Rabu, 11 Mei 2016

CSIS: Impor Pangan Rawan Praktik Rente

Jakarta - Lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai kebijakan pemerintah dengan menerapkan sistem pembatasan melalui kuota impor terhadap produk jagung dan kedelai pakan ternak sangat rawan dengan terbentuknya praktik rente ekonomi. Sementara analis Bank Dunia mempertanyakan validitas data surplus beras yang dibuat oleh Kementerian Pertanian.

NERACA

"Jika disparitas harga dalam negeri dan di internasional makin lebar, peluang terjadi kartel makin kuat," kata Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri melalui keterangan tertulis yang diterima pers di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Yose, pemerintah Indonesia kerap kali mengatur urusan kebijakan pangan dengan pendekatan kebijakan perdagangan, salah satunya tercermin melalui pembatasan impor. Padahal, dengan sistem pembatasan, menurut dia, sering kali memunculkan terjadinya perbedaan harga yang tinggi.

"Kita perlu melihat lagi kebijakan pembatasan tersebut, apalagi dengan adanya evaluasi enambulan. Rasanya itu tidak responsif terhadap keadaan," katanya seperti dikutip Antara.

Akibatnya, muncullah disparitas harga antara dalam dan luar negeri. "Justru inilah yang membuat menjadi tidak efektif dan rawan terhadap rente ekonomi. Di sini bisa saja muncul konsesi-konsesi dan ini pernah terjadi pada kasus sapi 2014," ujarnya.

Yose juga menilai pembatasan melalui sistem kuota seperti yang dilakukan terhadap beras telah membuat harga beras berisiko naik hingga 25% pada tahun 2020. Apabila pembatasan impor dihilangkan, harga beras pada saat itu berpotensi turun 14,47%. .

Tidak hanya itu, Yose menilai sentimen pemerintah pada impor juga tidak baik bagi keadaan ekonomi Indonesia. Pasalnya, pembatasan impor dalam perjanjian perdagangan internasional juga dilarang.

"Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau perjanjian lain pembatasan atau pengaturan impor memang tidak diizinkan," katanya.

Pembatasan atau pengaturan oleh pemerintah, dia anggap tidak holistis dilakukan lantaran dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak stabil. "Jadi, pengaturannya ini saya lihat bermasalah," katanya.

Sementara itu, analis kemiskinan Bank Dunia Kantor Jakarta (Poverty Specialist World Bank Office Jakarta) Maria Monica Wihardja mengatakan, bahwa impor bukanlah hal yang haram untuk dilakukan oleh Indonesia.

Menurut Maria, meski selama ini 95% kebutuhan pokok beras sudah bisa dipenuhi, sebanyak 5% dari kebutuhan nasional harus tetap diperhatikan. Lambannya keputusan impor yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, menurut dia, telah mengakibatkan naiknya harga beras seperti yang terjadi awal tahun. Pemerintah bahkan sempat mencari pasokan beras sampai ke India dan Pakistan untuk memenuhi kebutuhan.

"Ini sangat terasa pada beberapa waktu yang lalu. Akibatnya, di awal tahun meski data menunjukkan surplus, harga merangkak naik. Ini dinilai menjadi penyebab signifikan tingginya harga komoditas pangan utama dalam negeri," ujarnya.

Maria menjelaskan bahwa volume beras di pasar global terbilang kecil sekitar 7%-8% dari total produksi dari lima negara produsen utama yang menguasai hingga 80 % pasar internasional.

Pertanyakan Data Beras

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret 2016 merilis angka sementara produksi padi 2015 sebesar 75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 6,37% dibandingkan 2014, atau surplus dari target.

Namun, surplus beras ini dipertanyakan oleh analis kemiskinan Bank Dunia,Maria Monica Wihardja. Menurut dia, apabila produksi beras surplus, harga beras seharusnya bisa stabil.

Dia mengungkapkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai tak manjur dalam mengendalikan harga dan menjaga stok beras di dalam negeri. "Ada dampak psikologis, apalagi di bulan Januari perlu ada stok (Bulog) yang cukup tinggi. Ditambah stok tipis dan pemerintah mengeluarkan sentimen anti impor, maka pedagang sudah tahu bahwa harga akan naik, makanya ditimbun," kata Maria.

Maria mengungkapkan, persoalan lainnya yakni terlambatnya keputusan impor beras. Menurutnya, selama bisa diatur dengan perencanaan yang baik, beras impor tidak akan merusak harga di tingkat petani. Bahkan, beras bisa disimpan di negara eksportir dan bisa didatangkan kapan saja sesuai kesepakatan.

Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, Suwandi mengatakan, validitas data produksi dapat dicek dari survei Sucofindo dan survei Badan Pusat Statistik (BPS).

Yakni stok beras sebanyak 8 hingga 10 juta ton tersebar di Bulog dan masyarakat. Rincian hasil survei tersebut yaitu stok di produsen sebanyak 64% hingga 81%, di pengilingan dan pedagang sebesar 9%-24%, dan di konsumen 9%-11%.

"Stok beras berfluktuasi antar-ruang dan waktu, terutama saat musim panen dan paceklik, serta antar wilayah 16 provinsi sentra dan non sentra padi," kata Suwandi. Stok beras di Bulog pada Februari 2016 sebanyak 1,4 juta ton dan April 2016 mendekati 2 juta ton.

Suwandi menambahkan, keberadaan stok di produsen pun terkonfirmasi dengan data Sensus Pertanian BPS 2013 yang menyebutkan dari 14,3 juta rumah tangga petani padi, terdapat 37,6% petani yang tidak menjual gabah/beras hasil padinya.

Gabah maupun beras tersebut biasanya untuk disimpan dan konsumsi sendiri. Adapun 54,9% menjual sebagian hasilnya, dan sisanya 7,6% menjual seluruh hasil usahanya.

Untuk itu, Suwandi menilai pernyataan Bank Dunia membuat publik menduga-duga, di antaranya kemungkinan itu pendapat pribadi dan bukan rilis resmi Bank Dunia, karena terlihat analisis dan argumentasinya kurang tepat.

Selain itu, tidak mungkin Bank Dunia menyarankan Indonesia impor beras di saat beras mencukupi. "Impor beras hanya akan menguras devisa dan menyengsarakan petani," tegas Suwandi.

Di tempat terpisah, Menurut beberapa pengamat yang hadir dalam forum diskusi di CSIS di Washington, AS, kondisi ketidakpastian itu juga terjadi di Indonesia. Namun, penasihat "Sumitro Chair for Southeast Asia Studies," Ernest Z. Bower, tetap optimis dengan kepemimpinan Joko Widodo.

Bower mengatakan, "Jokowi berhasil melakukan reformasi tahun lalu, meskipun memang lebih banyak merupakan reformasi ke dalam negeri. Dia sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan ekonomi. Tetapi belum menyentuh isu-isu ekonomi besar yang ditunggu-tunggu para investor di luar negeri.”

Dijelaskan, awal Januari tahun ini geliat ekonomi di Tiongkok menimbulkan dampak luar biasa ke seluruh dunia. Keputusan China Securities Regulatory Commission menangguhkan sistem "circuit breaker", empat hari setelah diperkenalkan kepada publik, membuat pasar-pasar keuangan di Asia, Amerika dan Eropa terjun bebas lebih dari 2%.

Sistem circuit breaker adalah sistem baru yang dibuat otorita berwenang di Tiongkok yang sedianya untuk menstabilkan pasar. Tetapi sistem ini justru sudah dua kali menangguhkan perdagangan di lantai bursa pekan ini dan dikecam karena justru semakin membuat pasar menjadi rentan, bukan stabil.

Belum lagi pasar-pasar keuangan pulih, Tiongkok kembali mengambil kebijakan besar dengan memangkas nilai mata uang yuan, yang terbesar sejak Agustus 2015 lalu. Pemangkasan ini sebenarnya diprediksi tidak akan menimbulkan gejolak luar biasa, tetapi anjloknya harga minyak dunia hingga di bawah US$30 per barel kembali membuat pasar-pasar keuangan dunia terjun bebas.

Krisis keuangan Asia dinilai sebagai “black swan” atau hal-hal di luar dugaan yang dinilai memiliki konsekuensi sangat besar. Direktur CSIS Bidang Ekonomi-Politik dan Bisnis China, Scott Kennedy, mengatakan ketidakpastian ekonomi di Tiongkok dikhawatirkan akan memicu krisis keuangan babak kedua di Asia, dan berimbas ke seluruh dunia.

"Kebijakan ekonomi di Tiongkok sama tidak jelasnya dengan udara di Beijing saat ini," ujar Scott Kennedy.

"Ada dua kebijakan ekonomi Tiongkok yang masih akan menimbulkan dampak pada Amerika yaitu pertama, ketidakjelasan arah kebijakan. Kita benar-benar tidak tahu kemana tujuan arah kebijakan itu jika memang Tiongkok berniat melakukan reformasi ekonomi.”

Adalah Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia adalah beberapa negara yang dinilai menjadi indikator ekonomi, keamanan dan reformasi yang dilakukan tidak saja di Asia, tetapi juga dunia. Amerika mencermati perubahan kebijakan yang terjadi di negara-negara itu karena kerap menimbulkan riak pada kondisi di negara ini.bari/mohar/fba

http://www.neraca.co.id/article/69224/csis-impor-pangan-rawan-praktik-rente

Tidak ada komentar:

Posting Komentar