Kamis, 23 Juli 2015

Berkah Bencana Merangkak

Sebagai negara tropis dengan dua musim, penghujan dan kemarau, akan datang silih berganti setiap tahun. Dalam periode tertentu terjadi anomali iklim berupa La Nina atau El Nino.

Tahun ini, El-Nino moderat diperkirakan berlangsung hingga November.

Sejumlah daerah, seperti Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, berpotensi terkena dampak El Nino. Meskipun belum mencapai puncak, sejumlah daerah di Jatim dan Ja teng sudah mengalami puso.

Ini terjadi karena antisipasi dan mitigasi masih bersifat reaktif, temporer, ad hoc, dan berorientasi proyek. Penyelesaian bersifat businessasusual:

pompanisasi, hujan buatan, perbaikan embung, bantuan air bersih, dan pengadaan traktor. Pendekatan tak berubah dan selalu diulangulang tiap tahun.

Kompleksitas bertambah karena kekeringan merupakan bencana yang prosesnya berjalan lambat, sering disebut bencana merangkak. Tidak seperti banjir yang datangnya tiba-tiba dan nilai kerugiannya segera bisa diketahui.

Dari tiga sektor (municipal, pertanian dan industri) pengguna air, pertanian akan paling terpukul dampak kekeringan. Apalagi kalau El Nino, aktivitas pertanian amat bergantung pada alam yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan teknologi. Ketika air yang tersedia tidak memadai, apa gunanya bantuan pompa dan traktor? Ini pemborosan.

Kekeringan, banjir, dan anomali iklim selalu identik dengan keterbatasan. Itu terjadi karena ini diposisikan sebagai pembatas. Padahal, kekeringan sebenarnya peluang, bahkan berkah.Bagi tanah, periode kering merupakan masa istirahat untuk pemulihan.

Masa itu berguna untuk memperbaiki sifat fisik (struktur, aerasi, permeabilitas), kimia dan biologi tanah setelah dieksploitasi secara terus-menerus dalam kondisi anaerob.

Pada musim kemarau tanah menjadi aerobik, sirkulasi udara menjadi lebih baik dan zat-zat beracun yang mengganggu pertumbuhan tanaman terekspose. Periode bera ini memutus siklus hama sekaligus mentransformasi posfit (yang tidak tersedia bagi tanaman) jadi posfat (yang siap diserap akar). Setelah ke keringan, produksi padi pada tanah demikian harus dipacu karena dipastikan produksi lebih tinggi dari tahun normal.

Masalahnya, periode kekeringan terkadang lebih panjang dari kondisi normal. Akibatnya, tidak hanya produksi pangan menurun, petani juga akan jatuh miskin karena sawah merupakan satu-satunya harta dan sandaran hidup.

Jumlah pengangguran meningkat, arus urbanisasi tak terbendung. Ini akan mem biakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Hal yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita menjadi tergantung pangan impor. Politik akan terguncang jika hal-hal di atas tak terkendalikan.

Hal ini bisa disiasati. Petani harus diyakinkan bila praktik bercocok tanam perlu diubah. Cara-cara bertani dengan mengandalkan pranata mangsadan menentang alam harus ditinggalkan. Saat ini, masih banyak petani berpikir harus menanam padi saat air menggenang di sawah tanpa berhitung sebulan atau dua bulan bakal kekeringan.

Karena itu, Sekolah Lapang Iklim perlu dimassalkan. Lewat sekolah ini, petani bisa diajari "membaca peta iklim untuk menyusun pola tanam dan memperkirakan hasil panen.

Di wilayah dengan pola tanam padi padi-padi harus diubah menjadi pola padi-padi-palawija atau padi-palawija- palawija. Padi bisa dipilih varietas genjah, berdaya hasil tinggi dan tidak rakus air, seperti Memberamo dan Way Apo Buru. Irigasi cukup macak-macak, seperti pada praktik system rice intensification.

Menanam palawija, seperti kacang hijau, juga menekan risiko kekeringan.

Di beberapa wilayah Jawa Timur, petani memanfaatkan musim kemarau untuk menanam hortikultura, seperti semangka, melon, dan sayuran. Cara-cara ini selain menekan risko juga akan menjaga pendapatan.

Di wilayah yang lebih kering dan bercuaca panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu. Bagi daerah yang memungkinkan irigasi suplesi bisa memanfaatkan sumur pantek.

Konsep reuse, recycling, dan reduce harus benar-benar diimplementasikan di lapangan. Pendek kata, kita bisa memetik berkah kekeringan apabila bisa me nyediakan air menurut ruang dan waktu, kapanpun dan di manapun.

KHUDORI

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/07/22/nrs7fy-berkah-bencana-merangkak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar