MASIH minimnya penyerapan gabah dan beras oleh Perum Bulog dikritisi sejumlah kepala daerah. Bupati Wonogiri Joko Sutopo menyatakan Bulog selalu kalah sigap dengan barisan spekulan atau tengkulak. Hal itu, misalnya, terjadi di musim panen MT I di Wonogiri, Jawa Tengah. Tengkulak begitu leluasa melakukan pembelian gabah petani tanpa ada sikap jelas dari Bulog. Ia pun mengusulkan kepada pemerintah pusat supaya membentuk Bulog di tingkat kabupaten sebagai upaya untuk membatasi gerak tengkulak dan upaya percepatan penyerapan gabah petani. “Kantor subdivre membawahkan gudang-gudang kabupaten. Kepala gudang tidak memiliki otoritas untuk menentukan pembelian, semua dari subdivre. Begitu halnya dalam penetapan HPP (harga pembelian pemerintah), yang menjadi permainan pasar. Semua harus diperbaiki,” kata Joko kepada Media Indonesia, kemarin. Bekas petani dari Selogiri itu juga berpandangan pelibatan tenaga honorer petugas penyuluh lapangan (PPL) untuk menyerap gabah petani tidak tepat. “Ini kok kayak memadamkan kebakaran saja?” sahutnya. Secara terpisah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengingatkan Bulog untuk tetap beroperasi pada akhir pekan agar penyerapan gabah dan beras dari petani bisa optimal. “Selama Maret hingga awal April 2016, Bulog harus stand by,” katanya di Semarang.
Kritikan lain datang dari anggota Komisi B DPRD Jateng Riyono. Ia menyebutkan penyerapan gabah dan beras dari petani oleh Bulog selama
2015 hanya 87% dari target 505 ribu ton. “Mereka mungkin lebih senang mengambil gabah-gabah melalui pengepul atau pedagang besar,”
bebernya. Kepala Perum Bulog Subdivisi Regional Wilayah V Kedu, Jateng, Imron Rosidi, mengatakan penyerapan di wilayahnya belum berjalan maksimal karena sejumlah daerah penghasil beras belum panen. “Saat ini Satuan Kerja Bulog masih keliling nyari beras dan gabah. Jika ada gabah dan beras yang bagus dan harganya sesuai HPP, berapa pun akan kita beli.” Kepala Bulog Divre Sulsel Abdul Muis mengatakan dalam merespons tuntutan kenaikan HPP, pihaknya tetap menunggu rencana penyesuaian HPP yang dijanjikan Mentan. Saat ini Bulog masih berupaya keras bersaing dengan para tengkulak. “Kami menunggu petani menjual gabahnya sesuai dengan harga kita (HPP) Rp3.700 per kg,” jelas Muis.
Beda kualitas
Imanuel Polin, petani di Kupang, NTT, mengatakan, selain perbedaan harga yang cukup jauh sebesar Rp2.700 per kg, ada perbedaan warna dan rasa antara beras Bulog yang terlalu lama ditimbun di gudang dan beras yang dibeli tengkulak dari tempat penggilingan.
Tingginya curah hujan memang menjadi momok menjelang panen raya padi di beberapa daerah. Hujan deras yang mengguyur Cilacap, Jateng, misalnya, mengakibatkan tanggul sepanjang 3 meter di Sungai Cikalong di Desa Mulyasari jebol dan merendam 25 hektare lahan padi.
Karena menyadari hal ini, Bulog Divre Jatim berupaya menjaga kualitas hasil panen dengan keberadaan 33 drying centre atau pusat pengeringan padi di Jatim. (Tim/Ant/N-4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar