Metrotvnews.com, Jakarta: Dengan nada bicara yang tenang dan tersenyum ramah, Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti tidak menganggap begitu soal terkait adanya petani yang lebih merelakan gabahnya diangkut para tengkulak ketimbang diserap oleh lembaga yang dipimpinnya sekarang. Menurut dia, keberanian swasta untuk menawarkan harga beli lebih tinggi dibanding penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) akan menguntungkan pihak petani.
Ketentuan HPP termaktub dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 yang memuat tentang kebijakan pengadaan gabah dan beras serta penyalurannya yang dilakukan pemerintah. Dalam Inpres tersebut dicantumkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) adalah sebesar Rp3.700 per kilo gram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilo gram, dan beras ditetapkan Rp7.300 untuk setiap kilo gramnya.
Sementara dalam praktiknya, seperti dikutip dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 April 2016, selama Maret 2016 harga rata-rata GKP di petani mencapai Rp 4.703 per kilo gram dan di penggilingan Rp 4.783 per kilo garam. Untuk komoditas beras di tingkat petani Rp8.800 per kilo gram dan di tingkat penggilingan Rp8.850 per kilo gram. Sedangkan harga terendah di tingkat petani dan penggilingan masing-masing Rp2.700 dan 2.770 per kilo gram.
“Itu memang kondisi pasar. Untuk petani yang bisa mendapatkan harga di atas HPP ya untung alhamdulillah. Sementara bagi petani yang tidak bisa di atas HPP, ya kami beli. Tapi yang jelas kami mengerahkan satker (satuan kerja) untuk lekas menyerap gabah dari petani,” ujar Djarot saat ditemui Metrotvnews.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2016).
Didorong Inpres, tersandera HPP
Tujuan diterbitkannnya Inpres Nomor 5 Tahun 2015 sudah barang tentu didorong keinginan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Di dalam instruksi tersebut dijelaskan bahwa kepentingan munculnya panduan ini dalam rangka stabilisasi ekonomi nasional, melindungi tingkat pendapatan petani, stabilisasi harga beras, pengamanan cadangan beras pemerintah, dan penyaluran beras untuk keperluan yang ditetapkan pemerintah serta sebagai kelanjutan dari kebijakan perberasan.
Menurut Djarot, Bulog bermain di dua sisi itu. Pertama, melakukan penyerapan gabah petani untuk menjaga stabilisasi harga pangan, yakni beras. Kedua, melindungi tingkat pendapatan petani.
“Maka, ketika harga gabah di lapangan berada di atas ketentuan HPP, Bulog tidak bisa apa-apa,” kata Djarot.
Dalam menentukan HPP, pemerintah mengajak banyak pihak, meskipun diktum kedua dalam inpres tersebut dikatakan bahwa penentuan HPP ditetapkan oleh Kementerian Pertanian. Sementara Bulog, dalam posisi ini hanya ditempatkan sebagai pelaksana penyerapan gabah.
Bulog tidak dalam posisi yang berhak menentukan HPP. Djarot menjelaskan, itu tanggungjawab regulator. Banyak pihak yang dilibatkan. Antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Penentuan HPP juga berdasarkan pertimbangan dan masukan beberapa ahli.
Kondisi harga gabah di lapangan yang terkadang melebihi HPP ini membuat Bulog harus bekerja keras. Meskipun begitu, penjualan gabah petani ke pihak lain juga tidak mesti ditafsirkan secara berlebihan.
Istilah tengkulak itu tidak bisa dipahami sebagai pihak yang akan menimbun dan mengambil keuntungan berlebihan dan mengganggu stabilisasi harga. Ia menyebut tengkulak tidak banyak. Tengkulak pun diyakini tidak bisa bersaing dengan pemerintah.
“Bayangannya begini, kalau dia (tengkulak) harus beli satu juta ton setara beras, itu kan setara dengan 1,7 triliun rupiah. Tidak banyak orang memiliki uang segitu,” kata Djarot.
Bulog beranggapan bahwa transaksi penjualan gabah yang dilakukan petani di atas HPP dan diberikan kepada pihak lain masih di batas wajar. Untuk saat ini, Bulog masih berkeyakinan bisa mencapai target yang diharapkan pemerintah, yakni memenuhi perolehan beras sebanyak dua sampai empat juta ton selama panen raya Maret – Juni 2016.
“Untuk saat ini saja sudah diperoleh 1,5 juta ton lebih. Kan ini panen raya,” kata Djarot.
Persoalan HPP yang terkesan jomplang dengan kondisi lapangan ini masih dianggap wajar di mata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Menurut dia, belum dibutuhkan adanya perubahan angka HPP mengingat biaya operasional produksi pertanian pun menurun.
“Hal terpenting, petani mendapatkan harga yang wajar seperti HPP gabah saat ini," ujar Amran kepada awak media saat melakuka kunjungan di Desa Bungo, Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah pada Jumat (1/4/2016).
Terbentur minimnya sarana
Awal Maret memberikan catatan penting bagi Bulog untuk secara total melaksanakan secara serius tanggungjawabnya dalam penyerapan gabah petani. Masalah lain yang terdapat dalam lembaga yang pernah menjadi “anak emas” pemerintahan era Orde Baru ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana pengolahan gabah dan beras.
Dalam inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di gudang Bulog Triyagan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada 11 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengeluhkan mangkraknya tiga mesin pengering gabah. Menurut perhitungan Presiden, kerusakan mesin dengan kapasitas 80 ton sehari ini cukup mengganggu proses penyerapan gabah petani yang sedang menjadi pekerjaan rumah Perum Bulog.
“Ini yang mau kami cari tahu, kendalanya di mana. Karena duitnya ada lho atau ada sesuatu yang lain,” ujar Presiden Joko Widodo kepada sejumlah awak media.
Menanggapi hal ini, menurut Djarot, keterbatasan sarana prasarana dan kerusakan mesin-mesin pengolah gabah di daerah menjadi objek penanganan serius yang dilakukan pihaknya sejak Januari 2016. Kata dia, seiring memasuki masa panen raya, persoalan itu sedikit demi sedikit bisa Bulog tertangani.
Sewaktu disidak Presiden, sebenarnya Bulog juga sedang melakukan peremajaan mesin. Untuk kasus di Jawa Tengah misalnya, Bulog memiliki 14 unit rice mill yang kini telah diremajakan dari berbahan bakar minyak tanah dan solar dialihkan ke bahan bakar gas. Tiap unit menghabiskan sekitar 30 sampai 40 juta rupiah untuk bisa berfungsi kembali.
Penanganan sarana prasarana ini menambah beban kerja Bulog di samping waktu penyerapan gabah petani yang terbatas mengingat hanya bisa dimaksimalkan pada masa panan raya.
“Ya ini juga menjadi bahan evaluasi yang menjadi perhatian kami untuk terus memperbaiki kinerja,” kata Djarot.
Tugas yang tak kian jelas
Djarot menerangkan, Bulog yang kini hanya mencakup pada kewenangan sebagai operator guna menjaga kestabilan pangan nasional tidak bisa berbuat banyak. Karena harus menunggu instrumen pelaksanaan tugas dari berbagai pihak terkait. Selain penentuan HPP dalam program penyerapan gabah petani misalnya, wacana Bulog yang akan diposisikan sebagai lembaga pangan nasional juga belum mendapatkan kejelasan.
“Apakah kami hanya berkewenangan pada komoditi beras, atau tiga komoditi lain seperti jagung dan kedelai. Atau muncul juga wacana kewenangan terhadap 11 komoditi. Kami masih menunggu hasil rapat koordinasi di pemerintah,” kata dia.
Sebagaimana yang ditekankan dalam bentuk Inpres, Djarot mengaku masih mengerahkan konsentrasi penuh pada penyerapan gabah petani di masa panen raya. Selebihnya, Bulog menunggu arah kebijakan lanjutan sembari terus memperbaiki kinerja perusahaan.
“Bulog ini kan Perum. Jadi selain memiliki tugas sebagai tangan pemerintah di lapangan untuk stabilisasi pangan, kami juga memiliki pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri sebagai perusahaan. Soal kesiapan, kami juga telah melakukan berbagai usaha perbaikan, termasuk kesiapan sumberdaya manusia di lapangan. Kami merekrut tenaga-tenaga muda yang berpengalaman agar mampu melakukan pekerjaan secara lebih cepat,” kata Djarot.
Terkait stabilisasi tiga komoditi pangan yang diwacanakan menjadi tanggungjawab Bulog, Djarot menjelaskan untuk beras dan jagung pihaknya optimis tidak sampai melakukan impor. Lain lagi untuk kedelai, berbagai faktor yang menyertai satu jenis pangan ini menjadikannya harus ekstra dalam melakukan stabilisasi.
“Stok beras saat ini di gudang mencapai 1,5 juta ton lebih dan akan ada tambahan selama musim panen. Jagung juga masih aman, sekarang ada 250 ribu ton. Tidak perlu impor. Sementara kedelai ketersediaan di dalam negeri menurun berbanding terbalik dengan permintaan yang tidak bisa turun. Faktornya banyak, salah satunya sisi produksi di mana kedelai bukan tanaman tropis dan lahan yang terus berkurang,” ujar Djarot.
Bulog memahami ketahanan pangan nasional terlebih terwujudnya swasembada merupakan cita-cita yang sedang didorong secara total oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hanya saja, kata Djarot, jika berkaca dari masa lalu, keberhasilan swasembada pangan juga didukung oleh kesepakatan instrumen yang dipakai sebagai titik awal pelaksanaan pencapaian target.
“Kalau melihat kejayaan swasembada dulu, saya kira di sana terdapat satu kesepakatan instrumen dan data yang dipakai. Semisal, berapa luas total lahan pertanian kita? Berapa jumah sumberdaya manusia tani Indonesia? Itu memakai satu sumber. Sehingga kita berangkat dari tolok ukur yang sama,” kata Djarot.
Kondisi saat ini, kata Djarot, masing-masing yang terlibat bisa memakai data yang cenderung berbeda. “Ya itu, jumlah luas lahan pertanian kita sekarang saja masih ada perbedaan pendapat,” kata Djarot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar