Kamis, 16 Juli 2015

Penanda Baru Swasembada Pangan

Kamis, 16 Juli 2015

Menarik untuk mencermati indikator pencapaian swasembada padi, jagung, dan kedelai.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengumumkan pada 1 Juli angka produksi padi pada 2015 adalah yang tertinggi 10 tahun terakhir. BPS memperkirakan produksi  padi  pada  2015 sebanyak  75,55  juta  ton  gabah kering giling, naik 4,70 juta ton (6,64 persen) dibandingkan 2014. Kenaikan produksi padi pada 2015 diperkirakan terjadi di Pulau Jawa sebanyak 1,83 juta ton dan di luar Jawa 2,88 juta ton. Kenaikan produksi diperkirakan karena kenaikan luas panen seluas 0,51 juta hektar (3,71 persen) dan kenaikan produktivitas 1,45 kuintal/ha (2,82 persen).

Produksi kedelai dan jagung juga naik. Produksi  jagung  tahun  2015 diperkirakan  20,67  juta ton pipilan kering ,   naik 1,66 juta ton (8,72 persen) dibandingkan 2014. Peningkatan diperkirakan akibat kenaikan luas panen seluas 160.480 ha (4,18 persen) dan kenaikan produktivitas 2,16 kuintal/ha (4,36 persen). Produksi  kedelai  2015  diperkirakan  998.870  ton  biji  kering , meningkat 43,87 ribu ton (4,59 persen) dibandingkan 2014. Peningkatan terjadi  karena  kenaikan  luas  panen  seluas  24,67  ribu  ha  (4,01  persen)  dan peningkatan produktivitas sebesar  0,09 kuintal/ha (0,58 persen).

Pilihan kebijakan

Pengumuman peningkatan produksi tiga komoditas pangan strategis ini menjadi penanda yang baik dari pilihan kebijakan dan kerja keras pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, dalam memacu produktivitas dan frekuensi penanaman, memperbaiki infrastruktur produksi, dan menyebarkan alat dan mesin peralatan pertanian (alsintan).

Ternyata mengisi kekurangan stok nasional untuk padi, jagung, dan kedelai bisa dilakukan dengan mengerahkan kekuatan produktif sendiri, khususnya para petani pertanian pangan, dan mencegah impor yang berakibat pada efek penciptaan ekonomi rente yang dinikmati oleh pemain dalam rantai perdagangan internasional komoditas pangan.

Para promotor impor pangan selalu menyampaikan bahwa kekurangan stok pangan perlu diisi dengan impor. Pada kenyataannya, yang justru terjadi adalah para pemain perdagangan internasional komoditas panganlah yang ikut membentuk kebijakan impor komoditas pangan. Kalau pandangan itu terus dianut, kecanduan dan ketergantungan pada impor komoditas pangan menjadi tidak bisa diobati.

Kemampuan memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan adalah satu pilar kekuatan negara. Dalam Nawacita, pembangunan pertanian dinaungi pendekatan kedaulatan pangan. Secara konsepsional, kedaulatan pangan merupakan cara pandang mendasar pembangunan pangan yang bertumpu pada kemampuan produktivitas nasional di atas tanah dan oleh produsen pangan terutama petani. Kedaulatan pangan mengedepankan kepentingan pemenuhan kebutuhan dalam negeri agar tercipta kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Kedaulatan pangan memampukan kita memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi bahan pangan dari tanah/tangan bangsa sendiri.

Pemerintah berperan memastikan kedaulatan pangan sebagai agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yakni: "hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal".

Optimisme dan tantangan

Pencapaian swasembada padi, jagung, dan kedelai penting untuk membangkitkan optimisme pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan. Pada segi produksi, fokusnya adalah memastikan penyaluran  bibit, pupuk, modal, dan alat mesin pertanian yang kian bagus kualitas dan kuantitasnya, serta cocok jadwalnya dengan siklus penanaman.

Kita juga harus menemukan cara-cara manjur untuk melindungi lahan pertanian pangan produktif dari derasnya arus konversi lahan ke nonpertanian. Sarana dan prasarana pertanian pun telah terus diperbaiki, khususnya bendungan dan saluran irigasi untuk pengairan. Tantangan utama yang berat adalah pada pengadaan lahan pertanian bagi petani, termasuk untuk komoditas padi melalui pencetakan sawah baru.

Masih belum bisa ditemukan kecocokan antara agenda program reforma agraria dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan keperluan pengadaan lahan pertanian yang menjadi sasaran layanan Kementan. Begitu pula dengan pemanfaatan tanah untuk pertanian yang berada dalam kawasan hutan negara, termasuk yang berada di dalam pengelolaan Perhutani.

Petani sebagai produsen pangan tak boleh lagi menjerit karena harga hasil pertanian pangan dihargai kelewat murah. Awal Mei 2015, BPS mengumumkan indikator kesejahteraan petani yang belum membaik. Nilai tukar petani (NTP) April 2015  di sektor tanaman pangan turun dari 102,03 menjadi 100,80 (minus 1,21), sementara indeks harga yang dibayarkan petani naik sedikit dari 118,15 ke 118,7. Secara keseluruhan inflasi di kawasan pedesaan sebesar 0,48 karena baiknya indeks semua kelompok konsumsi.

Tantangan berikutnya adalah aspek distribusi bahan makanan pokok yang menjadi hajat hidup rakyat banyak. Pola distribusi yang rantainya terlalu panjang dari produsen ke konsumen yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi pada komoditas sembako harus dipangkas. Pencaplokan margin keuntungan yang terlalu berlebihan oleh nonprodusen dalam perdagangan pangan, termasuk yang bekerja melalui impor pangan, harus dihentikan. Konsumen tak boleh lagi berteriak sebab pangan harganya terlampau mahal.

Memasangkan hubungan antara produsen dan konsumen pangan ini perlu diatur pemerintah sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan satu sama lain. Dari sisi produsen, merasakan keadilan dan kesejahteraan. dari sisi konsumen, terpenuhi kebutuhan pangan berupa ketersediaan dengan harga yang terjangkau.

Sementara pemain di perdagangan pangan mendapatkan keuntungan secukupnya tanpa menjadi spekulan dan pengendali yang semaunya saja mengatur harga di petani maupun harga di konsumen. Pengaturan pemerintah, termasuk nantinya melalui Badan Pangan Nasional, terutama ditujukan untuk mencapai hubungan yang lebih seimbang itu.

NOER FAUZI RACHMAN

Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa, peneliti Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan  Studi Agraria, dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150716kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar