Rabu, 29 Juli 2015

El Nino dan Kearifan Kita

Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik telah memberitakan banyaknya daerah yang mengalami krisis air bersih.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan tahun ini Indonesia akan kembali dilanda fenomena alam El Nino dengan intensitas moderat. Tampaknya dampak yang ditimbulkan telah kita rasakan bersama.

Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik telah memberitakan banyaknya daerah yang mengalami krisis air bersih. Awal Juli sebuah harian yang terbit di Semarang, Jawa Tengah, memuat berita dengan judul besar “Kemarau, Lima Waduk Mengering”. Tidak lama kemudian, sebuah harian nasional juga memuat berita dengan judul “Kekeringan Ancam 200.000 Hektare Lahan”. Banyak juga media melaporkan terpantaunya titik api sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
   
Di bidang pangan, sedikit banyak fenomena ini pasti berdampak pada capaian produksi berbagai komoditas. Sesuai periodisasinya, awal Juli Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka ramalan I (aram I) produksi beberapa komoditas pangan utama, seperti padi, jagung, dan kedelai.
Menurut aram I BPS, produksi padi nasional 2015 akan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), produksi jagung 20,67 juta ton pipilan kering, dan produksi kedelai 998.870 ton biji kering. Namun, ada satu hal yang perlu diingat, aram I BPS merupakan angka perkiraan produksi pada tahun berjalan dengan basis data luas tanaman akhir Desember tahun sebelumnya. Jadi, belum memperhitungkan dampak yang ditimbulkan fenomena El Nino ini terhadap produksi pangan.
   
Ada beberapa kondisi objektif yang berkembang beberapa hari terakhir yang mengharuskan kita mewaspadai dampak terburuk dari fenomena alam El Nino ini. Beberapa kondisi objektif tersebut di antaranya, meskipun saat ini musim kemarau belum mencapai puncaknya, di sejumlah daerah telah terjadi krisis air bersih.
Ratusan penduduk di sejumlah desa di Kabupaten Tegal merayakan Lebaran kemarin dalam kondisi keterbatasan air bersih. Padahal, tahun-tahun sebelumnya mereka ini baru minta bantuan air bersih bulan Agustus dan kini sudah menjerit kekurangan air sejak pertengahan Juni. Hal ini terjadi karena sejak awal Mei hingga sekarang ini tidak pernah turun hujan lagi.
   
Negeri ini sebenarnya sudah berkali-kali dilanda bencana kekeringan yang dipicu fenomena alam El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini dan akurat terhadap fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi ramalan baru diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan selalu saja terlambat. Ketika Indonesia dilanda bencana kekeringan tahun 1997/1998, antisipasi pemerintah waktu itu terlambat karena bersamaan waktunya dengan terjadinya gejolak sosial, politik, dan ekonomi. Pemerintah Orde Baru harus membayar mahal keterlambatan antisipasi dampak yang ditimbulkan fenomena alam tersebut. Impor beras lebih dari 5 juta ton yang ditempuh pemerintah tidak mampu menyelamatkan keadaan. Rezim yang telah berkuasa sangat powerful selama 32 tahun itu pun tumbang.

Gerak Cepat
   
Bencana alam selalu identik dengan keterbatasan dan penderitaan. Ketersediaan air bersih yang makin menipis telah memaksa sebagian masyarakat harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan akses air minum.  Menipisnya stok bahan pangan telah mengancam warga dari kekurangan pangan. Buruknya sanitasi lingkungan dan kualitas udara yang berdebu telah memicu timbulnya berbagai penyakit.
Kita harus arif menyikapi dan mengelola risiko yang ditimbulkan fenomena alam El Nino. Langkah darurat yang bersifat “memadamkan kebakaran” harus segera ditempuh. Pemerintah daerah harus bergerak cepat memobilisasi sistem serta mengerahkan seluruh sumberdaya yang ada. Seluruh armada harus dikerahkan untuk memberikan bantuan air bersih, bahan pangan, serta bantuan kesehatan dasar bagi warga yang membutuhkan. Keterlambatan dalam memberikan bantuan akan berakibat makin parahnya penderitaan warga yang menjadi korban.
   
Untuk menyelamatkan tanaman pangan yang terancam puso dilakukan dengan pengaturan irigasi secara bergilir, memanfaatkan air yang masih ada seoptimal mungkin, serta pemanfaatan sumur pantek bagi daerah yang memungkinkan untuk suplesi irigasi. Perlu dilakukan pemanfaatan ulang (reuse) air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing).
Upaya jangka menengah dilakukan dalam kaitannya dengan upaya memanen hujan (rain harvest). Prinsipnya sangat sederhana, kelebihan air di musim hujan ditampung dan disimpan di dalam waduk, bendung, situ, embung, dan bangunan fisik penampung air lainnya untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
   
Percontohan yang dilakukan di Anne Frank and Pedro Guerra Schools di Belo Horizonte, Brasil, memfokuskan pada penyimpanan dan penggunaan air hujan untuk irigasi kebun, demplot komoditas pertanian, serta untuk menyiram halaman sekolah. Demonstrasi seperti ini merupakan ajang pendidikan bagi para siswa menyangkut berbagai isu tentang air, seperti konsumsi, pemanfaatan, penghematan, serta kualitas.
????Sektor pertanian merupakan sektor paling boros dalam menggunakan air. Oleh karena itu, kampanye untuk efisiensi penggunaan air (more crop per drop) perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sekolah lapang iklim (SL-Iklim) perlu dimasyarakatkan kepada para petani agar mereka mampu merencanakan sendiri budi daya pertanian secara rasional. Selama ini ketika melihat air masih menggenang di sawah, yang ada di benak petani adalah menanam padi. Mereka tidak berhitung secara rasional sebulan atau dua bulan kemudian tanamannya gagal panen karena kekeringan.
   
Riset dan teknologi pertanian berperan sangat besar dalam mengantisipasi anomali iklim ini. Perlu inovasi teknik budi daya untuk melindungi tanaman dari kondisi iklim yang ekstrem. Jika sebelumnya para peneliti kita lebih fokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan produktivitas tinggi, ke depan harus diciptakan varietas yang selain berproduksi tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal (kekeringan, salinitas tinggi, dan genangan tinggi).
   
Upaya jangka panjang lebih ditekankan pada perubahan paradigma dan budaya masyarakat dalam mengelola alam. Paham antroposentrisme telah menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi, menganggap air sebagai sesuatu yang diberikan alam sehingga masyarakat sangat boros menggunakan air. Paradigma seperti ini harus segera dicerahkan karena tidak lagi sesuai dengan peradaban.
   
Alam telah memberi semuanya. Oleh karena itu, semua orang tanpa kecuali dituntut arif dalam mengelola air yang merupakan barang tidak tergantikan (non substituble good) bagi kehidupan. Fenomena El Nino kali ini harus kita sikapi dengan arif. Hanya dengan kearifan itulah peradaban ini dapat kita selamatkan.

Toto Subandriyo
Penulis adalah pengamat sosial-ekonomi, alumnus IPB dan Magister Manajemen Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

Sumber : Sinar Harapan

http://www.sinarharapan.co/news/read/150728273/el-nino-dan-kearifan-kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar