Minggu, 9 Agustus 2015
Tingkatkan Koordinasi Antarlembaga
SUKOHARJO, KOMPAS — Pemerintah menjamin stok beras dalam kondisi aman meski ada fenomena El Nino yang menyebabkan iklim kekeringan. Meski demikian, sejumlah pihak menilai, koordinasi antarlembaga yang mengurusi pangan perlu lebih ditingkatkan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, ada proyeksi bahwa kekeringan akibat El Nino makin menguat hingga produksi pertanian akan turun.
Namun, pemerintah terus berupaya mengatasi kekeringan tersebut dengan memberikan akses air yang lebih baik bagi masyarakat. Upaya yang telah dilakukan, antara lain, membuat embung dan membagikan lebih banyak pompa air.
Pemerintah juga terus memperkuat cadangan beras Bulog melalui penyerapan produksi dari petani. Sementara kebijakan impor beras belum diambil.
”Sementara ini (stok beras) masih cukup. Kita terus-menerus memantaunya sehingga apa pun yang terjadi akan kami atasi. Kami jamin negeri ini tidak kekurangan beras, bagaimanapun caranya,” kata Kalla, Sabtu (8/8), di sela-sela kunjungannya ke Sukoharjo, Jawa Tengah.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang mendampingi Wapres, justru optimistis produksi beras di Jawa Tengah pada tahun ini akan meningkat ketimbang tahun sebelumnya.
Hal itu terjadi karena meski ada El Nino, daerah pertanian di sekitar Bengawan Solo, Jawa Tengah, tidak kekurangan air dan pada tahun ini mulai memasuki musim tanam ketiga. Sementara di sejumlah daerah yang mengalami kekeringan telah dibuat embung dan pembagian mesin pompa air.
Belum signifikan
Dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Kamis lalu, pemerintah menilai, El Nino belum berdampak signifikan terhadap penurunan produksi pangan dalam negeri.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, tanpa ada El Nino, lahan pertanian di Indonesia yang endemik kekeringan mencapai 200.000 hektar per tahun. Menyikapi hal itu, Kementerian Pertanian sudah melakukan sejumlah langkah sejak Januari 2015. Hingga saat ini, pemerintah telah membangun irigasi tersier yang mampu mengairi 1,3 juta hektar lahan dan membagikan 21.000 pompa air ke petani. Embung dan sumur dangkal juga telah dibangun di sejumlah tempat.
Dengan sejumlah langkah antisipatif tersebut, separuh dari 200.000 hektar lahan pertanian bisa diselamatkan dari ancaman gagal panen.
Sementara itu, sejumlah daerah yang masih teridentifikasi mengalami kekeringan adalah Kabupaten Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat); Demak, Pati, dan Grobogan (Jawa Tengah); Bojonegoro (Jawa Timur); serta Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).
”Sekarang ini belum terlihat dampaknya pada produksi pertanian karena hingga Agustus ini masih panen. Yang perlu kita antisipasi adalah (musim tanam) September-Oktober nanti,” kata Andi.
Terkait kekhawatiran daya dukung pengairan sejumlah waduk yang menurun akibat kekeringan, Andi menyatakan, sejauh ini belum ada persoalan dengan 18 waduk besar yang menyuplai 70 persen lahan irigasi.
Dengan kondisi itu, Andi berharap produksi padi di Tanah Air pada tahun ini mencapai angka ramalan dari Badan Pusat Statistik sebesar 75,5 juta ton.
Sementara itu, stok beras dalam negeri saat ini sekitar 1,5 juta ton. Diharapkan, serapan beras Bulog hingga akhir Oktober bisa mencapai 2,5 juta ton. Jika target serapan itu tidak tercapai, pemerintah akan mengevaluasi apakah masih memerlukan impor atau tidak. ”Jadi, impor itu pilihan terakhir,” kata Andi.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya menyatakan, El Nino masih berpotensi menguat hingga mencapai puncak pada Agustus-September. El Nino berpotensi mengakibatkan kekeringan di sejumlah daerah, seperti Sumatera Selatan bagian timur, wilayah Jawa, Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil wilayah Kalimantan Selatan bagian timur, Sulawesi bagian selatan, Sulawesi Tenggara bagian selatan, serta sebagian kecil wilayah Papua bagian selatan.
Namun, setelah El Nino, ada potensi hujan deras berlebihan hingga menimbulkan banjir di sejumlah wilayah Indonesia. ”Jadi, saat ini, sebenarnya kesempatan bagus untuk memperbaiki dan mengatur irigasi dan saluran air,” kata Andi.
Perombakan
Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Arif Satria menilai, kerja sama antarlembaga yang mengurusi pangan masih perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi dampak dari kekeringan. Saat ini, koordinasi antarlembaga yang mengurusi pangan, seperti Bulog, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan, belum optimal.
”Menteri Pertanian sering menyalahkan Bulog karena tidak mau menyerap beras dari petani. Namun, Bulog tidak mampu menyerap 4 juta ton beras seperti keinginan Presiden karena harga beli Bulog lebih rendah dibandingkan harga di pasar. Saat pemerintah membeli harga gabah kering panen Rp 3.700 tiap kilogram, harga di pasar sudah lebih tinggi,” kata Arif.
Ketua DPP PDI-P Andreas Pareira menambahkan, wacana pergantian kabinet yang muncul beberapa saat lalu membuat sejumlah menteri ditengarai kehilangan fokus dalam bekerja. Untuk mengatasi hal ini, Presiden perlu segera memberi kepastian terkait jadi tidaknya pergantian kabinet tersebut.
Hasil survei Litbang Kompas pada 25 Juni-7 Juli 2015 dengan 1.200 responden, penilaian publik terhadap Kabinet Kerja Jokowi-Kalla masih terhitung seimbang. Di satu sisi, kabinet masih punya modal sosial yang cukup besar untuk memperbaiki program-program pembangunan dan layanan publik. Namun, di sisi lain juga menyimpan dorongan bagi pergantian menteri yang dinilai kurang kapabel.
Persetujuan terhadap wacana perombakan kabinet lebih banyak datang dari pemilih partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Pemilih parpol anggota Koalisi Indonesia Hebat cenderung menolak perombakan Kabinet Kerja.
Semakin tinggi pendidikan responden, dukungan untuk merombak kabinet makin besar.
(B04/WHY)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150809kompas/#1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar