Konversi Lahan I Secara Nasional, Alih Fungsi Lahan per Tahun 100 Hektar
SLEMAN – Pemerintah pusat dan daerah perlu mengatasi koversi atau pengalihan lahan pertanian di daerah yang kian marak saat ini. Alih fungsi lahan tersebut akan mengurangi produktivitas hasil pertanian sehingga dikhawatirkan dapat menghambat upaya menciptakan swasembada pangan.
Maraknya aksi konversi lahan pertanian di daerah tersebut membuat nasib petani semakin terjepit. Tak heran, aksi pengalihan fungsi tersebut mengundang reaksi protes para petani, terutama di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Sumardi (68) mengungkapkan konversi lahan pertanian di desanya, Madurejo, Kecamana Prambanan, terus terjadi setiap tahunnya. Menurut dia, banyak area persawahan yang dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan.
“Apabila itu terjadi setiap tahunnya, maka tentunya jumlahnya semakin banyak pula. Itu tidak akan terasa, tiba-tiba kita lihat suatu lahan persawahan telah berubah menjadi perumahan. Inilah yang kita takutkan,” ungkapnya saat menerima kunjungan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman di desanya, Rabu (2/3).
Alih fungsi lahan, terangnya, hanya memiskinkan petani. Hal itu, lanjutnya, tidak beda jauh dengan ketika keran impor beras dibuka secara besar-besaran oleh pemerintah. Karenanya, pemerintah, menurut dia, perlu menjaga lahan pertanian secara ketat, seperti halnya menekan impor beras.
“Apabila (konversi) tidak ditekan, ruang bagi petani untuk bertanam dan berproduksi kian sempit,” ujar Sumardi.
Bupati Sleman, Sri Purnomo membenarkan pernyataan Sumardi. Bahkan, fakta itu, lanjutnya, bukan hanya terjadi di Kecamatan Prambanan tetapi hampir di seluruh kecamatan di Sleman.
Untuk itu, dia meminta agar Kementerian Pertanian (Kementan) kembali membuka lahan sawah baru di daerahnya sebanyak 50 hektar (ha). “Lahan sawah baru untuk mengimbangi maraknya alih fungsi lahan selama ini, sehingga laju produksi tetap terjaga,”ungkapnya.
Seperti diketahui, secara nasional alih fungsi lahan per tahunnya mencapai 100 hektar. Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang marak melakukan alih fungsi lahan.
Bila pada 2008 luas lahannya mencapai 130.028 ha, pada 2014 berkurang menjadi 105.595 ha. Artinya, dalam jangka waktu tujuh tahun, lahan di daerah itu menyusut 24,433 ha. Sekitar 40 persen dari jumlah tersebut terjadi di kab. Sleman.
Gagal Serap
Bila di Sleman petani mengeluhkan maraknya konversi lahan, lain juga dengan yang terjadi di desa Mbedoro, Kecamatan Sambung Macan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Petani di sana memprotes keras kebijakan Bada Urusan Logistik (Bulog) yang tidak ingin menyerap gabah dari petani. Hal itu diketahui setelah Mentan mendatangi lokasi tersebut.
Ketua Kelompok Tani Muji Makmur, Desa Mbedoro, Narjitugimin (50) mengeluhkan rendahnya harga gabah kering panen (GKP) yang diminta oleh Bulog. Disebutkannya, Bulog hanya membeli dengan harga 3.200 rupiah per kilo gram (kg).
Harga tersebut, jelasnya, terlalu rendah, karena bila petani menjual dengan harga tersebut maka rata-rata kerugian per hektar lahan sebesar tiga juta rupiah. Artinya, itu tidak mampu menutupi biaya operasional. Sebagai dampaknya, gabah yang dihasilkan oleh ratusan hektar lahan persawahan di desanya belum dijual sama sekali.
“Selama ini kami belum punya ruang untuk bertemu Bulog, untung Mentan datang, maka kami sudah bisa menyampaikan kondisi yang kami alami. Kami minta Mentan desak Bulog untuk membeli dengan harga yang wajar yang bisa membuat kami kembali bergairah,”paparnya.
Menanggapi hal itu Mentan mengaku kesal, pasalnya Bulog kurang berpihak ke petani, padahal sebelumnya direksi Bulog berkomitmen untuk menyerap gabah petani. Kepada Danramil di wilayah tersebut dia meminta agar mengawasi kegiatan Bulog agar secepatnya menyerap gabah dengan harga 3.700 rupiah per kg bukan 3.200 rupiah per kg seperti yang ditawarkan Bulog. ers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar