Rabu, 19 Agustus 2015
Jakarta (SIB)- Pemerintah diminta segera menyelesaikan persoalan impor pangan Indonesia yang merupakan sumber utama kemiskinan petani nasional.
Negara juga mesti bertanggung jawab atas hilangnya 5 juta petani dalam 10 tahun terakhir karena mereka tidak bisa lagi menggantungkan hidup dari bertani. Kemiskinan petani akibat impor pangan tanpa kendali itu juga menghambat peningkatan produktivitas pertanian pangan sehingga kebergantungan terhadap impor makin besar.
Devisa negara bakal terkuras hanya untuk membeli pangan dari negara lain. Sumber dari segala masalah yang mengancam negeri ini dinilai berasal dari impor yang masif hingga mencapai 17 miliar dollar AS setahun dan jor-joran kredit konsumsi, khususnya properti, hingga outstanding-nya mencapai 700 triliun rupiah.
Kebijakan perbankan saat ini ditengarai masih diatur oleh penguasa masa lalu untuk mendukung impor dan kredit konsumsi. Dekan Fakultas Teknologi Pangan UGM, Jamhari, menambahkan cadangan devisa yang tergerus akan berujung pada tekanan depresiasi terhadap rupiah.
"Pelemahan rupiah adalah sumber terbesar inflasi. Buktinya, ketika seluruh komponen impor barang meningkat maka akan mendorong inflasi.
Namun, langkah pemerintah justru sebaliknya, menekan inflasi dengan impor agar harga barang turun," papar dia di Yogyakarta, Senin (10/8).
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Leo Herlambang, berpendapat senada. Menurut dia, harga perumahan dan bahan makanan yang banyak komponen impornya memang cenderung naik.
Oleh karena itu, pejabat yang mengatakan impor untuk menekan inflasi termasuk tidak kompeten karena sumber terbesar inflasi juga berasal dari impor.
"Masalahnya, impor kita makin besar, otomatis produk lokal dilemahkan dan berkurang jumlahnya. Pengambil keputusan mestinya memahami hal mendasar seperti ini," jelas Leo.
Ia juga mempertanyakan jika ada pejabat yang memahami hal tersebut tetapi masih juga meneruskan kebijakan fatal masa lalu terkait jor-joran impor dan kredit properti.
"Mereka berupaya menutupi kejahatan masa lalu supaya tidak meledak tapi akibatnya lebih besar. Ibarat penyakit hanya ditunda efeknya, bukan disembuhkan. Akibatnya bukan menjadi sembuh," ungkap dia.
Leo memaparkan karut marut persoalan pangan nasional disebabkan perencanaan yang kurang matang.
"Seharusnya pemerintah tidak boleh malas membuat perencanaan yang matang, baik jumlah maupun timing, agar tidak merugikan yang di dalam. Ini yang harus diatur atau planning anggaran yang dibutuhkan untuk infrastrukturnya sendiri (pertanian)," kata dia.
Pemerintah, lanjut dia, juga perlu merombak tata cara impor agar tidak terus-menerus merugikan petani. "Pembatasan pemegang hak impor untuk sedikit orang jelas merugikan karena harga sulit dikontrol. Berikutnya, kuota impor juga harus dibatasi untuk melindungi petani."
Sementara Jamhari menilai persoalan pemenuhan pangan tidak boleh dan tidak bisa dibiarkan diserahkan kepada mekanisme pasar seperti yang selama ini terjadi. Negara harus segera hadir dalam pemenuhan pangan dengan pembentukan Badan Pangan seperti amanat UU Pangan.
Badan Pangan
Menurut Jamhari, ketiadaan badan pangan telah membuat berbagai kontradiksi antarkementerian maupun lembaga-lembaga di bawahnya seperti Bulog.
Sebagai badan pangan Bulog bertugas menyerap beras petani dan menjaga harga namun sebagai BUMN ia harus mendapat untung. Terkait hal ini, Leo berpendapat pemerintah harus menempatkan kepala badan pangan yang kompeten untuk mengantisipasi mandulnya peran Bulog.
Ia bertanggung jawab langsung di bawah presiden. "Revitalisasi Bulog mesti disertai pengangkatan kepala Bulog yang tegas, berintegritas, dan berwibawa."
Sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat untuk menghindarkan Indonesia dari krisis pangan dan kebergantungan yang makin tinggi terhadap pangan impor, Presiden Joko Widodo dalam rencana perombakan kabinetnya sebaiknya mengisi jabatan kementerian terkait pangan dengan menteri-menteri yang pro-petani. (KJ/y)
http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=72585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar