Sabtu, 15 Agustus 2015
Fluktuasi harga daging sapi dalam satu dekade terakhir tak kunjung henti, terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontroversial dan tidak dibarengi data akurat.
Agustus ini, gejolak harga daging sapi berulang kembali, seperti yang terjadi tahun 2012. Penyebab dan fenomenanya pun relatif sama. Tahun 2011, menurut hasil sensus Pendataan Sapi dan Kerbau yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi ternak sapi berjumlah 14,8 juta ekor. Adapun menurut ”cetak biru” swasembada daging sapi, bahwa apabila populasi sapi telah mencapai 14,2 juta ekor, berarti swasembada daging sapi telah dicapai.
Hasil sensus tersebut dijadikan dasar kebijakan tahun 2012 untuk menurunkan kuota impor daging dan sapi dari 53 persen menjadi 17,5 persen. Dampaknya adalah harga daging sapi yang melambung tinggi dari Rp 70.000-an menjadi Rp 90.000-Rp 100.000-an per kilogram.
Kasus yang sama terjadi tahun 2015, meski sudah ada perubahan kepemimpinan di Kementerian Pertanian. Disepakati bahwa importasi ternak sapi dibagi dalam empat triwulan per tahun, sedangkan daging sapi dibebaskan tanpa kuota impor. Kesepakatan tersebut telah ditandatangani oleh tiap-tiap pengusaha penggemukan sapi potong untuk direalisasikan.
Pada triwulan kesatu dan kedua, ternyata para pengusaha feedlot tidak mampu memenuhi target impor yang diminta dalam jumlah ataupun kesepakatan harga. Hal ini sebenarnya dapat dipahami bahwa dampak perubahan yang drastis pada 2012 belum mampu memberikan iklim kondusif dalam penentuan harga dan volume impor, meski pemerintah telah menggelontorkan sapi siap potong sebanyak 29.000 ekor dan 1.000 ton daging melalui BUMN (PT Berdikari). Kondisi semakin parah karena Kementerian Pertanian memangkas kuota impor sapi bakalan di triwulan ketiga dari 250.000 ekor menjadi 50.000 ekor.
Sapi impor
Seperti diketahui, Jabodetabek merupakan wilayah konsumen daging sapi nasional, yang sebagian besar (98%) dipenuhi oleh sapi impor. Pemangkasan kuota impor serta-merta berdampak terhadap ketersediaan daging di pasar tradisional.
Secara otomatis, rendahnya pasokan sapi impor akan meningkatkan harga daging di pasar tanpa kendali. Dalam kasus kali ini, tampaknya pemerintah sangat panik, sehingga tanpa lagi melihat rambu-rambu kebijakan yang ada, mencoba mengatasinya. Alhasil semua seolah ”halal” dilakukan.
Katakanlah, pemerintah mengeluarkan izin impor sapi siap potong menjelang Lebaran dengan harapan harga daging sapi akan turun. Namun, realitasnya, harga daging tetap tidak berubah untuk turun, bahkan terus meningkat tajam, menembus angka Rp 130.000 per kilogram. Pada kondisi seperti ini, para pedagang daging akhirnya memilih berdemo tidak menjual daging sapi.
Sebenarnya demo para pedagang daging sapi ini lebih disebabkan oleh kerugian usaha yang membuat mereka sulit melanjutkan usaha. Posisi ini mendorong pemerintah mengambil kebijakan yang kontroversial.
Pertama, memberikan izin impor kepada ”Bulog” berupa sapi siap potong. Kebijakan ini jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014Pasal 36B Ayat 2, yang menyebutkan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri harus merupakan bakalan, bukan sapi siap potong.
Kedua, momentum demo pedagang daging bisa digunakan Bulog untuk memasarkan stok1.000 ton daging yang sudah disiapkan sejak Lebaran lalu. Sebenarnya peredaran daging impor ini hanya diperuntukkan bagi industri processing daging sapi, bukannya diperuntukkan bagi konsumen langsung.
Sebagaimana kita ketahui bersama pula bahwa sistem penggemukan sapi potong telah diatur oleh UU No 41/2014 tentang PKH, bahwa lama penggemukan minimal 120 hari, hal ini bermakna usaha penggemukan akan memberikan nilai tambah sebesar-besarnya bagi negeri ini. Nilai tambah tersebut berupa pupuk, kaki, kulit, kepala, tanduk, lemak, darah, dan lainnya. Nilai tambah ini akan memberikan pertumbuhan ekonomi bagi sektor lainnya, seperti sektor pertanian, pariwisata, dan ketenagakerjaan.
Jika saja pemerintah dengan kekuasaan mengambil keputusan tidak tepat dengan memasukkan atau melakukan importasi ”daging sapi” sebagai pemecahan masalah dari negara-negara yang masih bermasalah dengan penyakit hewan menular. Maka, kita akan masuk kepada kondisi keterperangkapan pangan (food trap) dan juga akan merapuhkan tatanan ekonomi perdesaan karena sumber faktor ekonomi masyarakat berupa ternak akan hilang dari kehidupan perdesaan.
Bisa berlanjut
Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan berlanjut pada sistem ekonomi secara meluas. Hal ini didasarkan pada hasil kajian Indonesia Riset Strategi Analisis (IRSA, 2009) yang menyatakan bahwa daging sapi memiliki keterkaitan terhadap 120 sektor ekonomi ke hulu maupun ke hilir, dan memiliki daya ungkit pengganda secara ekonomi tertinggi dibanding 175 sektor lain.
Hasil kajian menyimpulkan bahwa industri peternakan sapi potong cukup berarti bahkan memiliki potensi tinggi untuk menciptakan pengganda output dalam perekonomian nasional. Dengan kata lain, mempertahankan bahkan mengembangkan industri peternakan sapi potong di Indonesia perlu kondisi yang kondusif.
Maka, dalam mengatasi kemelut ini perlu kebijakan yang mampu berdampak positif terhadap pembangunan nasional, tidak melanggar peraturan yang ada, dan segera dirasa hasilnya. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memberikan ”dispensasi” bagi para pengusaha penggemukan (feedloter) untuk menggelontorkan sapi-sapi yang ada di kandang dengan memberikan insentif berupa penetapan izin impor selama 2015.
Dalam jangka panjang, pemerintah harus mampu menguasai stok sapi potong di BUMN, dengan membenahi sistem breeding dan infrastruktur.
ROCHADI TAWAF, DOSEN FAKULTAS PETERNAKAN UNPAD DAN SEKJEN DPP PPSKI
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150815kompas/#/6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar