Kamis, 30 Juli 2015

Kekeringan dan Konsolidasi Kelembagaan

Kamis, 30 Juli 2015

Khudori, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

MENURUT Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, topan El Nino diperkirakan akan kembali terjadi tahun ini.

El Nino moderat diperkirakan berlangsung hingga November 2015.

Sejumlah daerah, seperti Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, berpotensi terkena dampak badai tersebut.

Meskipun itu belum mencapai puncak, sejumlah daerah sudah mengalami puso.

Tanpa antisipasi yang memadai, ritual tahunan kekeringan akibat El Nino akan selalu berulang.

Ketika musim itu tiba, waduk, bendungan, dan jaringan irigasi mengering. El Nino akan memperparah kekeringan.

Waduk-waduk besar di Jawa--Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, dan Bengawan Solo--yang kondisinya kritis akan semakin kritis.

Masalah makin runyam karena infrastruktur irigasi banyak rusak: sekitar 51% jaringan irigasi rusak.

Tanpa infrastruktur irigasi yang baik, petani akan kesulitan mendapatkan air.

Hal itu dikhawatirkan berdampak pada produksi pangan utama.

Di berbagai daerah, kekeringan telah menampakkan sosoknya, yang ditandai kritisnya pembangkit listrik tenaga air, sawah puso, debit air sungai menipis, dan krisis air minum.

Setelah itu, serial akan berganti dengan rentetan paceklik, rawan pangan, dan busung lapar.

Dari tahun ke tahun, serial tersebut ditandai durasi, frekuensi, dan cakupan wilayah kekeringan, serta besarnya kerugian dan jumlah korban yang kian meningkat.

Sayangnya, serial itu bukanlah sinetron melankolis yang enak dinikmati dan ditonton.

Ironisnya, perhatian dan antisipasi selama ini tidak proporsional.

Penyelesaian kekeringan selalu bersifat reaktif, temporer, ad hoc, parsial, dan berorientasi proyek.

Pendekatan penanggulangan kekeringan tidak berubah dari waktu ke waktu: pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, program padat karya, dan rehabilitasi sarana irigasi, seolah-olah masalah tidak pernah berubah.

Indonesia dengan rata-rata hujan tahunan 2.779 mm termasuk negara nomor lima yang kaya air di dunia.

Namun, ketersediaan air yang besar tidak jadi berkah.

Bila musim hujan air berubah jadi banjir, sedangkan di musim kemarau air berubah jadi monster kekeringan.

Masalahnya terletak pada ketidakmerataan alokasi air sepanjang tahun.

Hal itu disebabkan 1.832 mm (66%) dari 2.779 mm air hujan berubah jadi air limpasan permukaan (run off), yang tidak termanfaatkan dan menjadi mesin penggerus tanah subur (top soil).

Bagi pertanian, tanpa penyelesaian memadai, dampak kekeringan akan berlipat ganda, mulai penurunan luas tanam, luas panen, produktivitas sampai kualitas hasil, kebakaran hutan dan lahan, hingga meningkatnya beban perempuan.

Salah satu persoalan yang menuntut penyelesaian segera ialah konsolidasi kelembagaan pengelola air.

Di Forum Air Dunia ke-2 di Den Haag, Belanda, Maret 2000, ada kesepakatan untuk mewujudkan ketahanan air dengan prinsip dasar pengelolaan sumber daya air secara terpadu.

Intinya, keberadaan air tidak saja dipengaruhi kondisi geografis, tapi juga topografi dan geologi.

Konsep itu memandang karakteristik air memiliki keterkaitan: antara daerah hulu dan hilir, kuantitas dengan kualitas, dalam aliran dan di luar aliran, antara masa sekarang dan masa mendatang.

Batas-batas hidrologis tidak sama dengan batas-batas administratif.

Pengelolaan air harus mempertimbangkan satu kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan.

Prinsipnya ialah satu sungai, satu perencanaan, dan satu pengelolaan terpadu.

Sebagai penanda tangan kesepakatan, Indonesia telah mengeluarkan Keppres No 123/2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang diketuai menko perekonomian dengan ketua harian menteri PU.

Lalu, 10 Desember 2001 dibentuk Sekretariat Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang mengemban tugas Kebijakan Nasional Sumber Daya Air yang ditetapkan.

Visinya mulia, 'Terwujudnya kemanfaatan sumber daya air bagi kesejahteraan seluruh rakyat'.

Dengan visi tersebut, air tidak cuma dikelola secara efisien, adil, terpadu, dan berkelanjutan, tapi juga memberdayakan warga pemakainya.

Namun, sejauh ini visi itu hanya ada di atas kertas.

Konsolidasi kelembagaan sesuai dengan prinsip ketahanan air masih jauh dari kata berhasil.

Sumber informasi air masih dipegang BMKG, penyedia, dan pengelola sarana dan prasarana ada di Kementerian PU, izin pemberian usaha yang memanfaatkan dan memengaruhi kualitas air berada di Kementerian Perindustrian, sedangkan monitoring dan evaluasi kualitas air ditangani Kementerian Lingkungan Hidup.

Kementan sebagai wakil konsumen terbesar selalu kebagian masalah air: banjir dan kekeringan.

Ketika kewenangan pengelolaan sumber daya air diserahkan ke daerah, akibat euforia otonomi daerah, terjadilah pengaplingan infrastruktur irigasi berdasarkan wilayah administrasi.

Petani dekat saluran induk (hulu) terjamin pasokan airnya, sebaliknya yang jauh dari saluran induk (hilir) akan menjerit.

Konsolidasi kelembagaan mendesak dirakit. Jika konsolidasi kelembagaan tidak kunjung berhasil, hal itu menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional, sebab 80% produksi padi ditumpukan di sawah beririgasi.

Konsolidasi kelembagaan dilakukan dengan memasukkan Ditjen Sumber Daya Air di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ke Kementerian Pertanian.

Argumennya: pengguna air terbesar ialah pertanian sehingga akses dan kontrol terbesar harus dilakukan pengguna utamanya (main user), seperti di negara-negara maju Eropa, Australia, dan Amerika.

Penggabungan itu memungkinkan terjadinya efisiensi sistem dan alokasi sumber daya manusia serta pendayagunaan sumber daya alam.

Tanpa konsolidasi kelembagaan, akses petani atas air akan semakin tertutup karena mereka kalah bersaing dengan korporasi/industri.

ADM

http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/30/416799/kekeringan-dan-konsolidasi-kelembagaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar