Sabtu, 30 Agustus 2014

Bulog: Realisasi Penyaluran Raskin Tembus 78%

Jumat, 29 Agustus 2014

JAKARTA - Direktur Pelayanan Publik Badan Urusan Logistik (Bulog) Agusdin Farid mengatakan, penyaluran beras miskin (raskin) Bulog telah mencapai 78% atau sekitar 2 juta ton beras.

Pihaknya mengklaim bahwa distribusi raskin telah menyeluruh ke wilayah Indonesia. Namun, paling banyak terdapat di daerah Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Timur (Jatim).

Sementara, daerah timur Indonesia, lantaran kondisi cuaca yang terkadang tidak memungkinkan menyebabkan Bulog mendistribusikan tiga bulan lebih awal.

"Biasanya dalam pagu satu tahun tingkat keberhasilan penyaluran raskin mencapai 98%-99%," ujarnya, Jumat (29/8/2014).

Menurutnya, dalam masa penyimpanan masa panjang raskin terjadi masalah. Karena, pembelian beras tersebut dibeli saat masa panen raya. Sedangkan pendistribusianya baru dilakukan pada 6-7 bulan kemudian.

Untuk itu, proses penyimpanan beras dibungkus rapi dan rapat dengan vakum. Agar kualitas beras saat distribusikan layak diberikan.

"Kita sudah lakukan itu dan efektif, kualitas berasnya bisa dijamin. Biasanya rata-rata per tahun beras yang di distribusikan sebanyak 2,7 juta ton," pungkas Agusdin.

http://ekbis.sindonews.com/read/896286/34/bulog-realisasi-penyaluran-raskin-tembus-78

Jumat, 29 Agustus 2014

SUBSIDI BBM KEBIJAKAN POPULER

Jumat, 29 Agustus 2014

SIAPA bilang keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Langkah rasional menjadi langkah populer jika ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Yang penting, presiden sendiri yang mengumumkan dan menjelaskan secara jujur dan gamblang mengenai program yang menyejahterakan rakyat itu.

Selama ini anggapan yang jamak bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah kebijakan tak populer. Sebab, langkah ini akan memicu gejolak sosial, menaikkan angka kemiskinan, dan biaya hidup meningkat alias inflasi. Dijamin langkah ini menjadi komoditas politik paling empuk.

Paradigma tersebut akhirnya menjadi bayangan ketakutan para pemimpin. Ketakutan ini sejujurnya beralasan sepanjang realokasi anggaran subsidi BBM tidak benar-benar tertuju ke jantung-jantung beban rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, kemiskinan, transportasi, dan infrastruktur dasar.

Paradigma ”kenaikan harga BBM bersubsidi tak populer” menyebabkan solusi persoalan subsidi BBM yang sudah jelas dan final dari nalar ekonomi selalu tersesat di lorong politik. Alhasil, persoalan menjadi berlarut-larut hingga menyebabkan komplikasi perekonomian yang luas dan dalam.

Paparan soal komplikasi tersebut sudah terlalu banyak dikemukakan. Intinya, besarnya subsidi BBM merugikan perekonomian Indonesia, merugikan rakyat.

Pemangku kepentingan juga sudah paham solusi mengatasi subsidi, yakni dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kini saatnya mengambil tindakan, bukan lagi berwacana atau membuat rekomendasi. Ketakutan mengambil solusi semata-mata dikonstruksi oleh paradigma lawas tersebut.

Karena itu, obat generiknya adalah mendekonstruksi paradigma ”tidak populer itu”, terutama mulai dari presiden. Paradigma baru itu adalah menaikkan harga BBM bersubsidi adalah langkah populer. Sebab, menaikkan harga BBM bersubsidi akan menciptakan ruang fiskal yang bisa membiayai berbagai program populer. Setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter akan memberikan tambahan ruang fiskal Rp 48 triliun.

Tidak disangkal bahwa setiap kenaikan harga BBM subsidi Rp 1.000 per liter juga akan menambah inflasi 1,2 persen. Namun, masyarakat miskin yang akan paling merasakan dampak inflasi bisa diberi insentif berupa bantuan langsung tunai selama tiga bulan sebagaimana terjadi selama ini. Pemerintah bersama Bank Indonesia juga bisa ketat mengendalikan inflasi agar tidak liar.

Katakan, presiden menaikkan harga BBM subsidi Rp 2.000 per liter. Jika ditambah dengan realokasi belanja kementerian dan lembaga negara yang masih boros serta peningkatan penerimaan negara, tak mustahil akan ada tambahan ruang fiskal sedikitnya Rp 200 triliun. Dana tambahan itu bisa untuk membuat berbagai program populer.

Apakah membangun puskesmas tak populer? Apakah membangun pelabuhan dan bandar udara tak populer? Apakah mengalokasikan dana desa separuh dari amanat undang-undang pada 2015 tak populer? Apakah membangun rumah rakyat tak populer. Apakah memberikan subsidi langsung kepada petani dan nelayan tak populer?

(FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140829kompas/#/21/

Kamis, 28 Agustus 2014

Stok Beras di Bulog Banyumas Cukup Untuk 8 Bulan

Kamis, 28 Agustus 2014

BUNNEWS.COM,PURWOKERTO - Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten Banyumas telah melakukan pembahasan menghadapi kuota BBM Bersubsidi yang terbatas dan dampak terganggunya Jembatan Comal.
Wakil Ketua TPID Banyumas, Rahmat Hernowo menjelaskan, berdasarkan hasil pembahasan TPID Banyumas selama bulan Agustus 2014, kondisi harga-harga cenderung mengalami penurunan.
"Harga-harga yang cenderung turun ini disebabkan oleh kembali normalnya pola konsumsi masyarakat pasca bulan puasa dan lebaran. Dan juga masuknya periode panen," kata Rahmat Hernowo, Kamis (28/8/2014),
Menurutnya, kecenderungan penurunan harga dapat dilihat dari, pola konsumsi masyarakat pasca Ramadhan dan Lebaran kembali normal untuk kebutuhan bahan pangan pokok maupun sendang.
Apalagi stok pangan utama berupa padi cukup melimpah.
"Saat ini, ketersediaan stok beras di distributor dan Bulog Banyumas masih mencukupi hingga delapan bulan kedepan," ungkapnya.

http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/28/stok-beras-di-bulog-banyumas-cukup-untuk-8-bulan

Rabu, 27 Agustus 2014

Konsumsi & Impor Beras RI Tentukan Cadangan Dunia

Rabu, 27 Agustus 2014

JAKARTA – Kenaikan konsumsi dan impor beras Indonesia dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, akibat kebergantungan yang tinggi terhadap impor beras, Indonesia kini menjadi importir terbesar yang menentukan posisi pasokan beras dunia. Tahun ini, volume impor beras Indonesia diperkirakan antara 500 ribu–1,5 juta ton. Dan, pada pertengahan bulan ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah mendatangkan 50 ribu ton beras dari Vietnam.

Fenomena ini menyebabkan Indonesia sulit keluar dari jebakan impor pangan karena program diversifikasi pangan yang seharusnya diarahkan kepada jagung, ketela, dan sorgum gagal akibat diabaikan pemerintah. Diversifikasi pangan justru mengarah pada terigu. Rata-rata impor pangan Indonesia kini mencapai 110 triliun rupiah per tahun.

Akibatnya, kebergantungan pada impor pangan menyebabkan rakyat Indonesia menjadi celaka dua kali, yakni bukan saja menjadi importir terbesar beras dunia, tetapi juga menjadi importir terbesar terigu. Kenyataan ini sangat berbahaya bagi perkembangan pertanian nasional karena terigu yang tidak bisa diproduksi di Indonesia telah menjadi makanan pokok.

Demikian diungkapkan Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Yogyakarta, Dwidjono Hadi Darwanto, ketika dihubungi, Selasa (2/8). Dia memaparkan bahwa pola fluktuasi ketersediaan beras dunia hampir mirip dengan fluktuasi kebutuhan impor Indonesia.

“Impor Indonesia, menurut penelitian yang saya lakukan, berkontribusi 30 persen terhadap fluktuasi harga dunia. Jadi, bukan pasokan kita yang memengaruhi fluktuasi ketersediaan dan harga beras dunia, tapi permintaan kita. Jadi, impor Indonesia sangat menentukan ketersediaan dunia. Misalnya, Indonesia bilang akan impor tahun depan, harga di pasaran dunia langsung naik,” jelas Dwidjono.

Kondisi seperti itu, menurut Dwidjono, sangat mengkhawatirkan karena pasokan beras Indonesia sangat bergantung pada stok dunia yang tipis. Untuk itu, seharusnya pemerintah berpikir bagaimana meningkatkan produksi nasional, bukan malah terus memfasilitasi impor.

“Yang pertama yang bisa ditempuh adalah peningkatan sarana-prasarana. Sekitar 14 persen faktor produktivitas ditentukan oleh ketersediaan irigasi. Padahal, irigasi kita lebih dari 56 persen rusak. Dan beberapa tahun ini tidak ada perbaikan.”

Sementara itu, di sisi petani, lanjut Dwidjono, untuk saluran tersier yang langsung ke lahan petani juga rusak parah. Padahal, pemerintah telah menyerahkan perawatannya kepada petani sehingga hal ini makin memberatkan petani. “Bagaimana petani bisa maju kalau beban makin berat,” tegas dia.

Selanjutnya, teknologi petani juga tidak pernah diperhatikan pemerintah. Petani bisa memproduksi pupuk organik, tetapi pemerintah justru memberikan subsidi kepada pabrikan pupuk organik. Padahal, kebutuhan pupuk organik di masing-masing daerah berbeda sesuai dengan kondisi tanahnya masing-masing.

“Tetapi dengan satu pabrikan yang disubsidi pemerintah, semua daerah diberi pupuk yang sama,” ujar Dwdjono.

Angka ramalan satu (Aram I) produksi padi 2014 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Juli 2014 menyebutkan produksi padi pada 2014 diperkirakan 69,87 juta ton, atau turun 1,41 juta ton (1,98 persen) dibanding produksi pada 2013.

Anjloknya produksi diperkirakan karena penurunan luas panen dan produktivitas masing-masing sebesar 265,31 ribu hektare (1,92 persen) dan 0,03 kuintal per hektare (0,06 persen).

Aram I juga memberi konfirmasi target ambisius pemerintah untuk mewujudkan surplus beras 10 juta ton pada tahun ini mustahil tercapai. Soalnya, berdasarkan hitung-hitungan pemerintah, surplus beras 10 juta ton hanya bisa direngkuh bila produksi padi mencapai 76,57 juta ton.

Kurang Komitmen

Sementara itu, pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Rina Oktaviani, menambahkan pemerintah saat ini kurang memiliki komitmen politik yang tinggi bagi peningkatan usaha pertanian. Akibatnya, petani tidak dapat berkembang. Padahal, semua konsep pengembangan pertanian sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana komitmen untuk mengimplementasikan. Itu masih sulit ditemukan,” jelas dia.

Menurut Rina, sesungguhnya konsep strategis pertahanan nasional itu bukan semata terlihat dari modernisasi alat utama sistem persenjataan, tapi bagaimana sebuah bangsa bisa makan sendiri, bukan bergantung pada bangsa lain. “Memang tidak ada negara yang tidak impor pangan. Tapi, kalau sudah lebih dari 40 persen, itu sangat berbahaya,” ungkap dia.

Sementara itu, janji presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk mencetak sawah 1 juta hektare per tahun diharapkan jangan hanya sebatas wacana yang bagus, tapi tidak menjadi kenyataan.

Apalagi, kabar yang beredar menyebutkan bahwa Kementerian Kehutanan akan mengalihkan 10 juta hektare kawasan hutan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Luas HTI ini hampir sama dengan luas gabungan 3 provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur atau sedikit lebih luas dari Provinsi Papua Barat. Realisasi kebijakan yang seketika dinilai sulit dilaksanakan sehingga aturan itu disinyalir hanya sebagai bagi-bagi jatah di masa transisi pemerintahan. YK/ers/WP

http://www.koran-jakarta.com/?18868-konsumsi-impor-beras-ri-tentukan-cadangan-dunia

Bulog Sulteng Miliki Usaha Komersial

Selasa, 26 Agustus 2014
Bulog Sulteng Miliki Usaha Komersial

Palu (antarasulteng.com) - Bulog Sulawesi Tengah memiliki usaha komersial untuk meningkatkan pendapatan perusahaan selain membeli beras untuk memenuhi kebutuhan stok nasional di daerah itu.

Kepala Perum Bulog Sulteng Mar`uf di Palu, Selasa, mengatakan usaha baru, antara lain bisnis ikan tuna, kedelai, dan gula pasir.

Dari ketiga jenis usaha komersial Bulog, katanya, yang sudah terealisasi baru kedelai dan gula pasir.

Ia mengatakan perdagangan ikan tuna masih dalam penjajakan dan diharapkan secepatnya terealisasi.

Khusus untuk perdagangan ikan tuna, Bulog Sulteng telah menjajaki kerja sama dengan pengusaha ekspor di Bali dan Makassar (Sulawesi Selatan).

Pada prinsipnya, katanya, mereka telah menyetujui kerja sama dagang dimaksud.

"Kita sekarang ini tinggal mempermantap saja kerja samanya," katanya.

Ia mengatakan bisnis gula pasir sudah berjalan dan Bulog saat ini telah memasok sebanyak 700 ton gula pasir produksi dalam negeri untuk dijual di Sulteng.

Gula pasir yang dikuasai Bulog, katanya, juga sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mendukung kegiatan operasi pasar jika terjadi gejolak pada kebutuhan itu.

Ia mengatakan bisnis kedelai sudah berjalan. Ada beberapa pengusaha tempe dan tahu di tiga daerah di Sulteng, yaitu Tolitoli, Parigi Moutong, dan Kota Palu siap membeli kedelai yang dijual Bulog.

Menurut dia, permintaan cukup banyak dan Bulog akan berusaha untuk bisa memenuhi semua permintaan pasar.

Khusus kedelai, kata Mar`uf, untuk sementara ini didatangkan dari luar daerah, yakni Surabaya.

"Tahap pertama kita datangkan tiga ton kedelai dari Surabaya untuk memenuhi kebutuhan pengusaha tempe dan tahu," ujarnya. (BK03)

Selasa, 26 Agustus 2014

Bulog Harus Diperkuat

Selasa, 26 Agustus 2014

JAKARTA - Badan Urusan Logistik (Bulog) memiliki posisi strategis untuk mengendalikan harga ataupun ketersediaan sembilan bahan pokok. Namun, pemerintah saat ini belum memanfaatkan fungsi tersebut.

Hingga kini Bulog hanya diberi kewenangan untuk mengelola beras. Pengadaan komoditas lain, seperti minyak, gula, dan kedelai baru dilaksanakan berdasarkan permintaan pemerintah.

Direktur Utama (Dirut) Bulog, Sutarto Alimuso saat berbincang-bincang dengan SH, pekan lalu mengatakan, manajemen di Bulog sudah berubah, tidak lagi seperti masa Orde Baru. Pengelolaan aset maupun pengadaan barang di lembaga itu dilakukan secara transparan. "Dulu orang korupsi tidak dipecat. Sekarang dipecat," katanya.

Bulog juga tidak bisa lagi diintervensi segelintir orang yang mencoba mencari "keuntungan" pribadi. "Banyak pihak yang tidak menghendaki Bulog besar karena spekulan tidak bisa bermain," ujarnya.

Dia menjelaskan, transparansi di Bulog dilakukan sejak ia menjabat sebagai dirut di lembaga itu. Saat awal kepemimpinan pada 2011, ia meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ikut mengaudit kerja Bulog. "Saya selalu minta diaudit," ujarnya.

Saat ini, Bulog memberdayakan aset-aset yang dimiliki untuk mendapatkan tambahan pemasukan. Sebagai sebuah perusahaan umum (perum), Bulog dituntut untuk mencari untung supaya bisa menggaji karyawan dan mengembangkan organisasi. Namun, selama ini, keuntungan paling besar didapat dari penjualan beras premium. Oleh karena itu, Bulog menyewakan aset-aset yang dimilikinya.

"Aset yang bisa diberdayakan, kami berdayakan. Kalau tidak aset akan jadi beban. Bulog tidak pernah menjual aset. Sewa jangka pendek ditentukan Bulog, jangka panjang perlu izin BUMN. Namun, yang belum termanfaatkan banyak sekali," tuturnya.

Aset Bulog
Dia menegaskan, Bulog tidak akan pernah melepaskan aset-aset yang dimiliki. Apalagi, pendapatan dari sewa aset itu naik setiap tahunnya. Pada 2013, sewa aset Bulog mencapai Rp 50 miliar. Namun, pada semester I/2014 ini, optimalisasi aset Bulog mencapai Rp 45 miliar.

Pengelolaan sewa aset pada 2012 ada di posisi rendah karena saat itu Bulog ditunjuk pemerintah untuk mengadakan beras sekitar 3,6 juta ton. "Jadi gudangnya banyak digunakan untuk menyimpan sendiri, tidak disewakan sehingga pendapatan dari sewa menurun," ucapnya. Jika dioptimalkan, Sutarto mengatakan, Bulog bisa mendapatkan pemasukan sebesar Rp 57 triliun setiap tahunnya.

Dia mengakui, sebagai sebuah perusahaan yang baru jalan, Bulog masih memiliki kekurangan dalam hal administrasi. Namun, kekurangan itu bukan sebuah kesengajaan, melainkan sebuah ketidakmengertian karena masih dalam tahap belajar. "Bisnis Bulog baru mulai, biasanya mengandalkan PSO. Kalau ada masalah administrasi mungkin saja. Tapi kalau ada yang sengaja akan ditindak tegas," katanya.

Ia membantah, penyimpanan dan biaya angkut beras impor tidak efisien. "Kami selalu mencari harga yang paling murah," ujarnya.

Sebelumnya, dalam pemberitaan SH disebutkan pengelolaan aset di Bulog diduga bermasalah.

Menurut keterangan yang diperoleh SH, pengelolaan pendapatan komersial meliputi penjualan dari bidang perdagangan, bidang industri, dan jasa. Pendapatan dari bidang perdagangan meliputi penjualan beras komersial, gula pasir, dan komoditas yang diperdagangan BulogMart. Dari audit di bidang itu juga didapati beberapa temuan.

Pemilihan mitra dan pemberian modal kerja tidak didukung analisis dan jaminan yang memadai sehingga berpotensi merugikan perusahaan. Selain itu, mitra kerja sama perdagangan tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak sehingga berpotensi merugikan perusahaan. Pendapatan tidak tercatat secara akurat dan tepat waktu dan tidak dilaporkan seluruhnya. “Penyetoran pendapatan tidak sesuai prosedur,” demikian data yang diperoleh SH.

Di sisi lain, persediaan beras, gula, atau komoditas perdagangan yang sifatnya tidak tahan lama dan jumlahnya cukup besar, namun belum seluruhnya terjual, telah menimbulkan carrying cost dan berpotensi menurunkan kualitas.

Dari sisi pengendalian biaya, ada indikasi hasil pengadaan gabah, beras, ataupun komoditas perdagangan lainnya di bawah kualitas yang ditetapkan. Ini tentu merugikan pemerintah. Pengadaan barang-barang tersebut juga tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Rekanan menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan lain, rekanan terlambat menyelesaikan pekerjaan, dan rekanan tidak terdaftar.

Sumber : Sinar Harapan

http://sinarharapan.co/news/read/140826052/bulog-harus-diperkuat-span-span-span-span-

Dirut Bulog: Kembangkan Diversifikasi Berbasis Pangan Lokal

Selasa, 26 Agustus 2014

Jakarta, (Analisa). Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso menyatakan program diversifikasi atau penganekaragaman pangan harus berbasis pangan lokal bukan justru bahan pangan impor.

Menurut dia di Jakarta, Senin, pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah, apalagi di Indonesia banyak terdapat sumberdaya alam pendukungnya.

“Harus ada kemauan (mengembangkan berbasis pangan lokal) bersama-sama. Selain itu Diversifikasi berbasis pangan lokal harus diperkenalkan sejak dini,” katanya.

Mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu mengungkapkan sejumlah komoditas pangan lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai program penganekaragaman pangan pokok selain beras seperti ganyong, jagung, ubi, singkong dan waluh.

Sutarto menyayangkan program diversifikasi pangan yang terjadi selama ini justru mengganti beras dengan mengonsumsi makanan berbasis gandum yang merupakan komoditas impor, yang dampaknya justru meminggirkan pangan lokal.

Kondisi tersebut, tambahnya, terlihat dari tingkat konsumsi gandum yang meningkat sangat drastis yakni mencapai 7 juta ton dalam waktu 30 tahun.

“Pikiran kita ‘diracuni’ oleh para pelaku (usaha gandum). Gandum baru 30 tahun lalu dikenalkan secara masif namun konsumsinya sudah hampir 7 juta ton,” katanya.

Sutarto menegaskan, diversifikasi pangan berbasis pangan lokal bukan berarti mengganti total beras dengan komoditas pangan tersebut namun memanfaatkannya pada saat-saat tertentu.

Dia mencontohkan, dalam sehari masyarakat bisa makan dengan beras dua kali sedangkan yang sekali dengan bahan pangan lain baik ubi, singkong atau jagung.

“Atau dalam seminggu bisa menggunakan waktu dalam sehari tidak mengonsumsi beras namun pangan pokok yang lain,” katanya. (Ant)

http://analisadaily.com/news/read/dirut-bulog-kembangkan-diversifikasi-berbasis-pangan-lokal/57905/2014/08/26

Senin, 25 Agustus 2014

Pulihkan Kewenangan Bulog

Senin, 25 Agustus 2014

JAKARTA – Perum Bulog berharap pemerintah dapat memberikan kewenangan kepada BUMN pangan tersebut untuk menangani bahan pangan pokok selain beras yang saat ini menjadi tanggung jawabnya.

Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, di Jakarta, Jumat, menyatakan sejak penandatanganan letter of intent (LoI) Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998, pihaknya hanya diberikan kewenangan menangani beras dari yang sebelumnya sembilan bahan pokok. “Minimal sembilan bahan pokok bisa kita tangani lagi,” katanya di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Sutarto menyatakan bahan pangan pokok yang kewenangannya dapat diserahkan kembali ke Bulog tersebut di antaranya beras, gula, kedelai, daging, minyak goreng, cabai, bawang merah, bawang putih, sayuran, serta ikan.

Komoditas pangan yang penanganannya dapat diserahkan kepada Bulog tersebut, lanjutnya, ialah komoditas yang sangat berpengaruh pada inflasi. Selain itu, sebagian besar dibutuhkan masyarakat dan harganya sangat berfluktuasi dipengaruhi oleh produksi. “Yang sangat mendesak (bisa diserahkan ke Bulog) selain beras adalah gula, kedelai, daging, minyak goreng, dan ikan,” katanya. Ant/E-3

http://koran-jakarta.com/?18704-pulihkan%20kewenangan%20bulog

Sabtu, 23 Agustus 2014

Bank Pertanian

Sabtu, 23 Agustus 2014

PERHATIAN terhadap perlunya sebuah bank yang fokus membiayai sektor pertanian sudah sering diwacanakan.
Sebelum menjawab bagaimana sebaiknya pengelolaan pembiayaan untuk sektor pertanian di Indonesia, ada baiknya kita melihat bagaimana negara lain melakukan keberpihakan pada sektor pertanian dalam pembiayaan. Salah satu yang paling akurat dan relevan adalah menyimak kesuksesan yang dicapai Agricultural Bank of China (ABC).

Keberhasilan ABC yang fokus pada sektor pertanian memang termasuk spektakuler. Pada 2014, ABC berhasil menduduki peringkat keempat di Tiongkok dan peringkat ketujuh dunia dengan total aset per Desember 2013 sebesar 2.470,43 miliar dollar AS. Posisi kreditnya sekitar 1.225,58 miliar dollar AS atau sekitar 49,61 persen dari total aset.

Kinerja ABC selama tiga tahun terakhir (2011-2013) mampu mempertahankan tingkat non- performing loan (NPL) yang rendah, yaitu pada kisaran rata-rata 1,3 persen, dan memperoleh net interest margin (NIM) rata-rata pada kisaran 2,80 persen. Menurut Xiang Junbo (2011), keberhasilan ABC dari sisi perbankan karena ABC berusaha fokus dalam bisnisnya. Karena sudah fokus menyebabkan ABC mudah untuk melakukan inovasi produk, mengelola risiko menjadi lebih terukur, dan melakukan penerapan good corporate governance yang dilaksanakan secara konsisten.

Dua gagasan
Dengan menyimak keberhasilan ABC, pertanyaannya adalah apakah model seperti itu dapat diterapkan di Indonesia? Kalau kita akan langsung meniru ABC, tampaknya masih jauh karena diperlukan adanya reformasi di bidang pertanian dan agraria. Namun, sekadar merintis tentunya tidak ada kata terlambat. Untuk itu, ada gagasan yang barangkali yang dapat dikaji lebih lanjut.

Pertama, cara paling mudah adalah dengan menyatukan portofolio kredit pertanian dengan kolektabilitas lancar di semua bank pemerintah untuk kemudian dikelola oleh salah satu bank milik pemerintah lainnya yang paling banyak berpengalaman di sektor pertanian. Penyatuan pengelolaan kredit sektor pertanian tersebut mencakup kredit mikro, usaha kecil dan menengah, serta kredit korporasi.

Karena tidak semua kredit sektor pertanian berkolektabilitas lancar, di semua bank pemerintah dibentuk unit khusus untuk menampung kredit-kredit bermasalah di sektor pertanian. Tugas utama unit kerja tersebut adalah melakukan penyehatan kredit sehingga apabila sudah kembali lancar, bisa dipindahkan. Karena semua kredit bermasalah tidak memungkinkan lancar kembali, sisanya akan tetap dikelola bank yang bersangkutan.

Agar bank pemerintah yang mendapatkan penugasan tersebut benar-benar fokus ke sektor pertanian, kredit-kredit nonpertaniannya dipindahkan ke bank pemerintah lainnya. Ini dimaksudkan selain memindahkan portofolio kredit nonpertanian, juga agar tidak lagi terjadi ”perang saudara” di antara bank pemerintah seperti yang terjadi sekarang ini. Jadi, setiap tiap bank pemerintah mempunyai fokus bisnis secara sektoral yang berbeda.

Kedua, melakukan penggabungan semua bank syariah milik bank pemerintah dalam sebuah bank syariah, katakanalah namanya Bank Syariah Nasional Indonesia (BSNI). Bersamaan dengan penggabungan itu, secara bertahap dilakukan reorientasi fokus bisnis karena BSNI harus fokus ke sektor pertanian. Adanya BSNI jelas memberikan fleksibilitas bagi nasabah: apakah akan memilih bank konvensional atau syariah.

”Solusi antara”
Dengan memperhatikan kedua gagasan tersebut, dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan ”jalan pintas” atau ”solusi antara” untuk menciptakan cikal bakal bank pertanian. Untuk melaksanakannya tidak harus menunggu perubahan Undang-Undang Perbankan dan juga tidak menyimpang dari berbagai regulasi perbankan, baik secara domestik maupun internasional.

Sangat pasti masih banyak lagi gagasan lain yang lebih baik. Harus diakui bahwa gagasan tersebut juga bukan merupakan hal yang baru. Justru akan menjadi hal yang baru kalau dapat diwujudkan.

Krisna Wijaya
Praktisi dan Pengamat Perbankan

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140823kompas/#/6/

Bulog Berharap Bisa Tangani Bahan Pangan Pokok

Sabtu, 23 Agustus 2014

MedanBisnis - Jakarta. Perum Bulog berharap pemerintah dapat memberikan kewenangan kepada BUMN pangan tersebut untuk menangani bahan pangan pokok selain beras yang saat ini menjadi tanggung jawabnya.
Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso di Jakarta, Jumat (22/8) menyatakan, sejak penandatanganan leter of intens (LOI) pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998 pihaknya hanya diberikan kewenangan menangani beras saja dari yang sebelumnya sembilan bahan pokok.

"Minimal sembilan bahan pokok bisa kita tangani lagi," katanya di sela penandatanganan Komitmen Penerapan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) di Jakarta, kemarin.

Penandatanganan komitmen tersebut dilakukan Dirut Perum Bulog dengan disaksikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain.
Komoditas pangan yang penangananya dapat diserahkan ke Bulog tersebut, lanjutnya, yakni komoditas yang sangat berpengaruh terhadap inflasi.

Namun jika tidak ada, lanjutnya, harus ada penyeimbang dalam mengatasi gejolak harga yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini melalui Perum Bulog.

"Kalau tidak (ada penyeimbang) akan terjadi kejadian seperti ini terus setiap tahun," kata mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu.

Sutarto menyatakan, untuk melakukan stabilisasi harga pangan pokok tidak bisa dilakukan tanpa intervensi pemerintah pada saat-saat tertentu yang ditugaskan kepada Bulog.

Pada kesempatan itu dia juga mengatakan, Bulog harus menjaga ketersediaan beras sebanyak dua juta ton pada akhir tahun yang mana setara dengan kebutuhan selama tujuh hingga delapan bulan ke depan.(ant)

http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/08/23/113215/bulog_berharap_bisa_tangani_bahan_pangan_pokok/#.U_f2sMV_uWg

Bulog Libatkan KPK Kendalikan Gratifikasi

Jumat, 22 Agustus 2014

Pimpinan KPK secara simbolik menyerahkan Drop Box Pelaporan Gratifikasi kepada Direktur Utama Perum Bulog (Foto: Humas KPK)Pimpinan KPK secara simbolik menyerahkan Drop Box Pelaporan Gratifikasi kepada Direktur Utama Perum Bulog (Foto: Humas KPK)

Tak hanya menjaga stabilitas harga pangan, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) kini juga mengendalikan gratifikasi dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Program Pengendalian Gratifikasi (PPG). Bertempat di Gedung Oryza, Jalan Gatot Subroto Kav. 49, Jakarta Selatan pada Jumat (22/8), Wakil Ketua KPK Zulkarnain dan Direktur Utama Perum. Bulog Sutarto Ali Moeso menandatangani nota kesepahaman (MoU).

Menanggapi kerja sama ini, Zulkarnain menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan wujud komitmen Perum. Bulog dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi secara simultan. “Tidak hanya mengoptimalkan pengawasan internal, tetapi juga perlu dengan menggandeng KPK,” katanya.

Zulkarnain mengingatkan, setiap insan Bulog wajib menjaga dirinya dari praktik dan tindakan yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. “Karena itu, program pengendalian gratifikasi ini menjadi sangat penting,” katanya.

Sementara itu, Sutarto mengapresiasi kerja sama ini. Ia mengatakan, pihaknya akan berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi dan perbaikan sistem. “Kami adalah Bulog yang baru. Kami benar-benar berkomitmen, walaupun pahit rasanya,” kata Sutarto.

Pembenahan yang dilakukan, selain melalui kerjasama PPG ini, pihaknya juga telah memperbaiki sejumlah peraturan direksi, mengoptimalkan sistem pengawasan melekat serta menerapkan pakta integritas bagi pejabat internal. “Itu bisa menjadi pertahanan agar tidak mudah tergoda,” katanya.


(Humas)

http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/2095-bulog-libatkan-kpk-kendalikan-gratifikasi

Jumat, 22 Agustus 2014

Bulog bertekad hilangkan praktik gratifikasi

Jumat, 22 Agustus 2014

Jakarta (ANTARA News) - Perum Bulog bertekad menghilangkan praktik suap atau gratifikasi di lingkungan BUMN pangan tersebut hingga ke seluruh mitra kerjanya.

Tekad tersebut diimplementasikan dengan melakukan penandatanganan Komitmen Penerapan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) oleh Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso di Jakarta, Jumat, dengan disaksikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain.

"Dengan adanya komitmen ini kami akan lebih tegas dalam menegakkan aturan terhadap gratifikasi. Kami tidak akan main-main," kata Sutarto Alimoeso, menegaskan.

Dia menyatakan, pihaknya ingin mengembalikan citra Bulog yang sempat terpuruk, menjadi lebih baik lagi dalam membangun kedaulatan pangan.

"Kami ingin mengembalikan citra Bulog yang bersih, tak ada korupsi ataupun gratifikasi," ucapnya.

Mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu menyatakan, Perum Bulog saat ini merupakan Bulog baru yang ingin membangun perusahaan dengan profesionalisme yang tinggi.

Pada kesempatan itu Soetarto menyatakan, saat ini Perum Bulog memiliki karyawan sebanyak 4.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia meliputi 600 lokasi serta 400 orang di Jakarta.

Selain itu, tambahnya, Bulog memiliki aset berupa gudang sebanyak 1.580 unit dengan kapasitas simpan 4 juta ton beras yang dibangun sekitar tahun 1970-1980-an.

"Gudang-gudang tersebut masih dalam kondisi bagus untuk menyimpan beras maupun gabah dalam rangka pengendalian harga," ujarnya.

Sementara itu Zulkarnai mengungkapkan, dari hasil penelitian pihaknya terungkap lebih dari 30 persen masyarakat menganggap tindakan gratifikasi atau suap sebagai hal yang biasa.

http://www.antaranews.com/berita/449734/bulog-bertekad-hilangkan-praktik-gratifikasi

Bulog : Pengadaan Beras di Poso Tertinggi

Jumat, 22 Agustus 2014

Palu (ANTARA Sulsel) - Kepala Perum Bulog Sulawesi Tengah, Mar'uf mengatakan realisasi pengadaan beras untuk kebutuhan stok nasional di daerah itu terbesar di Kabupaten Poso.

"Sampai sekarang ini realisasi pengadaan beras di daerah bekas dilanda konflik tersebut sudah mencapai 6.452 ton," katanya di Palu, Jumat.

Ia mengatakan kegiatan pengadaan di Kabupaten Poso selama Januari sampai medio Agustus 2014 ini berjalan cukup bagus dibandingkan daerah lainnya di Sulteng.

Padahal, katanya lumbung beras Sulteng adalah Kabupaten Parigi Moutong, Donggala dan Banggai.

Menurut dia, kegiatan pengadaan di Poso yang dilakukan Sub Divisi Regional (Divre) Poso cukup berhasil.

Itu bisa kita lihat dari realisasi pengadaan yang saat ini sudah mencapai 6.452 ton atau tertinggi di Sulteng.

Sementara Kabupaten Parigi Moutong, Donggala dan Sigi, pengadaan baru 4.773 ton.

Sedangkan pengadaan di Kabupaten Banggai yang merupakan salah satu lumbung beras di Sulteng hingga kini baru 1.082 ton. Menyusul Kabupaten Tolitoli 1.957 ton.

Total realisasi pengadaan beras di Sulteng selama delapan bulan ini baru sekitar 14 ribu ton dari target yang ditetapkan Bulog Sulteng pada musim panen 2014 ini sebanyak 47 ribu ton.

Dia mengaku pengadaan pada musim tanam pertama dan sekarang ini memasuki musim tanam kedua berjalan sedikit seret dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun-tahun sebelumnya, misalkan priode Januari Agustus 2012 dan 2013 realisasi pengadaan beras di Sulteng sudah diatas 20 ribu ton.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pengadaan seret. Faktor dimaksud adalah harga beras dipatok pengumpul cukup tinggi yaitu berkisar Rp7.200,00 per kilogram.

Bulog Sulteng membeli beras petani sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) beras ditetapkan Rp6.600,00 per kilogram.

Faktor lainnya adalah produksi petanu menurun akibat dampak dari musim kekeringan dan juga puso karena hama dan bencana alam. B. Suyanto

http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/57330/bulog--pengadaan-beras-di-poso-tertinggi

Bulog Sulteng Terpaksa Datangkan Kedelai dari Surabaya

Jumat, 22 Agustus 2014

PALU - Perum Bulog Sulawesi Tengah telah mendatangkan kedelai dari Surabaya untuk memenuhi permintaan pengusaha tahu dan tempe di daerah itu.

"Tahap pertama ini kami datangkan tiga ton kedelai dari Surabaya," kata Kepala Perum Bulog Sulteng Mar'uf di Palu, Kamis.

Ia mengatakan, Bulog terpaksa mendatangkan kedelai dari luar daerah atas permintaan sejumlah pengusaha tahu dan tempe di Palu, Parigi Moutong dan Tolitoli.

Di Tolitoli ada empat pengusaha tempe dan tahu membutuhkan bahan baku (kedelai) 10.000 ton setiap bulannya. Belum lagi para pengusaha tahu dan tempe yang ada di Kota Palu dan Parigi Moutong.

Menurut dia, sebenarnya permintaan kedelai di Sulteng cukup tinggi tapi selama ini kedelai banyak didatangkan dari luar daerah, termasuk impor.

Petani di Sulteng belum begitu bergairah menanam kedelai, terbukti sangat minim kedelai produksi lokal dijual di pasar-pasar.

"Meski ada dijual, tetapi stoknya terbatas, padahal Bulog Sulteng siap membeli produksi petani berapa saja banyaknya," kata Mar'uf.

Pemerintah kabupaten dan kota perlu mendorong petani untuk mengembangkan tanaman kedelai, sebab pasarnya sangat menjanjikan.

Di semua kabupaten dan kota di Sulteng saat ini banyak penjual makanan. Di ibu kota Provinsi Sulteng dalam beberapa tahun terakhir, rumah makan, restoran dan warung-warung tumbuh seperti jamur.

Belum lagi pedagang makanan keliling cukup banyak di Palu. "Ini kesempatan baik bagi petani menanam kedelai dalam jumlah banyak, sebab kebutuhan dipastikan terus meningkat," katanya.

Seandainya stok kedelai di Sulteng bisa memenuhi kebutuhan sendiri, maka tidak perlu lagi mendatangkan kelelai dari luar daerah yang tentu harganya dan biaya transportasi cukup tinggi.

http://sinarharapan.co/news/read/140821027/bulog-sulteng-terpaksa-datangkan-kedelai-dari-surabaya

Kamis, 21 Agustus 2014

Bulog Sulteng Mulai Jual Ikan Tuna

Kamis, 21 Agustus 2014

Palu (antarasulteng.com) - Bulog Sulawesi Tengah dalam usaha komersial merencanakan untuk mengembangkan beberapa usaha baru, di antaranya menjual ikan tuna guna menambah penghasilan perusahaan.

"Dalam waktu dekat ini bisnis ikan tuna akan digarap Bulog Sulteng," kata Kepala Perum Bulog setempat, Mar`uf di Palu, Kamis.

Ia mengatakan Bulog akan membeli ikan tuna dari nelayan atau pedagang dan selanjutnya akan dijual kembali ke sejumlah daerah di tanah air.

Menurut dia, sudah ada pengusaha yang telah bekerja sama dengan Bulog dalam hal bisnis ikan tuna.

Kedua pengusaha yang sudah pasti akan membeli semua ikan tuna yang ditampung Bulog Sulteng tersebut di Bali dan Makassar.

Mereka pada prinsipnya sudah siap untuk merealisasikan bisnis dimaksud.

Mar`uf mengaku hingga kini belum ada kesepakatan mengenai berapa besar yang dibutuhkan setiap hari atau bulan.

"Begitu pula soal harga belum disepakati," katanya

Yang sudah pasti adalah jenis ikan tuna yang akan dibeli Bulog Sulteng dan dijual kepada pengusaha di Bali dan Makassar terdiri dua jenis.

Jenis ikan tuna besar khusus dijual kepada pengusaha di Bali dan jenis ikan tuna bayi dijual ke Makassar. "Dua jenis ikan tuna ini yang mereka pesan," katanya.

Ia mengatakan untuk kelancaran bisnis ikan tuna, Bulog Sulteng tentu akan menjalin kerja sama dengan para nelayan atau pedagang pengumpul.

Bisnis baru Bulog Sulteng tersebut jika dijalankan dengan baik dan profesional,niscaya akan menambah penghasilan Bulog secara keseluruhan.

Soal stok ikan tuna di perairan Sulteng cukup besar sehingga tidak akan sulit untuk didapatkan. Perairan Sulteng cukup luas dan ikan tuna sangat banyak.

Selain bisnis ikan tuna, Bulog Sulteng juga sudah mulai membeli kedelai untuk memenuhi kebutuhan pasar di provinsi itu.

Bulog Sulteng sejak dua tahun terakhir telah mandiri dalam hal penyediaan pangan, khususnya beras. "Kami tidak lagi tergantung dari luar," katanya.

Dengan penambahan beberapa usaha, termasuk nanti perdagangan ikan tuna,niscaya Bulog Sulteng semakin mandiri.

http://www.antarasulteng.com/berita/15693/bulog-sulteng-mulai-jual-ikan-tuna

Wamentan Harapkan Bulog Membeli Kedelai Petani Seharga Rp 7.500

Rabu, 20 Agustus 2014

KBRN, Jakarta : Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Rusman Heriawan menyatakan pemerintah akan memperjuangkan hak-hak petani kedelai di seluruh tanah air. Komoditi kedelai ditanah air harus disesuaikan harga jualnya dengan tawaran harga dari petani kedelai.

Menurut Rusman, jika kedelai petani hanya di hargai Rp 6.000 per kilonya oleh Bulog, maka petani tidak akan semangat untuk menanam kedelai. Karena itu, pihaknya mengupayakan Bulog dapat membeli kedelai petani dengan harga Rp 7.500/kg sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No 84/M-DAG/PER/12/2013.

"Kami akan terus mendorong pemerintah agar dapat mensejahterakan petani di tanah air. Apabila Bulog tidak membeli seperti harga yang ditetapkan, maka dikhawatirkan para petani akan merasa kecewa, dan malah para petani tidak mau lagi menanamnya," tuturnya kepada RRI, Rabu (20/8/2014).

Lebih lanjut, Rusman menambahkan, para petani juga harus menjaga kacang kedelainya dengan bagus maksimum harus sesuai standar air 14 persen. Jika tidak terpenuhi, maka harga jual akan menjadi rendah.

"Para petani juga harus menjaga kadar airnya, yaitu maksimum 14 persen, kalau tidak dijaga nanti harganya akan rendah alias turun," tambahnya. (LS/Emanrero/DS)

http://www.rri.co.id/post/berita/98063/ekonomi/wamentan_harapkan_bulog_membeli_kedelai_petani_seharga_rp_7500.html

Rabu, 20 Agustus 2014

Bulog Sulut "Blusukan" Jual Gula

Rabu, 20 Agustus 2014

Bersamaan dengan penyaluran beras masyarakat miskin.

MANADO - Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Utara menjual gula pasir hingga pelosok desa di provinsi tersebut guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Kami memasarkan gula kristal putih (GKP) hingga ke pelosok desa di Sulut," kata Kepala Perum Bulog Sulut Yayan Suparyan di Manado, Rabu.

Ia mengatakan, Bulog memasarkan gula pasir sekaligus dengan penyaluran beras masyarakat miskin sehingga menyentuh hingga warga di pedesaan.

Dia mengatakan, Bulog telah menjual gula GKP 20 ton sejak awal Juli 2014 hingga saat ini.

Gula pasir itu dijual melalui bazar, operasi pasar, maupun ke pedagang yang mempunyai izin perdagangan berupa pangan juga ke pedesaan.

"Realisasi penjualan GKP di Sulut sebanyak 20 ton dijual hingga ke pelosok desa," katanya.

Pihaknya telah ditugaskan oleh pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk menjaga stabilitas harga pasar dan menjual gula pasir di provinsi itu.

"Kami mulai tahun ini diberikan tugas oleh Kementerian Perdagangan untuk penyediaan stok gula pasir dalam negeri," katanya.

Tantangan untuk melaksanakan tugas itu, katanya, memang ada karena masih banyak gula impor yang beredar di pasar tradisional maupun swalayan di Kota Manado dan sekitarnya.

Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut Hanny Wajong mengakui memang gula pasir yang beredar di sentra perdagangan Sulut masih ada gula impor dan juga GKP.

"Gula impor ini memang diperuntukkan bagi industri kecil dan menengah di Sulut, sehingga ada yang dijual eceran karena banyak IKM yang belum mampu membeli gula dalam bentuk yang cukup banyak," katanya.

Saat ini, harga gula rafinasi di sentra perdagangan Kota Manado Rp 11.500 per kilogram dan GKP Rp 10.750 per kilogram.

http://sinarharapan.co/news/read/140820009/bulog-sulut-blusukan-jual-gula

Merdeka dari Impor Pangan

Rabu, 20 Agustus 2014

TEMPO.CO, Jakarta -Kadir, bekerja di BPS

Tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) berencana mengimpor beras sebesar 500 ribu ton untuk memperkuat cadangan beras nasional. Dari rencana impor sebanyak itu, yang sudah direalisasi sekitar 50 ribu ton (Antara, 8 Agustus).

Di tengah ingar-bingar perayaan hari kemerdekaan nasional, impor beras tersebut kembali mempertegas satu hal: Indonesia belum merdeka dari jebakan impor pangan. Padahal, negeri yang luas daratannya mencapai 188 juta hektare ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan tanah yang melegenda. Bukankah di negeri yang subur ini, "tongkat kayu bisa jadi tanaman"?

Ironisnya, bukan hanya beras yang kita impor. Data statistik menunjukkan, nyaris semua komoditas pangan strategis negeri ini harus dicukupi dari impor. Selamadasawarsa terakhir, tujuh komoditas pangan utama yang mencakup gula, kedelai, jagung, beras, bawang merah, daging sapi, dan cabai harus dicukupi dari impor.

Seolah tak bisa direm, tren impor pangan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam sepuluh tahun terakhir,impor tujuh komoditas pangan utama tersebut meningkat rata-rata 58 persen per tahun. Seandainya ketujuh komoditas pangan tersebut tak bisa dihasilkan oleh petani kita, mungkin bisa dimaklumi. Tapi, faktanya, negeri ini pernah swasembada, bahkan berjaya, sebagai eksportir pada sebagian besar komoditas tersebut. Tengoklah catatan berikut.

Sebelum merdeka, Nusantara adalah pengekspor gula terbesar di dunia. Hingga 1970-an, kita termasuk salah satu pengekspor sapi. Pada 1984, kita swasembada beras dan gula, bahkan mampu mengekspor beras ke luar negeri, sehingga membikin harga beras di pasar internasional jatuh dari US$ 250 per ton menjadi US$ 150 per ton. Satu tahun kemudian hingga 1995, kita juga berhasil swasembada kedelai.

Kini, situasinya justru terbalik. Secara faktual, lebih dari separuh kebutuhan gula nasional harus diimpor. Tahun lalu, kita juga harus mengimpor setara dengan 700 ribu ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Dalam soal beras, kita sering dituduh sebagai biangkerok melambungnya harga beras di pasar internasional karena terlalu banyak mengimpor. Kita juga kerap dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung karena 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor.

Miris!Itulah faktanya. Pemerintah saat ini boleh saja berbangga dengan segala pencapaian pembangunan yang berhasil direngkuh selama sepuluh tahun terakhir. Namun, dalam soal kemandirian pangan, nyaris tak ada prestasi yang bisa dibanggakan.

Kapasitas produksi pangan memang berhasil digenjot. Tapi, pada saat yang sama, hal itu tak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan perbaikan daya beli masyarakat, dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus bertumbuh. Alhasil, pemerintah terbukti telah gagal dalam mewujudkan swasembada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.

Karena itu, harapan agar negeri ini merdeka dari impor pangan ada pada pemerintah mendatang.Janji duet Jokowi-JKuntuk mewujudkan swasembada pangan, setidaknya untuk komoditas strategis seperti beras dan gula, harus dibuktikan.

Selasa, 19 Agustus 2014

Membawa Perubahan demi Rakyat

Senin, 18 Agustus 2014

Indonesia patut bersyukur dikaruniai putra-putri terbaik. Di antara mereka adalah orang-orang yang kini diberikan tanggung jawab memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dengan tangan dingin, mereka berhasil membawa badan usaha tersebut berjaya dan berdampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas kontribusi mereka tidak berlebihanbilaorang- oranginidisebutsebagai tokoh perubahan. Salah satu tokoh pembawa perubahan itu adalah Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Sutarto Alimoeso. Salah satu upaya suksesnya adalah membangun pusat distribusi (distributrion center ) untuk bahan pangan, BulogMart.

Selama ini mata rantai bahan pokok untuk sampai ke masyarakat sangat berantai, namun adanya BulogMart kini mempercepat dan mempermudah menjangkau kebutuhan warga. “Jadi jangan dianggap BulogMartinisebagaitokoritelbiasa. Kami bermaksud menjadikannya sebagai pusat distribusi pangan,” ungkap Sutarto kepada KORAN SINDO, Sabtu (16/8). Menurutdia, hinggasaatiniBulogMart sudah ada di 243 lokasi, termasuk di Semarang, Malang, Bandung, Makassar, dan Lampung.

Kehadiran BulogMart di berbagai daerah bukan ingin memonopoli, tapi lebih pada sebagai penyeimbang. Pasalnya, arus perdagangan bahan pokok kerap terjadi gejolak harga, kecuali beras karena sudah ada Bulog. “Karena itu, distribution center ini bisa menjadi stabilisator atau penyeimbang harga bahan pokok ke depan. Ia juga bisa melakukan operasi pasar sewaktuwaktu,” tutur Sutarto. Supaya tidak menjadi monopoli, di tingkatan hulu Bulog melakukan kerja sama dengan kelompok petani dan pelaku penggilingan padi. Bulog juga memiliki Unit Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB).

Apalagi, sejak tahun lalu sudah adaunitusahajasalogistikyangkinerjanya mendistribusikan ke semua wilayah. Anak usaha ini sudah dilepas dalam bentuk anak perusahaan, yaitu PT Jasa Prima Logistik (PT JPL) yang bergerak di bidang logistik, survei, dan pemberantasan hama. Sutarto berharap, di masa datang pemerintah bisa membentuk badan otoritas pangan yang mengurusi stabilitas harga bahan pokok di dalam negeri. Karena jika tetap tidak ada, dipastikan akan terus terjadi gejolak harga pangan sewaktu- waktu.

“Menurut saya, yang paling siap untuk menjadi badan otoritas pangan ya Bulog, karena kita memiliki cabang di semua wilayah. Dengan begitu, Bulog dapat berperan lebih sebagai stabilitator harga pangan. Antara produsen dengan konsumen juga tidak akan dirugikan,” ucap Sutarto. Sutarto menjabat sebagai Dirut Bulog pada 2009. Sebelumnya dia bertugas sebagai Dirjen Tanaman Pangan di Kementerian Pertanian (Kemenpan). Namun karena prestasinya yang cemerlang dengan berhasil menciptakan swasembada beras pada 2008, dia kemudian diamanahi menjabat sebagai Dirut Bulog. Terakhir, bangsa ini sukses mengalami swasembada pangan pada 1984 atau 24 tahun sebelum Sutarto memimpin Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.

Dengan keberhasilan mencapai swasembada beras itu, tugas Bulog dalam menyangga harga beras menjadi sangat terbantu. Ketika Sutarto memimpin Bulog, berbagai prestasi lain pun banyak yang sudah diwujudkannya. Selain Sutarto, tokoh lain pembawa perubahan adalah Direktur Utama PT SaranaMultigriyaFinansial(SMF ) Persero Raharjo Adisusanto. Melalui perusahaan yang dipimpinnya, dia berjasa memperkenalkan program refinancing kredit pemilikan rumah fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR FLPP) sebagai salah satu solusi bagi bank dalam mengatasi mismatch jangkawaktusumber pendanaan dan mendukung suku bunga tetap, sampai dengan jatuh tempo.

Di bawah kendali Raharjo, salah satu BUMN ini sukses mendukung dan mengembangkan pembiayaan perumahan rakyat yang berkesinambungan. Keaktifan SMF dalam refinancing KPR tidak lain untuk tujuan kemanusiaan agar semakin banyak warga berpendapatan menengah ke bawah bisa memiliki rumah yang layak. Dalam merealisasikan hal itu, SMF banyak bekerjasama dengan sejumlah perbankan.

Misalnya pada 2012, SMF menggelontorkan dana senilai Rp500 miliar kepada Bank Tabungan Negara (BTN) untuk FLPP. Pemberian dana dengan nilai yang sama juga kembali dilakukannya pada tahun lalu. Bahkan, sejak 2011 SMF juga telah berpartisipasi dalam penandatanganan nota kesepahaman Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dengan tiga BPD yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau.

Sementara di awal tahun 2014, SMF menggandeng PT Bank Banten Syariah (BJB Syariah) dengan menggelontorkan dana senilai Rp13 miliar untuk refinancing KPR syariah. “Kerja sama ini adalah upaya SMF mendukung pembiayaan KPR Syariah di Indonesia. Kami memfasilitasi pembiayaan jangka menengah/panjang dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan,” ujarRaharjobeberapawaktulalu.

Upaya kerja sama SMF dengan berbagai pihak perbankan dalam pembiayaan KPR FLPP menunjukkan sikap konsisten salah satu BUMN tersebut dalam mendukung tersedianya kepemilikan rumah bagi rakyat. Apalagi, harga properti saat ini semakin tinggi sehingga menyulitkan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah untuk membelinya.

Karena itu, dengan totalitas dan jiwa kemanusiaan yang dimiliki Raharjo, program ini menjadi angin segar bagi publik. Mereka akan semakin diringankan bebannya, terlebih sudah menjadi tugas bagi pemerintah untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat. ●nafinafi muthohirin

http://www.koran-sindo.com/node/413134

Senin, 18 Agustus 2014

Subsidi BUMN Pangan Harus Tepat Sasaran

Senin, 18 Agustus 2014

Salah satu cara mengoptimalkan subsidi itu adalah memperbaiki mekanisme subsidi Bulog.

JAKARTA - Laju pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti kenaikan kebutuhan pangan. Oleh karena itu, pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 harus memberikan perhatian serius terhadap upaya realisasi ketahanan pangan.
Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang membidangi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bahrullah Akbar mengatakan, pembangunan lahan pertanian sekitar 2 juta ha per tahun, yang selama ini, selalu dalam rencana harus direalisasikan.

“Ini untuk mengantisipasi lonjakan pertumbuhan penduduk yang setiap tahunnya meningkat,” katanya kepada SH, Senin (18/8) pagi.

Selain itu, menurutnya subsidi yang dikelola BUMN pangan harus digunakan secara optimal dan maksimal, jangan sampai salah sasaran.

Salah satu cara mengoptimalkan subsidi itu adalah memperbaiki mekanisme subsidi Bulog. Terkait hal ini, setiap tahun BPK selalu memberikan rekomendasi kepada Perum Bulog maupun ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Selain Bulog, yang harus diperhatikan pemerintah adalah keseriusan membangun BUMN pupuk, memberi porsi yang seimbang ke Pertani dan Sang Hyang Sri,” ia memaparkan.

Bahrullah menambahkan, pekan lalu, ia dan jajarannya melakukan pemantauan lapangan yang dalam rangka supervisi audit. Saat melakukan supervisi di Perum Bulog, Bahrullah mendapati kondisi gudang yang perlu direvitalisasi. “Dari sisi kuantitas, gudang kita masih cukup. Cuma, dari tinjauan di lapangan, masih terdapat hal yang perlu diperbaiki,” ujarnya.

Ia berpendapat, pemerintahan baru harus menjadikan gudang sebagai mata rantai sistem manajemen logistik nasional untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas keberhasilan program ketahanan pangan.

Pemerintah juga harus mampu menyinergikan para pihak terkait (stakeholder) membangun kemandirian pangan. “Menurut hemat BPK, apa yang ada saat ini masih jauh dari langkah-langkah tersebut,  Kementerian Pertanian, Pemda (Pemerintahan Daerah),  BUMN harus duduk bersama-sama,” katanya.

Terkait dengan impor beras, ia mengatakan, beras impor diperlukan untuk buffer stock. Oleh karena itu, program kecukupan pangan yang berhasil saat ini harus diimbangi sistem pemberian subsidi yang tepat guna.

Begitu pula arah subsidi beras untuk orang miskin (raskin) dan pupuk, serta pembangunan infra struktur lahan. “Terkait impor ini, BPK menemukan fakta struktur biaya penyimpanan dan biaya angkut beras impor belum efesien,” katanya.

Konsep Holistik
 Indonesia ke depan harus mampu membuat program aksi ketahanan pangan lebih holistik, dengan konsep manajemen logistik yang komprehensif didukung semua stakeholder. Untuk merealisasikannya, pemerintah perlu mendesain ulang program ketahanan pangan nasional melalui program Lumbung Pangan Nasional (logistic center).

Sebagai program nasional, ini perlu mendapat payung hukum yang jelas, seperti peraturan presiden (perpres) atau peraturan pemerintah (PP). Realisasinya harus melibatkan kerja sama (gotong-royong) semua kalangan, khususnya pemegang kebijakan, yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, pemerintah daerah, serta dunia usaha (swasta). Sampai 2013, tercatat 5.000 perusahaan swasta sudah terlibat dalam proyek pangan di Indonesia.

Peneliti Pusat Kajian Keuangan Negara (Pusaka Negara), Prasetyo Adi berharap, pemerintahan baru mendatang dapat meletakkan kedaulatan pangan sebagai prioritas. “Presiden baru perlu menerjemahkan politik pangan yang  mencerminkan visi kemandirian ekonomi, yang melibatkan Pertani sebagai subjek, bukan objek,” tuturnya.

Ia menambahkan, gagasan program Lumbung Pangan Nasional dalam kerangka mewujudkan kedaulatan pangan, patut menjadi pertimbangan pemerintahan yang baru. “Dalam tataran teknis, kita memerlukan menteri yang memahami politik pangan dan menempatkan pangan sebagai program strategis lima tahun mendatang,” ujarnya.

Oleh karena itu, presiden baru harus menunjuk menteri-menteri yang cakap dan ahli. “Khususnya menteri BUMN dan menteri pertanian, sebagai garda terdepan dalam menerjemahkan kedaulatan pangan,” katanya.

Sumber : Sinar Harapan

http://sinarharapan.co/news/read/140818097/subsidi-bumn-pangan-harus-tepat-sasaran-span-span-


Adakah Kemerdekaan Pangan?

Senin, 18 Agustus 2014

HUT PROKLAMASI adalah urusan kemerdekaan. Berdasarkan falsafah kebutuhan sandang-pangan-papan, sudah tentu kemerdekaan pangan menjadi hal utama untuk diwujudkan guna mengikis habis penjajahan pangan  yang  berimplikasi kolonialisasi dan imperialisasi baru. Bung Karno, tahun 1965, sudah mengingatkan akan bahaya kolonialisasi baru melalui antek-antek Nekolim, Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme.
Enam puluh sembilan tahun berjalan. Kemerdekaan pangan RI ternyata masih terseok. Sekurangnya kesimpulan itu bisa diangkat dari hasil survey Badan Pusat Statistik. Data  mutakhir menyebutkan importasi pangan 2013 mencapai 14,90 miliar dollar AS, empat kali lipat dibandingkan angka importasi sepuluh tahun sebelumnya (2003) yang hanya 3.34 miliar dollar AS. Menyedihkannya, angka tersebut tidak pernah bersih dari importasi lima pangan strategis, beras-gula-kedele-jagung-daging sapi, yang ditargetkan swasembada 2014.
Sungguh kemunduran kemerdekaan pangan yang teramat akut. Itulah yang menyebabkannya selalu menarik diangkat sebagai isu debat visi dan misi dalam kampanye pilpres lalu. Lebih responsif lagi adalah menguatnya semangat swasembada dan kedaulatan pangan yang dilontarkan oleh tim sukses capres terpilih: Jokowi-JK, utamanya untuk pangan strategis.
Apresiasi publik sangat gegap gempita. Swasembada beberapa pangan pokok kini akan menjadi realita setelah selama ini target swasembada tidak pernah menjadi kenyataan. Yang pasti, apresiasi itu tidak akan pernah memaklumi, jika nanti  Pemerintah Jokowi-JK ternyata mengulangi kegagalan swasembada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), dan swasembada gagal dan mundur lagi.
Persiapan untuk itupun dibangun cermat. Penguatan pangan dalam Nawa Cita, pengutamaan pangan dalam Trisakti, efektifitas kiprah Rumah Transisi, sampai rancang bangun struktur kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK selepas pelantikan. Persiapan semakin konkrit, dan bisa disimpulkan dalam wacana perampingan kabinet atas nama efisiensi dan efektifitas.
Wacana perampingan kabinet mengarah pada peleburan 2-3 kementerian menjadi satu. Khusus untuk urusan pangan telah muncul wacana peleburan Kementerian Pertanian, Kemenhut dan Kementerian Kelautan-Perikanan. Wacana ini muncul berdasarkan perlunya koordinasi intensif kementerian terkait agar lebih terkendali, mengarah kepada swasembada. Jelas sekali asumsinya. Gagalnya swasembada karena gagalnya produksi domestik. Produksi tentu sangat penting dan harus didukung sejumlah upaya perlindungan. Akan tetapi, perampingan bisa menjadi blunder pengulangan gagal ketika asumsinya teramat sederhana.
Berbicara produksi, tentu JKW-JK tidak pernah boleh melupakan sejarah, yang mengajarkan rivalitas akut Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam urusan pangan. Anekdotnya, bagai ayam dan telor. Produksi gagal maka Menteri Perdagangan import pangan. Sementara, menurut Menteri Pertanian, karena banyak impor murah maka produksi tidak optimal sehingga gagal meraih swasembada. Nyatanya, peperangan antara perlindungan produksi di satu sisi, dan memuncaknya importasi pangan di pihak lain itulah masalahnya.
Rivalitas itu nampak pada setiap kali krisis pangan. Dalam setahun terakhir, percekcokan antara dua kementerian itu sekurangnya nampak dalam krisis daging sapi, importasi gula mentah, pro-kontra importasi beras, krisis tahu-tempe, importasi horti, dan aneka krisis pangan lain. Semua itu membuktikan betapa tidak berartinya segala upaya perlindungan produksi domestik, setelah pasar pangan dijajah importasi sejumlah komprador.
Dalam urusan perlindungan sebenarnya, UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, sudah jelas mensiratkan pentingnya perlindungan bagi produksi pangan domestik, utamanya perlindungan perdagangan dari bahaya importasi. Dari sudut pandang perlindungan, proteksi perdagangan ternyata lebih hebat dampaknya. Karena itu perampingan dan kementerian baru menjadi tidak ada maknanya. Ketika kita tidak punya power menangkal bahaya importasi, tidak kuat pengaruhnya terhadap sistem tataniaga. Karena semua itu kalah kuat dengan syahwat rente importasi. Atau  ketika kementerian baru itu senantiasa takluk kepada segelintir komprador, antek-antek Nekolim.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Guru Besar UGM)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3246/adakah-kemerdekaan-pangan.kr

Jumat, 15 Agustus 2014

Pemkab Respon Gudang Bulog di bangun Disarolangun

Jumat, 15 Agustus 2014

The Jambi Times - Sarolangun  - Dalam waktu dekat bakal memiliki gudang Bulog,pasalnya selama ini jika untuk stok beras untuk masyarakat sarolangun masih bergabung dengan bulog bangko,namun di rencanakan  bangunan gudang beras bulog tidak lama lagi akan dirikan, bahkan Pemerintah Kabupaten Sarolangun merespon positif akan diadaknnya bangunan Gudang Beras Bulog tersebut di Sarolangun, dan Pemerintah Daerah Bumi Sepucuk Adat serumpun pseko akan menyediakan lahan untuk banguan gudang tersebut.

Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Daerah Sarolangun Thabroni Rozali saat dijumpai dikerjanya kemarin (14/08) mengatakan bahwa, dengan akan di adakannya bangunan gudang tersebut tentu saja dapat membantu para petani.

“tentu distribusi beras akan semakin dekat, dan tentu kita Merespon baik jika pembangunan gudang beras bulog tersebut,di bangun di sarolangun “katanya.

Selain dari itu, Sekretaris Daerah juga menyampaikan bahwa, pemerintah Daerah telah memiliki lahan yang kosong untuk pembangunan demi kemajuan Sarolangun.

“Kita siap, jika betul- betul itu ada, bahkan lahan kita sudah ada seluas 150 hektar, dan lahan tersebut tidak jauh dari lingkungan perkantoran gunung kembang ini, namun tergantung kepada pihak bulog saja lagi mintanya dibangun dimana, “Ungkapnya singkat.

Bahkan pihaknya juga akan berusaha untuk bisa segera terwujudkany gudang Bulog,sebab di lihat dari manfaatnya cukup besar bagi masyarakat sarolangun.

‘’Gudang bolug juga sangat penting,sebab manfaat yang di rasakan masyarakat sarolangun sangat banyak,jika gudang bulog bisa di bangun di sarolangun tentu saja semakin mempermudah masyarakat untuk berurusan dengan Bulog’’tegasnya.

Sekda juga menghimbau kepada seluruh masyarakat Sarolangun agar sekiranya tetap mendukung program Pmerintah Daerah dalam melakukan pembangunan agar sarolangun kedepannya tetap maju.

“Saya harap kepada seluruh masyarakat Sarolangun baik di pelosok desa atau dimanapun berada agar tetap mendukung program pemrintah daerah dalam memajukan Sarolangun ini, “Tandasnya,(yan)

http://www.thejambitimes.com/2014/08/pemkab-respon-gudang-bulog-di-bangun.html

Tetap Impor Beras Padahal Produksi Surplus, Ini Alasannya

Kamis, 14 Agustus 2014

Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Impor pada dasarnya menunjukkan bahwa setiap negara itu tidak bisa hidup sendiri, ia layaknya seperti manusia memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Impor juga menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga mau tidak mau harus membeli dari negara lain.

Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan oleh Indonesia, khususnya impor beras. Impor sama dengan membeli hanya saja uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor beras Indonesia seperti yang dikatakan oleh media neraca.co.id (27/03/2013), masih mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras, padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan pemerintah, terutama di kemeterian pertanian saling lempar tanggung jawab. Beberapa bulan yang lalu, saat Hatta rajasa masih menjabat sebagai menkoperekonomian, beliau menyebutkan bahwa soal impor beras merupakan wewenang dari kementerian pertanian (kementan) sehingga tampak beliau tidak mampu menjawab soal impor beras ini.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statitik (BPS), produksi padi tahun 2013 kemarin saja mencapai 71.279.709 ton dengan produktivitas sebesar 51,52. Produksi padi tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang sebesar 69.056.126 ton dengan produvtivitas sebesar 51,36. Kenyataan tersebut menjadi deskripsi sepintas mengenai besarnya produksi beras Indonesia. Tetapi, tetap saja pemerintah melalui BULOG harus mengimpor lantaran konsumsi beras masyarakat Indonesia yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jika tidak mengimpor, maka akan terjadi kenaikan harga beras dalam negeri yang tinggi sebab jumlah permintaan lebih tinggi dari jumlah persediaan beras dalam negeri. Meskipun di satu sisi, impor juga akan menghancurkan harga beras di tingkat petani karena harga mereka berpotensi dipermainkan oleh para tengkulak.

Impor beras Indonesia secara historis memang sering mengalami surplus, tetapi jumlah permintaan beras melebihi surplus tersebut. Terbukti bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara konsumen beras terbesar (nerac.co.id, 27/03/2013). Konsumsi beras Indonesia mencapai 102 kg/kepita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut melebihi konsumsi beras negara Asia, seperti Korea yang hanya 60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Tahiland 70 kg/kapita/tahun, dan Malaysia sebesar 80 kg/kapita/tahun. Perbedaan ini tentu masih dapat dimaklumi karena memang Indonesai masih menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Desakan impor tersebut pada dasarnya bertujuan agar kuota beras akhir tahun Indonesia masih mencukupi maka mau tidak mau pemerintah harus megimpor beras. Beberapa tahun ini, Indonesia terjerat desakan impor beras ke Vietnam yang ternyata diselewengkan oleh oknum importir.  Tentu, dalam kasus ini pun, di kementerian pertanian, BULOG, dan pemerintah sendiri masih saling lempar tanggung jawab.

Dalam opsi pertama, realisasi impor beras ini banyak dipermainkan oleh para mavia importir. Pemerintah hendak membatasi impor beras, tetapi swasta ternyata terus mengimpor beras. Akibatnya, pemerintah sendiri tampak kebingungan dalam menjelaskan kepada masyarakat sebab jika terdapat fenomena seperti ini, biasanya pemerintah yang menjadi sasaran. Kurangnya pengawasan terhadap kegiatan impor, terutama di kepabeanan menyebabkan hal tersebut rentan terjadi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah hendaknya lebih memperketat pemeriksaan impor beras ke Indonesia.

Opsi kedua yang hendaknya dimengerti oleh masyarakat agar tidak sertamerta menyalahkan atau mencari kambing hitam dalam masalah surplus beras tetapi masih saja mengimpor adalah bahwa Indonesia sampai saat ini masih dilanda oleh efek fenomena El Nino yang menyebabkan curah hujan di Indonesia berkurang sehingga ini merupakan kondisi yang buruk bagi Indonesia. El Nino juga sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian, terutama produksi padi. El Nino yang merupakan fenomena 3 - 8 tahunan sekali ini biasanya memberikan dampak 12 bulan hingga 18 bulan sehingga akan mengurangi produksi pertanian.

Dengan demikian, impor adalah sebuah keniscayaan sebab jumlah permintaan yang jauh melampaui stok yang ada. Ini memerlukan usaha keras dari tingkat petani hingga pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan produksi beras kedepan.

SBY Dinilai Gagal Bangun Sektor Pertanian

Kamis, 14 Agustus 2014

Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2014 akan menyampaikan menyampaikan pidato  terakhir setelah sepuluh tahun terakhir menjalankan pemerintahan di Indonesia. SBY dipastikan akan menyampaikan pidato yang antara lain tentang success stor
y sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Di era keterbukaan ini, SBY diharapkan berani jujur menyampaikan bagian yang tidak sukses.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, bidang pertanian merupakan noktah hitam dalam pemerintahan SBY. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 12 Agustus 2014 menunjukkan, impor produk pertanian melonjak 400% selama 10 tahun terakhir. "Data tersebut dapat dikatakan sebagai indikator bahwa pembangunan bidang pertanian selama dua era Kabinet Indonesia Bersatu tidak berhasil," katanya saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Rabu (13/8)

Pada 11 Juni 2005 di Bendungan Jatiluhur Purwakarta SBY dengan penuh rasa percaya diri mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Perkebunan, dan Kehutanan. Tindak lanjut dari pencanangan itu di bidang pertanian adalah Program  Swasembada 5 komoditas pangan pada 2010, yaitu beras, daging sapi, kedelai, jagung, dan gula. Meski tidak pernah dipublikasi, program swasembada 5 komoditas itu dapat dikatakan gagal. Program tersebut dilanjutkan pada era KIB II dan ditargetkan tercapai pada  2014. Target itu sebagai salah satu kontrak politik menteri pertanian dengan Presiden SBY.

Hingga pengujung KIB II, pencapaian target swasembada 5 komoditas pertanian tersebut juga tampaknya juga tidak tercapai. Teguh menilai, tidak ada perubahan yang  berarti dalam produksi  kedelai. Akibatnya, Indonesia harus impor  70% dari kebutuhan nasional. Selain itu,  jagung, gula, beras juga masih harus diimpor.

Teguh mengatakan, impor yang sangat mencolok daging sapi. Pasalnya, dalam proyeksi yang disusun Kementerian Pertanian  seharusnya impor tahun ini hanya sekitar  10% kebutuhan nasional atau setara sekitar  54,56  ribu ton daging sapi. Tetapi diperkirakan impor daging sapi tahun ini diprediksi mencapai 250 ribu ton atau 45% kebutuhan nasional. Populasi sapi potong yang ditargetkan pada 2014  adalah  17,6 juta ton. Tetapi berdasarkan hasil sensus pertanian BPS 2013, populasi  sapi potong hanya 12,6 juta ekor.

Dia menyatakan, jika dikaitkan dengan anggaran yang disediakan untuk pencapaian program, jelas sangat tidak berimbang. Uang rakyat melalui APBN yang digunakan sejak 2006  tidak imbang dengan pencapaian hasil di akhir pemerintahan SBY pada 2014.
"Kami berharap Presiden SBY berani secara jujur menyampaikan ketidak berhasilan di bidang pertanian sehingga pemerintah baru nanti dapat menggunakan hal tersebut untuk menyusun program yang lebih baik," ucapnya.

Teguh menambahkan, sudah tidak bijak lagi jika pemerintah menggunakan berbagai alasan, seperti ketersediaan lahan untuk  apologi. Rakyat akan lebih menghargai jika presiden mengedepankan tanggung jawab  sebagai kepala pemerintahan atas ketidak-tercapaian target swasembada di bidang pertanian selama sepuluh tahun terakhir.

Sementara, dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh sangat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintahan SBY kepada pengembangan peternakan sapi perah rakyat.  Dalam sepuluh tahun ini, produksi susu segar stagnan. Akibatnya,  masa depan Indonesia akan semakin tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Saat ini  sekitar 60%  kebutuhan susu harus diimpor. "Padahal pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat  sangat relevan dengan jargon pro job, pro poor, dan pro growth," tukasnya. [agus]


http://www.neraca.co.id/article/44309/SBY-Dinilai-Gagal-Bangun-Sektor-Pertanian

Swasembada Pangan Sebatas Wacana

Kamis, 14 Agustus 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2012 mencanangkan kebijakan swasembada produksi pangan lima komoditas, yakni beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi. Hingga menjelang masa kepemimpinannya habis kebijakan tersebut masih sebatas wacana.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2003 impor produk pertanian mencapai US$3,34 miliar (sekitar Rp39,3 triliun).Pada 2013, nilai impor produk pertanian sudah mencapai US$14,9 miliar (sekitar Rp175,29 triliun), naik empat kali lipat.

Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengatakan melonjaknya nilai impor tersebut diakibatkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang naik, diiringi dengan semakin banyaknya turis mancanegara yang datang ke tanah air.

Di sisi lain, produksi dalam negeri yang hanya tumbuh normal. Salah satu yang mendorong lonjakan tersebut adalah sayuran.

Melihat data BPS, nilai impor sayuran pada 2013 sebesar US$640,76 juta. Nilai ini naik 27,24% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar US$503,59 juta.

Program swasembada pangan itu awalnya mensyaratkan pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berpihak kepada petani dan lahan pertanian. Yang kedua pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah irigasi dan jaringan irigasi pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai, serta akses jalan ekonomi menuju ke lahan tersebut.

Yang ketiga, penyuluhan dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibir, obat-obatan, teknologi maupun sumber daya manusia petani. Yang keempat, melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja seperti nasi.

Mengapa Gagal?

Dalam prakteknya, sudah tiga tahun program tersebut dijalankan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, mengatakan ada beberapa penyebab mengapa swasembada pangan tersebut belum tercapai.

“Salah satunya seperti soal pendistribusian. Contohnya kasus daging sapi, di mana sebenarnya Indonesia memiliki sentra penghasil sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tetapi tidak didukung dengan angkutan ternak yang memadai. Karena tidak mau ambil pusing, pemerintah cari cara mudahnya ya dengan impor,” katanya.

Penyebab lainnya adalah pemahaman tentang diversifikasi pangan. Masyarakat yang ada di kawasan timur Indonesia yang pada umumnya mengkonsumsi sagu malah didorong untuk makan beras.

Selanjutnya, terkait masalah daya saing, impor produk pertanian subsektor hortikultura dari Thailand yang cukup besar. Hal inilah yang membuat konsumsi pangan di Indonesia terus meningkat, sehingga kebijakan swasembada pangan ini menjadi ambigu di kalangan masyarakat.

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan impor, namun upaya-upaya tersebut justru semakin menekan petani bukan melindungi petani.

Salah satu contoh pemerintah mencoba memperbaiki struktur pajak di Indonesia lebih diperketat. Namun struktur pajak di Indonesia belum mampu menjadi instrumen untuk terciptanya ketahanan pangan nasional. Sebaliknya, pajak tersebut justru memberikan keluasaan bagi masuknya produk pangan impor sehingga melemahkan daya saing produk pangan dalam negeri.

Kebijakan Baru

Pemerintahan baru diharap mampu mengatur kebijakan-kebijakan baru untuk mengatasi konsumsi pangan masyarakat yang terus meningkat dan meningkatkan produksi pangan lokal.

“Terutama menteri pertanian nanti harus bisa mengendalikan dan meningkatkan produksi dalam negeri untuk menopang konsumsi masyarakat. Selain itu juga mengurangi ketergantungan impor,” kata Sasmito.

http://www.geotimes.co.id/politika/politika-news/kebijakan/8073-swasembada-pangan-sebatas-wacana.html

Kamis, 14 Agustus 2014

Belenggu Impor Pangan

Kamis, 14 Agustus 2014

MEMPRIHATINKAN. Kata tersebut sangat tepat menggambarkan situasi sektor pertanian Indonesia. Negeri yang menyandang predikat negara agraris ini dari tahun ke tahun kian menggantungkan diri pada produk pangan impor.
Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346%, atau empat kali lipat, selama periode 2003-2013. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade.
Pada 2003, jumlah penduduk Indonesia sekitar 214 juta. Di 2013, populasi Indonesia menjadi lebih dari 252 juta orang, tumbuh 18% jika dibandingkan dengan 2003.
Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan nilai tukar rupiah selama periode yang sama, pertumbuhan impor produk pertanian masih jauh meninggalkan laju pertumbuhan penduduk. Itu berarti kemampuan negeri kita dalam menghasilkan produk pertanian melemah sehingga harus ditutupi impor.
Penyebabnya sangat jelas terlihat. Lahan usaha tani menyusut sebanyak 5 juta hektare menjadi 26 juta hektare. Dalam tempo 10 tahun itu pula, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga usaha petani.
Di sisi lain, teknologi pertanian yang diterapkan di Indonesia tidak banyak berkembang. Bawang merah impor merambah hingga ke sentra-sentra produksi di dalam negeri. Gula mentah impor menyeruak ke pasar domestik hingga mematikan usaha petani tebu.
Janji menambah lahan milik petani yang dilontarkan pemerintah tidak kunjung dipenuhi. Perbaikan tata niaga pertanian untuk memotong rantai pasokan produk petani pun terbengkalai. Rakyat lebih memilih menjadi pedagang yang bisa meraup untung berkali lipat ketimbang hidup miskin sebagai petani.
Bila hal itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pertanian Indonesia akan bernasib seperti sektor minyak dan gas bumi. Indonesia berubah dari eksportir neto menjadi importir neto. Ini sungguh gambaran masa depan yang merisaukan, bahkan menyeramkan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan tegas memberi mandat kepada pemerintah agar menetapkan kebijakan impor pangan yang tidak berdampak negatif terhadap usaha petani. Selain itu, Undang-Undang No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani agar bisa tetap berproduksi. Tambahan 2 hektare lahan untuk petani guram yang telah berkecimpung di usaha tani selama lima tahun berturut-turut juga menjadi mandat. Kini, tinggal menunggu usaha keras pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menunaikan perintah undang-undang di penghujung masa tugas mereka. Bila pemerintahan saat ini tak sanggup, apa boleh buat, kita berharap pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menunaikan amanat Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.
Gerak cepat membenahi sektor yang menghasilkan pangan bagi anak negeri harus ditempuh. Hanya ada dua pilihan, yakni mandiri dan berdaulat di bidang pangan atau tunduk di bawah kendali negara-negara pemasok pangan.
(Chs)

http://news.metrotvnews.com/read/2014/08/14/277262/belenggu-impor-pangan

Rabu, 13 Agustus 2014

Lebih Sigap Impor Beras

Selasa, 12 Agustus 2014

Harga gabah yang berada di atas harga pembelian pemerintah (HPP) selalu menjadi kendala bagi Bulog untuk menyerap beras dalam negeri. Sepanjang Januari–Juni, harga rata-rata gabah kering panen di tingkat penggilingan Rp 4.287 per kilogram atau 27,9 persen di atas HPP. Rata-rata harga beras termurah di tingkat konsumen pada periode tersebut Rp 8.983 per kilogram atau 36,11 persen.

Meski demikian, Bulog mengungkapkan saat ini punya stok beras  sebanyak 1,902 juta ton. Stok tersebut cukup aman bagi kebutuhan beras murah untuk 7,7 bulan.

 Begitupun, pemerintah khawatir dan memutuskan  mengimpor beras sebanyak 50 ribu ton pada pertengahan tahun ini.  Impor beras tersebut diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas pemerintah pada awal Juli. Beras akan diimpor dari Vietnam dan masuk ke Indonesia pada Juli hingga Agustus.

Keran impor beras dibuka pemerintah setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya potensi penurunan produksi karena banjir di awal tahun dan kekeringan di pertengahan tahun. Dalam angka ramalan I 2014, BPS menyatakan produksi beras akan mencapai 69,87 juta ton atau turun 1,98 persen dari tahun lalu sebanyak 71,28 juta ton. Perkiraan produksi itu lebih rendah 4,48 persen dibanding target produksi pemerin­tah 73 juta ton. Angka ramalan I diperoleh dari perhitungan produksi riil selama Januari-April ditambah dengan angka perkiraan Mei-Desember 2014.

Selain produksi yang diramalkan menurun, pengadaan beras Bulog di dalam negeri lebih ren­dah daripada tahun lalu. Data Bulog menyebutkan, pengadaan beras hingga 18 Juli mencapai 1,86 juta ton lebih rendah diban­ding periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 2,42 juta ton. Meski demikian Bulog menilai  serapan itu sudah cukup besar mengingat produksi beras tahun ini diramal­kan turun, serta harga gabah dan beras jauh di atas harga pembelian peme­rintah (HPP).

 Untuk urusan impor beras pemerintah nampak sigap melakukan setelah BPS mengumumkan produksi gabah akan turun. Padahal impor beras bukanlah satu-satunya jalan. Upaya lain yang bisa dilakukan yakni menggenjot produksi beras nasional, menyediakan benih, pupuk, permodalan dan memberikan insentif lainnya kepada para petani. Sayangnya di tingkat lapang kita justru menemukan adanya kelangkaan pupuk yang belum terselesaikan.

http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/lebih-sigap-impor-beras/

Selasa, 12 Agustus 2014

Beras Impor untuk Antisipasi Harga

Selasa, 12 Agustus 2014

JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, impor beras kualitas medium dan premium pada 2014 mulai masuk ke Indonesia. Beras impor itu langsung masuk ke gudang Bulog untuk menambah stok beras guna mengantisipasi fluktuasi harga beras di pasar.
”Sekarang memang masih turun hujan dan penanaman padi masih berlangsung. Namun, harus dilihat secara mendetail apakah hujan turun ini di semua wilayah sentra produksi beras atau di kota-kota saja,” kata Sutarto, Senin (11/8), di Jakarta.

Sutarto mengatakan, pada tahap awal ini, Perum Bulog mendapat izin impor beras, baik kualitas medium maupun premium, 50.000 ton. Beras impor masuk sejak Idul Fitri kemarin. Hingga kemarin, total beras impor baru 10.000 ton.

Kebutuhan beras impor akan disesuaikan dengan permintaan dalam negeri. Jika produksi beras dalam negeri cukup memenuhi pasar sehingga tidak terjadi kenaikan harga, impor tidak dilanjutkan. ”Kita lihat perkembangannya,” katanya.

Sutarto belum bisa memprediksi besar kebutuhan beras impor hingga akhir 2014. Namun, indikasi perlunya impor beras terlihat dari realitas turunnya produksi beras dalam negeri.

Pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Billy Haryanto, mengatakan, tren harga beras di pasar grosir mulai naik. Belum lagi dampak kebijakan pengaturan BBM subsidi yang berimbas pada naiknya biaya angkut beras.

Billy mencontohkan ongkos transportasi beras dari Sragen, Jawa Tengah, yang selama ini Rp 160 per kilogram (kg) naik Rp 50 per kg. Belum lagi kenaikan biaya produksi beras di penggilingan padi sebesar Rp 50.

Dengan adanya kebijakan baru, biaya logistik dan produksi naik Rp 200 per kg. ”Belum termasuk kenaikan musiman,” katanya. Kalaupun ada harga beras Rp 7.500 per kg di pasaran, berasnya tidak ada. Saat ini, beras yang tersedia di pasaran harganya Rp 8.000 per kg di tingkat grosir. Harga di tingkat konsumen Rp 8.500 per kg.

Terkait dengan kenaikan biaya produksi di penggilingan, Sutarto mengatakan seharusnya itu tidak terjadi. Sebab, selama ini penggilingan padi tidak menggunakan solar bersubsidi. Meski begitu, asosiasi penggilingan padi sudah mengajukan usulan meminta BBM bersubsidi untuk penggilingan padi.

Usulan sudah disampaikan dan direspons baik oleh PT Pertamina. Peluang mendapatkan BBM subsidi juga ada, tinggal pembahasan lebih detail soal mekanismenya. (MAS)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140812kompas/#/18/

Senin, 11 Agustus 2014

Isu Besar Pangan

Senin, 11 Agustus 2014

HIRUK-pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres, dan pemilihan presiden sudah berakhir. Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visi-misi serta janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani Indonesia memang berlandaskan peta permasalahan pangan yang ada serta memungkinkan direalisasikan pada periode pemerintahan mendatang.

Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 miliar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 miliar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu sepertiga abad untuk mencapai 3 miliar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 miliar lagi  (Montpellier, 2012).

Hal sama terjadi di Indonesia. Perlu ribuan tahun hingga penduduk Indonesia mencapai 100 juta jiwa, dan setelah itu hanya perlu waktu sekitar 35 tahun untuk menjadi 200 juta (tahun 1998) dan 35 tahun berikutnya (tahun 2033) sudah mencapai 300 juta.

Apabila sejak 40 tahun lalu hingga masa kini perebutan sumber daya minyak mewarnai dinamika geopolitik dunia, di masa depan pangan akan menggantikan energi sebagai pemicu gejolak politik dunia. Dengan demikian, siapa pun pemimpin kita, apabila mengabaikan masalah pangan, persoalan pangan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial dan bahkan penggantian pemerintahan melalui mekanisme yang tidak diharapkan oleh semua orang.

Peta permasalahan pangan
Di tingkat global dan nasional memproduksi pangan yang mencukupi sudah mulai dihadapkan dengan berbagai kendala besar. Kendala itu di antaranya menurunnya permukaan air tanah, laju peningkatan produksi yang mulai stagnan, perubahan iklim yang mengacaukan pola budidaya, meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman, deplesi cadangan fosfat sebagai bahan baku pupuk P, serta degradasi dan erosi tanah yang terjadi di hampir semua negara di dunia.

Sebagai dampaknya, stok biji-bijian dunia menurun dari 107 hari konsumsi pada sepuluh tahun lalu menjadi hanya 74 hari konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini (LR Brown, 2012, Full Planet, Empty Plates). Harga pangan dunia meningkat 200 hingga 300 persen yang berdampak serius bagi penduduk miskin dunia yang pendapatannya 50 hingga 70 persen dibelanjakan untuk pangan.

Permasalahan pangan di Indonesia tak kalah pelik. Terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan pangan pasca Reformasi menyebabkan kita kian dalam masuk jurang impor pangan yang menghambat upaya mandiri di bidang pangan dan mengorbankan petani kecil.

Impor pangan yang semakin membesar selama sepuluh tahun terakhir ini merupakan kenyataan. Selama periode pemerintahan terakhir, impor pangan dibandingkan dengan tahun 2004 meningkat tajam. Beras meningkat 482,6 persen, daging sapi 349,6 persen, cabai 141,0 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89,0 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen (DA Santosa, Kompas, 26/3/2014, diolah dari Bappenas 2014 dan USDA 2014). Ironisnya anggaran sektor pangan dan pertanian selama sembilan tahun terakhir ini meningkat 611 persen!

Selain itu, petani kecil selama ini hanya menjadi obyek kebijakan. Petani terpaksa harus mencari upaya untuk menyelamatkan diri sendiri. Spekulasi dan serbuan produk impor telah mengempaskan puluhan ribu petani hortikultura karena harga hortikultura yang jatuh saat panen. Harga cabai selama dua bulan terakhir ini jatuh di bawah biaya produksi karena masuknya cabai olahan impor yang menyebabkan petani merugi puluhan juta rupiah per hektar (Kompas, 7/7/2014).

Petani tebu juga menghadapi hal yang sama. Gula rafinasi yang diimpor masuk ke pasar bebas dan persetujuan impor gula kristal putih oleh Kementerian Perdagangan (10/7/2014) menghancurkan harga gula di tingkat petani justru ketika petani tebu mulai memasuki panen raya.

Siklus itu terus berulang setiap tahun dan terjadi di hampir semua komoditas, baik bawang merah, bawang putih, kedelai, jagung, beras, ikan, maupun garam. Karena harga pangan merupakan penyumbang inflasi terbesar, perlindungan harga di tingkat konsumen menjadi kebijakan utama yang ditempuh pemerintah. Rezim ketahanan pangan juga menempatkan investor asing, mafia pangan, pengusaha besar, industri pangan, pedagang pangan, dan penyedia input produksi berada di puncak piramida struktur pertanian kita. Hingga saat ini tidak ada keberanian dari pemerintah untuk mengubah itu semua.

Pola konsumsi masyarakat juga berubah. Konsumsi beras menurun rata-rata sebesar -1,62 persen setiap tahun (BPS 2014). Penurunan konsumsi beras itu bukan disebabkan beralihnya konsumsi ke sumber karbohidrat lokal lainnya, melainkan lebih disebabkan peningkatan konsumsi pangan olahan berbasis tepung terigu yang meningkat tajam. Impor gandum selama periode tersebut meningkat rata-rata sebesar 8,6 persen setiap tahun (diolah dari WOAB, USDA 2014). Pengeluaran rata-rata untuk konsumsi makanan dan minuman jadi meningkat tajam rata-rata sebesar 14,7 persen (BPS 2014).

Pola konsumsi berbasis impor
Perubahan gizi masyarakat juga praktis tak terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal hewani, yaitu 0,28 persen setiap tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya dikuasai perusahaan multinasional meningkat tajam 4,6 persen untuk daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras setiap tahun. Sumber protein hewani asal rakyat dan petani kecil berupa daging ayam kampung, telur ayam kampung, dan telur itik menurun tajam masing-masing 1,67 persen, 7,30 persen, dan 9,78 persen setiap tahun (BPS 2014).

Konsumsi tahu dan tempe yang merupakan sumber penting protein nabati—sekalipun sumber bahan bakunya sebagian besar impor—peningkatannya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, yaitu hanya 0,16 persen per tahun. Lebih memprihatinkan penurunan konsumsi ikan lima tahun terakhir dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yaitu minus 2,19 persen (diolah dari BPS 2014).

Pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen selama periode pemerintahan sekarang praktis tak berdampak terhadap perubahan pola konsumsi ke arah kedaulatan pangan dan bahkan tak berdampak apa pun terhadap upaya peningkatan gizi masyarakat. Program diversifikasi gagal dan pola konsumsi masyarakat kian bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan berbasis impor dan produk korporasi.

Alih-alih meningkatkan kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai saat ini tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam lima tahun terakhir justru semakin liberal dan sangat condong ke korporasi asing. Jumlah investasi asing (Foreign Direct Investment/ FDI) untuk sektor pertanian melalui lisensi yang telah diterbitkan pemerintah meningkat luar biasa tinggi, yaitu dari 1221 pada tahun 2009 menjadi 4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo dua tahun (BKPM 2012). Pada periode 2010-2013 nilai investasi asing di bidang pangan dan perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014).

Kecenderungan ini sungguh mengkhawatirkan, apalagi pada 2015 Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hambatan tarif dan nontarif akan dihilangkan dan prosedur karantina akan diintegrasikan melalui ASEAN Single Window. Bahan pangan maupun pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan dengan bebas masuk ke pasar terbesar ASEAN, yaitu Indonesia, tanpa hambatan. Petani dan nelayan kecil semakin dibenturkan sistem perdagangan pangan dan pertanian yang tak adil bagi mereka. Dengan demikian, perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur kedaulatan pangan bisa benar-benar terwujud dan tidak menjadi jargon kampanye tanpa isi.

Pemerintah mendatang perlu merenegosiasi seluruh perjanjian regional maupun internasional yang selama ini terbukti memperparah kondisi petani. Pola liberalisasi yang kebablasan perlu direm dengan meninjau ulang seluruh UU terkait pangan dan pertanian serta semua produk turunannya. Seluruh visi-misi dan program yang sudah ditulis perlu dibedah dan dikemas ulang sehingga benar-benar implementatif menuju kesejahteraan petani dan nelayan serta menuju Indonesia yang berdaulat di bidang pangan

Dwi Andreas Santosa
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/140811kompas/#/6/

Bulog Masih Tunggu Dana Raskin November-Desember, Setok Belum Disediakan

Senin, 11 Agustus 2014

Bisnis.com, JAKARTA -- Setok raskin untuk bulan November-Desember tahun ini belum disediakan oleh Bulog, karena masih menunggu anggaran dari pemerintah.

Jatah raskin untuk November-Desember telah dikucurkan pada Februari-Maret lalu lantaran banyak wilayah Indonesia yang terkena bencana banjir.

Akibatnya sebagian besar wilayah Indonesia mengalami gagal panen dan berpengaruh terhadap pergerakan harga di pasaran.

"Sampai saat ini pemerintah belum memberikan anggaran untuk November-Desember, jadi masih kosong," kata Kepala Bulog Sutarto Alimoeso kepada Bisnis, Minggu (10/8/2014).

Kendati demikian Sutarto menjamin bahwa setok raskin sendiri masih aman sampai 6-7 bulan ke depan selama tidak ada operasi pasar besar-besaran atau terjadi bencana alam di Indonesia.

"Kalau tidak ada kejadian apa-apa setok masih aman sampai awal tahun depan," ujarnya.

Banjir yang terjadi awal tahun ini, kata Sutarto, menyebabkan 116.000 lahan padi rusak, dan sekitar 400.000 ton padi gagal panen.

http://industri.bisnis.com/read/20140811/12/248901/bulog-masih-tunggu-dana-raskin-november-desember-setok-belum-disediakan

Bulog Jatim Optimistis Raup Pendapatan Komersial Rp 2,5 T

Minggu, 10 Agustus 2014

Kepala Divisi Regional (Kadivre) Jatim Rusdianto menyatakan optimistis tahun ini pendapatan sektor komersial bisa mampu mencapai target Rp 2,5 triliun. Optimisme itu disampaikan melihat kinerja tahun lalu yang mencapai pendapatan sektor komersial sebesar Rp 1,3 triliun.

Pendapatan tersebut didorong lima unit usaha yang meliputi Bulogmart, persewaan aset, Unit Pengolahan Gabah Beras (UPGB), jasa pemberantasan hama, dan angkutan atau jasa distribusi.

“Pada semester kedua ini kita berupaya menggenjot sektor komersial yang menjadi salah satu tulangpunggung pendapatan Bulog. Tahun ini kita berupaya mengejar penignkatan target dibanding realisasi tahun lalu,” jelas Rusdianto.

Rusdianto menambahkan, hingga semester pertama tahun ini realisasi pendapatan dari sektor komersial sudah mencapai hampir Rp 1 triliun. Sepanjang semester pertama tahun ini, pendapatan sektor komersial dari unit penyewaan aset memberi kontribusi sebesar 40 persen, disusul Bulog Mart 7-10 persen, sedangkan sisanya disumbang dari tiga sektor.

Sejauh ini Bulog memang tidak menyebutkan sejumlah aset yang dimiliki, yang tengah disewa pihak ketiga. Sementara untuk Bulogmart, pihaknya bekerjasama dengan sejumlah perusahaan BUMN seperti PT Perkebunana Nusantara (PTPN) dan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) untuk pembelian kebutuhan pangan.

Bulog menurut Rusdianto, memiliki tugas ganda yakni memberi Public Services Obligation (PSO) atau subsidi dan tugas komersial. Untuk tugas PSO, Bulog berkewajiban menyerap beras dari masyarakat petani yang ditujukan untuk menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri.

Selain itu kewajiban untuk kegiatan SPO adalah menyalurkan beras untuk masyarakat miskin (raskin). Tugas ini sangat tergantung pada kebijakan subsidi yang diberikan pemerintah serta jumlah masyarakat kurang mampu yang telah ditetapkan.

“Sementara pendapatan untuk menghidupi perusahaan, sepenuhnya ditopang dari divisi komersial. Karena pendapatan tidak boleh didapat dari PSO yang sepenuhnya memberi bantuan kepada pemerintah setempat,” lanjutnya.

Seperti yang sudah dilakukan Perum Bulog Divre Jatim pada bulan Ramadhan hingga Lebaran sspenuhnya membantu Pemprov Jatim. Khususnya dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mengontrol harga di pasar. (wh)

http://www.enciety.co/bulog-jatim-optimistis-raup-pendapatan-komersial-rp-25-t/

Minggu, 10 Agustus 2014

Capres Jokowi Matangkan Konsep Kemandirian Pangan

Minggu, 10 Agustus 2014

JAKARTA-Calon presiden Joko Widodo ( Jokowi) menyiapkan program swasembada beras dan gula. Selama empat jam di Kantor Transisi, Jalan Situbondo, Jakarta, Sabtu (9/8), Jokowi mengatakan swasembada beras dan gula akan menjadi konsentrasi pemerintahan periode mendatang.

"Tadi kita bicara khusus mengenai swasembada beras dan swasembada gula. Itu saja tadi konsentrasi," kata Jokowi.

Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan ia bersama tim transisi membicarakan langkah yang perlu segera diambil untuk merealisasikan swasembada pangan itu. Pembahasan tersebut perlu segera dilakukan agar nantinya pemerintah dapat langsung siap bekerja.

"Yang paling penting bukan kebijakannya, tapi implementasi dari kebijakan itu, proses operasional di lapangan," kata dia.

Jokowi tiba di Kantor Transisi sekitar pukul 11.20 WIB. Tak lama kemudian, hadir pula mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Namun, Hendro lebih dulu meninggalkan tempat tersebut. Selain itu, terlihat pula Ketua Tim Transisi, Rini M Soemarno, serta Deputi Tim Transisi, Hasto Kristiyanto dan Anies Baswedan.

Selain masalah swasembada pangan, Jokowi juga berbicara tentang sosok menteri di kabinet mendatang. Jokowi menginginkan menteri yang menjabat di pemerintahan yang akan dipimpinnya harus lepas dari partai politik (parpol). Sejumlah kandidat menteri tersebut saat ini masih digodok.

"Ini masih digodok. Tetapi kalau saya ingin agar yang menjadi menteri lepas dari parpol," kata Jokowi.

Dengan lepasnya para menteri dari jabatannya di parpol, menteri-menteri itu bisa berkonsentrasi untuk tugas negara.  Jokowi juga menegaskan sejumlah pihak yang bergabung di tim transisi belum tentu mendapatkan posisi menteri.

"Semua mungkin, tetapi jangan ada yang memastikan bahwa yang ada di kantor transisi ini tentu jadi masuk di kabinet," kata Jokowi.

Sebelumnya, Jokowi pernah mengatakan kabinetnya akan berisi kalangan profesional. Tetapi, publik masih penasaran tokoh profesional yang mana yang akan dipilih menjadi menteri.

“Menguasai Bidangnya”

Menanggapi rasa penasaran publik, Jokowi menegaskan tidak akan ada dikotomi apakah kalangan profesional tersebut berasal dari partai atau nonpartai. Yang terpenting adalah menteri yang dipilih harus menguasai bidangnya. Dia menyebutkan banyak orang partai yang juga profesional.

"Sebelum masuk partai, mereka adalah kalangan profesional dan mereka sama saja. Tadi saya sampaikan, kita tak bicara partai dan nonpartai," katanya.

Mengenai presentase perbandingan profesional dari partai dan nonpartai, Jokowi belum bisa memutuskan.

Sementara itu, tim transisi Jokowi-JK menargetkan segera menyelesaikan arsitektur kabinet pemerintahan selanjutnya. Tim ini menargetkan semuanya selesai pada pertengahan September 2014.

“Pada bulan September itu hanya menyelesaikan struktur kabinet tanpa disertai dengan nama menteri yang akan masuk dalam kabinet tersebut. Pasalnya, tim transisi tak memiliki wewenang memilih figur dalam kabinet Jokowi-JK nanti,” tegas Hasto.

Hasto menuturkan penyelesaian arsitektur kabinet itu dilakukan untuk memudahkan Jokowi-JK dalam memilih menteri yang tepat dan kompeten. Ia meyakini ada cukup waktu bagi Jokowi-JK untuk menentukan menteri-menterinya sejak arsitektur kabinet diselesaikan sampai batas akhir penyusunan kabinet yang diatur oleh undang-undang.

Pada kesempatan itu, calon presiden Joko Widodo  juga mengangkat mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Mahmud Hendropriyono, sebagai penasihat Tim Transisi. Selain Hendro, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, juga bakal menduduki kursi penasihat tim transisi.

"Saya ditugaskan jadi penasihat. Saya segera menyiapkan diri untuk memberi nasihat," ujar Hendro di Rumah Transisi, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu.

Ia mengaku diminta memberikan nasihat sesuai dengan kemampuan atau rekam jejaknya. "Nasihat itu tentu yang saya tahu. Kalau tidak tahu ngapain. Yang saya ngerti soal intelijen. Saya akan memberi nasihat sekitar masalah intelijen," kata guru besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini.

Ia emoh memberi tahu secara spesifik nasihat apa yang bakal disampaikan kepada tim. Ia berdalih nasihat soal intelijen bersifat rahasia. "Namanya intelijen, masak ceritakan sama kamu," ucapnya kepada wartawan.

Hendro mengatakan tugas seorang penasihat tak lekang oleh waktu. "Diminta atau tidak, akan saya sampaikan. Saya ingin apa yang menjadi tujuan Rumah Transisi ini tercapai efektif dan efisen. Soal diterima atau tidak, yang penting saya sampaikan," katanya.

Ia juga mengatakan tidak bakal berkantor di Rumah Transisi. Menurut dia, kerja penasihat cenderung fleksibel.

Di tempat terpisah, pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies, J Kristiadi, mengatakan media harus mengawasi tim transisi agar tak menjadi tim transaksi, yang meneruskan tradisi bagi-bagi kursi menteri. "Sebaiknya publik dan media terus melakukan pengawasan," ujar Kristiadi seusai diskusi di Kebayoran Baru, Sabtu ( 9/8) .

Salah satu deputi tim transisi, Andi Widjajanto, memastikan timnya tak akan memberi ruang bagi transaksi politik. "Kami akan bikin modar dengan ngomongin teknis," ujar Andi. nfs/P-4

http://www.koran-jakarta.com/?17759-capres%20jokowi%20matangkan%20konsep%20kemandirian%20pangan