Senin, 14 Mar 2016
Cilacap, Antara Jateng - Petani di sebagian wilayah eks-Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah, yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara telah memasuki musim panen.
Kendati demikian, panen padi tersebut belum serta merta menurunkan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang saat ini masih bertahan di kisaran Rp3.800-Rp3.900 per kilogram.
Kondisi tersebut menyebabkan Perum Bulog Subdivisi Regional Banyumas belum bisa menyerap gabah hasil panen petani secara maksimal karena harganya masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp3.700 per kilogram.
Di sisi lain, Bulog Banyumas harus bersaing dengan tengkulak dari wilayah Jawa Barat yang mendatangi area persawahan siap panen di Kabupaten Cilacap dan Banyumas dengan membawa truk untuk mengangkut hasil panen petani yang dijual kepada mereka.
Oleh karena itu, Bulog Banyumas pun gencar menyosialisasikan program pengadaan pangan melalui spanduk yang dipasang di area persawahan yang akan segera dipanen oleh petani.
"Pemasangan spanduk itu dilakukan supaya petani tahu kalau Bulog juga membeli gabah sesuai dengan HPP (Harga Pembelian Pemerintah)," kata Pejabat Humas Bulog Subdivre Banyumas M. Priyono di Purwokerto.
Menurut dia, sosialisasi tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya tengkulak pedagang dari luar daerah yang membeli gabah petani dengan harga rendah atau di bawah HPP yang Rp3.700 per kilogram GKP itu.
Bahkan, Bulog Banyumas juga menerjunkan seluruh Satuan Kerja (Satker) yang berjumlah 19 orang ke lapangan untuk menyerap gabah hasil panen petani agar gabahnya tidak dijual ke tengkulak.
Berdasarkan data Bulog Banyumas hingga akhir pekan kedua Maret 2016, Satker telah membeli gabah dari petani sekitar 30 ton dan sebagian di antaranya termasuk gabah yang dibeli saat kunjungan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Kabupaten Cilacap pada 29 Februari 2016 telah disetorkan ke gudang Bulog Banyumas dalam bentuk beras 15 ton.
Priyono mengakui bahwa harga GKP di beberapa kabupaten yang masuk wilayah kerja Bulog Banyumas masih tinggi atau di atas HPP.
"Harganya masih ada yang mencapai Rp3.800 per kilogram. Kami tidak berani beli jika harganya terlalu tinggi atau melampaui HPP untuk GKP yang sebesar Rp3.700 per kilogram," katanya.
Ia memperkirakan harga GKP bisa menyentuh HPP saat panen raya yang akan berlangsung pada akhir Maret hingga April 2016.
Saat melakukan panen raya di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, pada 29 Februari 2016, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa pada Januari-Februari sering terjadi kelangkaan beras karena sedang masa paceklik.
Akan tetapi, katanya, saat sekarang beras berlimpah di berbagai daerah karena sedang masa panen.
"Biasanya Januari-Februri, beras tidak pernah melimpah seperti sekarang ini," katanya.
Oleh karena itu, dia mengajak petani untuk menanam padi secara serentak sehingga panennya pun bisa serentak.
Dengan demikian, kata dia, stok beras nasional akan tetap terjaga.
Dalam acara yang sama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak petani di Jateng, khususnya Kabupaten Cilacap, untuk menolak impor beras karena produksi padi saat ini melimpah.
"Hasil seperti ini tidak hanya di Cilacap, hampir seantero Indonesia. Masak masih impor beras," katanya.
Dalam perjalanan dari Semarang menuju Cilacap dengan menggunakan helikopter, dia mengaku melihat hamparan sawah yang menguning karena memasuki masa panen sehingga disayangkan jika masih dilakukan impor beras.
Lebih lanjut, Ganjar mengatakan bahwa ke depan akan menghadapi perang untuk berebut pangan karena saat sekarang sudah perang memperebutkan energi.
"Kedaulatan pangan dan kedaulatan energi merupakan suatu keharusan. Kita harus yakin mampu bangkit dan mampu berproduksi untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri," katanya.
Ia mengatakan bahwa produksi gabah kering panen di Jawa Tengah pada 2015 mencapai 11,05 juta ton atau melebihi target yang 10,22 juta ton.
Menurut dia, petani tidak perlu menargetkan produktivitas yang tinggi atau di atas delapan ton per hektare karena dengan tujuh ton per hektare saja sudah mencukupi kebutuhan pangan.
"Dengan tujuh ton per hektare saja sudah bisa menyelamatkan negara ini," katanya.
Bibit Unggul
Keberhasilan produksi padi tidak lepas dari ketersediaan bibit unggul yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman.
Salah seorang petani di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap, Jamhari, mengatakan bahwa hasil panen pada musim tanam Oktober-Maret kali ini merosot akibat serangan hama dan penyakit tanaman serta roboh terkena angin kencang.
"Dalam kondisi normal, biasanya hasil panen saya bisa mencapai enam ton per hektare namun sekarang hanya 4,5 ton per hektare karena terserang penyakit blas," katanya.
Menurut dia, penyakit blas ditandai dengan munculnya jamur pada batang yang mengakibatkan bulir padi tidak terisi maksimal.
Selain itu, kata dia, hama wereng cokelat juga menyerang tanaman padi di Kecamatan Maos.
Oleh karena itu, dia mengharapkan adanya bibit padi unggul yang tahan terhadap serangan hama maupun penyakit seperti blas dan wereng cokelat sehingga produksi padi tidak terkendala.
Guna mendukung peningkatan produksi padi, PT Petrokimia Gresik yang selama ini dikenal sebagai produsen pupuk, memperkenalkan benih Hibrida Padi 18 (Hipa 18) kepada petani, khususnya di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap.
Benih padi unggulan Hipa 18 yang dikembangkan PT Petrokimia Gresik bersama Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa Barat itu, ditanam pada lahan demonstrasi plot (demlot) di Desa Mernek pada musim tanam Oktober-Maret.
Saat dipanen pada 12 Maret 2016, produksi padi Hipa 18 yang ditanam di lahan demplot tersebut mencapai 10,7 ton per hektare.
Hasil panen tersebut pun menarik minat petani untuk menanam padi Hipa 18 karena selain produksinya yang tinggi, benih padi unggulan yang dikembangkan perusahan "pelat merah" itu juga tahan terhadap hama wereng dan penyakit blas.
"Pada musim tanam kali ini memang cuacanya cukup ekstrem namun kami bisa buktikan hasilnya bagus. Pada musim tanam mendatang (April-September), saya yakin hasilnya bisa lebih bagus lagi," kata salah seorang petani yang mengolah lahan demplot Hipa 18, Kuswanto.
Pada musim tanam sebelumnya, dia mengaku menanam padi nonhibrida dan hasil panennya hanya enam ton per hektare, sedangkan hasil demplot padi Hipa 18 yang ditanam pada musim tanam Oktober-Maret mencapai 10,7 hektare.
Oleh karena hasil produksinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi nonhibrida, dia menganjurkan petani lainnya untuk menanam padi hibrida seperti Hipa 18.
Bahkan, kata dia, padi Hipa 18 juga tahan terhadap serangan hama wereng maupun bakteri kresek atau hawar daun.
"Saya mengharapkan padi hibrida ini (Hipa 18, red.) bisa diterima oleh petani secara umum agar produksinya lebih bagus, di atas 10 ton per hektare, sehingga swasembada pangan bisa tercapai," kata Kuswanto yang juga Ketua Pos Penyuluh Desa Mernek itu.
http://jateng.antaranews.com/detail/menggapai-harapan-dari-panen-raya-padi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar