Senin, 03 Agustus 2015

Meredam Dampak El Nino

Senin, 3 Agustus 2015

El Nino tahun ini diprediksi akan berdampak sama dengan El Nino tahun 1997. Belajar dari bencana ekstrem 18 tahun lalu itu, upaya antisipasi terpadu dilakukan untuk meredam kebakaran hutan serta krisis air dan pangan.

El Nino tahun 1997 menimbulkan dampak kekeringan terhebat dalam sejarah bencana meteorologi Indonesia. Musim kemarau kering berkepanjangan karena anomali cuaca itu memicu kebakaran hutan dan lahan (kahutla) meluas, terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Kerugian akibat El Nino 1997 terbesar disebabkan kahutla mencapai Rp 47 triliun atau 2,75 miliar dollar AS. Kebakaran itu melanda 11,6 juta hektar hutan. Lalu, kabut asap lintas batas yang ditimbulkan melanda 20 juta orang di empat negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei. Adapun kerugiannya 760 juta dollar AS.

Dampak buruk kekeringan serta protes dari Singapura dan Malaysia jadi pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia menghadapi El Nino 2015. Apalagi, menurut prediksi iklim dan cuaca, El Nino 2015 sampai 2016 akan sama, bahkan lebih kuat, dibandingkan 1997. Hal itu mengacu pada hasil pantauan suhu muka laut, pola angin, dan gerakan awan di Samudra Pasifik.

Untuk itu, pemerintah mengerahkan semua potensi di tiap kementerian dan lembaga riset, baik dana maupun teknologi. Demi mengatasi meluasnya kebakaran hutan yang mulai terjadi di sejumlah daerah disiapkan dana penanganan bencana itu pada anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rp 385 miliar sampai September 2015. Badan itu juga menyediakan dana siap pakai sebagai tambahan.

Pemadaman api

Sejumlah inovasi teknologi pun didayagunakan. Salah satunya, pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca yang lebih dikenal sebagai hujan buatan. Operasi hujan buatan dilakukan Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan bantuan pesawat TNI Angkatan Udara dan swasta.

Pada operasi hujan buatan, bubuk garam (NaCl) di atas awan disebar untuk mempercepat kondensasi. Sayangnya, teknologi itu bergantung pada ketersediaan awan sehingga kurang efektif saat puncak kemarau. Karena itu, tim operasi hujan buatan di Riau dan Sumatera Selatan memperbanyak penaburan garam di udara sebelum puncak kemarau, Agustus dan September, yang akan mengurangi potensi awan layak semai.

Teknologi lain, Peat FireX untuk pemadaman api di lahan gambut. "Teknologi asal AS itu terbuat dari bahan alami, nontoksik, bisa cepat terurai dan terserap gambut," kata Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles Panjaitan, Jumat (31/7) di Jakarta.

Produk berupa bubuk itu dicampur air, lalu dimasukkan tabung yang digendong di punggung. Cairan di tabung itu disemprotkan personel Manggala Agni-brigade pengendalian karhutla KLHK di lahan terbakar. Namun, pemanfaatan bahan itu sejak dua tahun terakhir terkendala keterbatasan Manggala Agni menjangkau semua lokasi kebakaran bermedan sulit.

Teknologi pemadaman kebakaran lahan yang juga bisa dipakai adalah bom berbahan kimia khusus. Bom berbobot 500 kilogram itu dikenalkan Rusia. Seperti diberitakan media Rusia, Sputniknews, bom terbukti memadamkan api di lahan terbakar. Satu bom untuk lahan 1.000 meter persegi. Cairan pada bom menyedot oksigen yang jadi pemicu kebakaran.

content

Pakar gambut dari BPPT, Bambang Setiadi, bersama tim periset dari Jepang dipimpin Prof Mitsuru Osaki, pakar fisiologi tanaman dan ilmu tanah Universitas Hokkaido, meneliti kebakaran gambut untuk meredam dan mengantisipasi dampak El Nino. Kerja sama itu berjalan 10 tahun terakhir.

Osaki, Ketua Project "Wild Fire and Carbon Management in Peat-Forest in Indonesia", memaparkan, ancaman kebakaran gambut Juli dan akan meningkat pada bulan berikut. "Deviasi SST 2015 diprediksi menimbulkan situasi seperti El Nino 1997. Kini Jepang memantau kondisi kekeringan amat intensif," kata Bambang.

Tim BPPT dan Universitas Hokkaido di Pusat Perubahan Iklim Indonesia mengusulkan penanganan dampak El Nino. Caranya, membasahi gambut di area kanal dan kubah gambut dengan mengisi air saluran kanal di area belum terbakar atau sebelum kekeringan.

Pertanian

Sektor pertanian juga terdampak El Nino karena kurang air sehingga mengancam keamanan pangan. Kerugian akibat gagal panen dan kekeringan lahan melanda 3,9 juta hektar pada 1997/1998 ditaksir Rp 6 triliun atau 17 persen nilai total kerugian akibat karhutla.

Pada El Nino 2015 kategori kuat, kegagalan panen bisa melanda 227.414 hektar di musim tanam. Wilayah terdampak adalah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Karena itu, Kementerian Pertanian akan mengalihkan Rp 2 triliun dana APBN untuk pembuatan embung, penyediaan 20.000 pompa air, dan penyediaan sumur dangkal. Keterbatasan sumber air di darat diatasi dengan teknologi desalinasi air laut, pengolahan air laut mengandung garam dan mineral lain menjadi air tawar. Teknologi itu sudah dikuasai BPPT.

Untuk menjaga keamanan pangan, menurut peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Noor, lahan rawa dikembangkan. Lahan rawa yang sesuai bagi pertanian 13,7 juta hektar.

Panen padi di lahan rawa Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Agustus atau September, diperkirakan 7 ton per ha, memakai varietas padi hibrida dan inpara yang dikembangkan Kementan. Saatnya pemerintah memajukan pertanian rawa agar petani bisa tiga kali tanam setahun.

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150803kompas/#/14/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar