Selasa, 7 Juli 2015
Desakan perlunya segera dibentuk lembaga pangan sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang bertanggung jawab dan di bawah langsung presiden, mulai dari anggota DPR, akademisi, praktisi bidang pangan, dan para pemangku kepentingan lainnya, semakin kencang disuarakan berbagai kalangan.
Ini cukup beralasan mengingat permasalahan pangan datang bertubi-tubi silih berganti mendera negeri ini mulai dari menipisnya stok beras di Bulog, awal tahun yang berdampak tersendatnya penyaluran raskin dan pemberian stimulas kepada pasar terhadap kenaikan beras, hingga terjadinya fenomena munculnya beras plastik, merembesnya bawang merah impor ilegal di pasar tradisional beberapa kota besar, dan yang terkini kenaikan harga bahan pangan seperti bawang merah, cabai, daging ayam, daging sapi, dan telur ayam.
UU No 18/2012 pasal 126 secara eksplisit mengamanatkan bahwa dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Di mana, dalam proses pembentukan lembaga pangan ini, UU tersebut menegaskan harus terbentuk paling lambat 3 tahun sejak UU Pangan diundangkan.
Pemerintah sendiri saat ini sedang merancang Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional (BPN).
Mencermati fungsi rancangan BPN tersebut, terlihat lebih banyak mengadopsi prototipe fungsi Badan Ketahanan Pangan (BKP), lembaga di bawah Kementerian Pertanian. Dalam pengelolaan pangan saat ini, selain BKP, Badan POM, dan Bulog terdapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang beranggotakan 16 kementerian dan 2 lembaga dengan fungsi sebagai lembaga fungsional koordinatif antar-kementerian/lembaga yang diketuai langsung Presiden, dengan ketua harian Menteri Pertanian, dan ex-officio adalah BKP. Namun demikian, kenyataannya beberapa kelembagaan pangan tersebut belum maksimal mengatasi problematika pangan di negeri ini dan seringkali termentahkan pada tingkat koordinasi.
Berkaca pada kondisi tersebut, lembaga pangan yang baru kelak harus memiliki otoritas, integritas, dan tugas serta fungsi (tusi) yang kuat. Tidak sekedar menaikkan status BKP menjadi lembaga pemerintah non-kementerian. Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk memperkuat kewenangan dan fungsi BPN adalah menyatukan seluruh tusi yang ada di kementerian/lembaga menjadi melekat di lembaga pangan tersebut. Selain agar BPN menjadi powerfull dari sisi otoritas juga untuk mempersingkat rantai birokrasi yang begitu panjang dan tumpang tindih tusi selama ini.
Di sini semua kementerian/lembaga terkait urusan pangan harus duduk bersama merumuskan tusi BPN. Melalui wadah DKP, Presiden selaku ketua DKP atau forum rapat terbatas dapat memberikan arahan kepada para pembantunya. Opsi tersebut kemungkinan besar akan mendapat tentangan dari berbagai kementerian/lembaga terkait, mengingat urusan pangan oleh masing-masing kementerian/lembaga sudah lama dilaksanakan. Namun demikian, opsi tersebut bisa memecahkan kebuntuan lemahnya koordinasi yang terjadi selama ini. Konsekuensinya BKP dan DKP akan melebur dalam lembaga pangan tersebut.
Dengan struktur rancangan tersebut, BPN difungsikan menjadi regulator dengan fokus utama pada sisi hilirisasi, sedangkan dari sisi hulu seperti peningkatan produksi, sistem budidaya pangan dan sebagainya masih tetap di bawah naungan kementerian teknis terkait. Sedangkan Bulog dari sisi fungsi, direvitalisasi dan dikembalikan ke ‘khitahnya’ sebagai LPNK bukan Perum seperti saat ini yang harus bermain dengan dua sisi. Di satu sisi secara komersial harus profit oriented, di sisi lain harus menjalankan penugasan urusan pangan dari pemerintah. Sehingga Bulog sebagai lembaga operator menjalankan hasil kebijakan dari BPN.
Dengan sarana infrastruktur yang dimiliki saat ini, Bulog memiliki kesiapan kelembagaan dan sarana pendukung dalam pengelolaan beras dan beberapa pangan lainnya. Dalam mengelola cadangan pangan, hal ini sejalan dengan amanah pasal 32 UU No 18/2012 tentang Pangan bahwa pemerintah menugasi kelembagaan pemerintah bidang pangan untuk mengelola ‘cadangan pangan pemerintah’ dengan dukungan sarana, jaringan, dan infrastruktur secara nasional.
Dalam skala yang lebih luas BPN dapat melaksanakan pembinaan dan mengoordinasikan kegiatan Bulog dalam melaksanakan penugasan pemerintah untuk pengadaan, penyimpanan, distribusi dan stabilisasi harga pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan pemerintah dalam rangka ketahanan pangan.
Untuk mengembalikan peran Bulog kepada ‘khitahnya’ tidak sesulit yang kita bayangkan. Ini mengingat sinyal perombakan fungsi Bulog sudah dikemukakan langsung oleh Presiden Joko Widodo saat pembukaan Rakernas Tim Pengendali Inflasi Daerah, 27 Mei 2015 silam. Jadi, tugas utama perancang kelembagaan Bulog saat ini adalah membuat peran Bulog semaksimal mungkin selaras dengan BPN.
Oleh karena itu, sebagai hubungan regulator-operator, Bulog yang selama ini memiliki banyak ‘Bapak’, misalkan dalam hal raskin dengan Kementerian Sosial, kemudian dalam hal pengadaan impor, operasi pasar, dan stabilisasi harga pangan dengan Kementerian Perdagangan, dan pemberian rekomendasi izin impor pangan dengan Kementerian Pertanian. Dengan adanya BPN, maka Bulog akan berpatron kepada lembaga pangan baru tersebut sehingga rantai birokrasi akan menjadi singkat dan problematika pangan yang mengemuka akan cepat diantisipasi.
Selain penguatan otoritas kelembagaan pangan di pusat, yang tidak kalah pentingnya adalah tata kerja yang harus dibangun antara pusat dan daerah di era otonomi daerah. Kelembagaan yang menangani ketahanan pangan yang sudah terbentuk di provinsi dan kabupaten/kota menjadi modal utama untuk menjalin tata kerja antara pusat dan daerah.
Bagaimanapun pangan memiliki posisi yang sangat strategis, antara lain karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, perubahan kelembagaan pangan adalah realistis dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Faktor otoritas kelembagaan pangan yang kuat dan kepemimpinan tidak dapat dipisahkan untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan sebagaimana dicita-citakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. ***
Penulis adalah bekerja di Badan Ketahanan Pangan, alumnus prodi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana UGM.
http://www.suarakarya.id/2015/07/07/urgensi-lembaga-pangan-oleh-yudhi-harsatriadi-sandyatma.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar