Selasa, 30 Juni 2015

DPR Sebut Badan Pangan Diluncurkan Oktober 2015

Senin, 29 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Edhy Prabowo menyebut, Badan Pangan yang merupakan amanat UU 12/2012 akan diluncurkan pada Oktober 2015. Nantinya, wacana Indonesia yang ingin menuju ketahanan dan kedaulatan pangan diharapkan bisa terwujud.

"Kalau dihitung dari waktu pengesahan undang-undang, dan tugas terbentuknya badan dalam waktu dua sampai tiga tahun, harusnya Oktober 2015," kata dia kepada Republika pada Senin (29/6). Lembaga pangan, kata dia, memang harus segera dibentuk dan Bulog diharapkannya menjadi badan pangan. Ketika itu terjadi, Bulog tak boleh jadi entitas bisnis lagi, tapi murni menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk melakukan pengontrolan harga.

Bahkan, ketika telah terbentuk, pengendalian komoditas jangan hanya pangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat saja, tapi juga bisa menjangkau komoditas sawit dan karet yang keberadaannya tak kalah strategis. Ditegaskannya, Badan Pangan merupakan amanat undang-undang agar jangan sampai kebutuhan rakyat dibiarkan berjalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Meski begitu, lanjut dia, pada akhirnya keputusan Bulog akan menjadi Badan Pangan atau tidak, ada di tangan pemerintah. Sehingga pemerintah hendaknya berinisiatif mengembangkan Bulog untuk berperan lebih luas, agar ia tak sekadar bertindak sebagai operator saja.

Sembari menunggu terbentuknya badan pangan, serapan beras Bulog harus digenjot terus. Penyerapan yang baru sekitar 1,7 juta ton menurutnya masih jauh dari target. Maka, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan kebijakan lembaga pangan. ''Jangan sampai pekerjaan Bulog terganggu politik,'' katanya sembari menyinggung pergantian kepemimpinan Bulog yang dilakukan dalam waktu singkat.

Kementan Gandeng Bulog Serap Panen Cabai Merah

Senin, 29 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap hasil panen cabai merah. Upaya ini untuk memutus mata rantai distribusi komoditas tersebut.

Hal tersebut misalnya dilakukan pada musim panen raya cabai merah di Kampung Warnasari, Desa Perbawati, Kabupaten Sukabumi Senin (29/6). Dalam kesempatan itu hadir Dirjen Holtikultura Kementan Spudnik Sujono dan Direktur Pelayanan Publik Bulog Wahyu Suparyono.

"Hasil panen cabai merah ini bisa langsung diserap Bulog," ujar Dirjen Holtikultura Kementan Spudnik Sujono. Langkah ini dilakukan untuk memutus mata rantai distribusi bahan pangan terutama cabai merah.

Selama ini ujar Spudnik, panjangnya mata rantai distribusi dinilai menyebabkan harga di pasaran cukup tinggi bila dibandingkan dengan di tingkat petani. Saat ini harga di tingkat petani mencapai kisaran Rp 13 ribu per kilogram. Sementara di pasaran mencapai Rp 30 ribu per kilogram.

Direktur Pelayanan Publik Bulog Wahyu Suparyono mengatakan, Bulog turut melakukan stabilisasi harga dengan menyerap komoditas cabai merah. "Supaya harga di tingkat konsumen stabil dengan memotong mata rantai distribusi," ujar dia.

Wahyu mengatakan, hal ini tidak akan merugikan petani karena Bulog membeli sesuai dengan harga sekarang ini sebesar Rp 13 ribu per kilogram. Nantinya, Bulog akan menjual cabai merah dengan selisih harga berbeda sebagai biaya pengganti transportasi. "Target penyerapan cabai merah sebanyak-banyaknya," imbuh dia.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/06/29/nqp323-kementan-gandeng-bulog-serap-panen-cabai-merah

Hipmi Siap Kawal Bulog Serap Komoditas Pangan

Senin, 29 Juni 2015
   
INILAHCOM, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) siap menjadi mediator Perum Bulog dalam menyerap komoditas pangan dari petani.

Dikatakan Ketua Badan Otonom Bidang Bisnis, Investasi dan UKM Badan Pengurus Pusat Hipmi, Hardini Puspasari, Bulog diharapkan bisa menyerap komoditas pangan dengan jumlah besar.

"Dalam hal ini, Hipmi meminta Bulog untuk melibatkan anggota Hipmi di seluruh Indonesia sebagai mediator resmi antara Bulog dengan petani dan peternak," kata Hardini di Jakarta, Senin (29/6/2015).

Hardini menyampaikan, peran serta Hipmi merupakan respon terhadap rencana pemerintah yang mendorong Perum Bulog untuk memborong beberapa produk pangan secara langsung dari petani, seperti cabai dan bawang merah.

Menurut dia, langkah pembelian langsung Bulog kepada petani diyakini mampu menekan bahkan menghilangkan praktik permainan harga sehingga tingkat kesejahteraan petani pun dapat meningkat.

Meski demikian, lanjutnya, pemerintah yang diwakili Bulog sebaiknya memiliki perwakilan resmi yang akan menjamin ketersediaan pasokan dengan kriteria yang ditentukan.

Hardini berpendapat terdapat banyak jenis keuntungan yang akan diperoleh dengan kerjasama sinergi antara Bulog dan Hipmi pada program pembelian langsung produk-produk pangan lokal petani dan peternak.

Jenis keuntungan itu, antara lain faktor keamanan produk yang dijual terkendali oleh pengawasan ketat Hipmi dan Bulog, serta faktor ketersediaan pasokan akan dijamin oleh Hipmi. [tar]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2217907/hipmi-siap-kawal-bulog-serap-komoditas-pangan

Senin, 29 Juni 2015

Bulog Gelontorkan Daging 500 Ton

Senin,  29 Juni 2015

JAKARTA - Perum Bulog siap menggelontorkan 500 ton daging sapi lokal guna menstabilkan harga daging saat bulan Ramadan dan Idul Fitri tahun ini.

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, pada tahap pertama Bulog menyiapkan 200 ton daging sapi lokal yang dibeli dari PT Berdikari (persero) yang akan dikirim secara bertahap. Dalam rangka operasi pasar daging itu pun akan didistribusikan menggunakan tujuh truk logistik khusus daging berkapasitas 1 ton per truk per hari. ”Kalau (200 ton daging) itu belum mampu menstabilkan pasar, saya ambil daging lokal lagi dan sudah kontrak 300 ton, sehingga total untuk daging sapi lokal menjadi 500 ton,” ujarnya di kawasan Gudang Bulog, Jakarta Utara, akhir pekan lalu.

Bulog berharap daging sapi lokal yang dilepas ke pasar seharga Rp88.000 per kg itu dapat meredam kenaikan harga daging sapi. Sebagai contoh, harga daging sapi di Pasar Senen, Jakarta Pusat, pada Sabtu (27/6), telah mencapai Rp100.000 per kg. Djarot mengungkapkan, jika nantinya 500 ton daging sapi masih belum mampu menekan pergerakan harga daging sapi, maka Bulog akan menggunakan fasilitas impor yang telah diberikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yaitu 1.000 ton daging sapi.

Sebelumnya Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang juga meminta pemerintah segera mengantisipasi pergerakan harga daging di sejumlah pasar di DKI Jakarta yang sudah mencapai kisaran Rp110.000- 120.000 per kg. ”Ini perlu diantisipasi pemerintah jelang seminggu sebelum Lebaran karena menurut hemat kami, di akhir minggu pertama ini sudah puncak,” ujarnya.

Selain daging, dalam rangka operasi pasar, Bulog siap menggelontorkan 300.000 ton beras yang merupakan upaya optimalisasi beras untuk rakyat miskin (raskin) bulan Juli 2015 sebanyak 250.000 ton dan operasi pasar cadangan beras pemerintah sebanyak 50.000 ton. Adapun, posisi stok beras di gudang Bulog saat ini 1,49 juta ton dengan ketahanan stok sekitar 6,11 bulan. Untuk menambah stok, Bulogmasihterusmelaksanakan pengadaan gabah/beras.

Bulog DKI Jakarta selama bulan puasa juga menggelar operasi pasar gula pasir, bawang merah, daging sapi, minyak goreng dan cabai. Komoditas operasi pasar ini ada yang dibeli sendiri oleh Bulog dan ada yang bekerja sama dengan BUMN lain. Dalam rangka operasi pasar gula pasir, Bulog membeli dari PT Perusahaan Per-dagangan Indonesia (Persero) sebanyak 25.000 ton.

Harga yang dipatok untuk operasi pasar lebih rendah, di antaranya untuk beras medium Rp8.200 per kg, beras premium Rp12.000 per kg, gula Rp10.800 per kg, daging sapi Rp88.000 per kg, bawang merah Rp17.000 per kg, cabai merah Rp20.000 per kg, minyak goreng Rp12.500 per liter. Operasi pasar Bulog DKI Jakarta sementara ini digelar di 20 lokasi di lima wilayah. Operasi pasar di DKI sudah dilaksanakan mulai 15 Juni, bahkan operasi pasar bawang merah dimulai sejak 13 Juni 2015.

Demi memenuhi kebutuhan operasi pasar tersebut, Bulog DKI menyediakan stok beras medium 21.000 ton, beras premium 800 ton, gula pasir 300 ton, bawang merah 33 ton, daging sapi 18,8 ton (secara bertahap akan terus ditambah sampai 200 ton), dan cabai merah 661 kg. Adapun khusus komoditas bawang merah, Bulog DKI Jakarta mendatangkannya dari Brebes, Nganjuk, Probolinggo, dan Bima.

Inda susanti

http://www.koran-sindo.com/read/1017994/150/bulog-gelontorkan-daging-500-ton-1435551733

Badan Pangan Nasional

Senin, 29 Juni 2015

Gonjang-ganjing harga beras, perlu tidaknya impor, sampai dengan penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus terjadi dan seolah tiada akhir.

Begitu juga fluktuasi harga pangan lainnya, seperti daging sapi, cabai, bawang merah, dan kedelai. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari operasi pasar, imbauan, hingga pembenahan manajemen pemantauan seperti dilakukan Kementerian Perdagangan melalui monitor harga pangan pokok harian.

Kompleksitas masalah pangan perlu dibenahi secara terpadu. Kata kuncinya adalah "kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan serta implementasinya" agar kompleksitas masalah itu bisa diatasi.

Sebenarnya UU Pangan-UU No 18/2012 Pasal 126-129-telah mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga ini bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas, lembaga ini diharapkan bisa menjadi komandan dalam koordinasi masalah pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga gonjang- ganjing pangan tidak terjadi lagi.

Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan peraturan presiden (perpres) terkait pembentukan lembaga dimaksud, yakni Badan Pangan Nasional (BPN). Sebagai turunan dari UU Pangan, BPN dirancang punya fungsi koordinasi, pengkajian, perumusan kebijakan, pembinaan, supervisi dan evaluasi di bidang ketersediaan dan kerawanan pangan, distribusi dan pelembagaan pangan, serta konsumsi dan pengawasan keamanan pangan. BPN juga bisa mengusulkan kepada Presiden agar memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Rekomendasi

Di tengah perbincangan hangat tentang BPN, baik mendukung maupun pesimistis, peran dan fungsi BPN perlu dirumuskan dengan baik. Pertama, pemerintah segera mengesahkan Perpres BPN sesuai amanat UU Pangan. Kedua, untuk melengkapi Perpres BPN, dengan segera diterbitkan perpres tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting agar lebih fokus dan menghindari area abu-abu dalam pengawasan di masyarakat dan pasar.

Ketiga, menata kembali hubungan kerja pemerintah pusat-daerah di bidang pangan, disesuaikan dengan UU Pangan, khususnya pangan pokok, seperti penetapan pangan lokal, sentra produksi pangan lokal, cadangan pangan lokal dan nasional, harga tingkat produsen dan konsumen, pasokan pangan, pajak, serta kewenangan ekspor-impor.

Keempat, merampingkan dan menata kembali/melebur lembaga yang selama ini menangani pangan dan segala aspeknya, seperti Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Ketahanan Pangan.

Kelima, menata lembaga bidang pengawasan keamanan pangan, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Karantina Pertanian, dinas kesehatan di daerah, dan pengawasan barang beredar. Saat ini pengawasan terkotak-kotak sesuai kewenangannya, seperti pangan segar oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pangan olahan UMKM dan jasa boga melalui dinas kesehatan daerah, sedangkan pangan olahan industri menengah besar oleh BPOM.

BPN perlu mengkaji dan menetapkan satu lembaga terpadu pengawasan keamanan pangan, mengingat penetapan dan pengawasan keamanan pangan jadi tugas pemerintah serta jaminan keamanan pangan sulit dibedakan apakah pangan segar atau olahan. Apalagi, dengan perkembangan teknologi, akan kian sulit dibedakan mana yang pangan olahan, mana pangan segar.

Keenam, BPN segera mengevaluasi basis data pangan dan merekonsiliasikan agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Ketujuh, revitalisasi kebijakan/ regulasi pangan dari hulu ke hilir berbasis data rekonsiliasi.

Kedelapan, bagaimana BPN membangun kepercayaan masyarakat, melalui kebijakan dengan memperhatikan kearifan dan budaya lokal sehingga menjadi lembaga yang kredibel dan bermanfaat. Misalnya, tidak memaksakan pangan pokok beras untuk semua daerah, tetapi disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan setempat, seperti Papua/ Maluku dengan sagunya, Madura dengan beras jagungnya.

Akhirnya, semua gonjang-ganjing pangan akan sirna dengan adanya BPN yang kredibel.

ADHI S LUKMAN ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150629kompas/#/6/

Sabtu, 27 Juni 2015

Kisruh Angka Surplus Beras

Sabtu, 27 Juni 2015


Pemerintah berkeyakinan terjadi surplus beras walau pasar memperlihatkan hal yang sebaliknya.

Keyakinan itu telah menimbulkan kekisruhan antarkementerian/lembaga sehingga  memperlambat keputusan intervensi pasar, ketidakpastian  jumlah pengadaan beras dalam negeri dan penumpukan beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP), pernyataan petinggi yang mengharamkan impor beras. Hal itu mendorong spekulasi dan ekspektasi kenaikan harga beras.

Untuk mengurangi rasa "malu" atas surplus yang terlalu besar, digunakanlah angka konsumsi beras 139,15 kilogram/kapita/tahun. Pada 2005, dibuatlah "kesepakatan" antarlembaga untuk menggunakan angka rata-rata Neraca Bahan Makanan (NBM) periode 2001-2004.  Padahal, NBM tidak bebas dari jumlah produksi. Walaupun produksi beras turun menjadi 44,4 juta ton pada 2014, total konsumsi beras hanya 35,1 juta ton, sehingga surplus mencapai 9,3 juta ton.

Selama tiga tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian telah meneliti dengan metodologi cukup bagus dan data lengkap,  mencakup konsumsi beras dalam dan luar rumah tangga.  Diperoleh angka konsumsi beras per kapita/tahun relatif stabil: 113,72 kg (2012); 114,80 kg (2013); dan 114,13 kg (2014).  Kalau angka itu dikalikan jumlah penduduk pada tahun yang sama, terungkap surplus beras 15,4 juta ton (2012); 16,2 juta ton (2013); dan 15,6 juta ton (2014). Dengan surplus sebesar itu, Indonesia seharusnya telah menjadi negara eksportir neto beras. Kalau tidak diekspor, harga beras dalam negeri akan rendah. Namun, yang terjadi sebaliknya, harga beras terus naik, Perum Bulog mengimpor beras 1,4 juta ton (2012) dan 0,4 juta ton (2014).

Estimasi berlebih

Banyak bukti angka produksi beras Indonesia overestimate.  Pada 1998, BPS membandingkan hasil survei rumah tangga tentang luas areal panen disandingkan dengan taksiran luas areal panen dengan metode estimasi pandangan mata (eyes estimation), terungkap luas areal panen overestimate 17,1 persen.

Pada 2000-2001, Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) melakukan survei pada tingkat petani untuk proyek Agriculture Statistic Technology Improvement and Training menemukan overestimate produksi gabah di Jawa 13 persen. Sekarang, angka overestimate luas areal panen akan lebih tinggi lagi, karena pesatnya konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa.

Pendekatan lain adalah membandingkan angka produksi gabah kering giling (GKG) dengan jumlah GKG yang digiling oleh penggilingan padi (PP) hasil sensus penggilingan padi 2012 (PIPA BPS) dalam periode yang sama. Jumlah produksi  GKG (67,3 juta ton) sedangkan jumlah GKG yang diolah oleh 182.000 unit PP 32,9 juta ton GKG. Padahal, jumlah PP dan total kapasitas giling terpasang tinggi, terus bertambah, serta kapasitas telantar tinggi, khususnya penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S) yang hanya beroperasi 3-4 bulan per tahun.

Pada saat yang sama, PP menyatakan bahwa kesulitan utama mereka adalah bahan baku gabah, dikeluhkan oleh 40 persen PP dari total 156.000 unit PP. Kelebihan produksi GKG perlu dikoreksi dengan jumlah stok akhir GKG yang disimpan petani/PP/perdagangan gabah/Bulog sebesar 10 juta ton GKG. Namun, produksi gabah masih tersisa 24,4 juta ton GKG atau overestimate  produksi GKG 36 persen.

Mengapa pemerintah membiarkan penggunaan "data kesepakatan" terus berlanjut dan belum mengoreksi angka produksi beras? Pada Rapat Koordinasi Terbatas, 14 April 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta agar dibentuk tim pemantauan panen, harga, dan penyerapan gabah/beras untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar data harga gabah/beras yang disampaikan Kementan dan Bulog. Ini mengingatkan kita kepada pemerintahan Orde Baru, data produksi padi yang dilaporkan BPS jauh berbeda dengan laporan Kementan. Maka, pada 1973, Widjojo Nitisastro sebagai Menko Ekuin/Ketua Bappenas meminta agar digabungkan dua sistem pengumpulan data.

Perhitungan produktivitas padi dilaksanakan sebagian oleh mantri statistik, sisanya oleh mantri pertanian dengan menggunakan metodologi yang sama. Hasil estimasinya dianggap akurat. Urusan taksiran total luas areal panen dilaksanakan sepenuhnya oleh mantri pertanian, dengan metode pandangan mata. Pendekatan ini juga digunakan pada tingkat internasional, namun yang ditaksir adalah perubahan luas areal panen, bukan total luas area panen.

Sebaiknya pemerintah menghentikan kekisruhan ini agar tidak berlanjut? Pertama, kaji ulang metodologi dalam estimasi produksi padi, khususnya taksiran luas areal panen.  Kedua, sejumlah angka konversi telah usang perlu diperbarui, antara lain: angka-angka konversi gabah kering panen (GKP) ke GKG, rendemen giling GKG, galengan, seperti saran Iswadi (Opini, Kompas, 20/3/2014).

Ketiga, percayakan semua data resmi taksiran produksi gabah/beras pada BPS, bukan oleh kementerian/lembaga teknis. BPS di samping sebagai lembaga independen, tak bias kepentingan, serta hasil estimasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Janganlah ada lagi "angka kesepakatan" yang dapat membuat gaduh berkepanjangan.

M HUSEIN SAWIT
Mantan Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset, Kementerian Pertanian

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150627kompas/#/7/

Jangan Sampai Nawa Cita Jadi Duka Cita

Sabtu, 27 Juni 2015

Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (2)

IndonesianReview.com -- Ada beberapa skenario dalam merevitalisasi Bulog menjadi Badan Otoritas Pangan. Namun mesti bersepakat terlebih dulu, bahwa otoritas yang dimaksud adalah mengembalikan Bulog sebagai ujung tombak pengendali pangan.

Dengan menjadi pengendali, Bulog dapat memonopoli kebutuhan pangan dengan pemikiran bahwa kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup rakyat dikuasai oleh negara. Hak monopoli ini tak lain amanat Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ekonomi Indonesia. Pada ayat 2 pasal tersebut secara gamblang disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah dikuasai oleh negara.

Selama ini, sejak perubahan status Bulog dari Lembaga Non Departemen (LND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) BUMN, keberadaan Bulog begitu ambigu.  Akibat perubahan itu, Bulog kini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial.

Di satu sisi, pada fungsi komersil, kalau Bulog tidak maksimal menjalankan fungsi komersialnya, maka para direksi akan dianggap tidak berprestasi. Sebab Bulog secara organisasi bertanggungjawab kepada Menteri BUMN. Di sisi lainnya, Bulog harus menjalankan fungsi sosialnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketersediaan pangan nasional.

Pelaksanaan fungsi sosialnya selama ini dilakukan setengah hati. Maklum, Perum Bulog saat ini adalah bentukan IMF melalui program liberalisasi pangan hingga membunuh Bulog sebagai lembaga buffer stock negara. Maka tak mengherankan bila kini Bulog lebih berorientasi kepada profit dan menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar. Ia telah melenceng dari tujuan awalnya yang menyejahterakan petani dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

Dalam menyejahterakan petani, Perum Bulog sekarang ini selalu kalah gesit dan kalah modal dengan para tengkulak lokal. Para tengkulak itu lebih dianggap sebagai dewa penolong bagi para petani. Mereka bukan saja memberikan modal yang akan dibayar petani saat panen, tapi juga membeli hasil panennya dengan kualitas apa saja. Harga pembeliannya pun selalu di atas Bulog.

Sedangkan Bulog selalu memilah-milih dalam membeli hasil panen. Pada komoditas beras, Bulog inginnya selalu berkualitas premium. Kalau kualitas gurem alias kadar airnya tinggi mana mau. Padahal kendala petani gurem sangat kompleks sejak masa awal tanam. Saat panen pun mereka tak berdaya menjemur gabahnya karena mengandalkan alam di hari cerah. Kalau hujan dan tidak ada mesin pengering, kualitasnya menurun sampai menjadi beras miskin (raskin).

Dalam mengendalikan harga, Bulog juga selalu kalah cepat dengan para penimbun yang sudah begitu hafal dengan siklus yang kerap dimainkan. Terlebih lagi saat pemerintah melakukan impor dimana informasinya bergayung sambut sudah seperti pengumuman kondangan. Akibatnya, sentimen harga sudah muncul terlebih dulu.

Mata rantai tata niaga pangan panjangnya juga sudah seperti kereta dan dikuasai oleh praktik kartel, monopoli dan oligopoli. Akibatnya, harga di tingkat produsen dan konsumen perbedaannya cukup lebar. Kendala memenuhi pangan rakyat belum dihitung dari distribusi antar daerah atau antar pulau. Sarana dan prasarana distribusinya terkadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri. Bulog pernah mengeluhkan hal ini dalam kasus pengiriman beras dari Surabaya ke Medan. Biaya pengirimannya lebih mahal ketimbang dari Vietnam ke Jakarta.

Dengan memonopoli pangan, Bulog yang akan berubah menjadi Badan Otoritas Pangan leluasa menjamin tiga pilar ketahanan pangan. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability).  Dalam monopoli ini, di antara skenarionya adalah badan tersebut menjadi ujung tombak data pangan. Ini untuk mengakhiri perbedaan data dengan Kementerian Pertanian. Padahal, akurasi data sangat penting untuk menetapkan aneka kebijakan dan inovasi pangan. Kelak, data badan ini bisa menjadi pembanding data BPS.

Skenario lainnya tak lain tertuju pada ketersediaan pangan itu sendiri, terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat. Ini merupakan pilar paling awal sebelum melangkah ke pilar selanjutnya. Akan tidak efektif mengejar keterjangkauan dan stabilitas pangan jika produksinya melorot. Sebab dari produksi dapat menentukan kuantitas dan kualitas produk yang menjadi proyeksi hilirisasinya pada pilar keterjangkauan dan stabilitas.

Melaksanakan skenario paling hulu ini, Bulog tidak perlu membuka lahan persawahan khusus untuk menjaga pasokan berupa Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Bulog merasa perlu membuka on farm  sendiri dengan alasan agar pemerintah tidak pusing menaikkan HPP beras tiap tahun. Padahal andai terlaksana akan kontraproduktif dengan petani karena otomatis terjadi persaingan. Pihak petani dipastikan kalah dengan pemerintah yang memiliki sumber daya besar untuk melakukan sesuatu.

Dengan kembali ke fungsi awalnya yang memonopoli pilar ketersediaan pangan, Badan Otoritas Pangan cukup memaksimalkan sumber daya yang ada. Dalam hal ini, badan tersebut dapat bertindak sebagai ‘tengkulak’ yang ramah sekaligus pendamping inovasi dalam program intensifikasi untuk menggenjot hasil produksi.

Sebagai ‘tengkulak’, kalaupun badan ini menalangi modal, akan dilunasi petani pasca panen, atau dengan sistem bagi hasil. Sebagai pendamping intensifikasi, badan tersebut dapat bertindak sebagai pembina dalam penerapan berbagai teknologi yang murah-meriah. Ini juga untuk mengapresiasi temuan para insinyur dan memacu mereka agar terus produktif dalam berinovasi.

Dari sekian inovasi yang sudah ada adalah teknologi yang dapat melipatgandakan hasil panen, memulihkan dan meningkatkan kesuburan lahan, hemat bibit dan air, mengefisiensi masa tanam dan sebagainya. Di Indonesia, teknologi semacam ini sudah ada, yaitu Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO).

Teknologi tersebut murah-meriah karena bertopang pada kekuatan biologis tanah dan sinar matahari yang gratis. Ini telah diterapkan oleh Tim Fakultas Pertanian Universitas Unpad sejak 2006 dan telah diuji coba di berbagai provinsi. Di Sulawesi Selatan misalnya, penerapan IPAT-BO mampu menghasilkan antara 8-12 ton gabah kering panen (GKP) per haktare.

Pelaksanaan teknisnya, Badan Otoritas Pangan bisa mengoptimalkan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang sudah ada dengan merangsang kesadaran masyarakat membentuk Gapoktan baru. Gapoktan inilah yang dioptimalkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Jangkauan operasinya juga dapat dimaksimalkan pada kegiatan hilirisasi pertanian (spin off industry).

Cara tersebut mengingatkan pada peran Bulog masa Pak Harto. Unsur edukasi pemerintah tetap hadir dan mendekatkan diri ke tengah masyarakat, tidak sekedar blusukan. Salah satu instrumennnya melalui  Bulog yang memberdayakan KUD dalam mengoptimalkan alat produksi petani sekaligus mempertahankan swasembada pangan yang pernah tercapai.

Pertanian dan segala program membangun Indonesia dari pinggirian dengan memperkuat peran desa bukankah menjadi nafas Nawa Cita Presiden Jokowi hari ini. Menggerakan Badan Otoritas Pangan seperti Bulog era Pak Harto sebagai mesin pembangunan desa melalui peningkatan produktivitas pertanian adalah salah satu bentuk kongkritnya.

Presiden Jokowi pasti sangat sadar bahwa pertanian adalah kunci pamungkas dari konsesus politik yang dia bangun, mirip seperti Pak Harto. Namun Pak Harto lebih spesifik lagi dimana mesin politik pertanian yang ia bangun terletak pada Bulog. Kalau menoleh ke belakang sejenak, setelah tensi peristiwa Malari 1974 sudah agak tenang, Pak Harto pernah mengatakan Bustanil Arifin, Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah.

“Apapun yang terjadi, masalah-masalah non ekonomi boleh jebol. Tetapi pangan, terutama beras, harus tersedia kapan saja dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Bulog adalah pertahanan saya yang terakhir, pertahanan ekonomi”.

Bustanil Arifin dapat memaklumi curhatan Pak Harto kala itu. Sebab stabilisasi bahan pangan merupakan penjamin untuk dapat menstabilkan bidang-bidang lainnya. Sedikit saja harga beras naik, harga-harga barang lainnya ikut terkerek naik. Bahkan sampai hari ini, pengaruh harga beras merupakan penyumbang besar terhadap laju inflasi. Ini mengingat pengeluaran terbesar rumah tangga terletak pada kebutuhan pangan. Saat Bustanil Arifin menjabat Kepala Bulog, besarnya di atas 30 % dari pengeluaran. Pasca 1998, Bulog menyatakan sudah di atas 50 %.

Tentu saja Presiden Jokowi ogah kalau Nawa Cita-nya akan merubah jadi ‘duka cita’ kalau terus membiarkan Bulog terkatung-katung seperti sekarang. Bulog hari ini sangat sadar akan keterbatasannya yang tidak memiliki otoritas kuat dalam mengendalikan ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas pangan. Bersaing dengan tengkulak lokal saja Bulog keok.***

http://indonesianreview.com/viva-yoga-mauladi/jangan-sampai-nawa-cita-jadi-duka-cita

Revitalisasi Komando Logistik

Sabtu, 27 Juni 2015

Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (1)

IndonesianReview.com -- Di antara penyakit akut biokrasi dalam mencapai swasembada pangan pasca 1998 adalah lemahnya koordinasi. Seringkali Kementerian Pertanian menyatakan beras surplus, namun tidak bagi Bulog. Ini juga terjadi pada 2015. Saat Presiden Soeharto berkuasa, hal itu sulit terjadi.

Di masa Pak Harto, dualisme data produksi, kebutuhan dan harga beras juga dapat ditekan. Semuanya terintegrasi melalui peran Bulog sebagai ujung tombak otoritas pangan. Konon, data sembilan kebutuhan pokok (sembako), terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat, menjadi ‘sarapan pagi’ Pak Harto saat memulai kerja. Sedikit saja harganya naik, Kepala Bulog langsung dipanggil ke Istana.

Tonggak Pak Harto mengendalikan pangan tak lain terletak pada aspek kepemimpinan. Segala tata laksana hulu-hilir pertanian ia tangani langsung secara komando, bahkan sampai urusan teknis. Tanpa menutup berbagai masukan dari kabinet, ketika kebijakan telah ditetapkan, perintah Pak Harto kepada Kepala Bulog, Bustanil Arifin, dan diteruskan kepada menteri terkait mesti segara dilaksanakan. Tidak ada kamus membangkang.

Hal itu sangat efektif dalam mengkoordinasi para pejabat lintas sektoral tersebut. Ini sebangun dengan persoalan pangan yang memang begitu kompleks dan multi-dimensi. Di masa Pak Harto, tidak sulit bagi Bulog mengkoordinasi internal lembaganya dan kementerian terkait. Maklum, Kepala Bulog sampai Dolog dijabat oleh kalangan militer dimana garis komando sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bustanil Arifin sendiri adalah seorang Letjen TNI. Saking percayanya Pak Harto, ia menjabat sebagai Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah, yaitu 15 tahun (1978-1993). Bisa dibayang, meskipun status Bulog kala itu berupa Lembaga Non-Departemen, tapi menteri-menteri terkait sami’na wa atho’na (seiya-sekata) dengan Kepala Bulog.

Pak Harto mengendalikan permasalahan pangan melalui peran Bulog dengan tiga pilar yang saling terkait. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability) pangan, terutama komoditas beras. Pak Harto sangat ketat menjaga ketahanan pilar ini hingga kebutuhan pangan masyarakat selalu terjamin dengan harganya terjangkau.

Dari tiga pilar tersebut, salah satu yang menonjol dari peran Bulog pada masa Pak Harto adalah integrasi Bulog dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Vitalnya peran KUD dalam menopang pangan sampai-sampai kursi Kepala Bulog yang dijabat Bustanil Arifin merangkap sebagai Menteri Muda Koperasi.

Pada pilar ketersediaan sebagai hulu kebijakan pangan, Bulog menjamin kaum petani yang tergabung dalam KUD dalam meningkatkan produktivitas. Paling penting adalah menyalurkan aneka kebutuhan program intensifikasi khusus. Baik benih unggul, pupuk, pestisida hingga alat dan mesin pertanian (alsintan). Ini sudah termasuk alat pemanen, perontok dan pengering gabah.

Tak hanya itu, Bulog melalui Dolog di tiap daerah juga menjamin pasca produksi secara double. Bukan hanya menjamin pemasaran  dengan membeli hasil panen, tapi juga menjamin harga dasar gabah dan beras. Dengan cara ini, kerugian petani dapat ditekan meskipun harga gabah turun karena adanya subsidi melalui KUD.

Betapa vitalnya fungsi KUD itulah Pak Harto menghimbau keras kaum pengusaha besar agar menjual sebagian sahamnya kepada koperasi demi ketahanan kelompok usaha tani tersebut. Ini berarti, para korporasi terjun memberikan modal dan bantuan kepada petani.

Pada pilar keterjangkauan pangan, Bulog mengendalikan lalu lintas distribusi, stok dan harga dengan terjun ke lapangan secara langsung ke konsumen. Bahkan sejak meletusnya peristiwa Malari pada 1974, Bulog bertindak sebagai penjual, bukan hanya di pasar, tapi juga di jalanan.

Sejak 1980 sampai 1998, selain terjun ke lapangan, Bulog menggunakan koperasi-koperasi kecil yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dalam meredam gejolak harga pangan di pasar. Di bawah kendali ‘militer’ Bulog, mana berani para pedagang dan koperasi kecil itu nakal menaikan harga. Tahu sendiri akibatnya.  

Kisah sukses Bulog masa Pak Harto itulah yang memanggil sejumlah kalangan untuk merevitalisasi peran Bulog masa kini. Terlebih bila dihadapkan dengan kenyataan betapa peliknya mengatasi persoalan pangan yang makin beranak-pinak. Di persoalan lahan sebagai media tanamnya saja, tingkat kesuburan lahan teknis sawah dan lahan pertanian lainnya sudah semakin menurun; luas lahan makin menyempit karena terjadi alih-fungsi dan sebagainya.  

Tapi tentu saja revitalisasi Bulog yang dimaksud bukanlah mem-foto copy seluruh dari masa silamnya. Pada jabatan pimpinan Bulog dan Dolog di daerah misalnya, tidak harus lagi dari kalangan militer yang justeru bakal merusak profesionalitas TNI yang sudah baik sekarang ini. Tapi ketegasan dan kepatuhan dalam memimpin dan dipimpin itu yang perlu ditiru.

Begitu pula penyalahgunaan KUD sebagai mesin politik partai penguasa, sudah pasti menjadi tabu jika di-copy paste. Lagi pula, tantangan pertanian di masa kini juga ada yang diakibatkan oleh masa lalu, khususnya banyaknya lahan sawah yang kelelahan dan sakit (fatigue and sick soils). Ini akibat program intensifikasi masa lalu yang menggenjot produksi tanpa henti.

Akibatnya , penggunaan pupuk tidak lagi berimbang. Pestisida pun digunakan secara berlebihan. Tingkat kesuburan lahan atau unsur haranya akhirnya menipis, bahkan habis sama sekali. Wal-hasil, organisme penganggu tanaman (OPT) kebal terhadap pestisida atau indektisida. Kalau lahannya sakit, otomatis hasilnya tidak akan maksimal, selengkap apapun infrastruktur pertanian yang dibangun seperti jaringan irigasi, waduk dan sebagainya.

Mengingat tantangan kepemimpinan yang kompatibel dengan alam demokrasi dan problem pertanian kian kompleks, maka keinginan mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto mesti disambut dengan cetak biru (blue print) yang lebih matang. Perencanaan inipun mesti didesain secara aplikatif di lapangan nyata, dan bukan sekedar kertas kerja karya ilmiah.

Perencanaan revitalisasi Bulog tidak hanya merefleksikan persoalan pangan yang sudah bergenarasi ini, tapi juga tertuntut sanggup meringkas kompleksnya urusan pangan sebagai jalan keluar. Kalau hanya refleksi, itu namanya meratapi dan hanya sekedar ingin atau basa basi.

Kalaupun cetak biru revitalisasi Bulog sudah beres, tantangan paling berat adalah pelaksanaan proteksi pangan, terutama pengendalian pengelolaan tata niaganya. Tidak hanya beras, tapi juga gula, kedelai dan jagung yang tak lepas dari praktik kartel, monopoli dan oligopoli.

Tentu Bulog tertuntut untuk membiasakan kelincahan dan ketegasannya seperti sedia. Untuk bisa memproteksi pangan sedemikian rupa itu, Bulog yang pada masa awalnya dikenal sebagai ‘Komando Logistik’ memang mesti dioperasikan dalam satu komando dimana secara hirarkis ketata-negaraan Kepala Bulog bertanggung jawab di bawah presiden. Hirarkis ini kembali ke Bulog era Pak Harto. Kalau tidak begitu, pengalaman biokrasi pasca 1998 berulang kali selalu membuktikan bahwa ego sektoral menyumbang besar terhadap lemahnya koordinasi antar bidang.

Bila ditangani dengan satu komando Bulog, konsekuensinya: birokrasi terkait lainnya di kementerian, lembaga negara atau BUMN lain seperti PT Pupuk Indonesia Holding Company dan bank plat merah, dalam ungkapan politik, tertuntut sinergis dengan Bulog. Namun dalam istilah hukum, mesti tunduk kepada Bulog, sang pemegang otoritas pangan.

Lagi pula, sesuai amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah harus membentuk Badan Otoritas Pangan pada 2015 ini. Badan inilah yang bisa menggabungkan badan ketahanan pangan dan Bulog menjadi satu. Klop! ***


Tindak Tegas Spekulan dan Pedagang “Nakal”

Sabtu, 27 Juni 2015

Kapolda Metro Jaya Tito Karnavian bakal menindak tegas spekulan dan pedagang nakal, apabila menjual sembako di luar kewajaran.

JAKARTA – Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) bakal menindak spekulan ataupun pedagang nakal yang menjual komoditas sembako dengan harga diluar kewajaran. Tindakan tegas ini, semata untuk menjaga kestabi- lan harga kebutuhan pokok selama Ramadan dan jelang Idul Fitri.

“Harus ditindak spekulan dan pedagang yang menjual barang dengan harga diluar kewajaran. Tujuannya agar harga tetap stabil,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian saat mengikut operasi pasar di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Jumat (26/6).

Kapolda Metro Jaya mengaku tidak khawatir dengan segala gangguan keamanan yang mungkin terjadi selama operasi pasar. “Kami merasa lebih aman, artinya tidak khawatir dengan gangguan keamanan baik fisik maupun yang lain,” katanya.

Selain mengawal Bulog, polisi juga memberi pengamanan kepada warga yang berbelanja. Sejumlah polisi menjaga ketat truk Bulog yang terparkir di depan pasar. Dalam kegiatan tersebut, lanjutnya, sebanyak 25 anggota polisi diterjunkan untuk menjaga pelaksanaan operasi pasar berlangsung kondusif.

Dalam operasi pasar tersebut, Bulog menjual bahan po- kok berupa beras mulai dari harga 7.600 hingga 9.500 rupiah per kg tergantung kualitas beras, gula 10.900 rupiah per kg, minyak goreng 12.500 ribu per kg, cabai 20.000 rupiah per kg dan bawang 17.000 rupiah per kg.

Sementara itu, Kepala Bulog Divisi Regional DKI - Banten Awaludin Iqbal mengatakan, untuk menjaga pasokan kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga harga selama Ramadan, dibutuhkan komitmen dan partisipasi semua pihak.

“Kami terima kasih kepada kepolisian yang berkomitmen mengawal operasi pasar. Ini merupakan tugas pemerintah,” kata Awaludin.

Mengenai antisipasi lonjakan harga,Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaeful Hidayat mengaku telah menyiapkan stok beberapa komoditas yang harganya rawan fluktuasi. Seperti daging sapi, PD Pasar Jaya dan Dharma jaya telah menyiapkan stok daging hingga 100 ton setiap hari.

“Kami sudah siap, pasar jaya, dharma jaya untuk menyediakan daging segar, kita punya stok sampe 50 ton perhari ada 100 ton per hari ada,” katanya.

Penyediaan stok daging segar ini, katanya, merupakan salah satu langkah untuk mengantisipasi lonjakan harga menjelang bulan Ramadan. Dia pun menjamin, daging yang beredar di Jakarta merupakan daging berkualitas baik.

Terkait hal ini, Pemprov DKI Jakarta juga bekerjasama dengan Asosiasi Peternak Indonesia untuk menyiapkan stok daging. Kerjasama dengan Asosiasi Peternak Indonesia itu pun merupakan langkah untuk memotong mata rantai distribusi daging di Jakarta. Sebab, katanya, dengan jaringan distribusi yang panjang akan ber- dampak pada mahalnya harga daging yang diminta.

Jaga Pasokan

Wakil Ketua Umum Kadinda DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, daya beli masyarakat sekarang cenderung menurun. Karena itu, pemerintah diharapkan mampu menjaga stabilitas harga sembako menjelang bulan puasa dan lebaran.“Kebutuhan masyarakat akan sembako selama bulan puasa dan Idul Fitri akan naik 20-25 persen.”

Menjelang Lebaran, tambah Sarman, psikologi pasar akan berpengaruh dan kecederungan harga akan bergerak naik terus apabila demand dan supply tidak seimbang. “Jauh jauh hari manajemen stok ini sudah harus di evaluasi sehingga tidak terjadi gejolak harga sembako selama puasa dan menjelang Idul fitri.” pik/E-12

http://www.koran-jakarta.com/?32518-tindak-tegas-spekulan-dan-pedagang-nakal

Meredam Spekulan Pangan

Sabtu, 27 Juni 2015

Menjelang hari besar keagamaan, harga pangan selalu melambung diikuti kelangkaan (shortage) pasokannya sehingga daya beli masyarakat semakin melemah.

Fenomena ini dipastikan bukan karena mekanisme demand and supply (kebutuhan dan pasokan) semata. Argumennya, kejadiannya terus berulang dengan besaran intensitas, frekuensi, dan durasi yang terus meningkat. Mengapa pemerintah "tidak berdaya" menyelesaikan masalah tersebut sehingga spekulan pangan merajalela dan rakyat merana?

Berapa kenaikan harga yang wajar pada momen tersebut? Wajarkah harga beras di pasar pada akhir Januari 2015 melampaui Rp 12.000 per kilogram, sementara Februari 2015 panen raya? Benarkah turbulensi harga beras saat itu untuk menekan pemerintah agar melakukan impor, karena stok beras di Vietnam dan Thailand melimpah tanpa pembeli?

Wajarkah harga bawang merah yang biaya produksinya Rp 15.000 per kg harganya menyentuh Rp 40.000 per kg? Mengapa harga daging ayam melonjak dua kali lipat? Benarkah auktor intelektualis dan penikmat utama gejolak harga bahan pangan ini adalah spekulan pangan? Benarkah harga padi, jagung, kedelai, daging sapi, gula, daging ayam, cabai, dan bawang merah juga dikendalikan mereka, dan didukung pembentukan opini publik di media? Bagaimana penyelesaian menyeluruhnya?

Upaya khusus

Solusi fundamentalnya adalah memenuhi pasokan pangan secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas melalui: (i) upaya khusus (upsus) percepatan swasembada pangan dan (ii) peraturan presiden tentang perdagangan bahan pangan pokok yang mengatur  tentang: harga, volume, dan waktu penyimpanan bahan pangan merupakan solusi fundamentalnya.

 Pilihan pemerintah membentuk upsus pajale (padi, jagung, dan kedelai), dan upsus pangan lainnya, seperti daging sapi, gula, cabai, dan bawang merah patut diapresiasi. Gerakan upsus yang masif dan terstruktur dari pemerintah pusat, sampai tingkat operasional lapangan (penyuluh, pengairan, dan koordinator statistik kecamatan serta badan pembina desa) menyebabkan akselerasi pencapaian swasembada bahan pangan pokok dapat dimaksimalkan kinerjanya.

Hasilnya sangat signifikan antara lain: luas tanam padi periode Oktober 2014- Maret 2015 meningkat lebih dari 500.0000 hektar dibandingkan periode sama 2013/2014. Terjadi peningkatan luas panen, produktivitas, produksi tertinggi dalam sejarah. Jika konsisten, produksi padi nasional diprediksi melampaui 76 juta ton gabah kering giling (GKG) dan Indonesia berdaulat atas beras tahun 2015.

Pada 2016 dan 2017 pemerintah membidik swasembada jagung dan kedelai. Penyelewengan pupuk dapat direduksi secara signifikan. Untuk memaksimalkan serapan gabah oleh Perum Bulog dan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), TNI telah memfasilitasi petani untuk menjual gabah langsung ke Bulog dan PIHC agar pemerintah kuat cadangan pangannya untuk stabilisasi harga dan pasokan dan petani tidak menjadi obyek eksploitasi rentenir.

Perpres perdagangan pangan pokok

Pemerintah harus segera melaksanakan perintah amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 25 Ayat (3) dan Pasal 29 Ayat (3) yang menyatakan "barang kebutuhan pokok dan barang penting ditetapkan dengan Peraturan Presiden" dan "ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting diatur dengan atau berdasarkan peraturan presiden".

Melambungnya harga cabai, telur, dan ayam potong menjelang Ramadhan dan hari raya apa pun argumennya tak bisa ditoleransi. Pemerintah harus hadir melindungi rakyat dari eksploitasi spekulan pangan, bukan membiarkan dengan menganggap melonjaknya harga dan pasokan bahan pangan sebagai hal wajar.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diatur, yaitu volume maksimum bahan pangan pokok yang dapat disimpan, harga maksimum yang diizinkan, serta waktu penyimpanan maksimum. Besaran volume bahan pangan maksimum dapat ditetapkan jika pemerintah provinsi, kabupaten/kota memiliki data time series penjualan bahan pangan pokok oleh kios dan distributor bulanan. Harga maksimum dapat dihitung lebih sederhana dari biaya produksi plus keuntungan ditambah batas toleransi yang diizinkan dalam perayaan hari besar keagamaan.

Sementara, untuk waktu penyimpanan, harus dicari kombinasi yang ideal agar stok tidak bergeser menjadi penimbunan. Tentu jenis komoditas juga harus diperhitungkan. Untuk beras sekitar dua bulan adalah periode yang optimal. Tim pengendali inflasi daerah (TPID) harus mengambil peran signifikan dalam mengelola pasokan dan harga bahan pangan pokok. Mekanisme pengawasan mutlak diintensifkan dan sinergi pemerintah bersama masyarakat menjadi kuncinya.

Pengalaman penangkapan penyimpangan pupuk bersubsidi oleh aparat TNI dan Polri sebagian besar bersumber dari informasi atau laporan masyarakat. Pemerintah harus melakukan audit stok gudang dengan memanfaatkan informasi masyarakat.

Transparansi publik dan perluasan peran Bulog

 Kewajaran atas harga bahan pangan pokok di setiap strata (distributor dan kios) pada setiap hari besar keagamaan perlu ditetapkan pemerintah secara transparan, sehingga masyarakat dapat membantu melakukan pengawasan di lapangan. Penegakan aturan harga maksimum, volume maksimum, dan waktu maksimum dalam distribusi bahan pangan pokok menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam mematahkan dominasi spekulan pangan.

Sertifikasi gudang pangan dengan memberikan "atribut gudang" berupa koordinat lokasi, kapasitas gudang, kontak pengelola, dengan mewajibkan pemiliknya memberikan laporan ke pemerintah secara periodik harus segera dilakukan. Selain memudahkan pemantauan, hal ini juga akan mempersempit ruang gerak spekulan pangan dalam "menggoreng" harga dan pasokan bahan pangan. Pemerintah kabupaten/kota harus bisa memastikan hanya gudang resmi yang diizinkan menyimpan bahan pangan pokok.

Selanjutnya, data real time pasokan dan harga pangan dapat diakses pengambil kebijakan dengan cepat sehingga para pengambil keputusan dapat segera melakukan pengendalian harga dan pasokan sebelum terjadi gejolak. Importasi pangan dapat dilakukan dalam hal terpaksa, namun harus dilakukan institusi pemerintah, misalnya Bulog. Argumennya, margin keuntungan harus kembali ke pemerintah sehingga Bulog bisa dimintai pertanggungjawabannya jika terjadi turbulensi harga dan pasokan pangan.

Pengembalian peran Bulog ke fungsi awal sebagai penyangga, stabilisator harga, dan pasokan pangan harus segera dilakukan agar rakyat tidak dijadikan sapi perah dan eksploitasi para spekulan pangan. Percepatan pembangunan tol laut perlu disegerakan agar masyarakat memperoleh suplai dan harga pangan yang wajar sehingga mampu meredam spekulan. Kebutuhan lainnya juga dapat diberikan sehingga masyarakat yang bermukim nun jauh di sana mendapatkan pelayanan atau perlakuan sama tanpa diskriminasi.

 GATOT IRIANTO

Ketua Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai Nasional

http://print.kompas.com/baca/2015/06/27/Meredam-Spekulan-Pangan

Jumat, 26 Juni 2015

Pembentukan Badan Pangan Perlu Sinkronisasi dengan Bulog

Jumat, 26 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding mengatakan pembentukan Badan Pangan Nasional membutuhkan sinkronisasi dengan lembaga bidang serupa yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Hal tersebut agar jelas masing-masing fungsinya.
"Jadi ini harus disinkronkan, mana peran Bulog dan mana peran badan pangan nasional nantinya," katanya.
Karding menilai hal tersebut diperlukan. Karena selama ini Bulog yang dikenal sebagai perusahaan negara atau BUMN bernuansa usaha yang tentunya berbeda dengan maksud dibentuknya badan pangan nasional itu.
"Itu yang harus didiskusikan. Karena peran Bulog, ini kan nuansa usahanya kan lebih tinggi dan pasti berbeda dengan badan pangan karena maksudnya untuk menciptakan ketahanan pangan," jelasnya.
Lebih lanjut, Karding mengatakan badan pangan nasional sebenarnya adalah amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sehingga harus dipersiapkan perangkat-perangkatnya agar tujuan bangsa mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan tercapai.
"Tujuan badan pangan itu kan kita memproduksi sendiri, menyiapkan sendiri dan konsumsi sendiri itu yang namanya kemandirian pangan," ujarnya.
Menurut Karding, kebijakan selama ini untuk impor bahan pokok dari negara asing bukanlah kemandirian namun hanya ketersediaan pangan. Untuk itu dia menekankan harus ada target dari pemerintah kapan hal mengenai ketahanan pangan ini akan diselesaikan dan bagaimana cara melakukannya agar ketahanan pangan tercapai.
"Ya, sebenarnya kita bisa dan pernah melakukannya. Harus ada target kapan harus kita selesaikan, lalu bagaimana cara kita menghadapinya, kita sebenarnya bisa," katanya lagi.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/26/nqiwrl-pembentukan-badan-pangan-perlu-sinkronisasi-dengan-bulog

Kekuasaan dan Swasembada Pangan

Jumat,26 Juni 2015

Relasi kekuasaan dan pangan sudah menjadi diskusi panjang dalam sejarah manusia. Pemikiran paling sederhana adalah pasokan pangan yang melimpah akan menopang kekuasaan. Dengan berbagai variasi strategi, pemimpin-pemimpin dunia selalu memastikan pasokan pangan bangsanya aman sehingga kekuasaan tidak mudah jatuh.

Menilik latar belakang Soeharto yang menjadi presiden selama 32 tahun, alam pikiran Jawa melekat pada dirinya. Kisah-kisah yang terjadi di Jawa pada masa lalu setidaknya pernah diceritakan oleh orang dekatnya, termasuk kisah kepemimpinan di Jawa. Ciri kepemimpinan di Jawa yang selalu menyebut kebahagiaan raja apabila rakyatnya cukup mendapat beras adalah termasuk yang diceritakan kepada Soeharto. Sebaliknya raja akan cemas apabila rakyat tak tercukupi pangannya.

Saat Soeharto mulai menjabat sebagai presiden, dirinya menerima keadaan berupa kondisi pangan di Indonesia juga masih morat-marit. Soeharto pasti merasakan kecemasan itu hingga memilih peningkatan produksi beras sebagai fokus kerjanya. Dibantu para teknokrat, ia membangun ketahanan pangan berbasis pada padi. Ia menerima konsep Revolusi Hijau sebagai cara untuk meningkatkan produksi padi. Soeharto mempersilakan investasi pestisida, membangun industri benih, industri pupuk, dan berbagai sarana pertanian lainnya hingga membangun organisasi tani. Soeharto dinilai berhasil memajukan usaha pertanian Indonesia hingga mendapatkan penghargaan dari FAO tahun 1985.

Akan tetapi, langkah-langkah Soeharto dalam membangun ketahanan pangan ternyata tidak bisa dipertahankan. Fokus swasembada pangan pada padi menjadikan areal-areal yang sebenarnya tidak layak untuk tanaman padi dipaksa menjadi lahan padi. Di satu sisi program sawah sejuta hektar merupakan program terobosan, tetapi program ini membutuhkan biaya yang mahal untuk menjadikan gambut sebagai lahan sawah. Rekayasa lahan sangat dibutuhkan. Risiko lainnya adalah perusakan lingkungan.

Kesan untuk menyatukan seluruh Indonesia dengan padi sebagai sumber pangan utama juga sangat kuat. Banyak daerah yang sebenarnya tidak cocok untuk ditanami padi serta penduduk setempat sudah lama mempunyai sumber karbohidrat lain seperti dipaksa untuk makan padi. Apalagi, kesan makanan padi dipromosikan secara tidak langsung menjadi lebih modern dibandingkan makanan lain sangat kuat. Akibatnya banyak daerah yang kemudian bergantung pada padi meski daerah itu tak menghasilkan banyak padi.

Swasembada itu kemudian tak langgeng. Apalagi, belakangan rezim impor sangat berkuasa. Pencari rente hidup berdampingan dengan pengambil kebijakan impor beras. Kebergantungan pada impor beras bukan lagi karena memang butuh untuk mendapatkan beras, tetapi lebih banyak disertai keinginan untuk mendapatkan uang dari aktivitas itu.

Kerusakan paling parah adalah kehilangan sumber pangan lokal karena lama tidak mendapat perhatian. Kerusakan pola makanan juga terjadi akibat keluarga-keluarga modern sudah tidak lagi mengenal dan menyukai sumber pangan lokal. Mereka lebih menyukai beras dibandingkan pangan setempat, seperti jagung, sagu, dan ubi.

Jika pada 2003 dan 2008 serta 2014 pemerintah tidak mengimpor beras atau setidaknya mengimpor beras dalam jumlah kecil, hal ini bukan karena sukses program swasembada. Kondisi ini terjadi karena cuaca saat itu mendukung untuk pertanaman padi sehingga hasil sangat melimpah.

ANDREAS MARYOTO

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150626kompas/#/59/

Melawan Mafia Bisnis

Jumat, 26 Juni 2015

Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengatakan bahwa negeri ini sedang menghadapi berbagai mafia. Mafia pangan, mafia ikan, mafia migas, dan lainnya (Kompas, 15/6/2015). Kalau mau ditambah masih ada lagi: mafia tanah, mafia bioskop, mafia saham, mafia TV, mafia pengecer, dan banyak lagi.

 Istilah mafia yang berasal dari Sicilia, menurut Reader's Digest, berasal dari bahasa Arab "ma'siyah" yang berarti maksiat. Sicilia pernah diduduki oleh penguasa Arab. Namun, arti umum mafia adalah kelompok kriminal yang terorganisasi (organized crime). Sementara mafia yang dimaksud Jokowi adalah mafia bisnis. Kelompok ini legitimate. Bukan kriminal, melainkan bisa menabrak aturan main yang ditetapkan oleh peraturan dan undang-undang melalui cara yang lihai dengan memanfaatkan berbagai lubang dari aturan hukum.

 Kelompok ini biasanya punya kekuatan keuangan yang besar. Koneksi mereka kuat dengan penguasa di bidangnya, intimidatif apabila ada yang mengganggunya, cenderung monopolistik dan menguasai pasar, serta ikut memengaruhi kebijakan pemerintah agar menguntungkan kelompoknya.  Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, kelompok mafia memberikan imbal balik kepada penguasa dan politisi dalam bentuk uang, saham, dana pemilu, atau bentuk-bentuk lain yang sulit dilacak.

Informasi adalah bagian penting dari kerja mafia. Mereka bisa memperoleh informasi penting jauh sebelum diketahui publik melalui kontak-kontak bayaran mereka di pemerintahan.

 Hasil keuntungan mereka umumnya disimpan di negeri-negeri yang "aman", seperti Singapura dan kawasan bebas pajak,  atau diinvestasikan dalam surat-surat berharga di luar negeri atau investasi lain.

 Belakangan para mafia ini sedikit terbuka kedoknya setelah pemerintah menunjuk tim migas yang diketuai Faisal Basri dan setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan gebrakan menenggelamkan kapal-kapal "asing" pencuri ikan.  Mafia tanah yang menguasai bank tanah dan menentukan harga tanah di kota-kota besar sejauh ini belum tersentuh. Mafia beras mempermainkan harga beras dengan menimbun dan menekan pembelian dari petani.

Memberantas mafia

Melawan mafia tidak mudah karena mereka kuat dan tidak akan tinggal diam. Selama bertahun-tahun mereka justru dipelihara dan dibesarkan oleh kekuatan politik tertentu guna menjamin kelangsungan kekuasaan mereka. Mereka akan melawan menggunakan kekuatan uang, lobi politik, media, dan apabila perlu dengan teror.

Politisi, anggota DPR, aparat hukum, dan pejabat yang dipelihara dan banyak menikmati keuntungan materi dari mereka tidak akan tinggal diam melihat sumber penghasilannya dihancurkan. Namun, dengan tekad yang bulat, pemerintah yang bersih dan berkemauan politik dapat meminimalkan kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai mafia ekonomi ini sebagai berikut.

Pertama, membersihkan aparat hukum dan pejabat dari unsur-unsur kotor yang memperkaya diri sendiri. Jika ada kemauan politik, tidak sulit mengidentifikasi mereka dan menggantikannya dengan orang-orang yang bersih dan berani. Selama masih ada pejabat yang bisa dibeli, selama itu pula berbagai mafia akan meraja lela.

 Kedua, memaksakan transparansi dalam setiap transaksi oleh pengusaha. Salah satu trik mafia adalah menutupi pemilik sebenarnya dari usaha mereka. Saham PT dimiliki oleh PT yang dimiliki oleh PT lain, seterusnya bertingkat-tingkat sehingga sulit diketahui orang kuat sebenarnya di belakang usaha itu. Trik lain adalah dengan melakukan transaksi bertingkat kepada perusahaan milik sendiri di luar negeri. Perlu ada undang-undang membatasi kepemilikan bertingkat sampai maksimum dua tingkat.

 Ketiga, memberantas praktik transfer pricing dengan audit khusus terhadap transaksi yang mencurigakan. Mafia sering menyewa atau melakukan pembelian bahan baku dari perusahaan milik sendiri di luar negeri dengan harga jauh di atas harga pasar (over price) atau menjual hasil produksi dengan harga di bawah pasar (under price). Dengan demikian, dia akan membatasi laba di dalam negeri atau bahkan merugi guna menghindari pajak di dalam negeri.

Keempat, menjaga ketat agar kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi pasar tidak bocor sebelum diumumkan dengan membatasi jumlah pejabat yang diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan penting.

 Kelima, melaksanakan dengan konsekuen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, mengefektifkan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang belakangan tumpul, serta memberantas monopoli dan persekongkolan dalam tender.

 Keenam, mengintensifkan pemeriksaan pajak pada usaha-usaha yang ditengarai menggelapkan pajak, baik dengan melanggar hukum maupun dengan memanfaatkan lubang-lubang dalam peraturan pajak.

Perlu tekad politik

 Ketujuh, menggunakan kekuatan ekonomi pemerintah untuk membangkrutkan mereka yang mencari keuntungan besar dengan cara menimbun, bukan dengan menggunakan polisi ekonomi atau sejenisnya, melainkan dengan membanjiri pasar dengan barang yang diperdagangkan. Mafia tanah dapat dihentikan dengan peraturan mengenakan pajak bertingkat atas kepemilikan lahan kosong untuk waktu lama, membatasi areal tanah yang dimiliki pada setiap saat, dan pemerintah memiliki sendiri bank tanah untuk mengimbangi kepemilikan swasta.

 Kedelapan, menghilangkan segala bentuk subsidi yang tidak tepat sasaran dan hanya akan menciptakan dua harga yang mendorong penyelundupan. Sebaliknya, pemerintah melakukan kebijakan afirmatif dan memberi insentif kepada usaha-usaha yang menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan kerja bagi khalayak.

 Kesembilan, menghindari sejauh mungkin perangkapan jabatan (dwifungsi) pengusaha dengan pejabat atau politisi dengan peraturan yang jelas tentang benturan kepentingan (conflict of interest).

 Kesepuluh, menjaga wibawa pemerintah dengan pelaksanaan hukum yang tegas, disiplin aparat, dan konsistensi dalam menetapkan kebijakan yang mendukung iklim usaha yang sehat.

Memang tidak mudah melawan berbagai kekuatan bisnis mafia ini. Akan tetapi, dengan tekad bulat politik, komunikasi publik yang jelas, dan niat yang tulus, rakyat akan mendukung dan perlahan, tetapi pasti mafia bisnis di Tanah Air akan dapat dikendalikan.

 ABDILLAH TOHA

Pemerhati Politik

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150626kompas/#/7/

Kamis, 25 Juni 2015

Harga Sembako Rawan Melonjak, Muncul Gagasan Badan Pangan Baru

Kamis, 25 Juni 2015

Jakarta -Wacana pembentukan badan pangan kembali muncul dalam rangka regulasi pengendalian pasokan dan harga seluruh pangan kebutuhan pokok (sembako) di Tanah Air. Selama ini sudah ada Perum Bulog hanya sebagai regulator dan hanya mengendalikan pasokan dan harga beras saja.

Wakil Ketua Komisi IV Ibnu Multazam mengatakan dalam Panja di DPR, sudah ada pembahasan soal pembentukan badan pangan. Saat ini, pihak Kementerian Pertanian konsentrasi pada produksi, sedangkan Bulog hanya mengumpulkan hasil produksi sebagai stok.

"Kami pikirkan lembaga-lembaga yang sudah ada disatukan menjadi lembaga setingkat menteri. Tidak hanya koordinasi tapi juga bisa mengeksekusi yang dihasilkan oleh kementerian pertanian. Lembaga itu harus betul-betul menangani pangan pokok," kata Bustanul dalam Diskusi Publik dan Buka Puasa Bersama berlokasi di Aula Graha Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Kantor DPP PKB, Cikini, Kamis (25/6/2015).

Ia berharap bila lembaga ini punya kejelasan kewenangan. Faktanya saat ini ada Perum Bulog, Badan Ketahanan Pangan Kementan, dan PT Pangan yang nantinya akan dibentuk.

"Inpres tentang Bulog sudah kita inisiasi agar ketentuan yang menyulitkan Bulog akan dihapus. Seperti ketentuan kadar air 35%, supaya bisa akselerasi penyerapan ke petani," katanya.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bustanul Arifin mengatakan, saat ada keinginan agar Bulog lebih punya kewenangan yang luas seperti dulu. Saat ini Bulog menjadi operator saja, sedangkan regulator ada di raskin di Kemensos, soal serapan gabah di Kementan, dan keuangan ada di Kemenkeu.

"Insya Allah awal bulan depan akan ada versi final kelembagaan yang ideal untuk pangan Indonesia seperti apa. Kelembagaan tidak cuma organisasi saja. Tapi lebih ke tata kelola pemegang kewenangan juga," katanya.Ia mengusulkan ada 3 opsi kelembagaan, pertama BOPN (Badan Otoritas Pangan Nasional) setingkat eselon I atau penguatan dari Badan Ketahanan Pangan Kementan (BKP) yang sekarang sudah ada.

"Bulog bagaimana? Mungkin diambil beberapa orang Bulog seperti dari Public Service Obligation dan Pelayanan Publik. Kadivre di bawah pasti turut dengan perintah di atasnya," katanya.

Kedua, membentuk lembaga khusus, lembaga yang dimaksud bukan BUMN tapi LPMK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) yang dipimpin setingkat menteri.

Ketiga, menghidupkan kembali Dewan Ketahanan Pangan. Mentan punya tugas harian sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan. Langsung di bawah Presiden.

"Tapi sudah tidak hidup lagi lembaga itu," katanya.

Namun menurutnya BOPN yang paling mungkin, lembaga setingkat kementerian menko/BOPN.

"Bulog tidak hanya diamanatkan operasi pasar, rapi juga raskin hingga ke daerah dan menjaga cadangan pangan. Pangan ini artinya tidak hanya beras, tapi juga diversifikasi pangan lokal. Itu sangat krusial soal lembaga ini," katanya.

http://finance.detik.com/read/2015/06/25/200453/2952638/4/harga-sembako-rawan-melonjak-muncul-gagasan-badan-pangan-baru

Bulog Masih Tunggu Perpres Soal Penyimpanan Bahan Pokok

Kamis, 25 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan, saat ini masih menunggu peraturan presiden (perpres) yang menunjuk Bulog untuk mengatur mekanisme suplai kebutuhan sembilan bahan pokok dan bahan strategis. Meski perpres belum turun, Bulog tetap melakukan persiapan mulai dari infrastruktur, sumber daya manusia, dan keuangan.

"Intinya yang paling utama kami harus siap, semakin cepat kita dapat informasi penugasan maka semakin mempercepat proses persiapan," kata Djarot, Kamis (25/6).
Djarot mengatakan, Bulog mesti lakukan penyesuaian gudang untuk menampung sembilan bahan pokok dan bahan strategis yang akan dipasrahkan oleh pemerintah. Pasalnya, masih ada gudang yang memiliki spesifikasi berbeda. Terkait masalah pendanaan, Djarot belum mau memberikan penjelasan karena masih menunggu perpres tersebut.

"Sambil menunggu kita juga coba berhitung tapi itu pun akurasinya belum bagus," kata Djarot.

Djarot mengatakan, Bulog juga siap untuk menggelontorkan daging sapi segar lokal ke masyarakat dalam rangka operasi pasar. Pada tahap awal Bulog berencana menggelontorkan daging sapi sebesar 200 ton di wilayah Jabodetabek dan masuk ke pasar retail. Penyaluran ini akan dimulai pada pekan depan dengan jumlah 15 ton per hari.

Dengan adanya operasi pasar daging sapi tersebut, diharapkan dapat menurunkan harga mencapai Rp. 90 ribu per kilogram. Selain itu, operasi pasar tersebut diharapkan dapat memotong rantai distribusi sehingga konsumen bisa mendapatkan harga yang wajar.  

Djarot mengatakan, saat ini Bulog harus melakukan perbaikan gudang untuk mencegah adanya kualitas beras yang buruk. Perbaikan gudang yang dilakukan diantaranya pemasangan blower dan fungisasi sampai mencapai tingkat beras yang layak konsumsi. Menurut Djarot, adanya beras raskin yang tidak layak konsumsi disebabkan oleh kondisi gudang yang berada di bawah standar. Djarot memastikan, apabila setelah dilakukan perbaikan beras masih tidak mencapai kualitas layak konsumsi maka akan dimusnahkan atau dilelang untuk pakan ternak.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/06/25/nqhvu2-bulog-masih-tunggu-perpres-soal-penyimpanan-bahan-pokok

Pemerintah Akan Membuka Toko Murah, Bulog Jadi Operator

KAMIS, 25 JUNI 2015

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan membuka toko murah yang menjual komoditi pangan seperti beras, gula, bawang, minyak goreng dan cabai agar tidak lagi terjadi lonjakan harga di pasar.

"Ke depan, pemerintah akan membuka toko murah di seluruh Indonesia dan akan berlangsung sepanjang tahun," kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada saat operasi pasar di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Kamis, 24 Juni 2015.

Dengan toko murah ini, dia mengatakan pemerintah tidak perlu lagi melakukan operasi pasar pada hari-hari besar keagamaan.

Dia mengatakan toko murah ini merupakan hasil sinergi dari beberapa instansi dan kementerian, seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN.

Dalam pelaksanaannya, Bulog bertindak sebagai operator toko murah itu. Sementara Kementerian Perdagangan memantau harga, Kementerian Perhubungan memastikan pasokan bahan pertanian sampai tepat waktu dan Kementerian Pertanian menjaga produksi produk.

Ketua Komisi IV Edy Prabowo mendukung pemerintah untuk membuka toko murah tersebut agar harga kebutuhan sembako stabil sepanjang tahun.

Dia mengatakan pada Oktober akan dibentuk lembaga pangan untuk semua komuditas bahan pokok.

"Dengan lembaga ini, maka harga bahan pokok tidak akan dilepaskan ke pasar, sehingga harganya stabil," kata dia.

Dia juga menginginkan pemerintah untuk menjaga cadangan beras yang sekarang semakin menipis.

ANTARA

http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/06/25/090678246/Pemerintah-akan-Membuka-Toko-Murah-Bulog-Jadi-Operator

Kementan & Bulog Lakukan Operasi Pasar hingga Malam Takbiran

Kamis, 25 Juni 2015

JAKARTA - Hari ini Kementerian Pertanian (Kemetan) dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) melakukan operasi pasar dengan menyebar 22 truk angkut logistik yang membawa beras, bawang merah, gula pasir, minyak goreng, cabai, dan daging.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menuturkan, penyebaran truk logistik operasi pasar ditujukan untuk menstabilkan harga-harga yang terjadi di pasar. Operasi kali ini juga merupakan lanjutan dari kegiatan sebelumnya yang menyebar ke 10 titik dan untuk sekarang disebar ke 22 titik pasar se-Jabodetabek.

"Ini operasi pasar lanjutan, setelah sebelumnya kan sudah ada 10 titik disebar, sekarang disebar ke-22 titik pasar yang ada di Jabodetabek,"ucapnya di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Kamis (25/6/2015).

Dia menegaskan, operasi pasar ini akan dilakukan sampai malam takbir Idul Fitri. "Ya untuk menjaga kestabilan harga, kita akan lakukan ini sampai malam takbir Idul Fitri,"tuturnya.

Lebih lanjut, tidak hanya wilayah Jabodetabek yang mendapat operasi pasar. Tapi, wilayah seperti, Sulawesi, Medan, Surabaya, Jawa.

"Ini kan strategi pangan kita, jadi tidak hanya wilayah Jabodetabek saja yang ada operasi pasar, tapi seperti Sulawesi, Surabaya, Medan, dan wilayah Jawa lainnya juga akan disebar operasi pasar,"ucapnya.

(rzk)

http://economy.okezone.com/read/2015/06/25/320/1171113/kementan-bulog-lakukan-operasi-pasar-hingga-malam-takbiran

Bulog Percepat Distribusi Raskin Jelang Lebaran

Kamis, 25 Juni 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Badan Urusan Logistik (Bulog) Sub Divisi Regional (Subdivre) XI Jember, Jawa Timur, mempercepat distribusi beras untuk masyarakat miskin (raskin) menjelang Lebaran 2015 di kabupaten setempat.
"Saat ini petugas Bulog mendistribusikan raskin untuk bulan Juni dan akan dilanjutkan distribusi untuk alokasi bulan Juli, sehingga mereka bisa menerima jatah raskin selama dua bulan sebelum Lebaran," kata Wakil Kepala Bulog Sub Divre Jember, Rachmawati, di Jember, Rabu.
Menurut dia, jumlah penerima raskin di Jember sebanyak 192.591 rumah tangga sasaran (RTS) dengan masing-masing RTS menerima sebanyak 15 kilogram, sehingga kebutuhan raskin yang disalurkan mencapai 2.894.265 kilogram per bulan atau sekitar 35.000 ton per tahun.
"Percepatan raskin bulan Juli diharapkan dapat menekan gejolak harga beras jelang Lebaran dan meringankan beban masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan beras menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriyah," paparnya.
Harga raskin masih sama dengan harga yang ditetapkan sebelumnya yakni sebesar Rp 1.600 per kilogram, sehingga masing-masing kepala keluarga membayar sebesar Rp 24 ribu untuk mendapatkan 15 kilogram beras.
Rachmawati menjelaskan pendistribusian raskin untuk alokasi Juli 2015 ditargetkan selesai paling lambat pada H-3 Lebaran, sehingga pihak desa/kelurahan diharapkan membantu untuk percepatan raskin tersebut.
"Percepatan distribusi raskin yang dilakukan Bulog Jember juga merupakan salah satu upaya untuk menekan inflasi dan melakukan stabilisasi harga beras di pasaran karena biasanya harga beras merangkak naik jelang Lebaran," paparnya.
Sementara itu, pihak Bulog Jember memastikan stok beras di wilayah setempat aman untuk memenuhi kebutuhan warga hingga tahun 2016.
Realisasi penyerapan beras hingga pertengahan Juni tercatat sebanyak 33.000 ton atau mencapai 62 persen dari total target sebanyak 53.000 ton pada tahun 2015.


Bulog Membeli Cabai Petani

Kamis, 25 Juni 2015

Tahun Depan, Pemerintah Bangun Gudang Pendingin

MALANG, KOMPAS — Menteri Pertanian Amran Sulaiman meminta Perum Bulog mulai membeli cabai dan bawang merah langsung dari petani. Hal itu untuk mencegah permainan harga di tingkat pedagang, sehingga merugikan petani dan konsumen.

Amran mengatakan, Perum Bulog diminta membeli tujuh produk pertanian, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, dan daging, langsung dari petani.

"Perum Bulog mulai sekarang membeli cabai dari petani. Perum Bulog menjadi stabilisator. Kita potong rantai pasokan. Jika biasanya melalui tujuh rantai, dengan langsung dibeli Perum Bulog maka rantai pasok menjadi hanya tiga rantai," ujar Amran, Rabu (24/6), seusai memanen cabai rawit di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pemotongan rantai penjualan produk pertanian itu, kata Amran, akan menguntungkan petani dan konsumen. "Saya temukan petani menjual cabai Rp 6.000 per kilogram-Rp 8.000 per kilogram. Namun, harga cabai di kota Rp 36.000 per kilogram. Di sini artinya ada yang bermain," ujarnya.

Untuk mencegah permainan harga itu, Perum Bulog harus bisa menjadi stabilisator harga.

"Fungsinya bukan beli dan jualnya, tetapi stabilisasi harganya. Kalau harga murah, Perum Bulog membeli agar harga tidak jatuh sehingga petani merugi," ujar Wahyu, Direktur Pengadaan Perum Bulog.

Gudang penyimpanan

Upaya membeli produk petani tersebut nantinya akan didukung oleh gudang penyimpanan. Wahyu mengatakan, tahun depan pemerintah akan membangun tempat penyimpanan berpendingin.

Hal ini untuk menjamin produk pertanian yang dibeli oleh Bulog bisa tahan lebih lama.

"Tahun depan, presiden minta dibangun gudang penyimpanan berpendingan di Jakarta. Gudang penyimpanan itu terbesar se- Asia Tenggara," ujar Wahyu.

Budi Santoso (40), petani cabai asal Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, mengatakan bahwa selama ini dalam menjual produknya, petani sangat bergantung pada pedagang.

"Hari ini saja harga cabai rawit berbeda dengan hari kemarin. Kemarin, harganya masih Rp 12.000 per kilogram. Namun, pagi ini sudah turun menjadi Rp 6000-Rp 7000 per kilogram. Kami tidak tahu kenapa harganya bisa naik turun seperti itu. Yang mengetahui harga cabai adalah para pedagang itu," ujar Budi.

Petani, menurut Budi, selalu mengikuti harga pedagang karena tidak ingin produknya tidak terbeli.

"Pedagang tidak mau menerima cabai yang sudah disimpan oleh petani. Daripada cabai kami tidak laku, maka seusai panen kami mengikuti harga beli dari pedagang," ujarnya.

Padahal, di pasaran Malang, harga cabai rawit rata-rata adalah Rp 18.000 per kg. Jika harga beli di tingkat petani hanya Rp 6000-Rp 8000 per kg, terlihat keuntungan pedagang di sini sangat tinggi.

Selain memanen cabai di Kabupaten Malang, Menteri Pertanian Amran Sulaiman sebelumnya juga melakukan panen bawang merah di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah pada 2016 akan mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun untuk stabilisasi harga cabai dan bawang merah. Dana itu, menurut rencana, digunakan untuk pemerataan sebaran produksi cabai bulanan dan perluasan sentra produksi bawang merah.

Alokasi anggaran khusus untuk komoditas cabai dan bawang merah pada tahun 2015 sebesar Rp 500 miliar, yaitu Rp 300 miliar untuk komoditas cabai dan Rp 200 miliar untuk bawang merah. (DIA)

http://print.kompas.com/baca/2015/06/25/Bulog-Membeli-Cabai-Petani


Normalkan Harga, Bulog Serap Ratusan Ton Bawang Merah

RABU, 24 JUNI 2015

TEMPO.CO, Probolinggo - Perusahaan Umum Bulog membeli bawang merah di sentra-sentra penghasil bawang merah sejak awal Juni lalu. "Kami survei harga di tingkat petani bersama Menteri Pertanian,” kata Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Wahyu Suparyono saat mendampingi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Pasar Bawang Merah, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Rabu, 24 Juni 2015.

Menteri Pertanian dan Bulog sepakat untuk membeli bawang merah itu untuk dijual di Jakarta. Akibatnya, “harga turun". Sejauh ini Bulog sudah membeli 400 ton, sesuai kebutuhan nasional.

Bulog, menurut Wahyu, adalah stabilisator harga. Ketika harga di tingkat petani rendah, Bulog akan membeli dengan harga standar. Sedangkan ketika harga di pasar tinggi, Bulog berkewajiban menggelar operasi bawang merah. Selama masih ada gejolak harga, Bulog akan terus membeli. Di pasar Nganjuk, Bulog membeli dengan harga Rp 14 ribu dari harga petani Rp 12 ribu.

"Yang diharapkan adalah tata niaga dengan banyak rantai itu diringkas." Menteri Pertanian menghitung ada tujuh rantai distribusi bahan pangan. Bulog merusaha meringkasnya hanya dari petani, pengumpul, Bulog, dan langsung ke pasar. Dengan memangkas rantai distribusi penjualan ini akan mengurangi biaya dan menekan harga.

Wahyu mengakui efektivitas intervensi langsung Bulog untuk komoditas bawang merah. Pada 10 Juni lalu, harga bawang merah di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Rp 35-40 ribu per kilogram. Ketika Bulog berencana operasi pasar bawang merah, harganya langsung turun menjadi Rp 25 ribu. Dan ketika barang Bulog masuk dalam operasi pasar, harganya turun ke Rp 18-20 ribu. “Kami kirim ke Jakarta dengan harga Rp 17 ribu.”

Cara ini tidak hanya diterapkan di Jakarta. Tapi juga di Medan, Surabaya, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua, supaya harga bawang tidak terlalu mahal untuk konsumen. Intervensi Bulog berlaku juga untuk jagung, kedelai, bawang merah, cabai merah, gula, dan daging.

DAVID PRIYASIDHARTA

http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/06/24/090677992/Normalkan-Harga-Bulog-Serap-Ratusan-Ton-Bawang-Merah

Rabu, 24 Juni 2015

Jangan Buang, Inilah Khasiat Luar Biasa Biji Kurma

biji-kurmaSaat Ramadhan kurma pasti mudah sekali ditemukan. Mulai dari kurma yang harganya bersahabat dengan saku, hingga yang rasanya dahsyat sesuai dengan harganya yang harus merogoh saku cukup dalam.

Kurma disunnahkan untuk dimakan saat berbuka puasa, kenapa ya? Daging buah kurma berisi gizi yang mudah dicerna dan cepat mengisi ulang energi tubuh.

Karena karakteristik tersebut, kurma sangat cocok untuk mengawali berbuka puasa. Berikut ini khasiat buah kurma:

1. Kaum Arab Badui, yang makan kurma secara teratur, menunjukkan tingkat kejadian yang sangat rendah dari kanker dan penyakit jantung.

2. Buah kurma kaya serat yang mencegah penyerapan kolesterol LDL dalam usus. Kandungan serat kurma juga membantu melindungi selaput lendir usus dengan mengurangi paparan dan mengikat bahan kimia yang menyebabkan kanker usus besar.

3. Sebagai makanan laksatif (laxative food), kurma bermanfaat melancarkan buang air besar dan mencegah konstipasi.

4. Kurma mengandung antioksidan yang dikenal sebagai tanin. Tanin diketahui bersifat anti-infeksi, anti-inflamasi dan anti-hemoragik.

5. Kurma adalah sumber vitamin A, yang dikenal memiliki sifat antioksidan dan sangat penting untuk kesehatan mata. Vitamin A juga diperlukanmenjaga kulit tetap sehat. Konsumsi buah-buahan alami yang kaya akan vitamin A diketahui membantu melindungi dari kanker paru-paru dan rongga mulut.

6. Kurma merupakan sumber zat besi yang sangat baik. Besi adalah komponen dari hemoglobin di dalam sel darah merah yang menentukan daya dukung oksigen darah.

7. Kalium dalam kurma adalah komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengendalikan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga memberikan perlindungan terhadappenyakit jantung koroner dan stroke.

8. Kalsium merupakan mineral penting dalam pembentukan tulang dan gigi, dan dibutuhkan oleh tubuh untuk kontraksi otot, penggumpalan darah dan konduksi impuls saraf.

9. Mangan digunakan oleh tubuh sebagai unsur pendukung untuk enzim antioksidan superoksida dismutase.

10. Tembaga diperlukan dalam produksi sel darah merah.

11. Magnesium sangat penting bagi pertumbuhan tulang.

12. Kurma kaya akan vitamin K dan vitamin B-kompleks, yaitu piridoksin (vitamin B-6), niacin, asam pantotenat dan riboflavin. Vitamin ini membantu tubuh dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Vitamin K sangat penting dalam pembekuan darah dan metabolisme tulang.

Bagaimana hendak memakan biji kurma ini untuk mendapatkan khasiatnya?

khasiat-biji-kurma

khasiat-biji-kurmaPasti anda pernah dengar kopi biji kurma? tidak susah kerana kopi biji kurma ini ada boleh lakukan sendiri di rumah kerana prosesnya begitu mudah. ikuti cara-cara ini:

1. Basuh biji kurma tersebut dan toskan.
2. Ratakan di dalam dulang kemudian jemur seharian di bawah cahaya matahari.
3. Kemudian bila sudah kering, goreng biji kurma tersebut dalam kuali tanpa minyak. Goreng sehingga hangus dan mengeluarkan aroma seperti kopi.
4. Tumbuk atau blender biji kurma berkenaan dan terhasillah serbuk kopi yang sedia dibancuh untuk di minum.

Antara kebaikan dan khasiat kopi biji kurma:
Kopi Biji Kurma


Kopi Biji Kurma1. Memberi tenaga segera
2. Memulihkan tenaga Syahwat
3. Menyembuhkan kencing manis
4. memberi tenaga kepada lelaki dan wanita
5. Menghilangkan letih dan lesu
6. Menghangatkan badan
7. Mengendorkan saraf yang tegang
8. Menyembuhkan kanser, keputihan, gatal-gatal dan masuk angin
9. Menyembuhkan sakit perut
10. menyegarkan badan/tidak mengantuk
11. Menyembuhkan darah tinggi, kolesterol, strok dan goutt
12. Menyembuhkan sakit kepala/ migrain
13. Melancarkan peredaran darah

Berikut adalah komposisi kimia dan nutrisi dalam biji kurma:
Kelembaban
7.17 – 9 %

Protein
1.82 – 5.2 %

Lemak
6.8 – 9.32 %

Karbohdrat
65.5%

Serat
6.4 – 13.6 %

Abu, Sterol & Estrone
0.89 -1.57 %

Polisakarida Larut Alkali
0.89 – 1.57 %

Minyak Kuning-hijau
6 – 8%

Kandungan Asid Lemak Minyak Kuning-hijau
Lauric, 8%; myrictic, 4%; palmitic, 25%;
Stearic, 10%;oleic, 45%;

Linoleic, 10%; juga terdapat kandungan asid kaprilik & kaprik.
Asid Oksalat
Julat sehingga 56%

Selain itu kopi biji kurma ini bukan sahaja untuk diminum, serbuk biji kurma ini boleh dijadikan scrub untuk melembutkan kulit. Campurkan serbuk kopi biji kurma ini dengan madu sebelum sapukan.

Jika mengalami masalah kulit kepala yang teruk atau rambut gugur, ambil serbuk kopi biji kurma ini campurkan dengan minyak zaitun, amalkan setiap hari sebelum tidur. InsyaAllah hasil yang menakjubkan akan anda perolehi.

Kalau begitu, betul sekali anjuran Nabi Muhammad untuk mengawali berbuka puasa dengan tiga butir kurma! Silahkan sebarkan artikel ini kepada semua temanmu. [HP – Sebarkanlah.com /Islampos, siakapkeli]

http://www.sebarkanlah.com/ramadhan/jangan-buang-inilah-khasiat-luar-biasa-biji-kurma/

Haramnya Raskin 'TMS'

Rabu, 24 Juni 2015

SUNGGUH sebuah pertanyaan mendasar, ketika beras untuk orang miskin (Raskin) yang selama bertahun-tahun dikeluhkan karena tidak memenuhi syarat (TMS) menurut Inpres-inpres tentang Perberasan, ternyata baru kali ini mengundang perhatian Presiden. Dalam rapat terbatas di Istana Negara, Senin sore, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang mengingatkan dengan keras perlunya pembenahan raskin karena kelewat TMS. Dalam arahannya, beliau menyatakan pernah menemukan raskin di lapangan yang sudah menghitam dan berkutu.

Itulah raskin yang lebih sering penyebutannya diplesetkan menjadi beras <I>penguk<P>, beras remuk, beras berkutu (rasnguk, rasmuk, rastu) atau kombinasi dari ketiganya. Sebagian penerima, oleh karena rasa syukurnya menyebut bahwa masih lumayan dapat jatah rasmuk, bukan remukan beras.
Bersyukurnya rumah tangga miskin (RTM) itu telah terwujud dalam nyaris tiadanya <I>claim<P>, protes dan tuntutan dari pihak RTM. Boleh jadi karena harga tebusnya yang hanya Rp 1.600/kg. Atau dalam kultur masyarakat, penerima yang <I>wong cilik<P> cenderung diam dan <I>narima ing pandum<P>, daripada namanya dicoret dari daftar. Bersyukurnya RTM ternyata adalah senjata empuk para pengelola raskin. Dan TMS-nya raskin tetap saja berkepanjangan.

Sementara itu, karena TMS, tidak sedikit yang ditukar dengan beras yang memenuhi syarat (MS), layak pangan dengan harga jual raskin TMS yang bisa mencapai lebih kecil dari separohnya, 50% dari harga beras yang memenuhi syarat minimal sebagai pangan. Dan pasti lebih kecil lagi dari <I>book value<P> raskin sebagaimana teranggarkan dan tercatat dalam angka anggaran Kementerian Sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Benar bahwa tebusannya hanya Rp 1.600/kg. Tetapi, hak RTM adalah raskin yang harus memenuhi syarat: mutu, catu, waktu, target, harga dan administratif, yang dalam penyelenggaraannya disebut sebagai Enam Tepat (6T). Sebagian dari 6T ini berkenaan dengan sifat beras dengan <I>mutu-catu-waktu<P> yang memenuhi syarat sebagai hak RTM. Sementara secara keseluruhan 6T dimaksud sangat berkenaan dengan sistem keuangan negara.

Lantas apakah makna penyimpangan terhadap hak RTM selama sekian lama? Mudah sekali dihitung, bahwa selama ini hak RTM disunat, terutama dalam hal mutu raskin TMS. Keluhannya ada di mana-mana, sampai dikeluhkan Jokowi. Penyunatan kualitas ini pun luar biasa besarannya ketika diukur dari harga jualnya yang bisa mencapai 50%. Tanpa menyebut siapa yang bertanggung jawab, implikasi dari penyimpangan tersebut tentu manipulatif dan koruptif.

Misteriusnya adalah tiada mencuatnya kasus korupsi dan/atau manipulasi raskin yang bisa mencapai sebesar itu, serta terkesan aman-aman saja. Lebih aneh,  bahkan mencitrakan kebesaran pemerintah sebagai dewa penyelamat yang mencintai rakyat fakir-miskin.
Ternyata penuh manipulasi. Besaran itu pun berdampak sampai ke segala arah. Tidak hanya merampas hak RTM. TMS-nya raskin sekaligus tidak efektif sebagai cara pengendalian stabilitas pasar beras. Cadangan raskin adalah hasil pengadaan beras besar-besaran waktu panen. Ketika raskin tidak dikonsumsi karena TMS, maka akan muncul permintaan tambahan pada tingkat individu dan membuat pasar beras setempat membengkak. Karena semuanya butuh pangan, bukan pakan. Harga beras pun berpotensi meroket gara-gara ada permintaan ganda, <I>doubling demand<P>. Pada gilirannya, inflasi dan instabilitas perekonomian nasional akan menjadi-jadi. Untuk diketahui, rerata kontribusi beras terhadap inflasi pangan selama ini bisa mencapai 20%.

Raskin dengan demikian punya potensi pemenuhan konsumsi, pengendalian inflasi sampai stabilitas perekonomian. Ketika raskin memenuhi syarat, maka tidak butuh impor, tidak sibuk urusan inflasi, dan terjaminlah stabilitas Indonesia. Karenanya, kegusaran Jokowi harus diterjemahkan secara operasional dengan: mengharamkan peredaran raskin TMS. Insya Allah, stabilitas perekonomian akan terjaga.

M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar UGM, dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4066/haramnya-raskin-tms.kr?r=1&width=1366&Height=768

Bulog Gandeng Koperasi di Sentra Padi

Selasa,  23 Juni 2015

JAKARTA - Perum Bulog menggandeng koperasi di seluruh Indonesia dalam rangka menyerap gabah dan beras dari petani.

Hal ini dilakukan untuk mengejar defisit penyerapan gabah dan beras. Diketahui, hingga 16 Juni lalu, serapan beras Bulog baru mencapai 1,3 juta ton. Jumlah ini masih jauh dari target yang dicanangkan Presiden Joko Widodo yang tahun ini dipatok 4 juta ton.

”Perum Bulog akan mengakselerasi atau mempercepat serapan dengan meminta bantuan Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah untuk membantu membuka akses ke petani,” ujar Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti dalam keterangan tertulisnya kemarin.

Dalam rangka kerja sama tersebut, kata Djarot, dilakukan Rapat Koordinasi Perkembangan Produksi dan serapan gabah/ beras 2015 bersama Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga dan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman di Kantor Kementerian Pertanian, Selasa (16/6) lalu.

Amran Sulaiman mengatakan, arah politik pangan di era Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bahwa kedaulatan pangan menjadi prioritas pemerintahan. Untuk itu, setidaknya ada lima strategi dasar yang harus dilakukan, antara lain pengembangan usaha tani berbasis agrobisnis dan agroindustri.

Selain itu, peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, revitalisasi dan penguatan kelembagaan petani, pengembangan teknologi tepat guna berbasis kearifan lokal melalui revitalisasi dan penguatan lembaga riset, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan. ”Strategi dasar itu harus mencapai sasaran kebijakan di level petani, lahan, infrastruktur, teknologi, industri, benih, dan kelembagaan,” kata Amran.

Puspayoga melanjutkan, keseimbangan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan hasilhasil pembangunan dinilai penting sehingga perlu dilakukan revitalisasi dan penguatan koperasi sebagai kelembagaan ekonomi petani dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.

”Ribuan koperasi siap bekerja sama dengan Bulog dalam mendukung pencapaian serapan 2 juta ton gabah di bulan Juni-Juli 2015,” ujarnya.

Oktiani endarwati

http://www.koran-sindo.com/read/1015856/150/bulog-gandeng-koperasi-di-sentra-padi-1435028794

Bulog Pede Punya 4 Juta Ton Beras Tanpa Impor

Selasa, 23 Juni 2015

JAKARTA - ‎Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) optimistis mampu mencapai target beras sebanyak 4 juta ton hingga akhir 2015. Perseroan pelat merah itu bahkan berani menggaransi mampu melakukannya tanpa impor.

Pasalnya, Bulog mendapatkan tambahan stok sebanyak dua juta ton sepanjang Juni hingga Juli. Stok beras tersebut didapat dari serapan sentra beras yang ada di seluruh tanah air.

"Jadi saya yakin sampai akhir tahun bisa dapat stok empat juta ton beras karena petani kita bisa menyediakan beras itu. Jadi enggak perlu impor demi ketahanan pangan kita," ujar Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog, Wahyu Suparyono di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/6).

Wahyu juga memastikan stok beras selama enam bulan ke depan tetap aman. Saat ini, Bulog masih memiliki cadangan beras sebanyak 1,4 juta ton. "Itu cukup hingga enam bulan ke depan dengan syarat pengadaan terus berjalan," kata Wahyu. (chi/jpnn)

Catat! Bulog Jamin tak Ada Lagi Beras Berkutu

Selasa, 23 Juni 2015

JAKARTA - Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) berupaya memperbaiki kualitas produknya. Perusahaan pelat merah ini bahkan menjamin tak ada lagi beras berkutu maupun yang berkualitas buruk.‎

Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Wahyu Suparyono mengatakan, pihaknya akan meninjau seluruh gudang Bulog yang saat ini berjumlah 1.500 gudang.

"Direksi telah sepakat akan kami perbaiki semua, termasuk manajemen gudang dan manajemen SDM. Supaya tidak ada beras berkutu lagi," ujar Wahyu saat ditemui di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/6).

Selain itu, akan dilakukan penyemprotan dan pemrosesan kembali untuk memastikan beras lebih bermutu dan layak dikonsumsi. Sebab, kualitas gudang juga harus memenuhi sertifikat ISO dan harus bebas dari kuman.

Di samping itu, Bulog juga akan terus mendukung hasil produksi petani lokal dalam mencapai ketahanan pangan dalam negeri. "Kami akan terus perdayakan para petani dalam negeri," tandas Wahyu. (chi/jpnn)

Selasa, 23 Juni 2015

Bulog Berharap Daging Impor Mampu Turunkan Harga

Selasa,  23 Juni 2015
 
JAKARTA - Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) berharap, dengan dibukanya keran impor daging potongan sekunder (secondary cut) sebanyak 1.000 ton akan mampu menekan harga daging di pasaran selama puasa dan Lebaran.

Direktur Pelayanan Publik Bulog Wahyu Suparyono mengungkapkan, lisensi impor telah diterbitkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada 11 Juni 2015. Namun, saat ini belum direalisasikan.

"Belum turun (impor daging). Baru kita bagi-bagi PPI berapa, Berdikari berapa, dan RNI berapa," tuturnya di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/6/2015).

Daging impor ukuran secondary cut tersebut rencananya bakal didatangkan dari Australia untuk memenuhi kebutuhan Puasa dan Lebaran. "Iya untuk kebutuhan puasa dan lebaran. (impor) dari Australia," pungkasnya.

Dia mengatakan, alokasi 1.000 ton daging impor tersebut rencananya tidak hanya digarap Bulog. Namun juga menggandeng beberapa perusahaan pelat merah lain, seperti PT Berdikari (Persero), PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero).

Perbaiki Gudang, Bulog Ingin Tak Ada Lagi Beras Berkutu

Selasa, 23 Juni 2015

JAKARTA, KOMPAS.com — Perum Bulog berencana melakukan perbaikan gudang-gudangnya di seluruh Indonesia. Dengan perbaikan itu, mereka berharap tak ada lagi beras berkutu.

"Direksi sepakat akan kami perbaiki semua, manajemen gudang, manajemen SDM. Jumlahnya lebih dari 1.500 gudang di seluruh Indonesia. (Nanti) tidak ada beras berkutu lagi dengan perbaikan gudang," ujar Direktur Pelayanan Publik Bulog Wahyu Suparyono di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/6/2015).

Dia menuturkan, perbaikan gudang itu nantinya harus memenuhi standar International Organization for Standardization (ISO) sehingga tingkat sterilisasinya baik. Dengan begitu, mutu beras yang disimpan di gudang itu akan tetap terjaga.

"Iya, itu (gudang) harus kami perbaiki. Saya akan tinjau tiap-tiap gudang, kami akan lakukan spraying (penyemprotan), reprocessing, supaya beras kita mutunya layak konsumsi," kata dia.

Terkait stok beras Bulog, dia mengatakan bahwa jumlah itu cukup. Pasalnya, stok beras pada saat ini adalah 1,4 juta ton, dan bisa digunakan untuk 6 bulan ke depan. Di sisi lain, untuk meningkatkan stok beras, Bulog akan terus memanfaatkan beras dari petani.

"Tidak usah khawatir, lebih 1,4 juta ton beras, bisa sampai 6 bulan. Meski begitu, kami pengadaan terus. Bahkan, Juni-Juli ini (akan mencapai) 2 juta ton pengadaannya," ucap Wahyu.

"(Soal rencana impor), kami sepakat harus dengan mendayagunakan petani kita. Ketahanan pangan harus dari dalam negeri karena itu jati diri bangsa. (Beras) dari petani cukup," tandas dia.

Bulog Pastikan Tahun Depan Tidak Ada Raskin

Selasa, 23 Juni 2015


Jakarta, HanTer - Direktur Pengadaan Bulog, Wahyu, mengatakan, tahun depan beras raskin sudah tidak ada lagi karena Bulog membagi tiga jenis beras yang akan diproduksi.

"Pertama, beras medium. Kedua, beras premium dan terakhir, beras super. Sebelumnya, beras yang diproduksi Bulog adalah beras raskin, beras medium dan beras premium," katanya, Senin (22/6).

Selain itu, beras raskin tidak lagi diberikan dalam bentuk eceran, tapi kemasan. "Dalam proses pengarungan beras, Bulog akan melakukan pemeriksaan saat beras dikemas. Jika sebelumnya untuk beras raskin sebanyak 15 kg per bulan akan dikemas," jelasnya.

Jadi ke depan tidak ada perbedaan antara beras raskin dengan beras cadangan pemerintah ataupun beras untuk operasi pasar.

Semua beras Bulog berkualitas bagus dan sama. Pembedanya adalah bobot atau berat beras per kemasan. Bulog akan mengeluarkan tiga jenis beras dengan tiga kemasan, yakni berat 15 kg, 50 kg dan 100 kg.


(Anu)

Stabilisasi Harga Pangan

Selasa, 23 Juni 2015

New England Complex Systems Institute, Cambridge, Amerika Serikat, melakukan studi menarik berkaitan dengan krisis pangan dengan ketidakstabilan politik di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara teori, kerusuhan sosial merupakan refleksi dari berbagai faktor utama, di antaranya kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Ketiga faktor tersebut merupakan buah dari kegagalan sistem politik pemerintah dalam jangka panjang. Berbeda dengan teori tersebut, New England Complex Systems Institute (NECSI) menemukan bahwa kerusuhan sosial terjadi karena kegagalan pemerintah dalam jangka pendek untuk memberikan jaminan keamanan bagi penduduknya, yang dapat berupa proteksi terhadap ancaman dari luar hingga jaminan kecukupan pangan.

Pada tahun 2008 dunia mengalami krisis pangan yang ditandai dengan kenaikan harga jagung, kedelai, beras, dan gandum. Harga pangan meningkat rata-rata 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000, beberapa bahkan 200-300 persen. Krisis pangan 2008 menimpa 37 negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia kemudian dikeluarkan dari daftar itu karena iklim kemarau basah yang menyelamatkan produksi padi tahun tersebut. Tercatat 60 kerusuhan sosial terjadi di 30 negara di dunia dan 84 orang meninggal.

Pada tahun 2009 kondisi stok pangan dunia pulih dan indeks harga pangan turun drastis dari 220 menjadi 140. Masa bulan madu tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun 2010 indeks harga pangan sudah berada di posisi ke-170. Pada tahun tersebut NESCI membuat laporan tentang bahaya krisis pangan dan keterkaitan erat antara harga pangan, kerusuhan sosial, dan instabilitas politik (Lagi dan Bar-Yam, 2010). Dunia membiarkan harga tetap liar dan indeks harga pangan tahun 2011 menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 230, melampaui titik kritis sebesar 210.

Indeks harga pangan yang tinggi tersebut dengan segera melibas banyak negara berkembang terutama yang sangat tergantung pada impor pangan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Banyak rezim dan pemerintahan di wilayah tersebut runtuh. Kejadian itu dikenal dengan istilah Arab Spring (Musim Semi Arab) yang dalam perjalanannya tidak lagi berupa "musim semi", tetapi musim kehancuran politik, ekonomi, kohesi sosial, infrastruktur, dan bahkan hancurnya berbagai peninggalan peradaban manusia yang agung.

Di tahun tersebut dalam tempo yang sangat singkat belasan ribu orang meninggal di Libya dan di negara-negara lain. Pada tahun-tahun berikutnya kekacauan tereskalasi yang menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan jutaan terpaksa meninggalkan negaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk dan tidak tersembuhkan sampai saat ini.

Stabilisasi harga

Berkaitan dengan uraian di atas, sangat tepat apa yang disampaikan Presiden Jokowi yang menaruh perhatian khusus terhadap potensi krisis/rawan pangan dan upaya stabilisasi harga pangan. Dua peraturan presiden (perpres) disusun, yaitu Perpres tentang Penetapan Harga dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting serta Perpres tentang Badan Pangan Nasional.

Pada perpres pertama yang telah ditandatangani Presiden Jokowi, pemerintah akan melakukan pengawasan dari produksi, distribusi, hingga di tangan konsumen jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting. Jenis barang kebutuhan pokok yang akan diatur adalah beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan bandeng, ikan kembung, dan ikan tongkol/tuna/cakalang (Setkab, 18/6/2015).

Perpres kedua tentang Badan Pangan Nasional merupakan turunan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Lembaga tersebut memiliki enam fungsi utama, yaitu fungsi perumusan kebijakan, pelaksanaan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi, pengelolaan data dan informasi pangan, serta pembinaan dan pengawasan. Badan Pangan Nasional akan mengoordinasikan aktivitas badan usaha milik pemerintah dari produksi, pengadaan, penyimpanan, distribusi, hingga stabilisasi harga pangan pokok.

Sulit diharapkan bahwa kedua perpres tersebut akan efektif dalam jangka pendek untuk meredam gejala kenaikan harga yang terjadi saat ini ataupun menjelang Lebaran nanti. Dalam jangka panjang, kedua perpres tersebut berpotensi bertabrakan satu sama lain karena mengurus hal yang hampir sama sehingga memicu masalah dalam koordinasi dan tumpang tindih kebijakan antar-kementerian dan lembaga terkait.

Intervensi sektor pangan

Selama 30 tahun terakhir ini, rekomendasi lembaga-lembaga internasional berkaitan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan hampir selalu mengacu pada tiga hal: 1) hindari intervensi langsung terhadap pasar melalui integrasi sistem pangan nasional ke sistem pangan global dan liberalisasi pasar, 2) bantu masyarakat kurang mampu melalui jaring pengaman sosial, dan 3) promosikan instrumen manajemen risiko berbasis pasar (Gouel, 2015).

Tiga kaidah tersebut secara masif telah diadopsi pemerintah selama 15 tahun terakhir ini. Melalui adopsi tersebut, dengan cepat peran pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan pangan diambil alih oleh kalangan swasta. Semakin lama swasta yang bergerak di sektor pangan semakin besar dan kuat. Importir juga memainkan peran yang semakin lama semakin besar. Hal itu yang menyebabkan terpuruknya sektor pertanian pangan di Indonesia, terjadi fluktuasi harga pangan yang cukup tinggi, dan peningkatan impor pangan sebesar 346 persen selama 10 tahun terakhir ini.

Berbeda dengan saran dan rekomendasi analis kebijakan dan lembaga pangan dunia, negara-negara yang terbukti mampu menjaga stabilitas harga pangan dan pejal terhadap krisis pangan justru yang melakukan intervensi sangat kuat terhadap sektor pangan, stok dan perdagangan pangan, misalnya India dan Tiongkok.

Manmohan Singh awal tahun 2009 berhasil terpilih lagi menjadi perdana menteri India karena kesuksesannya melindungi India dari krisis pangan tahun 2007/2008. Ketika harga beras dunia meningkat 160 persen, harga beras di India hanya meningkat 7,9 persen (Gouel, 2013).

Sejarah kebijakan stabilisasi harga pangan antara India dan Tiongkok dengan Indonesia sangat berbeda. Kedua negara tersebut menjalankan kebijakan stabilisasi harga sudah sangat lama dan secara konsisten dijalankan. India mengawali sejak tahun 1955 dengan mengeluarkan The Essential Commodities Act yang praktis tidak berubah kecuali amandemen kecil terkait dengan jenis dan jumlah barang yang dilindungi. Undang-undang tersebut memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah dan sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.

Di Tiongkok pada awalnya pangan pokok hanya boleh dibeli dan dijual oleh pemerintah. Meskipun telah berubah, sektor pangan tetap menjadi salah satu sektor yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian, dari sisi legislasi pengendalian harga melalui perpres tidak cukup kuat, apalagi terjadi disharmoni antara satu peraturan dan peraturan lain. Pembentukan kelembagaan pangan yang kuat dengan kewenangan besar jauh lebih penting dari sekadar penerbitan perpres pengendalian harga.

Hal lain yang sangat penting, setiap kebijakan terkait pengendalian harga pangan tidak akan pernah berjalan apabila sisi produksi tidak dibenahi. India mampu melakukan pengendalian harga beras melalui pelarangan ekspor beras non-Basmati sehingga terjadi peningkatan stok domestik. Di Indonesia, stok beras justru terus menurun selama tiga tahun terakhir ini, dari 7,4 juta ton (awal tahun 2013), 6,45 juta ton (2014), menjadi 5,5 juta ton (2015), dan diperkirakan akan menurun lagi sebesar 15 persen pada akhir tahun 2015 (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3/2015).

Selama ini pembenahan sisi produksi selalu top-down dan bersifat charity melalui bagi-bagi pupuk, benih, traktor, pompa air, serta alat dan mesin pertanian (alsintan) lainnya. Kebijakan tersebut terbukti tidak efektif, yang dicirikan dengan stagnasi produksi dan impor yang membesar. Kebijakan perlu fokus ke peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan petani. Ketika kesejahteraan petani meningkat, kegairahan bertani dan ketertarikan di dunia pertanian meningkat sehingga produksi secara otomatis meningkat.

Apabila sisi produksi tidak berhasil dibenahi, upaya stabilisasi harga pangan akan jadi "isapan jempol belaka".

DWI ANDREAS SANTOSA GURU BESAR IPB; KETUA UMUM ASOSIASI BANK BENIH DAN TEKNOLOGI TANI INDONESIA (AB2TI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150623kompas/#/6/