Selasa, 14 Juli 2015

Kearifan Lokal Diabaikan

Selasa,  14 Juli 2015

Program Raskin Matikan Komoditas Pangan Lain

KUPANG, KOMPAS — Kebijakan pemerintah tentang pangan nasional, termasuk di Nusa Tenggara Timur, selalu menabrak kearifan lokal terkait tata kelola pangan lahan kering. Padahal, pengelolaan pangan erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya, khususnya di lahan kering. Sebab, 90 persen pertanian tanaman pangan di negeri ini sangat terkait dengan lahan kering.

Kebijakan pemerintah dengan program beras untuk rakyat miskin, misalnya, dengan sendirinya menggusur bahkan meniadakan sejumlah kearifan lokal dalam pengadaan pangan.

Pertanian lahan kering sangat terbatas mengenal budaya padi ladang atau sawah, kecuali jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Pilihan budidaya tanaman lahan kering tidak semata berdasarkan aspek ekonomi, tetapi juga melekat aspek sosial budaya.

Hal itu dikatakan Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Fredrik L Benu, yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Undana, ketika berbicara dalam seminar tentang "Kemiskinan di NTT" di Kampus Undana, Senin (13/7). Seminar itu diselenggarakan harian Kompas bekerja sama dengan Undana.

Seminar itu juga merupakan rangkaian perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-50 harian Kompas. Selain seminar, perayaan HUT Kompas juga ditandai penyaluran bantuan bagi warga di NTT yang mengalami kerawanan pangan dan kelaparan oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK).

Fredrik menyebutkan, suku Timor di NTT, misalnya, sampai hari ini masih mengupayakan komoditas lokal, yakni jagung, labu, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, sebagai pangan lokal yang bisa menghindarkan mereka dari kerawanan pangan dan kelaparan. Meskipun secara ekonomis komoditas ini kurang menguntungkan.

"Mereka tidak berpikir bagaimana produksi jagung akan dijual di pasaran, tetapi produk itu dapat dikonsumsi sampai musim tanam berikutnya. Meski sebagian orang berpikir komoditas jagung itu dapat dijual untuk membeli kebutuhan pangan lain, orang Timor tidak berpikir soal itu dan tidak ingin gagal dua kali, yakni gagal produksi dan dijual dengan harga yang murah," kata Fredrik.

Seminar yang diantarkan oleh Redaktur Senior harian Kompas St Sularto itu menampilkan Mindo Sinaga, Kabid Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan NTT; AA Heru Tjahyono, Dekan Fakultas Kedokteran Undana; Bobby Koamesah, peneliti kejadian luar biasa pangan di NTT dari Undana; Stefanus P Monongga, ahli kesehatan masyarakat; dan Yeny Sunaria Haning, ahli pengolah pangan tradisional NTT. Seminar diikuti sekitar 150 orang dari kalangan akademisi, mahasiswa, wakil lembaga pemerintah, dan aktivis LSM.

Budaya masyarakat

Menurut Fredrik, pertanian lahan kering adalah bagian dari sosial budaya masyarakat, yang tidak dapat diubah dengan sistem pertanian modern dalam waktu singkat. Produksi pertanian lahan kering, yakni jagung, labu, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, tak dapat diubah dengan padi dalam jumlah besar.

Kebijakan pemerintah mengeluarkan beras untuk rakyat miskin (raskin) otomatis menabrak kearifan lokal. Di satu sisi, pertanian lahan kering tidak menghasilkan beras, tetapi di lain pihak pemerintah terus menyosialisasikan beras kepada warga sehingga ada ketergantungan pada beras, juga mematikan semangat bertani di lahan kering.

Masyarakat seakan diarahkan bekerja di sektor lain untuk mendapatkan uang, membeli raskin dari pemerintah atau pedagang. Tahun 1990-an, kebiasaan mengonsumsi beras di kalangan generasi muda menjadi suatu gaya hidup, sementara generasi tua masih terfokus pada pertanian lahan kering.

Pergeseran budaya ini "menghambat" ketersediaan pangan lokal secara memadai di kalangan petani lahan kering. Keterbatasan pangan lokal tidak hanya semata karena faktor alam, tetapi juga karena keengganan petani mengolah lahan karena mudah mendapatkan raskin dan beras pedagang di pasar, apalagi operasi pasar yang dilakukan Bulog.

Kebijakan pemerintah dengan menghadirkan Bulog di seluruh wilayah, termasuk NTT, otomatis menggeser pangan lokal. Bulog semestinya tidak menyosialisasikan kepada masyarakat untuk konsumsi beras, tetapi mengikuti pola konsumsi pangan warga lokal, seperti jagung, sagu, umbi-umbian, dan kacang.

Pertanian lahan kering jarang menggunakan pupuk karena pupuk identik dengan pertanian modern. Karena itu, produktivitas pertanian lahan kering masih sangat rendah dan cenderung gagal panen karena curah hujan yang sangat terbatas. Padahal, usaha pertanian lahan kering selalu berhadapan dengan soal gagal panen sehingga pola pertanian lahan kering itu sedikit mengalami pergeseran.

Selain karena kelangkaan pupuk dan harga yang tidak terjangkau, petani lahan kering enggan menggunakan pupuk itu. Penggunaan pupuk selalu dihadapkan dengan teknologi dan unsur modern lain, seperti pestisida dan pasokan irigasi. Tidak mungkin menggunakan pupuk tanpa memanfaatkan sarana produksi lain.

Petani lahan kering tidak berutang kepada siapa pun termasuk bank, kecuali berutang pada lahan kering sendiri. Sistem pertanian yang dikembangkan secara tradisional dari tahun ke tahun merupakan warisan leluhur sehingga sulit diubah dalam waktu singkat.

Mindo mengatakan, persoalan gizi buruk di NTT bukan hanya tanggung jawab Dinas Kesehatan, melainkan juga sektor lain, yakni pertanian, perkebunan, sosial, pekerjaan umum, dan instansi lain. Gizi buruk merupakan bagian hilir dan merupakan dampak akhir dari keseluruhan pembangunan.

Namun, Mindo mengakui, persoalan gizi buruk dan kerawanan pangan di NTT menjadi menarik, termasuk diberitakan media massa nasional dan internasional, setelah ditemukan 11 warga yang meninggal. Padahal, sebenarnya kerawanan pangan juga terjadi di sejumlah provinsi lain, termasuk di DKI Jakarta.

Heru Tjahyono mengatakan, kebutuhan gizi seseorang dimulai sejak dalam kandungan. Jika asupan gizi sang ibu saat mengandung menurun, akan berpengaruh terhadap gizi bayi, apalagi setelah lahir pun sang bayi tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai sampai usia lima tahun. Gizi yang baik akan menentukan sumber daya anak itu.

"Jika lebih dari lima tahun tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, anak itu, meski tampak besar dan gemuk, tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai," paparnya.

(KOR/ANS/TRA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150714kompas/#/21/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar