Jumat, 31 Juli 2015
Fenomena iklim El Nino berupa musim kemarau panjang telah berdampak pada lahan pertanian dan perkebunan serta ketersediaan air bersih.
Hujan sudah tidak turun selama dua bulan di 18 provinsi di Indonesia sehingga menyebabkan sebagian lahan pertanian dan perkebunan kekeringan. Penduduk di sejumlah wilayah mulai merasakan kesulitan air bersih.
Kita menghargai langkah pemerintah mengantisipasi dampak El Nino. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memperkirakan, 111.000 hektar (ha) lahan pertanian kekeringan dan hanya 8.000 ha puso. Luas tersebut sangat kecil dibandingkan dengan luas panen tanaman pangan. Luas panen padi, misalnya, lebih dari 12,6 juta ha.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, indeks El Nino memperlihatkan tingkat keparahan fenomena ini pada 16 Juli lalu, sama seperti situasi El Nino tahun 1997.
Jika prediksi BMKG benar, dampak kekeringan akan serius. Pada 1997-1998, El Nino menyebabkan kekeringan parah dan memaksa pemerintah mengimpor hingga 5 juta ton beras, terutama untuk membantu kelompok masyarakat miskin.
Dampak lain adalah kebakaran hutan seluas 9,7 juta ha, hal yang belum pernah terjadi. Asap kebakaran mengganggu pernapasan di wilayah Indonesia dan negara tetangga, yaitu Singapura, Malaysia, dan Brunei. Banyak penerbangan terganggu tebalnya asap.
Kita tentu berharap dampak El Nino terhadap pangan, kebakaran hutan, dan penyediaan air bersih tidak separah tahun 1997-1998. Prakiraan iklim oleh BMKG telah semakin baik dikomunikasikan ke berbagai instansi pada aras horizontal.
Kementerian Pertanian, misalnya, lebih mampu merespons, antara lain dengan menyiapkan pompa air dan benih tahan kekeringan. Meski begitu, respons tersebut perlu sampai kepada petani. Informasi tentang perubahan iklim harus sampai sejak awal, begitu pula ketersediaan sarana produksi pertanian.
Hal lain yang sampai hari ini tetap masih sebatas wacana adalah pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Pada musim hujan terjadi banjir dan longsor, sementara pada musim kemarau kekeringan menjadi ancaman.
Pengelolaan lingkungan tidak dapat parsial. Lingkungan yang lestari berhubungan, antara lain, dengan jumlah penduduk karena menyangkut kebutuhan lahan untuk permukiman, pangan, dan industri.
Keseimbangan lingkungan juga berkorelasi dengan sebaran penduduk, cara kita mengelola pembangunan, penegakan hukum, dan tingkat pengetahuan masyarakat.
Kedatangan El Nino sebagai siklus alam memang tidak dapat kita halangi, setidaknya dengan teknologi saat ini. Namun, dampak negatifnya dapat dikurangi dengan belajar dari pengalaman dan kesungguhan dalam mengelola lingkungan agar menjadi lebih seimbang.
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150731kompas/#/6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar