Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, meragukan efektivitas sinergi Perum Bulog dengan BUMN pertanian dalam mengendalikan harga pangan.
Menurutnya, keberhasilan sinergi BUMN tersebut sangat bergantung pada jumlah komoditas gula yang dapat dikelola oleh Perum Bulog.
"Kalau jumlahnya tidak sesuai dengan batas minimal, ya belum tentu efektif," ujar Dwi Andreas kepada CNNIndonesia.com, Senin (10/6).
Dwi mengatakan, untuk mengendalikan harga komoditas gula, setidaknya Perum Bulog harus bisa mengelola minimal 10 persen dari jumlah kebutuhan konsumsi gula masyarakat.
"Konsumsi gula kita hampir enam juta ton per tahun. Nah, kalau yang bisa dikelola Bulog mencapai 10 persen saja, ini bisa cukup signifikan untuk mengendalikan harga gula. Tapi kalau kurang dari 10 persen ya dampaknya kecil atau sebentar saja," jelas Dwi Andreas.
Ia menilai, pengendalian harga pangan sulit dilakukan pemerintah sebab ketersediaan komoditas pangan di pasaran tidak dikuasai oleh otoritas. Pemerintah dianggap hanya memiliki persentase yang sangat kecil dalam hal pengelolaan pangan sehingga operasi pasar tidak cukup berdampak, terlebih untuk mengendalikan harga.
"Pasar pangan di Indonesia ini liberal. Dalam arti, pemerintah praktis tidak memegang stok. Selebihnya ya langsung antara petani, pelaku usaha, dan masyarakat saja. Stok terbesar yang dipegang pemerintah itu beras, itu pun hanya enam sampai sembilan persen. Kalau gula ya lebih kecil lagi, kurang dari itu," tambah Dwi Andreas.
Untuk dapat mengendalikan harga pangan, lanjut Dwi, pemerintah harus serius meningkatkan kapasitas Perum Bulog dan infrastruktur secara keseluruhan.
"Kalau Bulog bisa menyerap gula dalam jumlah yang cukup besar, barulah Bulog dapat melakukan intervensi untuk mengendalikan harga gula di pasaran. Kalau tidak ya harganya akan bergerak terus sesuai dengan ketersediaan dan permintaan tiap-tiap musimnya," papar Dwi Andreas.
Dia menambahkan, saat ini produksi gula dalam negeri berkisar 2,5 juta ton. Sedangkan impor gula yang dibutuhkan sekitar 3,5 juta ton untuk menutup kebutuhan konsumsi gula sekitar enam ton per tahun.
Berdasarkan data yang dimilikinya, Dwi Andreas mengatakan bahwa angka impor gula tahun ini mengalami kenaikan dari jumlah impor tahun lalu, yakni 3,47 juta ton.
"Pas (tahun) 2015, kita impor 3,47 juta ton, kalau sekarang itu bisa 3,5 juta ton. Berartikan cenderung naik karena kebutuhan konsumsinya naik," tutup Dwi Andreas.
Sebelumnya, dua pabrik gula milik BUMN, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) berencana menjual hasil gula kepada Perum Bulog untuk kemudian diteruskan Perum Bulog melalui operasi pasar yang dimaksudkan untuk mengendalikan harga gula di pasaran. (ags)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar