JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga atau badan pangan baru. Status Badan Urusan Logistik (Bulog) pun menjalani proses perubahan dari perusahaan umum (Perum) menjadi non-perum. Harapannya, Bulog menjadi lembaga yang lebih kuat untuk menangani masalah pangan Indonesia.
Namun belajar dari sejarah, perubahan ini agaknya harus diikuti perubahan tata kelola manajemen keuangan. Jika tidak, maka seperti yang sudah-sudah, Bulog hanya akan dijadikan alat pemenuhan dana bagi kelompok tertentu.
Pengamat Pangan Khudori menyatakan, dengan posisi Bulog saat ini, memang benar banyak keterbatasan. Apalagi, terdapat 9 kementerian dimana Bulog harus berkordinasi sehingga aksinya selama ini dianggap kurang lincah.
"Status Perum membuat kelamin Bulog menjadi banci, di satu sisi menjalankan fungsi publik, sisi lainnya menjalankan fungsi komersil," katanya kepada gresnews.com, belum lama ini.
Perubahan status Bulog menjadi perusahaan umum (perum), diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003. Sejauh ini Bulog belum bisa menyeimbangkan kedua fungsi tersebut dengan baik seperti yang dilakukan Pegadaian. Praktis 12 tahun setelah pembentukannya, Bulog belum cukup mampu melewati masa transisinya, dan masih bergantung pada penugasan pemerintah.
Dengan status Bulog yang diubah sehingga tak berorientasi sebagai pencari untung, membuat kelaminnya lebih jelas dan lebih fleksibel dalam bekerja, sebab hanya berkordinasi dengan satu majikan. Namun, perubahan yang bagus ini masih memiliki celah kekurangan yang berimplikasi pada terjadinya moral hazard.
Pada saat Bulog masih berbentuk lembaga pemerintah non-departemen LPND sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dalam pelayanan publik di bidang pangan, khususnya beras. Tugas Bulog sebagai public service obligation dan tidak dituntut untuk mencari profit. Di sisi lain, meskipun bukan BUMN, Bulog melakukan aktivitas usaha, yang memungkinkan meraih untung besar.
Karena tidak ada tuntutan meraih untung itulah setiap keuntungan Bulog dimasukkan ke kas nonbudgeter. Kas nonbudgeter ini yang menjadi incaran penguasa untuk dimanfaatkan bagi kepentingannya. Dengan status semacam itu, dalam pengelolaan keuangan, standar akuntansi yang digunakan Bulog menjadi kacau dan tidak jelas acuannya.
"Tinggal pengawasannya, tiap sisi yang ada moral hazard ditutup. Masalahnya kan nanti akan dibiayai APBN, jadi tugasnya hanya menghabiskan anggaran," katanya.
DI BAWAH KENDALI PRESIDEN - Bulog yang nantinya akan berada di bawah kendali langsung presiden juga sangat rawan dari intervensi kepentingan politik. Karena pengelolaan keuangan hanya berdasarkan Keputusan Presiden, bukan berdasarkan undang-undang keuangan negara.
Pada waktu Presiden Megawati juga menggunakan dana nonbudgeter Bulog untuk membayar uang muka imbal-beli pesawat, dan Bulog tidak dapat berkutik. Apalagi, struktur Bulog langsung berada di bawah Presiden.
Contoh lain misalnya adanya rekayasa pembayaran pembatalan ruilslag antara Bulog dengan Goro Batara Sakti (GBS). Rekayasa pembayaran pengeluaran dana Rp4,6 miliar yang dilakukan empat deputi Bulog kepada bank garansi, yang dikeluarkan pada 24 Mei 2000, murni korupsi.
Dana sebesar Rp4,63 miliar yang ditujukan kepada GBS melalui rekening di BNN, sebenarnya ditujukan untuk keperluan meringankan posisi mantan Ketua Bulog Beddu Amang yang menjadi terdakwa kasus korupsi ruilslag Bulog-GBS. Tujuannya, agar tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara, sehingga dakwaan korupsi terhadap Beddu tidak terbukti.
Empat deputi Bulog mengeluarkan dana Rp4,63 miliar dengan nota dinas tertutup. Para oknum petinggi Bulog ini juga mencoba mempersiapkan proteksi pengamanan dini untuk menghilangkan jejak pertanggungjawabannya. Kasus ini mengingatkan sejarah panjang Bulog di masa Orde Baru, yang dalam batas-batas tertentu, menjadi penentu dan penopang rezim yang berkuasa dari kejatuhan.
"Masa lalu bulog kita tak jelas pertanggungjawaban akuntansinya sehingga dananya menjadi incaran banyak pihak," ujarnya.
Mengenai mekanisme pertanggungjawaban dana non budgeter sendiri hingga kini belum diatur secara khusus di dalam peraturan perundang-undangan. Tak ada bentuk strategi penanganan oleh penegak hukum terhadap dugaaan penyalahgunaan dana non budgeter yang terjadi.
Pada era Presiden Habibie, Rahardi Ramelan selaku Kepala Bulog dinyatakan bersalah oleh Pengadilan, sedangkan Akbar Tanjung yang pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dinyatakan bersalah, akhirnya pada tingkat kasasi dinyatakan tidak bersalah. Menghadapi kasus ini akhirnya DPR membuat Panitia Khusus, dalam Laporan Panitia Khusus DPR RI Untuk Mengadakan Penyelidikan Terhadap Kasus Dana Milik Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan BULOG dan Kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam Kepada Presiden KH Abdurrahman Wahid yang disampaikan Pada Rapat Paripurna DPR RI Tanggal 20 Januari 2001.
Pansus sampai pada kesimpulan bahwa kasus Yanatera Bulog dan dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam patut diduga Presiden Abdurrahman wahid dinilai telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan terhadap masyarakat dan lahirnya KKN baru.
Sedang pada 10 Mei 2003 lalu, saat posisi Bulog berubah dari LPND menjadi Perum Bulog, acuan akuntansi keuangannya pun menjadi jelas. "Nanti, jika posisinya benar berubah menjadi Non perum, indikator kinerja dan laporan keuangannya harus jelas," katanya.
Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Said Abdullah juga menyatakan hal yang sama, karena nantinya seluruh aktivitas Bulog dibiayai APBN maka aktivitas pembelian ke petani pun menjadi rawan. Saat Bulog berbentuk LPND dan berada di hingga tingkat kecamatan terdapat "permainan" di proses pembelian. Para petinggi Bulog banyak yang menganggarkan pembelian lebih tinggi dari realisasinya.
"Penyelewengan pembelian ini ada di gudang, bocor semua. Banyak praktek anggaran dan manipulasi," katanya kepada gresnews.com.
SEBAGAI STABILISASI HARGA - Namun, perubahan status menjadi non perum ini pun diapresiasi Ketua DPD RI, Irman Gusman, penggodogan menjadi BLU ini menjadikan fungsi utama Bulog menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok, serta melakukan distribusi ke seluruh Indonesia. "Saya sudahenyarankan ini kepada pemerintah jauh hari sebelum Presiden Jokowi menjelaskannya kepada publik," ujarnya dalam pesan singkat kepada gresnews.com.
Dengan perubahan status tersebut, ia berharap Bulog bisa menjadi lembaga yang kuat seperti pada zaman Soeharto, sebelum bulog diintervensi oleh IMF. Perubahan status tersebut akan digulirkan melalui Keputusan Presiden (Kepres) yang menurut rencana akan diterbitkan pada bulan Oktober 2015. Hal itu dilakukan pemerintah agar negara memiliki kepanjangan tangan dalam menjaga stabilitas barang kebutuhan pokok dan mampu melawan para spekulan yang selama ini kerap memainkan harga kebutuhan pokok.
Berkaitan dengan jalur koordinasi, posisi Bulog berada langsung di bawah Presiden dan tidak berada di bawah kementerian BUMN lagi. Ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sementara kebijakan sehari-harinya berada di bawah Kementerian Perdagangan. Bulog akan menjadi lembaga yang kuat dalam menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan mampu menjaga stabilitas harga pangan.
Karena dengan posisi Bulog berada di bawah Presiden dan pelaksana kebijakan Kementerian Perdagangan, Bulog tidak lagi menjadi pencari untung tetapi benar-benar sebagai alat negara penyangga pangan. Dengan demikian, posisi Bulog akan lebih mampu menekan inflasi. Terlebih yang ditangani Bulog nanti tidak hanya beras, tetapi juga jenis sembako yang lainnya.
Lebih jelasnya, Dirut Bulog sebagai pelaksana dari kebijakan Kemendag, katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, posisi badan pangan dan Bulog ini seperti bayi kembar siam. Badan pangan nasional nantinya akan menjadi regulator dan Bulog menjadi operator.
"Bulog nanti tidak akan bertanggung jawab lagi ke berbagai kementerian seperti saat ini," ujarnya.
http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/90237-bulog-berganti-wajah-masalah-baru-mengintai/0/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar