Sabtu, 31 Januari 2015

Impor Beras!!! HarusKah???

Jumat, 30 Januari 2015

Tentang kekayaan alam yang dimiliki oleh negara Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi, bahkan seluruh negarapun tahu bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.

Jika dikaji lebih dalam Indonesia secara kompleks memiliki potensi yang luar biasa dalam konteks pertanian umum misalnya ,  Kelapa sawit, karet, dan Kakao, produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun realitanya,sangat aneh ketika dikontekskan dengan pangan, suatu keunikan terjadi,Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi sangat besar.
Sampai saat ini kalangan manapun masih sibuk mencari tahu apa penyebab sektor pertanian Indonesia khususnya dibidang Pangan belum meningkat.??Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negri sedangkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%? dan tentunya solusi apa sehingga ketahanan pangan apat tercipta dan kedaulatan pangan dapat terwujud.?
Menurut data yang ada Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Impor HarusKah?
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.

Mengapa Tidak Impor?
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog. Dalam masalah ini, adanya proses impor beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di Indonesia mengalami surplus memang banyak menimbilkan tanda tanya. Seharusnya, pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak dirugikan.
Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor.
Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi beras yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada akhirnya, tugas bagi berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masing-masing. BPS diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani lokal yang kesejahteraannya masih rendah tanpa mengorbankan ketahanan pangan Indonesia.

Oleh : AL AZ ARI
(ketua Umum HIMAGRO UNHAS Per.2014/2015)

http://www.mediatani.com/2015/01/impor-beras-haruskah.html

Jumat, 30 Januari 2015

Pemerintah Diminta Perhatikan Suara Penerima Raskin

Jumat, 30 Januari 2015

Metrotvnews.com, Jakarta: Banyaknya penolakan terhadap rencana penghapusan kebijakan program beras untuk rakyat miskin (Raskin), hendaknya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Bahwa ke depan, perubahan yang hendak dilakukan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa.

Menurut Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, pemerintah seharusnya melakukan penelitian dan kajian mendalam. Termasuk terhadap masyarakat yang membutuhkan Raskin. "Kesalahannya adalah, terlalu cepat melakukan perubahan," kata Paulus, melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (30/1/2015).

Pemerintah memang seharusnya mendengarkan masyarakat, terutama mereka yang selama ini menerima Raskin. Pemerintah harus tahu, apakah masyarakat sudah siap berubah atau tidak. Jika tidak, tentu akan mempunyai dampak lain yang tidak diinginkan, misalnya berbagai penolakan, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan.

"Jadi, pemerintah memang seharusnya benar-benar mendengarkan suara masyarakat," lanjut Paulus.

Sebagaimana diketahui, sebelum ini pemerintah berencana menghentikan program Raskin dan menggantikannya dengan e-money. Namun, setelah mendapat berbagai reaksi, akhirnya pemerintah menganulir rencana tersebut dan tetap melanjutkan program Raskin.

Pada tataran masyarakat, hampir seluruh penerima Raskin sempat resah ketika pemerintah menggulirkan rencana menghapus Raskin. Karena faktanya, tidak sedikit di antara mereka yang benar-benar miskin dan sudah berusia lanjut.

Sebelumnya, Nuraeni salah seorang nenek berusia 64 tahun, merasa sedih saat meluapkan perasaan terkait Raskin yang selama ini diterimanya. Warga Kampung Kuta Ateuh, Jurung Thaib, Kecamatan Sukakarya, Sabang, ini mengaku sangat terbantu, karena dari sisi ekonomi, dia memang tergolong miskin. "Kami benar-benar terbantu dengan adanya Raskin. Tolong jangan dihapus. Sedih sekali kalau sampai terjadi," ucapnya.

Tinggal seorang diri di rumah sederhananya, Nuraeni mengandalkan pemberian anak-anaknya untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Namun karena anak-anaknya juga mempunyai kebutuhan rumah tangga, maka tidak setiap saat dia menerima pemberian. "Setiap bulan, kadang diberi Rp100 ribu-Rp200 ribu. Tetapi kadang juga tidak," katanya.

Menurut Nuraeni, Raskin memang menjadi tumpuan harapan. Kalau sudah ada beras, dia mengaku merasa tenang. Apapun lauknya tidak menjadi soal, meski hanya sekadar dengan sambal. "Tetapi kalau tidak ada beras, bagaimana nasib kami?" ujar dia.
AHL

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/01/30/351858/pemerintah-diminta-perhatikan-suara-penerima-raskin

Aneh, BUMN Berstatus Tbk Dapat Kucuran PMN

Jum'at, 30 Januari 2015

RMOL. Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mengkritisi kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan mengucurkan tambahan modal atau disebut Penyertaan Modal BUMN (PMN) kepada sejumlah BUMN tahun ini. Jumlah dana yang disiapkan pemerintahan tidak tanggung-tanggung besarnya hingga mencapai Rp 74,9 triliun.

Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu FX. Arief Poyuono menyatakan, dari daftar BUMN yang akan menerima PMN terdapat beberapa BUMN yang sudah terdaftar di bursa saham atau sudah berstatus perusahaan Terbuka (Tbk). Dan juga BUMN yang masuk katagori premium serta BUMN yang memang akan segera gulung tikar jika tidak disuntik modal.

BUMN yang berstatus Tbk yang akan menerima PMN diantaranya PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

"Tentu saja ini menjadi suatu keanehan bagi masyarakat sebab semangatnya BUMN yang dulu diprivatisasi adalah untuk mencari tambahan modal di pasar keuangan dengan melepas sebagian sahamnya," kata Arief Poyuono dalam keterangannya, Jumat (30/1).

Patut dicurigai bahwa selama ini BUMN yang berstatus Tbk yang katanya dikelola secara terbuka ternyata juga jadi bancaan sehingga mengalami kekurangan modal, seperti Bank Mandiri diduga selama 10 tahun terakhir banyak kredit macet dan fiktif sebab jika tidak ada kredit bermasalah, kalau hanya mencari dana sebesar Rp 5,6 triyun itu gampang saja dipasar modal dengan cara right isuue (penerbitan saham baru) apalagi Bank Mandiri mempunyai aset terbesar dengan Rp 729,48 triliun dari seluruh bank nasional.

"Bank Mandiri pun dalam melakukan fungsi intermediasi perbankan tidak banyak mendukung sektor UKM, pertanian dan perikanan dan lebih banyak pada sektor komsumtif seperti pembangunan apartemen dan mall mewah serta kredit corporasi," jelas Arief Poyuono.

Begitu juga BUMN yang sudah Tbk yang memohon PMN juga tidak patut dan tidak layak sebab mereka bisa fund raising di pasar modal, apalagi sudah banyak juga perusahaan swasta yang bergerak di sektor yang sama dengan BUMN Karya jadi tidak terlalu berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.

"Begitu juga dengan PT Antam yang sudah Tbk mencari tambahan modal sangat mudah bisa dengan Right Isuue atau menjual Convertible Bond dan tidak perlu PMN. Begitu juga dengan Krakatau Stell yang sudah Tbk tidak perlu dikucurkan PMN .Jadi semua BUMN yang Tbk harus konsisten untuk tidak minta tambahan modal dari APBN," ujar Arief Poyuono.

Sementara sangat layak PMN dikucurkan jika BUMN yang untuk meningkatkan kedaulatan pangan. di antaranya adalah Perum Bulog, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, PT Perikanan Nusantara, Perum Perikanan Indonesia, PT Garam, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, dan PT PNM Indonesia.

Menurut Arief Poyuono, BUMN yang untuk meningkatkan kedaulatan panganpun akan banyak meyerap tenaga kerja di pedesaan jika dikucurkan PMN . Begitu juga untuk BUMN yang punya tugas PSO (Publik Service Obligation) seperti PT KAI, PT ASDP, PT Pelni, PT Djakarta Lloyd, PT Merpati Nusantara Airlines. "Ini sangat perlu untuk diberi PMN karena selain untuk peningkatan pelayanan masyarakar juga untuk tetap menjaga kedaulatan negara," sebutnya.

Arief Poyuono menambahkan, sedangkan untuk Perumnas sangat perlu disuntik PMN untuk membangun hunian murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Begitu juga dengan BUMN yang mempunyai hubungan dengan pertahanan negara dan pembuatan armada transportasi seperti PT PAL, PT DKB, PT PINDAD, PT DI harus diberikan PMN .

"Karena itu Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak DPR dan Kementerian BUMN untuk lebih selektif dalan pengucuran APBN untuk PMN. Selain itu juga fungsi kontrol harus diperketat dalam pengunaan PMN oleh BUMN yang menerimanya agar tidak banyak penyalahgunaan tambahan modal yang diambil dari BUMN," tandasnya. [rus]

http://www.rmol.co/read/2015/01/30/189213/Aneh,-BUMN-Berstatus-Tbk-Dapat-Kucuran-PMN-

Janji yang Tak Tampak

Jumat, 30 Januari 2015


SESUAI agenda Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah ingin mewujudkan kemandirian pangan.
Dalam praktiknya, agenda membangun program kemandirian pangan dan kesejahteraan produsen pangan, yakni petani, kerap terabaikan. Pemerintah terlalu fokus pada target pencapaian swasembada pangan yang keberhasilannya lebih mudah diukur dan pencapaiannya lebih mudah daripada memprioritaskan peningkatan kesejahteraan petani.

Ada masalah yang tidak pernah diungkap transparan, yakni seberapa besar peningkatan pendapatan petani bisa dicapai melalui peningkatan produktivitas dan luas areal pertanaman.

Jika pendapatan petani naik, apakah mereka menjadi sejahtera? Apakah pendapatan yang naik sedikit itu tidak akan tergerus inflasi akibat naiknya kebutuhan hidup, atau justru lebih parah lagi kenaikan pendapatan yang sedikit itu tertimbun inflasi?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 1993-2013 rata-rata peningkatan produktivitas petani hanya 0,82 persen. Pada periode yang sama, inflasi rata-rata meningkat 11,3 persen per tahun. Dari data ini terlihat, daya beli dan tingkat kesejahteraan petani berangsur-angsur turun. Kondisi ini bisa menjadi alasan berkurangnya 5,1 juta rumah tangga petani pada 2003-2013.

Pendapatan petani pangan rata-rata Rp 1 juta per bulan. Jumlah ini jauh di bawah pendapatan buruh pabrik yang rata-rata sudah di atas Rp 2 juta per bulan.

Saat ini, lebih dari 5 juta rumah tangga petani (RTP) memiliki luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Dengan asumsi setiap RTP terdiri atas empat orang, ada 20 juta jiwa yang menggantungkan pendapatan pada lahan 0,5 hektar itu.

Jamak terjadi, petani tidak selalu panen akibat serangan hama-penyakit dan perubahan iklim global. Peningkatan produktivitas tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai, pasti meningkatkan pendapatan petani. Namun, hal itu belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan petani karena peningkatan pendapatan sangat terbatas.

Bagaimana dengan peningkatan indeks pertanaman (IP)? Lahan pertanian yang belum beririgasi umumnya berada di luar Pulau Jawa. Petani pangan di Jawa dikenal ulet, gigih, kreatif, dan pantang menyerah. Di mana ada air mengalir, petani akan memanfaatkannya untuk mengairi lahan. Tanpa ada saluran irigasi teknis/semiteknis, selama daerah itu terjangkau aliran air, petani akan mencetak sawah.

Di Jawa, ruang bagi peningkatan IP pangan dalam skala luas sangat sempit. Padahal, di situlah basis petani miskin. Memang di daerah-daerah tertentu di bagian tengah dan selatan Jawa, di areal perbukitan dan pegunungan, ada potensi peningkatan IP. Alasannya, sumber air sungai tersedia.

Persoalannya, skalanya kecil dan sangat tidak efisien. Misalnya, butuh investasi hingga ratusan juta rupiah untuk membangun bendung guna menaikkan elevasi air sungai untuk irigasi yang hanya memenuhi kebutuhan 50 hektar lahan.

IP di lahan itu akan naik berlipat-libat, dari satu menjadi tiga. Pertanyaannya, apakah hal itu efisien dan bisa dijalankan dengan standar penganggaran pembangunan irigasi yang berbasis pada luas lahan?

Dengan rata-rata kepemilikan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar di Jawa, petani pangan tidak bakal hidup sejahtera. Instrumen utama peningkatan pendapatan, yaitu peningkatan produktivitas dan IP, tidak mampu mendongkrak pendapatan petani gurem di Jawa secara signifikan.

Kondisi sebaliknya terjadi di luar Pulau Jawa karena rata-rata IP masih rendah, satu atau dua kali tanam dalam setahun. Luas rata-rata kepemilikan lahan pertanian di luar Jawa minimal satu hektar.

Bergema di Istana
Di Jawa sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana menetapkan target budidaya pertanian pangan. Sadar tidak akan bisa sejahtera dengan lahan 0,5 hektar atau kuran, petani kecil di Jawa umumnya menjadikan usaha pertanian pangan sebagai pekerjaan sambilan.

Target mereka tidak meningkatkan produktivitas setinggi-tingginya, tetapi agar bisa rutin panen setiap kali tanamsehingga memilih benih padi, jagung, atau kedelai yang biasa ditanam dan dikenali karakternya.

Tujuan utama budidaya pangan yang mereka lakukan tidak untuk meraih pendapatan setinggi-tingginya, tetapi sekadar memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Dalam konteks ini saja sudah tidak ada kesesuaian target antara pemerintah dan petani sebagai produsen pangan. Pemerintah menggebu-gebu ingin menaikkan produktivitas dan produksi pangan. Di sisi lain, petani kecil yang merupakan persentase terbesar petani di Indonesia menjadikan target pemenuhan pangan keluarga sebagai tujuan utama. Kalau ada sisa, baru dijual. Inovasi berisiko dan mereka tidak mau mengambil risiko karena kegureman usaha taninya.

Melihat kenyataan di atas, keinginan pemerintah meningkatkan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan tidak sejalan dengan harapan dan keinginan petani, terutama petani kecil. Oleh karena itu, upaya membangun pencapaian swasembada pangan tidak bergaung di tingkat petani.

Gema swasembada pangan hanya ada di Istana Negara, Kementerian Pertanian, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten, mulai senyap di kecamatan dan desa, serta denyutnya lemah di tingkat rumah tangga petani.

Program pencapaian swasembada pangan dengan anggaran besar bagaikan menepuk ruang hampa. Peningkatan produksi pangan lebih bergantung pada nasib baik dan kondisi iklim yang mendukung daripada program-program pemerintah. Tentu program itu bermanfaat, tetapi masih jauh dari yang diharapkan.

Upaya memotivasi petani agar sejahtera menjadi hal utama jika ingin mencapai swasembada pangan berkelanjutan. Upaya memotivasi yang dilakukan harus realistis dan terukur.

Kalau tidak mungkin menyejahterakan petani padi, jagung, dan kedelai, atau komoditas lain, seperti gula dan daging sapi, dengan skala usaha kecil, solusinya tentu harus meningkatkan skala usaha. Dengan meningkatkan skala usaha, pendapatan petani akan naik berlipat-lipat. (HERMAS E PRABOWO)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150130kompas/#/6/

BUMN Seharusnya Cari Mitra Bukan Minta PMN

Jakarta-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya mencari mitra sendiri, bukan "menetek" dengan meminta tambahan modal melalui penyertaan modal negara (PMN). Sudah banyak citra buruk penerima PMN yang tidak bangkit-bangkit, bahkan kemudian "menyelam" seperti Merpati.

"Ada kontradiksi, Jokowi malah mengundang investor asing menanam modal untuk berbagai proyek, sementara pemerintah memberi PMN dalam jumlah besar. Logikanya enggak nyambung," kata Sihol Manullang, Ketua Umum Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), di Jakarta, Kamis (29/1).

Kalau sudah ada investor asing yang mau membangun infrastruktur, bisa mengutamakan BUMN sebagai mitra lokal. "Apakah tak ada investor asing sehingga menggenjot BUMN kita untuk mengerjakan infrastruktur nasional?" ujarnya.

Sihol mengatakan, seperti yang sudah banyak dipersoalkan anggota dewan, banyak BUMN yang membuat rencana bisnis asal jadi, hanya supaya memperoleh PMN. Kalau sudah begini, sulit meyakini PMN akan benar-benar berguna.

Pengalaman negara lain seperti Tiongkok dan Malaysia mengembangkan BUMN (state company) yang andal, pantas ditiru. "Kalaupun pemerintah menambah modal, rencana bisnis harus jelas, jangan menjadi peluang aneh-aneh. Saya tidak tahu kok pendapatan Petronas tahun lalu US$ 20 miliar, sedangkan pendapatan ke-141 BUMN kita hanya US$ 13,5 miliar. Pak Tanry Abeng heran sendiri, kenapa bisa begitu," ujarnya.

Seperti diketahui, sejumlah BUMN akan menerima tambahan modal dari pemerintah tahun ini, dengan total dana sebesar Rp 74,9 triliun. Dari penjelasan Menteri BUMN Rini Soemarno kepada DPR, perusahaan pelat merah penerima PMN adalah yang melayani hajat hidup orang banyak, mulai dari pangan, infrastruktur, maritim, kedirgantaraan, hingga pertahanan.

BUMN yang bertugas meningkatkan kedaulatan pangan di antaranya adalah Perum Bulog, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, PT Perikanan Nusantara, Perum Perikanan Indonesia, PT Garam, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, dan PT PNM.

BUMN pembangunan infrastruktur dan maritim adalah PT Angkasa Pura (AP) II, PT ASDP, PT Pelni, PT Djakarta Lloyd, PT Hutama Karya, Perum Perumnas, PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Dok dan Perkapalan Surabaya, PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari, PT Industri Kapal Indonesia, PT Pelindo IV, PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan PT Pengembangan Pariwisata Indonesia.

BUMN pendukung industri kedirgantaraan, PT Dirgantara Indonesia (PTDI). BUMN pendukung industri pertahanan nasional, PT Pindad. Kemudian PT Krakatau Steel Tbk, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), serta PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

BUMN penerima PMN terbesar adalah SMI, sebesar Rp 20,356 triliun, jauh meningkat dibanding APBN 2014 sebesar Rp 2 triliun. Perum Bulog Rp 3,15 triliun, Perum Perikanan Rp 3 triliun, AP II Rp 3 triliun, PT Hutama Karya (Persero) Rp 3,6 triliun, Bank Mandiri Rp 5,6 triliun, Waskita Karya Rp 3,5 triliun, dan Antam sebesar Rp 7 triliun.

Penulis: Markus Junianto Sihaloho/PCN

http://www.beritasatu.com/ekonomi/244828-bumn-seharusnya-cari-mitra-bukan-minta-pmn.html

Kamis, 29 Januari 2015

Puan: Segera Bagikan Raskin, Jangan Disimpan Lebih dari 6 Bulan

Rabu, 28 Januari 2015

BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Mulai hari ini, Rabu (28/1/2015), sebanyak 15,5 juta rumah tangga miskin di seluruh Indonesia akan menerima jatah beras untuk warga miskin (raskin). Setiap rumah tangga sasaran (RTS) bakal menerima sebanyak 15 kilogram.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Puan Maharani yang hadir dalam peluncuran program penyaluran Raskin Nasional di Balai Desa Pasirhalang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, meminta kepada Bulog agar segera membagikan habis beras raskin dan tidak terlalu lama menyimpan beras di dalam gudang.

"Saya sudah mengintruksikan kepada Bulog agar beras raskin dibagikan dan tidak boleh disimpan lebih dari enam bulan di gudang," kata Puan, Rabu siang.

Menurut Puan, lamanya distribusi raskin merupakan salah satu masalah yang kerap terjadi di lapangan selama program bantuan untuk warga miskin ini berjalan. Akibat terlalu lama disimpan di dalam gudang, warga yang paling akhir mendapatkan jatah sering kali mengeluhkan kualitas beras raskin yang sudah membusuk.

Selain meminta untuk mempercepat pembagian raskin, Puan juga meminta Bulog untuk memodernisasi gudang-gudang penyimpanan agar kualitas standar beras tetap terjaga.

"Bulog kami minta gudang-gudangnya diperbaiki. Barcode di (karung) beras juga harus jelas," imbuhnya.

Puan juga meminta kepada masyarakat untuk aktif melaporkan apabila ada kecurangan dalam pembagian raskin di daerah-daerah. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah bekerjasama dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk menginstruksikan kepada para kepala daerah agar mengawasi penyaluran dengan ketat.

"Kalau ada kecurangan laporkan ke kepala daerah, kalau bisa langsung ke saya," tandasnya.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/28/1807501/Puan.Segera.Bagikan.Raskin.Jangan.Disimpan.Lebih.dari.6.Bulan?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktkwp

Rabu, 28 Januari 2015

Puan Sedih Indonesia Masih Impor Beras

Rabu, 28 Januari 2015,

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani mengungkapkan kesedihannya karena hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beras. Hal itu berbanding terbalik dengan tanah Indonesia yang subur.
''Saya sedih, kita tetap impor beras. Semua kita impor karena alasannya tidak cukup,'' kata Puan saat melaunching program penyaluran beras miskin 2015 di desa Parung Halang, Kecamatan Cisarua, Bandung Barat, Rabu (28/1).
Menurut dia, saat ini pemerintah sedang menata sistem manajemen beras di Indonesia. Akan ada klasifikasi antara sektor yang tidak mampu dipenuhi sehingga harus impor dan sektor yang tidak perlu impor.
''Sehingga mereka, pengusaha asing hanya melengkapi. Bukan meracuni pasar kita, sehingga kita tidak berdaya,'' ujarnya.
Puan meminta, kedepannya negara ini harus berdaulat secara politik dan mandiri secara ekonomi. Sebab, pemerintah tidak bisa hanya menyiapkan dengan hal-hal yang sifatnya sementara. ''Rakyat harus kita bangun. Kita berharap raskin hanya akan diteruskan 2015, pada tahun 2016 Raskin harus segera dihapuskan,'' katanya.
Penghapusan raskin tersebut, lanjut Puan, bukan berarti negara tidak hadir. Namun dirinya yakin, pada tahun depan rakyat Indonesia lebih sejahtera. ''Jangan lagi ada rakyat dikategorikan miskin dan rentan miskin. Tapi secara berjenjang akan lebih baik dari hari ini. Saya akan liat tahun depan, bener gak bisa swasembada pangan."

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/28/nivo4y-puan-sedih-indonesia-masih-impor-beras

Mentan Amran Janji Petani Kedelai Tak Akan Rugi Lagi‏

Rabu, 28 Januari 2015

Sukoharjo, GATRAnews - Sebagai upaya menggenjot produksi kedelai, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memberikan jaminan kepada para petani bahwa mereka tidak akan rugi bila menanam kedelai karena Perum Bulog bakal menyerap kedelai petani dengan harga yang pantas. "Kita sepakat bahwa nanti yang membeli kedelai ada Bulog. Harganya nanti kita tentukan bersama," kata Amran saat kunjungan kerja di Sukoharjo, Selasa (27/1).

Saat ini pihaknya, bersama dengan Kementerian Perdagangan, masih menghitung mengenai besaran harga beli kedelai di tingkat petani yang harus ditanggung Perum Bulog. Tapi, dia menjamin harga yang ditetapkan pemerintah pasti menguntungkan petani kedelai. "Kita harus hitung bahwa petani nanti tidak rugi. Jangan petani kita rugi," tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian Pertanian mengusulkan Harga Beli Petani (HBP) kedelai yang merupakan patokan harga kedelai di tingkat petani dinaikan supaya petani kedelai tidak terus merugi. HBP kedelai saat ini yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 7.500/kg belum cukup untuk melindungi petani kedelai. "Pak Menteri baru rapat minta HBP-nya dinaikan. Usaha taninya memang kurang menguntungkan, kalau berdasar survei BPS itu minus," kata Dirjen Tanaman Pangan, Hasil Sembiring.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Pertanian, harga kedelai di tingkat petani minimal harus mencapai Rp 11.000/kg bila produktivitas per hektar hanya 1,8 juta ton per Ha. "Kalau hitungan peneliti, sekitar Rp 11.000 per kg. Memang harus tinggi kalau produktivitasnya hanya 1,8 juta ton per Ha," dia mengungkapkan.

Hasil menambahkan, sebenarnya ada 2 cara untuk meningkatkan pendapatan petani kedelai, yakni dengan meningkatkan produktivitas tanaman kedelai, atau meningkatkan harga kedelai. Bila produktivitas per hektar meningkat, sementara biaya tanam tetap, tentu pendapatan petani menjadi berlipat. "Tapi kalau produktivitasnya dinaikan, harus ada inovasi, teknologinya harus bagus," tuturnya.

Saat ini, produktivitas rata-rata tanaman kedelai di Indonesia masih berkisar di angka 1,8 juta ton per Ha. Kementerian Pertanian tengah berupaya meningkatkan produktivitas. "Targetnya di atas itu," ucapnya. Tahun ini, diharapkan produksi kedelai nasional mencapai 912 ribu ton. Sementara kebutuhan kedelai 2,7 juta ton sehingga masih harus impor 1,8 juta ton.

Berdasarkan Sensus Pertanian BPS Tahun013 yang dilanjutkan pada 2014, total biaya atau ongkos produksi tanaman kedelai per musim tanam sebesar Rp 9,1 juta per hektare luasan panen. "Sementara, output-nya tanaman kedelai per musim tanam untuk satu hektare luasan panen adalah Rp 9 juta," ucap Kepala BPS, Suryamin.

Artinya, rasio antara ongkos produksi dibanding output tanaman kedelai sebesar 101,11 persen. Suryamin mengatakan, pengusahaan paling profitable tanaman pangan ada pada padi sawah. "Profitabilitas padi sawah lebih tinggi dari tanaman pangan lain, karena rasionya lebih rendah," imbuh Suryamin.

Suryamin mengatakan, output tanaman padi sawah sebesar Rp 17,2 juta per hektare per musim, sedangkan, ongkos produksinya sebesar Rp 12,7 juta per hektare per musim, atau rasionya 73,48 persen dari output. Sementara itu, output tanaman padi ladang sebesar Rp 10,2 juta per hektare per musim dan ongkos produksinya sebesar Rp 7,8 juta per hektare per musim, atau 76,47 persen dari output.

Adapun tanaman jagung, ongkos produksinya sebesar Rp 9,1 juta per hektare per musim, atau 75,83 persen dari output-nya yang sebesar Rp 12 juta per hektare per musim. Dari komponen biaya produksinya, upah pekerja dan jasa pertanian mengambil porsi terbesar untuk semua jenis tanaman pangan. Ongkos terbesar kedua adalah sewa lahan. Berturut-turut berikutnya yakni pupuk, bibit, pengeluaran lainnya, sewa alat/sarana usaha, pestisida dan bahan bakar.

http://www.gatra.com/ekonomi-1/makro/131315-mentan-amran-janji-petani-kedelai-tak-akan-rugi-lagi%E2%80%8F.html

Bulog Jawa Timur Gandeng Kelompok Tani

Rabu, 28 Januari 2015

SURABAYA, KOMPAS — Perum Bulog Divisi Regional Jawa Timur menggandeng Kontak Tani Nelayan Andalan untuk mengoptimalkan penyerapan gabah dan beras petani. Sinergi pengadaan beras dan gabah ini untuk memperkuat jaringan pemasok sehingga ketahanan pangan terjamin.
Kepala Perum Bulog Divre Jatim Witono di Surabaya, Selasa (27/1), mengatakan, target Jatim pada 2015 sekitar 1,1 juta ton setara beras. Sinergi dengan kelompok tani, target prognosa bisa tercapai 750.000 ton.

Saat ini stok beras Bulog Jatim masih 451.208 ton atau cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 9 bulan ke depan. Namun, karena ada kewajiban menyuplai beras untuk wilayah Indonesia bagian timur dan tengah, stok Jatim hanya cukup untuk 5 bulan ke depan.

Bagi Ketua KTNA Jatim Suyanto, kerja sama KTNA dan Bulog tidak hanya menjaga kedaulatan pangan Jatim, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani karena hasil panen bisa dibeli Bulog sesuai standardisasi pemerintah. Selama ini ada kecenderungan setiap memasuki musim panen, petani kesulitan menjual gabah atau beras karena harga pembelian pemerintah rendah.

Sementara itu, polisi menyegel sejumlah gudang di kawasan Payo Selincah, Kota Jambi, yang diduga sebagai tempat pengoplosan beras premium. Modusnya adalah beras premium dicampur dengan beras Bulog, kemudian dijual ke pasar dengan harga sesuai kualitas premium.

Temuan itu bermula saat polisi dan sejumlah anggota DPRD Kota Jambi mengecek sebuah pagar roboh di dekat sebuah gudang, Senin (26/1). Ketika rombongan melintasi gudang itu, mereka mendapati beras Bulog tertumpuk dalam gudang-gudang milik PT Sejahtera tersebut.

Total ada sekitar 3.000 karung beras masing-masing berukuran 50 kilogram, atau total sekitar 200 ton beras Bulog. Terdapat pula tumpukan ribuan karung beras premium dengan berbagai merek, seperti cap Dua Panda, Kepala beras Slyp Super, Beras Super Koki, dan Ramos Setra. Sebagian karung telah terisi beras, tetapi masih terbuka. Beras patah banyak ditemukan di dalam karung.

”Kami masih duga ini sebagai modus pengoplosan beras, tetapi masih harus diselidiki lebih lanjut,” ujar Kepala Polsek Jambi Timur Komisaris Zuhairi.

Harga beras kualitas premium di Jambi di atas Rp 11.000 per kilogram. Adapun harga beras premium Bulog Rp 8.400 per kg.

Pemilik PT Sejahtera, Alex, mengatakan, dirinya resmi membeli beras premium dari Bulog. Dalam setahun ini, pihaknya telah menyerap sekitar 400 ton beras Bulog. Beras beredar di kalangan pengecer dan toko swalayan. ”Beras yang dibeli dari Bulog tidak dicampur ke beras lain,” ujarnya.

Kepala Bulog Divre Jambi Alwi Umri membenarkan pihaknya menjual beras kepada kalangan distributor dan pengecer. Paling tidak sudah 4.000 ton beras Bulog dilepas ke pasar. Namun, beras yang dijual hanya jenis premium. ”Penjualan beras ini dibenarkan,” katanya. (ETA/ITA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150128kompas/#/21/

Mentan Perluas Peran Bulog sebagai Stabilisator Harga Pangan

Selasa, 27 Januari 2015

Metrotvnews.com, Sukoharjo: Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman, menyatakan akan memperluas peranan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebagai stabilisator harga pangan. Perluasan tersebut akan dilakukan untuk menjaga harga jagung dan kedelai di pasar.

Menurut dia, peran Perum Bulog tersebut akan menyerap komoditas seperti beras yang akan menjadi dua kali lipat, jagung menjadi 2,5 juta ton, dan kedelai satu juta ton. Ia mengaku, hal ini telah dirapatkan dengan Menteri Koordinator bidang Perekonomian.

"Rencana perluasan peran Bulog sudah dirapatkan dengan Menko. Dirut (Direktur Utama) Bulog juga koordinasi kemarin dengan telepon," ujar Amran, saat ditemui usai nota kesepahaman antara Ditjen Tanaman Pangan Kementan dengan Fakultas Pertanian UGM tentang demonstrasi farming (demfarm), di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, Selasa (27/1/2015).

Rencananya, lanjut dia, perluasan peran perusahaan plat merah yang akan mengurusi stabilisasi harga jagung dan kedelai tersebut akan mulai dilakukan 2015 ini. Anggarannya pun telah dipersiapkan, namun Amran tak mengetahui secara pasti berapa jumlah anggaran yang disediakan untuk perluasan peranan Perum Bulog tersebut.

"Sudah kita anggarkan, itu nanti tanya di Bulog. Tapi kita sudah rapat koordinasi," pungkas Amran.

Seperti diketahui, dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 Tahun 2001 Pasal 40 menyatakan, fungsi Bulog hanya menyelenggarakan pengadaan, pengelolaan persediaan, dan distribusi beras untuk mengendalikan harga beras.
AHL

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/01/27/350706/mentan-perluas-peran-bulog-sebagai-stabilisator-harga-pangan

Selasa, 27 Januari 2015

Pemprov Jawa Timur Tolak Raskin Dihapus

Selasa, 27 Januari 2015

Bisnis.com, SURABAYA - Pemerintah Provinsi dan Perum Bulog Divisi Regional Jawa Timur bersikeras mempertahankan program beras untuk warga miskin (raskin) agar jangan sampai diganti dengan uang elektronik, sebagaimana direncanakan pemerintah pusat pada 2016.

Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdaprov Jatim Hadi Prasetyo menggarisbawahi keputusan gubernur bahwa raskin masih dibutuhkan masyarakat miskin di provinsi tersebut, dan tidak bisa diganti dengan voucher Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

“Saya sudah konsultasikan pada Gubernur Soekarwo soal rencana penghapusan program raskin ini. Prinsipnya beliau keberatan karena raskin dianggap masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Jawa Timur,” jelasnya, Selasa (27/1).

Pemprov Jatim beranggapan substitusi dengan e-money tidak akan efektif, jika mempertimbangkan kecenderungan masyarakat di provinsi beribu kota Surabaya itu.

Dia juga menilai masalah penyelewengan raskin tidak seharusnya dikaitkan dengan kebijakan ini.

“Jatim tidak mau raskin diganti uang. Kami beli raskin dengan subsidi, sehingga masyarakat bisa beli dengan harga Rp1.600/kg. Kalau diberi uang lewat kartu, maka standarnya harus jelas. Kalau yang miskin dapat e-money, itu apa bisa beli beras sendiri?”

Di sisi lain, Kepala Bulog Divre Jatim Witono menambahkan sejauh ini pihaknya masih ditugasi mengelola kebutuhan pangan pokok dalam bentuk raskin. Tahun lalu, serapan raskin di Jatim diklaim mencapai 100% dari pagu 514.344 ton.

Jatah raskin tersebut diterima oleh 2.857.469 rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) di 8.506 desa. Stok beras dan gabah Bulog Jatim tahun lalu mencapai 1,1 juta ton, yang mana sekitar 67,4% telah terserap dan menyisakan sisa stok 451.208 ton awal tahun ini.

“Bulog ini bukan hanya sebagai penyangga pangan dan stabilitator harga beras. Raskin juga bukan hanya soal menyerahkan beras pada keluarga miskin, tapi berdampak pada tingkat kesejahteraan petani,” tegasnya.

Berkat adanya program raskin, kata Witono, selama ini Bulog Jatim mampu menyerap beras produksi petani dalam jumlah besar dan menjaga stok fisik komoditas pangan paling sensitif di Tanah Air itu. Dampak lanjutannya, inflasi pun dapat dikendalikan.

“Mayoritas petani Jatim memproduksi beras medium. Kalau pemerintah tetap memprogramkan , akan ada banyak petani yang dilindungi dari segi harga, karena berasnya terjamin dan dibeli Bulog. Kalau Bulog tidak beli beras petani dalam jumlah besar, maka kasihan mereka.”

http://kabar24.bisnis.com/read/20150127/78/395736/pemprov-jawa-timur-tolak-raskin-dihapus

Bulog Stop Beli Beras, Ganti Gabah

Selasa, 27 Januari 2015

SURABAYA – Perum Bulog Divre Provinsi Jawa Timur, Pemerintahan Jatim, dan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) terus mengupayakan perbaikan kualitas komoditas pertanian, terutama beras. Salah satu caranya melalui kesepakatan bersama dalam nota kesepahaman (MoU) yang dilangsungkan Senin (26/1).

Pada 2014 Perum Bulog Divre Jatim berhasil menyediakan pengadaan beras dan gabah sebesar 1,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya 741,996 ton atau sekitar 67,45 persen yang terserap. Karena itu, Bulog Jatim mengalami kelebihan stok beras sebanyak 451.208 ton. ’’Jumlah sisa tahun lalu tersebut masih cukup untuk penyaluran sekitar sembilan bulan ke depan,’’ ungkap Kepala Perum Bulog Divre Jatim Witono.

Menurut dia, jumlah stok beras di Jatim itu terbesar di kawasan Indonesia. Dengan demikian, Jatim masih mampu menyalurkan beras ke wilayah luar Jatim, khususnya di daerah Indonesia Timur.

Kelebihan stok beras tersebut juga memengaruhi kondisi pasar petani. Itu terjadi karena bulog tidak akan membeli beras kepada petani sampai stok habis. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, secara otomatis, kesejahteraan petani akan terganggu. ’’Solusi petani adalah menjual beras ke tempat lain dengan harga yang lebih murah. Padahal, dengan itu, mereka akan rugi,’’ jelasnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pada 2015 ini, Bulog Jatim yang bekerja sama dengan KTNA dan Pemprov Jatim akan memberlakukan peraturan baru. Bulog Jatim tetap melakukan pengadaan seoptimal mungkin. Namun, itu dilakukan bukan dalam bentuk beras, melainkan komoditas gabah. ’’Stok beras dari tahun lalu masih over. Kami akan membeli gabah saja sampai kondisi seimbang,’’ ujarnya.

Apabila kondisi sudah dapat dikatakan stabil, Bulog Jatim akan membeli gabah dan beras kepada petani secara seimbang. Tentu saja, pengadaan tersebut juga disesuaikan kondisi pasar nantinya. Sistem itu diharapkan mampu semakin meningkatkan kualitas beras. ’’Lebih baik menyimpan dalam bentuk gabah daripada beras. Gabah masih dapat digiling jadi beras, lantas disalurkan secepatnya,’’ terangnya.

Pada 2015 ini Bulog Jatim tetap optimistis. Bulog Jatim menargetkan minimal realisasi beras sebesar 750 ribu ton. Selain itu, Bulog Jatim akan menindaklanjuti pengadaan komoditas lain yang pada tahun ini meningkat menjadi tujuh jenis. Antara lain, beras, minyak goreng, tepung, gula, cabai, bawang merah, dan daging. ’’Masalah masih pada stok beras. Yang lain dikatakan aman dan kami terus tingkatkan kualitasnya,’’ ucapnya. (bri/c20/tia)

http://www.jawapos.com/baca/artikel/12032/Bulog-Stop-Beli-Beras-Ganti-Gabah

Senin, 26 Januari 2015

Bos Bulog Sebut Tidak Dapat Untung dari Raskin

Senin, 26 Januari 2015

Jakarta -Hampir 90% bisnis Perum Bulog adalah menyalurkan beras untuk masyarakat miskin atau raskin. Total raskin yang disalurkan Bulog mencapai 2,7 juta ton/tahun.

Direktur Utama Bulog Lenny Sugihat menyebut pihaknya memang banyak menyalurkan raskin tetapi bukan berarti memperoleh keuntungan. Pasalnya, pemerintah masih belum menyetujui permintaan Bulog untuk memperoleh marjin Rp 300/kg dari penyaluran raskin.

"Kita nggak dapat margin fee. Kalau Bulog usulkan dapat marjin Rp 300/kg, tapi belum disetujui oleh pemerintah," kata Lenny saat rapat di Komisi VI DPR di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Senin (26/1/2015).

Seperti diketahui, Bulog menargetkan pendapatan usaha sebesar Rp 31,95 triliun pada 2015. Dari pendapatan ini, Bulog ditargetkan hanya mampu mengantongi laba bersih Rp 271 miliar.

Meski 90% bisnis Bulog merupakan tugas negara, tetapi BUMN ini memakai pendanaan murni melalui pinjaman komersial perbankan. Akibatnya, kalau terjadi perlambatan pembayaran klaim penyaluran raskin oleh pemerintah maka Bulog harus menanggung beban bunga.

"Tahun lalu, kita bayar bunga Rp 351 miliar karena perlambatan pencairan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)," ungkap Lenny.

Selama ini, Bulog membeli gabah kering dari petani seharga Rp 6.600/kg. Kemudian Bulog menjual beras yang sudah diproses seharga Rp 8.047/kg. Meski ada selisih, Bulog mengklaim sama sekali tidak memperoleh keuntungan. Keuntungan Bulog hanya didukung oleh bisnis beras dan produk pangan lain yang non subsidi."Beli Rp 6.600/kg, pemerintah ganti Rp 8.047/kg. Selisih Rp 1.447/kg untuk biaya operasional, pengemasan, distribusi, hingga bayar bunga bank. Praktis ini hanya break even point (impas)," jelasnya.

Lenny berpandangan sebaiknya penyaluran beras bersubsidi tidak memakai dana komersial perbankan. Ia menyambut baik rencana suntikan dana dari pemerintah senilai Rp 3 triliun untuk tahun ini.

Bulog akan memakai dana segar tersebut untuk membiayai pengadaan raskin sebanyak 417.000 ton dan tugas penyaluran raskin sebanyak 2,7 juta ton.
Kemudian paling tidak beban biaya bunga bisa dikurangi.

"PMN (Penyertaan Modal Negara) mampu mengurangi beban pinjaman bunga bank Rp 300 miliar per tahun," sebutnya.

http://finance.detik.com/read/2015/01/26/150817/2814175/4/bos-bulog-sebut-tidak-dapat-untung-dari-raskin

Ini Keuntungan Bulog Disuntik Rp3 T

Senin,  26 Januari 2015

JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan modal Rp3 triliun ke Perum Bulog, untuk mendukung program swasembada pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Direktur Utama Perum Bulog Lenny Sugihat ketika ditemui di gedung DPR yakin dana ini akan menguntungkan. Keuntungan tersebut yaitu mengurangi potensi kerugian masyarakat akibat kenaikan harga beras.

"Potensi kerugian kenaikan harga beras Rp100 per kg setara Rp3,5 triliun (Rp100 juta x 35 juta ton konsumsi beras per tahun," ujarnya di Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (26/1/2015).

Keuntungan lainnya, pembelian beras petani pada saat panen raya dapat diberikan penyerapan surplusnya sebesar 5%-9% dari produksi per tahun atau 1,5-3,6 juta ton beras per tahun.

"Kapasitas bagi petani itu untuk mendapatkan jaminan pasar dengan harga yang wajar dan menghindari kemungkinan terjadinya harga jatuh di saat produksi pada berlimpah. Di samping itu, nanti akan menjadi insentif kepada jutaan petani hingga 14,2 juta jiwa untuk terus berproduksi," jelas dia.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengurangi beban subsidi Rp300 miliar yang merupakan ruang fiskal.

"PMN dapat terjaga kestabilan harga berasnya. Ini bisa menahan laju inflasi, lalu penyerapan beras 1,5-3 juta ton per tahun dikalikan HPP Rp6.600 per kg, sehingga aliran dana ke pedesaan bisa mencapai Rp19 triliun dan potensi peningkatan pemasukan pajak bagi negara dari peningkatan laba perusahaa," terang dia.

Sementara itu, lanjut Lenny, keuntungan yang diperoleh Perum Bulog yaitu dapat mempercepat penyerapan gabah atau beras petani. Lalu, kredit bank berkurang Rp3 triliun sehingga menghemat biaya bank sekitar Rp300 miliar.

"Di sini, kemampuan berhutang bertambah dengan turunnya DER perusahaan dan peningkatan ekuitas yang nantinya lebih likuid dan bankable," tutupnya.

Kendalikan Harga dengan Sanksi

Minggu, 25 Januari 2015

KENDALI harga dengan intervensi pemerintah memerlukan instrumen hukum yang dilengkapi sanksi tegas bagi pelanggarnya. Itu harus disertai pengawasan di seluruh daerah yang cukup sulit terlaksana.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengemukakan hal tersebut ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin. "Tanpa instrumen hukum, bagaimana dapat mengontrol penjual?" tanya dia.

Menurut Enny, pemerintah bisa menerapkan aturan harga batas atas dan batas bawah untuk kebutuhan pokok seperti yang dilakukan Malaysia. Kendati begitu, tidak mudah mengawasi para pedagang, terutama yang bergerak di sektor informal. "Kalau untuk ritel modern dan besar mudah."

Lebih lanjut, Enny menyarankan akan lebih mudah apabila pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) final untuk barang-barang konsumsi. Pengenaan PPN seperti itu untuk memastikan harga yang diterima konsumen sesuai harga yang dibanderol pabrik atau produsen.

Sebelumnya, Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan pemerintah dapat melibatkan Perum Bulog untuk mengontrol harga. Peran Bulog untuk memengaruhi harga terbukti cukup ampuh di masa lalu.

"Bagaimana agar Bulog dapat berperan lebih banyak dan kalau ada kelemahan seperti di masa lalu, itu yang seharusnya diperbaiki," ungkap Ngadiran, Jumat (23/1).

Dalam pertemuan dengan para bupati se-Indonesia, di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/1) Presiden Joko Widodo telah mengingatkan pentingnya menjaga inflasi dalam upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok di kisaran 5,6%-5,8% pada tahun ini.

Pemerintah daerah bersama tim pengendalian inflasi daerah (TPID) bertanggung jawab untuk menekan gejolak harga.

Enggan turun
Harga barang pokok, khususnya pangan, di berbagai daerah relatif bergeming. Enggan mengikuti harga bahan bakar minyak (BBM) yang turun per 12 Januari lalu.

Menurut Normansyah, seorang pedagang di Pasar Tangkiling, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya, hingga kini pihak agen belum menurunkan harga. Oleh sebab itu, ia masih menjual barang kebutuhan pokok dengan harga lama. Harga yang mengikuti penaikan harga BBM per November lalu.

Bahkan di Makassar, harga-harga di pasar tradisional merangkak naik antara Rp100 dan Rp5.000. Seperti harga beras medium naik dari Rp7.000 menjadi Rp8.500 per liter. Gula pasir dari Rp13.000/kg jadi Rp13.500/kg, minyak goreng curah dari Rp15.000 menjadi Rp16.000/liter, dan telur ayam negeri dari Rp1.400 jadi Rp1.500 per butir.

Demikian pula di Bandar Lampung, harga beras mulai naik yang meliputi semua merek. Di Pasar Natar dan Panjang, Bandar Lampung, beras merek Rojolele dan Wayang naik berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000, dari Rp240.000/karung dengan isi 25 kg menjadi Rp242.000/karung. Begitu juga dengan merek Ratu, yang biasa dijual ke konsumen Rp250.000/karung isi 25 kg kini menjadi Rp252.000 di Pasar Bawah dan Bambukuning.

Sebaliknya, Perum Bulog Kantor Subdivisi Regional Malang, Jawa Timur, mengklaim berhasil menekan harga beras untuk turun melalui operasi pasar.

"Sekarang OP sudah dihentikan. Hasilnya menggembirakan. Harga beras medium di pasaran Rp7.300/kg," ungkap Kepala Bulog Subdivisi Regional Malang Arsyad, di Malang, kemarin.

Menurut Arsyad, operasi pasar (OP) dilakukan sejak November 2014 dan dihentikan awal Januari lalu. Sebelum OP digelar, harga beras medium mencapai Rp9.000/kg.(YK/NV/LN/BN/SS/E-1)

http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/7587/Kendalikan-Harga-dengan-Sanksi/2015/01/25

Pemerintah Diminta Telusuri Rantai Pasok Kebutuhan Pokok

Minggu, 25 Januari 2015

 Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah baru-baru ini kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) seiring dengan terus menurunnya harga minyak dunia. Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini kebijakan tersebut belum berimbas pada harga kebutuhan pokok. Banyaknya pihak yang enggan menurunkan harga kebutuhan pokok dan saling lempar tanggung jawab atas harga yang masih tinggi.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Ina Primiana Syinar menilai, pemerintah harus menelusuri sepanjang rantai pasokan dari hulu hingga ke hilirnya. Bila hal tersebut dilakukan, Ina yakin pihak yang memang memainkan harga kebutuhan bahan pokok akan terlihat.

"Tidak bisa hanya dilihat dari ujungnya saja, yang dalam hal ini pedagangnya saja, sebab ada keterkaitan dari hulu hingga ke hilirnya. Secara parsial mereka tentu tidak ingin menurunkan harga, sebab mereka juga membayar mahal dari proses sebelumnya," tukas Ina melalui sambungan telepon, Minggu (25/1/2015).

Pemerintah, lanjut Ina seharusnya menyoroti pihak pedagang besarnya yang dari mulai hulunya apakah sudah ada penurunan harganya termasuk ke pengusaha distributornya. Pemerintah harus terlibat langsung dalam proses pembentukan harga tersebut.

Ina memandang Perum Bulog dapat diberdayakan kembali untuk mengatur harga maupun ketersediaan kedepannya. Namun dalam pelaksanaannya Ina mengingatkan bahwa perlu diciptakan mekanisme pengawasan untuk mengawasi kegiatan Bulog. "Bulog itu di satu sisi memang diperlukan akan tetapi disisi lain keberadaannya memang perlu pengawasan," tutur Ina.

Pengawasan Bulog menurut Ina dapat berupa sistem yang terbuka yang menjamin dalam pelaksanaan kegiatannya tidak akan terdapat penumpukan dan harus memastikan distribusi yang lancar. Bulog sendiri memang diharapkan peranannya dapat kembali maksimal terutama untuk sampai di tingkatan pedagang.

"Peran Bulog sebaiknya juga diperluas untuk komoditi selain beras, termasuk komoditas strategis agar pengendalian persediaan dan harga tidak seperti sekarang yang tidak terkendali," katanya.
WID

Bulog Malang Siap Stabilkan Harga Cabai

Minggu, 25 Januari 2015

Bisnis.com, MALANG—Bulog Malang akan menyetabilkan harga cabai mulai tahun ini. Penanganan cabai itu merupakan bagian dari tugas badan untuk menangani komoditas penting, yakni beras, cabai, daging sapi, kedelai, jagung, bawang merah, dan gula.

“Bulog Malang dipilih menangani komoditas cabai karena potensi komoditas tersebut di daerah ini lumayan bagus,” kata Kepala Bulog Malang Arsyad, Minggu (25/1/2015).

Selain masalah harga, yang menjadi perhatian Bulog Malang terkait dengan produktifitas tanaman komoditas. Karena itulah, Bulog Malang melakukan pendampingan penanaman cabai di Kec. Wajak dan Kec. Karangploso, Kab. Malang yang masing-masing luasnya 5 hektare.

Jika proyek percontohan tersebut berhasil, maka akan diharapkan dapat dikembangkan ke daerah lain di wilayah kerja Bulog Malang.

Dari sisi pasar, Bulog berusaha mencari pasar cabai di luar daerah antarpulau dengan memanfaatkan jaringan badan tersebut.
Dengan begitu, maka produksi cabai asal Malang bisa terserap pasar meski terjadi lonjakan produksi.

Yang juga diupayakan, mencari pasar dari pabrikan mengantisipasi jika terjadi lonjakan produksi dan tidak terserap pasar konvensional.
“Tentu yang paling kompeten untuk menggandeng pabrikan untuk  dapat menyerap produksi cabai adalah Kantor Pusat Bulog,” ujarnya.

Saat ini, harga cabai sudah cenderung turun. Di tingkat pengumpul, harga cabai merah di kisaran Rp15.000 per kg. Level harga ini masih menguntungkan bagi petani. Harga patokan produksi petani cabai mencapai Rp7.500 per kg.

Bulog Malang segera memetakan sentra-sentra produksi di Kab. Malang dan luasan tanaman cabai secara pasti. Dengan begitu, maka Bulog Malang dapat mengetahui dan mengkalkulasi berapa produksi cabai asal daerah tersebut.

Dari kalkulasi itu pula akan diketahui apakah produksi bisa diserap di Jawa Timur dan sekitarnya atau harus dijual ke luar pulau. “Pendataan masih terus dilakukan. Selain mencari data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan, kami juga akan mengecek langsung ke lapangan,” ujarnya.


Jumat, 23 Januari 2015

”Jokowinomics” dan Pangan

Jumat, 23 Januari 2015

JAUH di luar tradisi kerja teknokratik, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo menyukseskan program ketahanan pangan.
Perintah ini, sebagaimana dilaporkan The Jakarta Post (9/1/2015), direalisasikan dengan sebuah kesepakatan bersama (MOU) antara TNI Angkatan Darat (AD) dan Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaannya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, AD akan menerjunkan 50.000 prajurit dan 50.000 anggota Babinsa untuk mendukung program ini.

Apa alasan pelibatan AD dalam program ini? KSAD Jenderal Nurmantyo menjawab, ”Kecukupan pangan sangat penting bagi negeri ini dan bisa memperkuat daya tahan nasional.” Walau dalam konteks kerja ”teknokratis” jawaban tersebut bersifat retorika, penelaahan sejarah memperlihatkan jejak aspek ”ideologis” dan politik-ekonomi ketahanan pangan.

Eksploitasi sumber daya pertanian
Logika ini tegak pada asumsi bahwa rencana menciptakan ketahanan pangan akan menjadi usaha sistematis mengeksploitasi sumber daya pertanian secara besar-besaran. Pada titik ini, mau tak mau kita teringat pada ”revolusi perkebunan” di bawah program Sistem Tanam Paksa Pemerintah Hindia Belanda kurun 1830-1970. Tinjauan lebih lanjut menunjukkan aspek ”ideologis” dan ekonomi-politik program ini, yaitu krisis fiskal daerah koloni Belanda (Jawa) warisan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stanford Raffless (1811-1814) yang mencapai puncaknya 1824. Ini mendorong Gubernur Jenderal ven der Capellen (1818-1824) menjadikan Jawa agunan guna memperoleh utang kepada Palmer and Co, sebuah perusahaan Inggris berpusat di Calcuta, India.

Usaha ini, seperti ditulis Chr LM Penders dalam pengantar suntingan dan terjemahannya Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942 (1977), mendorong negara induk (Belanda) dengan terburu-buru memberikan talangan finansial koloninya ini pada 1826 dan 1828. Akan tetapi, usaha ini bersifat tambal sulam. Karena itu, krisis fiskal pemerintah koloni tetap membayangi. Inilah yang menyebabkan program Sistem Tanam Paksa yang melahirkan ”revolusi perkebunan” ajuan Jenderal van den Bosch diterima Raja Belanda. Seperti tertera dalam laporan aktivitasnya sepanjang 1830-1833, van den Bosch menyatakan bahwa memiliki Jawa adalah sebuah kehormatan (tribute), tetapi mengalami salah urus yang parah hingga menimbulkan krisis fiskal berkepanjangan.

Ini terjadi lebih karena persoalan politik daripada teknikal ekonomi, yaitu renggangnya hubungan penguasa Eropa-rakyat pribumi dibandingkan dengan masa VOC yang dibubarkan 1799. Dengan mengambil Perang Diponegoro (1825-1830) sebagai latar belakang, van den Bosch menyatakan kerenggangan itu dipicu hasutan ulama-ulama Islam fanatik sehingga Sultan Sepuh Yogyakarta memperlakukan orang-orang Eropa dengan cara menghina (disdain). Karena itu, van den Bosch menyatakan supremasi Eropa harus ditegakkan dengan cara lain: menghormati eksistensi penguasa-penguasa lokal. Sebuah keyakinan bahwa rakyat tak akan patuh kepada penguasa asing, kecuali atas persetujuan elite lokal.

Kebijakan bersifat indirect rule (memerintah secara tak langsung) ini akan menguntungkan, seperti dinyatakan van den Bosch: ”to make this relationship beneficial to us” (membuat hubungan ini menguntungkan kita). Dimensi ”ideologis” dan politik-ekonomi Sistem Tanam Paksa yang melahirkan ”revolusi perkebunan” ini terletak di sini, yaitu pengawetan gagasan supremasi wangsa kulit putih yang terejawantah dalam bentuk kolonialisme dan usaha menghindari kebangkrutan ekonomi dan politik bagi negara induk yang terancam kehilangan koloninya.

Dan dalam praktiknya, eksploitasi sumber daya pertanian memang bermuara ke arah itu. Walau secara teknikal pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini bisa ditafsirkan usaha pionir mengeksploitasi sistem pertanian Indonesia melalui asupan modal, teknologi, dan manajerial, ujungnya melahirkan bangunan kekuasaan politik-ekonomi dalam skala tak berpreseden. Yaitu konsolidasi kekayaan di atas mana an effective modern colonial state (sebuah negara kolonial modern yang efektif) untuk pertama kalinya berdiri. Bersamaan dengan itu, ”keabsahan” kolonialisme kembali ditegakkan. Dalam arti kata lain, negara kolonial modern yang efektif itu berdiri di atas basis material yang kokoh.

Ini dibuktikan oleh fakta berikut. Dalam laporan kegiatan 1930-1933, van den Bosch menyatakan hanya dalam dua tahun usia Sistem Tanam Paksa, defisit fiskal (budget deficit) yang membebani negara induk (the mother country) selama setengah abad terakhir telah berganti dengan keuntungan. Pada 1832 ”lebih dari lima juta gulden dan pada 1833 lebih dari 10 juta gulden (keuntungan) telah dikirim ke Belanda.” Dan, lanjutnya, ”akhir 1834 diperkirakan sejumlah 28 juta gulden atau 30 juta gulden akan bisa dikirim (ke Belanda).”

Di luar perkiraan van den Bosch, kurang dari 30 tahun kemudian, Sistem Tanam Paksa ciptaannya ini telah melahirkan keuntungan raksasa melebihi khayalannya. Dalam tulisan ”Building the Network of Railways and Tramline”, yang dimuat dalam For Profit and Prosperity: The Contributions Made by the Dutch Engineers to Public Works in Indonesia, 1800-2000 [2008], Augustus J Veenendaal Jr menyatakan melalui Sistem Tanam Paksa itu ”Jawa segera menjadi pelampung (cork) di atas mana Belanda mengapung sehingga tak lama kemudian utang-utang negara itu dapat dibayar melalui keuntungan-keuntungan positif Hindia Belanda.” Bahkan, lanjutnya, ”keuntungan itu cukup besar untuk mendanai proyek-proyek utama seperti penciptaan jaringan Rel Kereta Api Negara Belanda pasca 1860-an dan proyek-proyek yang memfokuskan pada transportasi yang menghubungkan Amsterdam dan Rotterdam melalui laut.”

Tak mengherankan jika Belanda tak pernah bermaksud menjadikan Indonesia merdeka. Membahas karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Gazali Dunia (2008) mengutip pernyataan Menteri Jajahan Belanda Hindrikus Colijn (1933-37) pada 1930-an: ”Selama Gunung Mount Blanc berdiri, selama itu Hindia Belanda tak pernah merdeka.” Ucapan Colijn ini bersifat ”ideologis”. Sejarawan M C Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1981) menyebutnya sebagai a bitter opponent of Ethical ideas (seorang penentang sengit gagasan-gagasan Politik Etis). Dan, karena pernah menjabat direktur perusahaan minyak Shell Belanda, Colijn tentu sangat paham arti ekonomi bagi negerinya dengan menjajah Indonesia.

Bagi bangsa ini, Sistem Tanam Paksa pengalaman keperihan kolektif kemanusiaan. Dalam catatan Ricklefs, sistem ini telah melibatkan rakyat dengan angka mencengangkan. Pada 1840, sebesar 57 persen dan pada 1850 sebesar 46 persen penduduk Jawa dimobilisasi untuk tujuan itu. Unsur ”paksa” dalam sistem ini menimbulkan kesengsaraan tak terperikan. Rakyat yang dilibatkan, seperti dilaporkan Inspektur Sistem Tanam Paksa Vitalis (1833-1838) pada 1851, tak lagi berbentuk manusia, melainkan, walking skeletons (kerangka-kerangka berjalan). Mereka, ”dengan bersusah payah, menyeret-nyeret diri dari satu ke tempat lain yang dalam proses itu kerap dalam keadaan sekarat.”

Dalam laporan itu, Vitalis berterus terang mengakui: ”Jika tak menyaksikan sendiri, tentu saya enggan melaporkannya.... Bahkan, korban-korban ini dapat dipergoki di jalan-jalan ke arah Tasikmalaya, Garut, Arjawinangun dan Galo. Orang bahkan tak mengacuhkannya!” Yang lebih menyakitkan adalah sikap anti-kemanusiaan di dalamnya. Ketika Vitalis bertanya kepada bupati setempat, mengapa ia tidak meminta mayat-mayat yang bertumbangan itu dikuburkan. Dengan seenaknya sang bupati menjawab: ”Tiap malam, tubuh-tubuh itu akan diseret harimau.”

Membalikkan sejarah
Dengan fakta ini, bagaimana kita memahami program kedaulatan atau ketahanan pangan dalam Jokowinomics dewasa ini? Jawabannya, program itu usaha politik-ekonomi dan ”ideologi” serius membalikkan sejarah keterjajahan dan kesengsaraan rakyat pada masa lalu. Ketahanan pangan bukan saja identik menjaga kedaulatan bangsa, melainkan juga membebaskan rakyat dari kesengsaraan.    

Semangat inilah yang mengaum dalam ucapan Soekarno (dikutip Ade Fitrianti, mahasiswi bimbingan saya di Pascasarjana UI, dalam tesisnya ”Politik Impor Beras”, 2015), ketika berpidato di hadapan BPUPKI: ”Apa gunanya grondwet itu kalau tidak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi droits de l’homme et du citoyen itu tidak bisa menghilangkan kelaparan orang miskin yang hendak mati kelaparan.” Dengan fakta sejarah dan politik-ekonomi di atas, kita bisa mengerti, mengapa Soekarno melihat ketahanan pangan (yang menghindari rakyat mati kelaparan) ”sederajat” dengan UUD (Grondwet) yang berisi hak-hak asasi warga negara (droits de l’homme et du citoyen). Maka tak heran jika Jokowi kini mengerahkan semua sumber daya, termasuk kaum militer, untuk menyukseskan program kedaulatan pangan.

Tentu saja, di dalam beberapa hal, usaha ke arah itu telah dirintis sebelumnya. Harus diakui program-program Kementerian Pertanian dan otoritas-otoritas lain  yang berhubungan dengan pangan selama satu dekade ini telah mengarahkan usaha mewujudkan kedaulatan pangan. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan bukan saja lebih bersifat teknis, melainkan masih ditandai oleh besarnya arus impor pangan. Data yang diajukan Kompas (23/12/2014) menguatkan sinyalemen ini.

Sejak Januari hingga Oktober 2014, impor pangan telah menelan devisa 6,6 miliar dollar AS, setara Rp 80 triliun. Di samping impor beras yang menelan devisa 200 juta dollar AS, impor jagung, gula, kedelai, daging sapi, tembakau, dan gandum ”pelahap” devisa terbesar, menghabiskan 700 juta dollar AS, 1,2 miliar dollar AS, 700 juta dollar AS, 1 miliar dollar AS, 500 juta dollar AS dan 2,1 miliar dollar AS. Pertumbuhan penduduk dan kelas menengah beberapa dekade mendatang akan mendorong impor pangan dalam jumlah lebih besar dan secara struktural mengancam daya tahan fiskal dan neraca transaksi berjalan.

Arah kecondongan inilah yang harus dicegah. Apakah ada presedennya? Salah satunya PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), BUMN di sektor pangan. Di bawah Dirut Ismed Hasan Putro, RNI berusaha melihat persoalan ini dari segi ”ideologis” dan ”politik” dengan menjadikan kedaulatan dan ketahanan pangan sebagai ”gerakan”. Seperti tertera dalam Transformasi RNI Terbang Tinggi (2014), bertekad memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pangan dan air; arus impor pangan dilihat sebagai pertarungan politik. ”Bagaimana bisa di negeri yang tongkat kayu bisa dijadikan tanaman, kok, impor begitu banyak. Impor jadi pemburuan rente elite politik tertentu,” ujarnya.

Ini mendorong RNI menerjemahkan ”gerakan” ketahanan pangan ke dalam intensifikasi, ekstensifikasi, dan sofistikasi, yang diejawantahkan pada perluasan areal persawahan, mengembangkan dan memadukan sistem perkebunan dengan ternak sapi dan pengemasan modern serta pengembangan model perdagangan produk-produk pertanian dan pangan. Dilihat dari sini, RNI telah berusaha merealisasikan semangat ideologis ketahanan pangan ke dalam kinerja praktikal dan teknikal melalui asupan kapital, teknologi dan manajerial. Namun, usaha semacam ini hanyalah petit model (model kecil) yang tak memadai mengoreksi struktur sejarah Sistem Tanam Paksa abad ke-19, yaitu membalikkan arah kekayaan material hasil eksploitasi sumber daya pertanian kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Kendati demikian, meminjam frasa dari tulisan YB Kadarusman (The Jakarta Post, 13/10/2014), secara teoretis ”gerakan” ini bisa disebut trickle-up economy, lawan dari trickle-down economy. Hal itu, yakni kebijakan ekonomi yang secara sengaja didesain punya efek distributif dan memberdayakan partisipasi rakyat banyak. Karena merupakan lapangan ”maha luas”, program pengembangan sektor pangan akan mampu mengakomodasikan partisipasi rakyat banyak tanpa prasyarat keterampilan.

Di sini pula konteks ”ideologis” dan politik-ekonomi program ketahanan pangan Jokowinomics. Yaitu kesediaan negara memobilisasi seluruh sumber dayanya untuk membalikkan arah kebijakan dari trickle-down kepada trickle-up economy. Dengan melakukan itu, struktur kekuasaan oligarki ekonomi-politik sektor pangan lama akan tertransformasikan kepada yang ”baru”, yang bersifat distributif dan mengakomodasikan partisipasi rakyat banyak. Hanya dengan ini, sumber daya material hasil eksploitasi sistem pertanian yang dimapankan struktur sejarah Sistem Tanam Paksa bisa dibalikkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia.

Fachri Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150123kompas/#/6/

Pengamat: Mau Harga Sembako Stabil, Jangan Singkirkan Bulog

Kamis, 22 Januari 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan harga BBM rupanya tidak mempengaruhi harga kebutuhan bahan pokok dan biaya transportasi. Walaupun harga BBM turun, harga bahan pokok dan biaya transportasi seperti angkutan umum tidak turun.
Hal tersebut dikatakan pengamat Ekonomi, Didik J Racbini. "Kalau ingin harga bahan pokok stabil, Bulog harus  diberdayakan. Jangan disingkirkan,"kata Didik, Kamis, (22/1).

Kalau Bulog sudah bekerja namun harga tidak stabil, berarti pemerintah harus turun tangan. "Perlu dilakukan operasi pasar sebab pedagang banyak juga yang  menimbun barang untuk menaikkan harga,"ujarnya.

Kalau harga bahan pokok sampai tidak turun setelah dilakukan operasi pasar, kata Didik, maka itu bukan operasi pasar sungguhan. "Kalau sungguh-sungguh pasti harga bisa turun,"katanya.

Ia menjelaskan selama distribusi terus berjalan maka harga BBM takkan banyak berpengaruh.

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/01/22/nil34u-pengamat-mau-harga-sembako-stabil-jangan-singkirkan-bulog

Pemberian Dana Tunai Dinilai Lebih Efektif Daripada Raskin

Kamis, 22 Januari 2015

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menilai adanya wacana penghapusan program pemberian beras bagi masyarakat miskin (Raskin) dan menggantinya dengan transfer dana ke rekening penerimanya, dinilai lebih efektif.
Hal ini diungkapkan Kabid Banjamsos Dinsos Sumsel, Sumarwan, Kamis (22/1/2015) diruang kerjanya, terkait penghapuskan program Raskin yang dilontarkan Presiden Jokowi. Dimana pemerintah berdalih telah mengganti program raskin dengan Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PMKS) yang rencananya berlaku mulai 2015 ini.
Menurutnya, meski Raskin dihapuskan, namun pemerintah pusat tetap memberikan bantuan berupa uang sebagai bentuk penggantian distribusi raskin tersebut dalam bentuk subsidi langsung. Sehingga langsung ke masyarakat, melalui rekening Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS).
"Ini masih wacana, tetapi kalau benar-benar direalisasikan, hal itu memang lebih baik dan efisien. Tetapi keputusan dan Juknis (petunjuk teknisnya) belum ada, serta siapa yang akan mengcovernya kita belum tahu,"katanya.

http://sumsel.tribunnews.com/2015/01/22/pemberian-dana-tunai-dinilai-lebih-efektif-daripada-raskin

Kamis, 22 Januari 2015

Menunggu Inpres Perberasan

Kamis, 22 Januari 2015

MASYARAKAT sekarang sedang menunggu keluarnya Instruksi Presiden tentang Perberasan. Inpres terakhir, Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, dikeluarkan 27 Februari 2012 dengan keterangan sebagai kelanjutan kebijakan perberasan sebelumnya.
Inpres Perberasan merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait dan para gubernur/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Inpres No 3/2012 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Yang tak diatur dalam Inpres tersebut pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.

Saling menunggu
Siapa masyarakat yang menunggu keluarnya Inpres tersebut? Pertama, yang jelas petani. Sebenarnya Inpres tersebut apabila dikeluarkan pada Januari-Februari manfaatnya bagi petani terasa kurang. Inpres tersebut hanya berfungsi sebagai patokan harga yang akan terjadi di pasar saja sehingga petani dapat memperkirakan untung-ruginya. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres umumnya sekitar Oktober untuk mendorong petani meningkatkan produksi padi. Setelah reformasi tidak ada pola yang tetap, tetapi umumnya keluar pada akhir Desember, bahkan kadang-kadang dikeluarkan pada April.

Kedua, pihak pedagang pengumpul dan penggilingan yang berkepentingan. Mereka akan bergairah kalau dalam Inpres tersebut dicantumkan beras untuk keluarga miskin (raskin). Para pedagang dan penggilingan akan berlomba memburu gabah sehingga akan mengangkat harga secara signifikan. Kalau hanya untuk cadangan beras pemerintah (CBP), mereka akan bertanya: berapa jumlah yang akan dibeli dan bagaimana kualitasnya. Mereka akan berhitung kalau CBP sebesar 1 juta ton dan mengetahui posisi stok beras Bulog saat ini 1,6 juta ton, para pedagang dan penggilingan akan mengurangi pembelian dan diperkirakan harga akan jatuh.

Ketiga, pihak Perum Bulog. Dengan adanya rencana pemerintah yang mengganti raskin dengan e-money, diperkirakan Bulog akan mengubah strategi pembeliannya. Bulog akan selektif dalam pembelian gabah/beras disesuaikan dengan kemampuan penjualan. Dengan demikian, pencabutan raskin akan kontraproduktif dengan rencana pemerintah yang akan mencapai target swasembada dalam tiga tahun. Bulog juga tidak dapat mengandalkan penjualan melalui operasi pasar karena dari pengalaman yang lalu, apabila keadaan produksi bagus atau dalam keadaan swasembada, ternyata tidak ada operasi pasar.

Keempat, pihak perbankan yang membiayai Bulog. Sejak kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dicabut tahun 1999, mulai tahun 2000 Bulog menggunakan kredit komersial perbankan yang dijamin oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena adanya jaminan penyaluran beras raskin. Apabila raskin dicabut, masih bersediakah Menteri Keuangan menjamin kredit Bulog? Akhirnya, mungkin Bulog diminta menggunakan APBN untuk pembiyaannya, tetapi yang menjadi pertanyaan, anggaran tersebut untuk program apa? Yang jelas, untuk menyantuni keluarga miskin sudah dicabut dan untuk CBP diperkirakan stoknya masih cukup besar. Akhirnya, akan terjadi kemelut yang tidak berujung karena setiap pihak berpikir secara sektoral, bukan secara komprehensif.

Sekarang ini informasi dari lapangan situasinya memberikan sinyal saling menunggu. Pihak perbankan menunggu kejelasan dari Bulog apakah kreditnya tidak macet. Pihak pedagang dan penggilingan juga menunggu kejelasan tugas yang diberikan kepada Bulog seperti apa. Pihak Bulog pun diperkirakan mengalami kebingungan. Pihak pemerintah juga harus berpikir setelah gabah/beras dibeli oleh Bulog, barangnya untuk apa?

Pengelola CBP harus berpikir ulang cara perputaran stoknya karena beras kalau disimpan selama tiga bulan sudah berubah kualitasnya. Pengalaman tahun 1984-1993, ketika dalam posisi swasembada beras, apabila Bulog melepas berasnya di dalam negeri, akan membuat harga turun. Apabila beras diekspor, harga beras dunia juga akan turun, kerugian bertambah.

Untuk apa?
Memang banyak yang skeptis atas pengaruh kebijakan harga beras terhadap kenaikan produksi padi. Namun, ilustrasi pentingnya, tingkat harga untuk mendorong kenaikan produksi dapat diikuti seperti uraian berikut ini.

Pada saat kebijakan impor beras dapat dilakukan secara bebas, harga beras di Pasar Induk Cipinang berkisar Rp 2.300-Rp 2.500 per kilogram untuk beras jenis IR III, stabil sepanjang tahun selama kurun waktu 2000-2004. Sejak impor beras dibatasi tahun 2004, baru tahun 2005 harga bergerak naik pada masa panen, sekitar Rp 2.400 per kg menjadi sekitar Rp 3.500 per kg pada Desember 2005 kemudian naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000 per kg pada Februari 2006. Ternyata harga masih bergerak naik pada bulan paceklik, Desember 2006, menjadi sekitar Rp 4.500 per kg dan naik lagi menjadi sekitar Rp 5.000 per kg pada Februari 2007.

Pemerintah tampaknya terkaget-kaget akan adanya kenaikan harga yang demikian tinggi (naik dua kali lipat dalam tiga tahun). Oleh karena itu, pemerintah merespons dengan mengeluarkan Inpres No 2/2005 dengan menaikkan harga pembelian beras pemerintah sebesar 27 persen (dari Rp 2.790 menjadi Rp 3.550 per kg). Tahun berikutnya melalui Inpres No 3/2005 menaikkan harga pembelian gabah kering giling sebesar 27 persen (dari Rp 1.765 menjadi Rp 2.250 per kg) yang berlaku untuk tahun 2006. Tahun 2007 pemerintah masih menaikkan lagi harga beras sebesar 13 persen.

Apa dampak pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah tersebut? Diduga kenaikan produksi beras selama tiga tahun berturut-turut (2007, 2008, dan 2009) antara lain karena pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah. Faktor lain iklim yang mendukung (kemarau basah) dan tentunya kerja keras Kementerian Pertanian. Sayang belum ada yang tertarik meneliti penyebab kenaikan produksi yang spektakuler tahun 2007 sebesar 4,9 persen, tahun 2008 sekitar 5,5 persen, dan 2009 sebesar 5,8 persen. Akibat kenaikan produksi beras tersebut, Indonesia selamat menghadapi krisis pangan dunia tahun 2008. Indonesia tidak perlu berebut terjun ke pasar beras dunia.

Akhirnya, dari analisis situasi perberasan dan dalam rangka mengurai keadaan pasar yang tidak menentu saat ini, sebaiknya Inpres Perberasan segera dikeluarkan. Pengalaman menunjukkan, apabila harga turun akan lebih sulit mengangkatnya dan akan berdampak pada kepercayaan petani.

Selanjutnya, disarankan pencabutan raskin diundur menunggu 1-2 tahun lagi atau keluarga miskin yang di perkotaan saja yang dilepas terlebih dahulu seperti usulan Bank Dunia pada 2012. Tingkat harga pembelian pemerintah perlu dipertimbangkan karena sudah tiga tahun tidak mengalami perubahan. Namun, yang mengganjal dari masalah tersebut, harga beras dalam negeri sekarang sudah dua kali lipat dari harga beras dunia.

Sapuan Gafar
Mantan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan dan Wakil Kepala Bulog

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150122kompas/#/7/

Bulog Didesak Beli Beras Petani

Kamis, 22 Januari 2015

TEMANGGUNG (KRjogja.com) - Petani mendesak pada Perum Bulog Sub Divre Wilayah V Kedu melakukan pengadaan beras di wilayah Kabupaten Temanggung untuk menyerap beras di tingkat petani  yang telah memasuki awal masa panen raya dan meningkatnya kualitas gabah dan beras.

Petani di Desa Tembarak Kecamatan Tembarak, Marsiah (39) Rabu (21/01/2015) mengemukakan gabah kualitas panen di tingkat petani telah mulai bagus meski ada yang belum memenuhi persyaratan bulog, sebab kadar air masih terlalu tinggi sebagai dampak besarnya curah hujan. "Padi kualitas panen mulai baik, tetapi adapula yang kadar airnya tinggi sehingga dibutuhkan penjemuran yang lebih lama untuk mengurangi kadar air," katanya.

Secara terpisah, Kepala Bulog Sub Divre Wilayah V Kedu Fansuri Perbatasari mengatakan penghentian pembelian beras sudah dihentikan sejak dua bulan terakhir. Penghentian itu terpaksa ditempuh sebab harga beras yang masih tinggi, dan persediaan juga masih minim. "Kami terpaksa hentikan pengadaan  gabah dan beras, karena persediaan ditingkat petani minim. Ini membuat harga masih tinggi," katanya.

Tingginya harga di petani ini, terangnya, diatas pagu harga pembelian dari yang ditetapkan pemerintah, sehingga pihaknya tidak berani membeli daripada menyalahi aturan. Harga beras petani terendah Rp 7.400 perkilogram sedangkan harga pembelian yang ditetapkan Rp 6.600 perkilogram. Harga gabah kering mencapai Rp 4.500 perkilogram sedangkan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah Rp 4.200 perkilogram. (Osy)

http://krjogja.com/read/245400/bulog-didesak-beli-beras-petani.kr

Bulog Jawa Timur Kirim Beras untuk 6 Provinsi

Kamis, 22 Januari 2015

TEMPO.CO , Jakarta:Perusahaan Umum Bulog Divisi Regional Jawa Timur mengirimkan beras sebanyak 447 ribu ton ke enam provinsi untuk tahun 2015. Sebagai daerah lumbung padi, Jawa Timur menjadi penghasil beras nomor satu di Tanah Air.

Menurut Wakil Kepala Bulog Divisi Regional Jawa Timur Dindin S, pengiriman beras ke sejumlah provinsi ini sebagai agenda tahunan. Terutama, daerah-daerah yang masuk kategori daerah minus areal pertanian. "Permintaan beras dari luar provinsi, tetap kita layani," ujarnya pada Tempo saat acara Panen Raya di Desa Gedongarum, Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Rabu 21 Januari 2015.

Enam provinsi yang meminta pengiriman beras, yaitu Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Riau, Jambi, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat. Jumlah yang dikirim untuk tahun 2015 ini sebanyak 447 ribu ton. Jumlah ini hampir sama dengan pengiriman tahun 2014 dan 2013. Sedangkan untuk pengiriman tahun 2012, cenderung turun akibat kegagalan panen di pelbagai tempat.

Menurut Dindin, pengiriman beras sebesar 447 ribu ton, tidak mengurangi stok beras di Jawa Timur. Sebab, untuk stok beras tahun 2015 di Jawa Timur masih aman hingga sembilan bulan mendatang. Apalagi, ada beberapa daerah dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menunjukkan tren positif untuk produksi beras. Contohnya, seperti di Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan. "Enggak perlu khawatir dengan stok beras," tandasnya.

Dindin mengatakan target pembelian beras Bulog Divisi Regional Jawa Timur untuk tahun 2015 sebesar 1,1 juta ton atau naik 30 persen dari target sebelumnya 700 ribu ton. Beras tersebut berasal dari 13 Divisi Regional Sub-Bulog yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Sedangkan kemampuan menyimpan gudangnya, mencapai 1,2 juta ton.

Dia mencontohkan misalnya di Sub-Bulog Divisi Regional Bojonegoro menjadi salah satu andalan produksi beras di Jawa Timur. Bahkan untuk tahun 2013 hingga 2015 ini, termasuk daerah penyuplai beras tertinggi di Indonesia. Bahkan, sekarang ini, target untuk pengadaan beras di Bulog Bojonegoro mencapai 200 ribu ton pertahun. "Itu angka yang cukup tinggi," imbuh Dindin.

Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Ahmad Djupari mengatakan Bojonegoro masuk kategori daerah lumbung padi di Jawa Timur. Target produksi beras tahun 2015 ini sebesar 1 juta ton dan realisasi tahun 2014 sebanyak 800 ton. Bojonegoro yang mencanangkan Kabupaten Lumbung Pangan dan Energi akan mampu menjadi andalan beras regional bahkan Nasional. "Ya, target ini realistis," ujarnya pada Tempo di acara Panen Raya di Desa Gedongarum Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Rabu 21 Januari 2015.

Untuk mendukung program Swasembada Pangan, Pemerintah Bojonegoro juga telah mengeluarkan pelbagai kebijakan. Di antaranya membangun 1.000 embung (bendungan kecil) dan sudah terealisasi sekitar 200 embung. Kemudian, membangun tiga bendungan besar. Yang sudah terealisasi, yaitu Bendungan Gerak di aliran Bengawan Solo, dan yang sedang dibangun yaitu Bendungan Gongseng di Kecamatan Temayang. Terakhir tengah dirancang membangun Bendungan Karang Nongko di aliran Bengawan Solo.

Dia menyebut luas lahan pertanian sebanyak 87 ribu hektare yang 40 persen masuk daerah tanah produktif dan bisa panen dua kali. Kemudian 45 persen tanah satu kali panen dan sisanya 15 persen sawah tadah hujan. Tetapi, jika bendungan itu terealisasi, Bojonegoro akan mampu berproduksi sebanyak 1,5 juta ton pertahunnya.

SUJATMIKO

http://www.tempo.co/read/news/2015/01/22/058636648/Bulog-Jawa-Timur-Kirim-Beras-untuk-6-Provinsi

Rabu, 21 Januari 2015

Bulog Bakal Ekspansi Bulog Mart Hingga Kabupaten

Selasa, 20 Januari 2015

 Metrotvnews.com, Manado: Perum Bulog Divre Sulawesi Utara berencana melakukan ekspansi Bulog Mart hingga tingkat kabupaten di daerah tersebut. "Pada 2015 ini, Bulog mart akan dibuka lagi di Kabupaten Bolaang Mongondouw, Kepulauan Sangihe, Kota Manado dan Provinsi Gorontalo yang menjadi wilayah kerja Bulog Sulut," kata Kepala Perum Bulog Sulut, Yayan Suparyan, di Manado, Selasa (20/1/2015).

Yayan mengatakan, ekspansi Bulog Mart ini dilakukan, agar kebutuhan pokok yang dijual Bulog seperti beras, gula pasir yang jauh lebih murah dapat dijangkau masyarakat luas. "Selain itu, dengan hadirnya Bulog Mart di setiap kabupaten dan Kota mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok terutama beras dan gula pasir," ujarnya.

Bulog Mart, katanya, selain menjual beras dan gula pasir juga kebutuhan pokok lainnya hingga gas elpiji. "Ekspansi akan terus dilakukan, namun tetap memperbaiki pelayanan yang sudah ada selama ini, agar lebih bermutu," ucapnya.

Konsep stabilisasi harga pangan diusung Bulog dalam mengembankan ritel tersebut, beras premium dan beras medium serta gula dan minyak goreng disediakan dalam porsi lebih banyak. "Dalam operasi pasar, tak hanya beras medium saja karena beras premium juga sering menggerek harga beras. Harga beras premium naik, medium juga naik, begitu sebaliknya, dengan ada OP beras premium dan medium di Bulog Mart diharapkan akan tercipta keseimbangan harga," tutur dia.

Program yang merupakan pengembangan dari Perusahaan Gabah dan Beras (PGB) Bulog itu, ke depan akan maksimalkan peran jaringan gudang di daerah untuk lebih berdaya dan memberikan nilai lebih dalam pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam menyediakan kebutuhan pangan.
WID

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/01/20/347309/bulog-bakal-ekspansi-bulog-mart-hingga-kabupaten

Selasa, 20 Januari 2015

Puan Maharani: Program Raskin Batal Dihapus

Selasa, 20 Januari 2015

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengatakan, pemerintah akan menjaga stabilitas harga terutama harga beras dengan menggelar bazar dengan harga yang bisa dijangkau oleh rakyat miskin (Raskin).

Demikian disampaikan Puan saat memimpin rapat koordinasi dengan sejumlah menteri di Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di kantornya, Jakarta, Selasa (20/1/2015).

Rakor yang dipimpin oleh Menko PMK Puan Maharani ini dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, Menteri Kesehatan Nila Moeloek serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar.

"Rakor kali ini membahas terkait pelaksanaan raskin. Pemerintah tetap melanjutkan raskin hingga akhir tahun ini. Tadinya, pemerintah berencana menghapuskan program Raskin pada tahun 2015, namun untuk menjaga stabilitas harga, hal itu urung dilakukan," ujar Puan.

Selain pelaksanaan raskin, kata Puan, rapat koordinasi juga membahas penyelenggaraan ibadah haji. Dalam rapat, lanjut Puan, dibahas tentang kebijakan Pemerintah Arab Saudi memotong 20 persen kuota haji nasional kepada setiap negara.

"Dibahas pula tentang pemondokan calon haji dan kesehatan calon haji. Kesehatan calon haji menjadi perhatian serius pemerintah mengingat para calon haji Indonesia usianya termasuk tua," kata Puan.

Puan menegaskan, pemerintah akan selalu melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan haji. Dengan demikian, lanjut Puan, setiap warga negara Indonesia yang hendak menjalankan ibadah mendapatkan pelayanan maksimal.

Rapat koordinasi kali ini, kata Puan, membahas juga penyelenggaraan Asian Games 2018. “Bapak Presiden sudah mengarahkan agar penyelenggaraan Asian Games dilakukan dengan baik. Karena itu perlu dilakukan persiapan dan langkah-langkah yang strategis untuk menuju Asian Games,” ujar Puan.

Terkait hal itu, kata Puan, pemerintah pusat sudah berkoordinasi dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Selain itu, lanjut Puan, pemerintah pusat juga telah berkoordinasi dengan Pemerintah DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Jawa Barat.

"Saya harus mensinergikan dan mengkoordinasikan program-program berbagai Kementerian/Lembaga di bawah kementerian PMK agar bisa berjalan dengan baik. Apalagi dengan akan berlangsungnya Asian Games pada tahun 2018," tandas Puan Maharani. (Taufiqurrohman/Gdn)

http://bisnis.liputan6.com/read/2163664/puan-maharani-program-raskin-batal-dihapus

Bulog Tak Lagi Hanya Tangani Beras

Selasa, 20 Januari 2014

Juga Akan Tangani 7 Komoditi.

SEMARANG – Perum Bulog tahun ini akan menangani komoditas bahan pokok selain beras. Hal ini guna menjaga kestabilan harga serta ketersediaan bahan-bahan pokok di pasaran.

Kepala Perum Bulog Divre Jateng, Damin Hartono mengatakan, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pihak Kementerian BUMN meminta Bulog untuk menangani bahan pokok lainnya. Tercatat ada tujuh komoditas yang akan ditangani oleh lembaga tersebut. Yaitu beras, gula, jagung, kedelai, daging, bawang dan cabai. “Sebelumnya, kita hanya melayani beras, gula, jagung, kedelai dan daging. Sekarang ditambah dua lagi, cabai dan bawang,”ujarnya, kemarin.

Bahan-bahan pokok ini ditangani lembaga tersebut, dengan tujuan menjaga kestabilan harga dan ketersediaannya di pasaran dalam kondisi apapun. Cabai dan bawang diikutkan, mengingat belakangan harga keduanya fluktuatif. Padahal, komoditi ini banyak dibutuhkan masyarakat. “Beberapa waktu terakhir ini cabai harganya tidak terkendali dan mendorong inflasi, maka itu kebijakan ini diambil. Dengan adanya tambahan komoditas yang akan ditangani itu, mulai sekarang kami akan melakukan survei ke daerah-daerah penghasil bawang-bawangan dan cabai,” jelasnya

Untuk bawang, Bulog akan melakukan survei ke Kabupaten Brebes. Lalu untuk melihat potensi cabai, Bulog akan survei di wilayah Kedu. “Kami akan survei bagaimana stok dan potensi komoditas tersebut di daerah-daerah tersebut,” tambah Damin.

Selain itu juga memantau perdagangan antar daerah dan distribusinya. Termasuk juga menyiapkan tempat penyimpanan yang menjamin stok komoditas tersebut selalu ada. Dengan adanya upaya-upaya ini, diharapkan inflasi dapat lebih terkendali, harga stabil, sekaligus mengantisipasi impor. (dna/smu)

http://radarsemarang.com/ekonomi-bisnis/bulog-tak-lagi-hanya-tangani-beras/

Mayoritas RTS Di Jatim Tolak Raskin Diganti KKS

Senin, 19 Januari 2015

Bisnis.com, SURABAYA — Rencana pemerintah mengonversi program raskin menjadi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) pada 2016 ditanggapi dingin oleh sebagian RTS-PM di Jawa Timur. Mereka  berpendapat bantuan pangan secara fisik masih lebih dibutuhkan untuk proteksi sosial.

Pakar pangan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Suyanto melaporkan kebanyakan rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) beras untuk warga miskin (raskin) di Jatim berpandangan negatif terhadap wacana penggantian raskin mennjadi e-money.

“Raskin harus tetap ada karena bukan hanya meningkatkan ketahanan pangan bagi rumah tangga miskin, tapi juga berdampak pada peningkatan jumlah petani gurem di Jatim,” jelasnya dalam paparan penelitian, Senin (19/1/2015).

Berdasarkan survei acak UMM terhadap 308 RTS-PM di Jatim, didapatkan hasil 97,08% responden masih berprespsi positif terhadap program raskin, 0,32% netral, dan hanya 2,60% yang memandang negatif program yang sudah ada selama 16 tahun itu.

Sebaliknya, terhadap responden yang sama, didapati hasil 58,77% presepsi negatif terhadap program uang elektronik. Sementara itu, 32,47% responden menyambut positif bantuan voucher KKS, dan 8,76% sisanya memilih bersikap netral.

Adapun, sampel responden RTS-PM raskin di Jawa Timur didapat dari Kota Pasuruan, Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Tuban, Sampang, Kota Madiun, Situbondo, Lamongan, Nganjuk, Blitar, Lumajang, dan Malang.

“Raskin ini masih dipandang sebagai program perlindungan sosial bagi keluarga miskin, yang dapat meningkatkan daya akses pangan mereka, serta meningkatkan ketahanan pangan nasional terutama di tengah krisis ekonomi,” imbuh Suyanto.

Dia menjelaskan presepsi RTS-PM Jatim terhadap setiap aspek program raskin juga masih positif. Aspek yang dimaksud mencakup administrasi pengurusan, sosialisasi, proses penerimaan bantuan, dan kemanfaatan.

Di sisi lain, presespsi RTS-PM terhadap wacana program e-money cenderung negatif, khususnya terhadap aspek sosialisasi dan kemanfaatan. Bagaimanapun, e-money dipandang positif dari sisi administrasi pengurusan dan proses penerimaan bantuan.

Ditinjau dari segi pelaksana program, lanjut Suyanto, mayoritas responden berpandangan positif kepada pelaksana program raskin. Mereka justru pesimistis dengan pelaksana program uang elektronik, demikian juga terhadap risiko dan keberlanjutan program tersebut.

"Ini menunjukkan RTS-PM masih mengharap program raskin terus dijalankan pemerintah dan tidak setuju jika diganti dengan e-money. Pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengganti hanya gara-gara raskin dinilai tidak tepat sasaran dan jumlah.”

Dia berpendapat masalah tidak tepat sasaran bukan disebabkan oleh pelaksana program, tapi akibat basis data terpadu (BDT) RTS yang tidak akurat. Untuk itu, yang perlu dibenahi adalah BDT yang dilansir oleh TNP2K hasil PPLS 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

http://kabar24.bisnis.com/read/20150119/78/392562/mayoritas-rts-di-jatim-tolak-raskin-diganti-kks