Rabu, 19 Agustus 2015

Serangan Harga

Rabu, 19 Agustus 2015

Serangan harga kebutuhan bertubi-tubi melanda tata niaga pangan nasional. Kenaikan harga terjadi mulai dari beras, daging sapi, cabai, hingga tomat dan daging ayam. Beras medium pernah tembus Rp 13.000 per kilogram dari harga normal Rp 8.000 per kg. Padahal, dari petani harga gabah kering panen Rp 3.500 per kg.

Harga cabai rawit pernah mencapai Rp 70.000 per kg dari harga normal Rp 30.000 per kg. Belum usai soal cabai, harga tomat turun drastis dari Rp 1.700-Rp 2.500 per kg menjadi Rp 500-Rp 1.700 per kg.

Begitu juga dengan daging. Harga daging sapi rata-rata nasional tembus Rp 130.000 per kg, jauh di atas harga ideal Rp 90.000 per kg. Kemudian disusul dengan kenaikan harga daging ayam dari Rp 31.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg.

Kenaikan harga cabai dan jatuhnya harga tomat terjadi karena stok dan kebutuhan tidak seimbang. Stok cabai berkurang akibat kemarau, stok tomat melebihi permintaan.

Sementara penyebab kenaikan harga daging sapi dan ayam tidak hanya faktor permintaan dan penawaran. Harga daging sapi dan ayam yang stabil tinggi setelah Lebaran itu merupakan anomali. Biasanya harga daging turun setelah Lebaran.

Dalam kasus kenaikan harga daging sapi, pemerintah dan polisi mengindikasikan ada permainan harga dan kesengajaan menahan stok sapi siap potong. Dari 163.000 ekor sapi di tempat penggemukan, pemerintah mencatat 49 persen seharusnya dipasarkan, bukan ditahan.

Dalam kenaikan harga daging ayam, pemerintah menjumpai kenaikan terjadi di tingkat pedagang. Pedagang ingin meraup keuntungan lebih dari saat Lebaran lalu. Harga di peternak Rp 21.000 per kg berat ayam hidup dengan penghitungan biaya produksi Rp 16.500 per kg. Idealnya harga daging ayam Rp 31.000 per kg, bukan Rp 40.000 per kg.

Pemerintah berupaya mengatasinya. Mulai dari aksi persuasif berdialog dengan pelaku usaha terkait hingga aksi frontal mendatangi pelaku usaha bersama polisi, memaksa menurunkan harga.

Rangkaian serangan harga itu terjadi karena pemerintah selama ini tidak punya kendali atas harga. Pemerintah juga tidak menguasai stok pangan penting dan strategis sehingga tidak bisa memainkan peran sebagai penstabil pasokan. Hal itu tidak ditopang dengan satu data bersama yang sinkron tentang stok dan permintaan.

Selama ini penentuan harga bergantung pada mekanisme pasar. Sementara kondisi pasar tersebut tidak sehat. Kerap kali terjadi persaingan usaha yang pincang. Mereka yang menguasai modal dan pasokan bisa memainkan harga dan jadi pemenang.

Pemerintah telah mempunyai instrumen, yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan Harga dan Penyimpanan Bahan Kebutuhan Pokok dan Penting. Dalam regulasi itu, pemerintah bisa mengintervensi dan menetapkan harga acuan khusus 14 komoditas pokok dan penting jika terjadi gejolak harga dan kegagalan pasar. Pemerintah juga menentukan batas waktu penimbunan barang.

Pada tahun ini juga pemerintah mendorong Bulog tampil di depan menunjukkan kehadiran negara dalam pengendalian harga beras, cabai, dan daging sapi.

Di sisi lain, pemerintah telah membangun sebuah pendekatan kepada pelaku usaha yang persuasif dan humanis. Ini menjadi modal bersama membangun iklim dagang yang lebih kondusif. Apabila langkah-langkah positif ini terus digulirkan, sedikit demi sedikit wajah tata niaga bahan pangan Indonesia semakin baik. (HENDRIYO WIDI)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150819kompas/#/17/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar