Jumat, 24 Juli 2015
LOGIKANYA setelah Ramadan ini etika dan etos publik yang menjalankan ibadah puasa akan meningkat. Artinya, jika puasa secara serius dijadikan momentum penggemblengan diri secara total, maka kualitas spiritual, intelektual, emosional dan fisikal kita pun otomatis meningkat. Kita pun akan sampai pada fase kelahiran kembali, menjadi manusia baru yang serba bersih dan fresh.
Namun yang sering terjadi justru sebaliknya. Setelah akhir puasa dan memasuki suka cita Lebaran banyak orang justru terjebak pada kubangan hedonisme, nafsu mengejar kenikmatan baik secara biologis maupun psikologis. Ada semacam dendam yang harus dilampiaskan. Meja makan kita penuh beraneka menu, serba enak dan nikmat. Begitu pula dengan berbagai kesenangan lainnya.
Dalam pertarungan kepentingan antara dunia daging (hawa nafsu memburu kenikmatan) dengan dunia roh (nilai-nilai spiritual, intelektual dan emosional), manusia harus memenangkan dunia roh secara vertikal dan horizontal. Jalan vertikal berorientasi pada nilai-nilai Illahiyah, dimana manusia menyatu dengan Allah SWT melalui berbagai ibadah dan amalan mulia lainnya yang berbuah kesucian batin, jiwa.
Adapun jalan horizontal berorientasi pada nilai-nilai sosial, budaya dan kemanusiaan. Dimana manusia membangun kapasitas dirinya secara intelektual, emosional dan <I>skill<P> (pada dimensi personal) dan secara sosial membangun solidaritas atas sesama dengan cara berbagi nilai-nilai dan materi yang dimilikinya. Dengan cara itu manusia menemukan makna kehadiran sebagai makhluk sosial yang migunani tumpraping liyan (berguna/bermanfaat untuk orang lain). Manusia pun mempertinggi martabatnya.
Untuk mencapai martabat personal dan sosial yang tinggi manusia dituntut untuk membangun etika dan etos. Etika adalah orientasi kebaikan bagi moralitas manusia yang berkaitan dengan kehidupan personal dan kolektif. Adapun etos adalah nilai-nilai spritual dan kultural yang mendorong daya cipta manusia melahirkan berbagai karya atau kreativitas baik pada tataran idealistik maupun pragmatik. Kreativitas secara idealistik misalnya ide atau gagasan, ilmu, pengetahuan dan estetika. Kreativitas secara pragmatik adalah ciptaan yang memiliki nilai guna secara langsung bagi kehidupan manusia baik secara fisik maupun nonfisik.
Dalam operasionalisasi, etika dan etos selalu beriringan. Lahirlah kebudayaan yang menjadi jalan bagi manusia untuk membangun peradaban. Krisis bangsa kita adalah krisis etik dan etos. Krisis etika antara lain tampak pada dilabraknya nilai-nilai, etika, norma dan hukum. Contoh yang paling menyolok maraknya korupsi.
Adapun krisis etos tampak pada lemahnya inisiasi atau hasrat dan tindakan kreatif, sehingga tidak lahir karya-karya yang bermakna baik secara gagasan maupun nongagasan. Bangsa ini pun jatuh pada tradisi copy-paste, jiplakan mentah-mentah dari model-model yang ada. Bangsa kita gagal menjadi bangsa produsen melainkan bangsa konsumen.
Pada dimensi etik dan etos boleh dikata bangsa kita tidak mengalami peningkatan signifikan. Di bidang politik, yang terjadi hanyalah politik transaksional, sehingga demokrasi ditentukan kelompok elite politik dan ekonomi. Muncullah juragan-juragan politik yang menyuburkan oligarki dimana kekuasaan hanya ditentukan sedikit orang. Kedaulatan tak lagi di tangan rakyat tapi di tangan kaum elite yang menyembah kepentingan kapital dan pasar bebas sesuai doktrin neoliberalisme. Kecenderungan elitis juga terjadi pada bidang ekonomi yang tidak memberi akses pada rakyat tapi lebih memberi peluang kepada penguasa kapital.
Konsep Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan) hanya menjadi pepesan kosong. Padahal jauh sebelumnya, digembar-gemborkan rezim yang kini berkuasa. Begitu pula dengan revolusi mental yang hanya jadi wacana.
Momentum puasa, mestinya menjadi peluang bagi kekuatan hulu (pemerintah, penguasa) untuk lahir kembali menjadi rezim yang visioner, mau bekerja keras, penuh integritas dan produktif, sehingga lahir berbagai kebijakan untuk menyejahterakan rakyat, tidak hanya dalam teks tapi praksis. Rakyat mampu bernapas, tidak lagi didera sulitnya mencari pekerjaan/penghidupan, tingginya harga kebutuhan pokok, jasa transportasi, jasa kesehatan dan pendidikan. Kita berharap para penyelenggara kekuasaan mengalami pencerahan sehingga mereka lahir menjadi negarawan-negarawan sejati.
(Indra Tranggono. Pemerhati kebudayaan)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4106/etos-setelah-lebaran.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar