuat kekhwatiran masyarakat untuk mengkonsumsinya. Karena kekhawatiran beras tersebut adalah beras palsu.
Sebagaimana dilansir, temuan beras plastik yang telah diteliti Pengujian laboratorium Sucofindo menyimpulkan, beras itu mengandung bahan pelentur plastik (plastiser) agar mudah dibentuk seperti Benzyl Butyl Phtalate (BBT), Bis 2-ethylhexyl Phtalate (DEHP) dan Diisononyl Phtalate (DNIP). Ketiga senyawa telah dilarang di dunia internasional untuk dicampur ke produk makanan.

Penulis: Mona Tobing

http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/05/25/kasus-beras-plastik-dinilai-untungkan-beras-lokal

Bulog Pastikan Stok Mereka Bebas dari Beras Plastik

Minggu, 24 Mei 2015

Pemerintah Disabotase

Minggu,24 Mei 2015

Gubernur Diminta Lacak Beras Sintetis


JAKARTA- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai peredaran beras sintetis adalah masalah serius. Dia menengarai ada upaya sabotase terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Untuk itu, dia menginstruksikan kepada gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia untuk turun langsung ke lapangan guna melacak beras sintetis tersebut. ”Menurut saya ini masalah serius. Apalagi beras itu dikonsumsi mayoritas masyarakat kita,” tegas Mendagri di Jakarta, Sabtu (23/5).

Dia menilai peredaran beras sintetis itu tidak semata bertujuan mencari keuntungan dari hasil penjualan, tapi sudah bermotif politik. ”Ada usaha makar terhadap negara dan sabotase kepada pemerintah.

Maka harus diusut tuntas dan pasti ketemu siapa otak pelaku ini semua,” ujar Tjahjo. Pihaknya percaya Badan Intelijen Negara (BIN) dan kepolisian pasti bisa mengusut tuntas. Apalagi, kata Tjahjo, Mendag dan Bulog sudah membuat pernyataan sejak Januari 2015, tidak ada impor beras.

”Berarti ada penyelundupan, masuknya beras ke Indonesia secara ilegal. Sudah saatnya tata kelola perberasan nasional dan tata kelola impor ditata ulang. Selain itu, ada pembersihan terkait oknum yang bermain masalah pangan yang berakibat pada sengsaranya petani dan masyarakat yang mengkonsumsi beras,” ujarnya.

Dia mengatakan, Mendag dan Kapolri sudah proaktif. ”Kami apresiasi Kemendagri sudah buat instruksi kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk waspada dan mencermati gelagat ini dengan serius. Juga melakukan koordinasi, cek lapangan langsung.

Keselamatan masyarakat harus diutamakan,” katanya. Terpisah, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Budi Waseso mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah menyampaikan hasil pemeriksaan beras di Bekasi ke Bareskrim. Hasilnya, ternyata ada campuran bahan kimia dalam beras tersebut.

Pihaknya akan memadukan data pengecekan dari Puslabfor agar ada kekuatan hukum. ”Kami sedang koordinasikan, hasil dari Sucofindo, BPOM, dan Labfor untuk kami tindaklanjuti,” jelasnya. Kapolri Badrodin Haiti mengancam akan menyeret ke bui pihak-pihak yang mencampur beras dengan plastik. ”Jika ada pidana, kami kenakan UU Pangan,” terangnya.

Janggal

Sementara itu, Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Nellys Soekidi menengarai beredarnya kasus ”beras plastik” yang menghebohkan publik itu ada motif tertentu. ”Ada kejanggalan-kejanggalan di balik kasus ini. Selama ini, kasus ‘nyampur’itu pasti yang jelek dicampur yang bagus, biar cepat untung besar. Tapi, ini mencampur dengan bahan plastik yang lebih mahal dibandingkan harga beras.

Ya aneh kan. Jadi di balik kejanggalan ini ada motif lain di luar mencari untung dengan cepat,” kata Nellys dalam diskusi Polemik di Double Tree, Menteng, kemarin. Selain itu, dia mengindikasikan adanya kejanggalan dari temuan beras plastik yang ada di Kota Bekasi. Menurut Nellys, beras yang dibeli Dewi Septiani, pelapor pertama beras plastik di Bekasi itu hanya sekitar enam liter. Sementara dalam satu karung terdapat sekitar 64 liter. ”Otomatis ada sisa 58 liter.

Yang kami tanyakan, sisanya ini kan juga dibeli orang. Lalu, orang lain kan masak, berarti ada korban lainnya. Tapi sekarang kan nggak ada,” katanya. Untuk itu, kesimpulan sementara Nellys adalah ada tujuan lebih besar, dibandingkan pedagang hanya mencari untung besar, yaitu mengalihkan konsumen untuk meninggalkan pasar tradisional, karena ”beras plastik” ditemukan di pasar tradisional.

Adapun Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran menyatakan kasus ”beras plastik” membawa hikmah bagi bangsa Indonesia. ”Agar kita lebih hati-hati. Jangan selalu tenang-tenang saja. Hikmahnya agar pembeli harus lebih teliti lagi.

Dan, penjual pun harus hati-hati saat membeli ke agen. Hikmah yang lain, pejabat jadi cepat, sigap turun ke lapangan,” katanya. Menurut dia, masalah makanan memang menjadi masalah besar di negeri ini, seperti kasus tahu formalin, bakso boraks, dan sebagainya. Tapi di sisi lain, ada dugaan selama ini terjadi upaya merusak kepercayaan publik pada pasar tradisional.

Jadi, kata dia, boleh saja kasus yang ditemukan di pasar tradisional itu merupakan alat untuk merusak kepercayaan publik. ”Akhirnya, pedagang kecil di pasar tradisional yang dirugikan karena mereka tidak dipercaya lagi,” katanya. Dia menambahkan, pedagang tradisional mengalami penurunan omzet dan kerepotan melayani pembeli yang hanya sedikit membeli beras. ”Omzet jelas turun.

Kalau pun ada orang beli, belinya sedikit, tapi bertanyanya banyak sekali. Tapi, saya bilang kepada rekan-rekan, ambil hikmahnya saja. Dengan bisa ngobrol dan menjelaskan langsung kepada konsumen maka konsumen merasa sangat diperhatikan. Bisa senang lagi belanja di pasar tradisional. Dan, itu merupakan kelebihan di pasar tradisional,” jelasnya.

Bukan Rekayasa

Dalam kesempatan yang sama, Dewi Septiani, penjual nasi uduk dan bubur, yang kali pertama melaporkan ”beras plastik” mengaku, membeli beras yang tercampur tersebut pada 13 Mei lalu di warung tetangganya, Sembiring. ”Saya beli enam liter, pas saya masak kok jadinya aneh. Saya lapor terus datang dari Pemkot, Dinas Perindag Kota Bekasi, polisi, dan wartawan. Saya tidak bohong soal beras ini, karena juga sudah dicoba sama yang lain,” katanya.

Menurut dia, para wartawan pun sampai mencoba memasak sendiri beras yang dibeli tersebut. Dan, hasilnya juga sama serta disiarkan langsung televisi, tanpa rekayasa. Dewi mengatakan, membeli beras curah yang ditempatkan di kotak kayu oleh Sembiring. Si penjual itu menyatakan beras tersebut asli dari Karawang.

Menurut Nellys, Sembiring itu posisinya bisa jadi juga korban, dia juga tidak tahu bila beras yang dijualnya tercampur ”beras plastik”. ”Sulit dinalar bagi seorang pedagang seperti dia, sengaja menghancurkan pekerjaannya, mata pencahariannya. Dengan cara yang mahal pula

. Kan bahan plastik itu lebih mahal dari beras asli. Kami tahu, warung beras dia sekarang ditutup, karyawannya tidak bekerja. Untuk itu, juga harus diteliti lagi dari mana dia membeli beras itu,” katanya. (di,F4,dtc-71)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pemerintah-disabotase/

Sabtu, 23 Mei 2015

Swasembada Beras Plastik

Sabtu, 23 Mei 2015


BEBERAPA waktu lalu bangsa ini dihentakkan oleh susu campur melamin. Dan hari ini dihebohkan oleh beras plastik sudah beredar di Tanah Air, sejak beberapa hari lalu. Sama-sama merupakan unsur kebutuhan pangan primer, heboh pangan seperti ini tentu sangat memprihatinkan. Proteksi konsumen dan urusan food-safety, sungguh sudah waktunya ditegakkan oleh negara berdaulat Indonesia.
Sebagai pangan pokok dengan pilihan produk substitusi yang masih terbatas, sudah barang tentu beras plastik lebih hiruk-pikuk. Selama ini beras memang selalu hangat beritanya, menghentak-hentak, dan menyibukkan Kabinet Kerja (KK). Mulai masalah eskalasi harga beras 30% Maret lalu, mandulnya pengadaan Bulog sampai pro-kontra importasi. Seperti pendahulunya, KK pun senantiasa meneriakkan: Ganyang Mafia! Tangkap Mafia!
Hiruk-pikuk perberasan ini bisa dimaklumi karena nilai uang menggiurkan. Kalau data pemerintah benar adanya, konsumsi tahunan mencapai 31 juta ton beras. Nilai uang konsumsi tahunan, berdasarkan harga menurut Inpres 5/2015 sejak 17 Maret lalu, dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras sebesar Rp 7.300/kg, bisa mencapai jumlah Rp 226,3 triliun. Dengan aneka turunannya, nilai ekonomi-politiknya bisa mencapai Rp 500 triliun.
Bukan main besaran nilai ini dan semakin menggiurkan bagi pemburu rente. Itu pun masih ditopang dengan fanatisme kultural pada tingkat masyarakat yang melihat beras sebagai pangan primadona. Apapun kondisinya, masyarakat konsumen senantiasa berupaya sekeras-kerasnya untuk memenuhi konsumsi keluarganya terhadap beras sebagai makanan pokok primadona. Realitas demikian itulah yang menggiurkan bagi aneka permainan beras.
Meski demikian posisi sakral sebagai pangan primadona, proteksi terhadap konsumen adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditawar sebagai bagian dari unsur pelayanan pada sisi pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, dengan segala keamanan pangannya. Maraknya isu beras plastik, berikut lolosnya produk tersebut sampai menembus Tanah Air dan menyentuh perut konsumen Indonesia sungguh merupakan indikasi lemahnya proteksi ini.
Dari sisi konsumen, sudah tentu proteksi yang diperlukan tidak sekadar proteksi terhadap keamanan pangan secara teknis dan food safety. Akan tetapi sudah harus menyentuh pula kenyamanan konsumsi untuk tidak memungkinkan publik melakukan konsumsi terhadap barang yang tidak mengetahui karakter produk pangannya, yang harus aman secara teknis, kimiawi, sosial-kultural, ekonomi dan politik pangan.
Secara khusus, beras plastik ini telah mengganggu semua karakter dimaksud. Terlebih faktanya, tidak ada toleransi sekecil apapun bahwa bahan plastik ini dijadikan bahan makanan. Sebagai pembungkus makanan pun, plastik sudah teramat kontroversial bagi mereka yang sangat peduli terhadap keamanan pangan.  Kualitas plastik yang sembarangan, memungkinkannya mengeluarkan komponen yang tidak aman bagi kesehatan manusia. Konsumsinya sudah barang tentu tidak memenuhi kaidah makanan sehat.
Para ahli pangan Fakultas Teknologi Pertanian selalu mengingatkan bahwa pemakaian plastik untuk pembungkus bahan pangan, dan khususnya sebagai antisipasi terhadap pemanasan, harus memakai plastik yang food grade untuk menghindari bahaya panas dan pelepasan komponen saat panas. Sementara itu pemakaian plastik sebagai bahan pangan, seperti dipakainya plastik dalam campuran beras plastik, yang masuk perut sungguh tidak pernah bisa ditolerir. Zero tolerance! Catatan itu pun dilontarkan para ahli ketika ada kasus susu melamin.
Dalam urusan tataniaga dan perlindungan konsumen, beras plastik sudah harus masuk sebagai kejahatan luar biasa, extraordinary crime, sebagaimana narkoba dan korupsi. Karena dampaknya yang sistemik, massal dan membahayakan kehidupan masyarakat serta kehidupan bangsa. Beras plastik tidak hanya kejahatan yang terkait dengan bisnis, keamanan pangan, ketahanan pangan, kedaulatan, dan sejenisnya. Akan tetapi dia adalah ulah kejahatan yang melanggar bio-ethics, dan sekaligus menyebarkan bio-terorrism. Detik ini juga terorisme sejenis ini harus dihentikan.
Tanpa bersegeranya negara memberangus terorisme seperti ini, maka sangat dikhawatirkan kejahatan beras plastik akan mewarnai program swasembada beras yang berpotensi menjadi swasembada beras plastik. Karena sebagian akan dipenuhi melalui beras jenis biadab ini.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4021/swasembada-beras-plastik.kr

Bentuk PT Beli Gabah Petani, Gembosi Bulog

Sabtu, 23 Mei 2015

[SEMARANG] Gagasan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk membuat PT yang bertugas membeli gabah petani dinilai konyol.

"Itu pernyataan konyol. Kalau terjadi akan tumpang tindih dengan fungsi Bulog. Sama saja menggembosi Bulog," tegas anggota komisi IV DPR Firman Subagyo, kepada SP, Sabtu (23/5) pagi.

Sebelumnya saat panen raya di Lamongan, Rini Soemarno menyatakan, untuk membantu petani agar bisa menikmati harga gabah sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dirinya akan menggerakkan BUMN dibawah kementeriannya.

Salah satunya, memerintahkan PT Petrokimia Gresik agar membentuk perusahaan baru untuk membeli gabah petani.

"Saya sudah bicara dengan Petrokimia agar menyiapkan mesin-mesin pengering dengan membentuk perusahaan baru. Mesin-mesin ini akan disiapkan di daerah-daerah produsen gabah, dan saat ini sedang dihitung berapa besaran anggaran yang dibutuhkan," katanya.

Ia berharap, rencana ini sudah bisa terlaksana pada musim depan, sehingga petani bisa menikmati harga gabah sesuai HPP yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, yakni, sesuai Inpres No. 5 Tahun 2015 sebesar Rp 3.700 per kilogram dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa 10 persen, atau Rp 3.750 per kilogram di penggilingan

Menurut politisi Golkar itu, seharusnya Bulog dikembalikan fungsinya sebagai  lembaga pangan nonkomersial.

"Kalau gagasan Menteri BUMN seperti itu terwujud, maka sama saja dengan menggembosi peran Bulog," tukasnya.

Menurut Firman, pemerintah seharusnya  segera melaksanakan amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan bahwa yang dimaksud  lembaga pangan adalah bukan lembaga pangan  komersial seperti gagasan  Menteri BUMN.

"Jangan semua kebijakan berorentasi bisnis, tetapi harus  berpihak pada kepentingan rakyat dan petani," tegas Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR ini. [142/N-6]

http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/bentuk-pt-beli-gabah-petani-gembosi-bulog/87785

Bulog Diminta Perbaiki Kinerja

Sabtu, 23 Mei 2015

● Belum Maksimal Serap Beras Petani


JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) menghitung hasil panen padi pada Mei-Juni tahun ini akan menghasilkan gabah kering giling (GKG) sebanyak 12,39 juta ton.

Dengan pasokan gabah yang melimpah itu, diprediksi akan terjadi surplus beras 1,6 juta ton pada pertengahan tahun ini.

Namun, Kordinator Nasional LSM Protanikita, Bonang, mengaku pesimistis Bulog mampu menyerap gabah dari petani sepanjang tidak memperbaiki kinerjanya. “Surplus terjadi tapi tidak yakin (Bulog-Red) dapat menyerap gabah petani,” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/5).

Dia mengakui, panen selama Mei-Juni terjadi di 33 provinsi dengan rincian pada Mei produksi sebesar 6,41 juta ton GKG dan Juni (5,98 juta ton GKG) dengan total luas areal panen 2,4 juta hektare (ha). Delapan provinsi, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Barat menjadi provinsi paling tinggi produksinya, yakni masingmasing di atas 500.000 ton GKG.

Tetap Mahal

Dari produksi 12,39 juta ton GKG ini, diperkirakan beras yang tersedia selama Mei-Juni mencapai 6,96 juta ton. Jika kebutuhan beras selama dua bulan sebesar 5,34 juta ton, berarti masih ada surplus beras 1,6 juta ton pada akhir Juni mendatang.

Bonang mencontohkan di Bali, Bulog baru mampu menyerap 5,65% gabah petani. “Selama kinerja Bulog belum diperbaiki, walau surplus tetap saja serapan gabah dari petani akan seret,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, soal penurunan harga beras di pasar, tergantung seberapa besar Bulog mampu menyerap hasil panen petani. “Karena Bulog bersaing dengan pihak swasta, sulit mereka bisa menyerap maksimal. Meski beras cukup, tapi harganya tetap mahal karena diserap pihak swasta,” ujarnya.

Bahkan di Jateng, menurut dia, akan menghadapi masalah kualitas beras karena pembelian gabah dilakukan dengan memberi toleransi. Artinya, meningkatkan pembelian dengan mengabaikan ketentuan Impres yang telah mengatur kualitas. “Permassalahan akan muncul ketika nanti beras disalurkan ke rakyat miskin karena kualitas beras yang tidak baik,” tuturnya. (di-69)

Omzet Menurun, Pedagang Siasati Isu Beras

Sabtu, 23 Mei 2015

JAKARTA, KOMPAS — Isu beras tercampur bahan sintetis berbahaya berpengaruh terhadap omzet pedagang di sejumlah pasar di DKI Jakarta dan sekitarnya. Para pedagang pun resah dan berharap kepolisian mengusut tuntas otak di balik kasus tersebut.

Di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, dan Pasar Cengkareng, Jakarta Barat, omzet penjualan turun 20-30 persen. Amri (29), pedagang beras di Pasar Palmerah, mengatakan, pelanggannya mulai waswas dan banyak bertanya tentang beras sintetis.

Ia pun memastikan beras yang dijual tidak terkontaminasi bahan sintetis. Ia juga memberikan tips kepada pelanggan untuk membakar bulir beras. Jika bulir beras hangus dan menghitam, artinya beras itu asli. Sementara jika bulir beras meleleh, besar kemungkinan terbuat dari bahan sintetis.

"Saya ambil langsung dari pemasok beras Karawang. Ini langsung dari petani, jadi saya pastikan beras ini aman dikonsumsi," ujar Amri, Jumat (22/5).

Ketakutan para konsumen itu mengurangi omzet penjualan beras hingga 30 persen. Sehari, biasanya Amri menjual 1 ton beras. Di kiosnya, beras dibanderol Rp 7.500-Rp 8.000 per kilogram. Setelah isu beras sintetis merebak, penjualan menurun menjadi 700 kuintal per hari.

Pedagang lain, Nurwangsa (48), juga menerima banyak pertanyaan dari para pelanggan. Para pelanggan khawatir beras yang dijual di kiosnya terkontaminasi bahan sintetis. Ia juga meminta pelanggan untuk merendam beras dengan air. Jika mengambang, kemungkinan beras itu terkontaminasi bahan sintetis.

"Saya enggak mau main-main ke pelanggan. Beras ini saya ambil langsung dari pemasok di Indramayu, Subang, dan Cirebon. Saya tahu kualitasnya," ujar Nurwangsa.

Rita (50), pembeli di Pasar Palmerah, mengatakan, isu peredaran beras sintetis membuatnya takut. Pasalnya, beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Ia khawatir, penjual langganannya ikut mencampur dengan beras sintetis untuk mencari lebih banyak keuntungan.

Ohim (45), pemasok beras dari Karawang, Jawa Barat, menduga beras sintetis itu hasil impor. Sebagai pemasok beras, ia mengetahui proses awal dari panen hingga penggilingan beras. Ia memastikan tak ada campuran kimia berbahaya di beras yang ia pasarkan. Setiap hari ia mengirim 10 ton beras ke beberapa pasar di Jakarta, seperti Pasar Palmerah dan Kebayoran Lama.

Di Pasar Cengkareng, omzet penjualan beras juga menurun. Anton (32), pedagang beras, menuturkan, omzetnya turun hingga 20 persen. Biasanya ia menjual beras 2 ton per hari. Menjelang Ramadhan, biasanya pembeli beras juga semakin ramai.

Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan DKI Jakarta Joko Kundaryo menuturkan, pihaknya sudah mengecek peredaran beras di 10 pasar yang tersebar di seluruh DKI Jakarta. Namun, dia belum menemukan beras sintetis berbahaya. Dalam operasi itu, dia juga melibatkan aparat Polda Metro Jaya.

Sementara itu, Kantor Bulog Subdivisi Regional Tangerang memastikan belum menemukan dan tidak menerima beras berbahan plastik dalam gudang penyimpanan. Beras yang ada dalam gudang layak dikonsumsi.

Kepala Bulog Subdivre Tangerang Sri Hardiyani mengatakan, beras yang ada di gudang Bulog dipasok langsung dari petani lokal di Banten. Mereka tidak menerika pasokan jika menemukan beras berbahan plastik.

"Tim survei dan analisis kami selalu bekerja selektif setiap kali akan membeli beras dari petani. Tim ini juga mengawasi masuknya beras dari oknum tertentu yang dengan sengaja memasukkan beras plastik. Jadi dijamin beras yang ada di sini layak konsumsi," kata Hardiyani.

(DEA/ILO/PIN)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150523kompas/#/25/