Minggu, 26 Juli 2015

Stabilisasi Pangan Tantangan Pemerintahan Jokowi

Sabtu, 25 Juli 2015

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pergolakan harga barang-barang pokok pra, saat, dan pasca lebaran lalu relatif stabil. Namun, Indonesia kini sedang menghadapi El-Nino yang membawa musim kemarau berkepanjangan, dikhawatirkan kestabilan harga pangan terganggu. Mampukah pemerintah tetap menyetabilkan harga? Apa saja tantangannya?

Pengamat pangan Chudori menyatakan harga pada pra, saat, dan pasca lebaran relatif stabil. Namun hal tersebut semata-mata bukanlah prestasi Kementerian Perdagangan (Kemendag) saja. Tetapi juga sumbangsih kementerian lain, terutama Kementerian Pertanian (Kementan) yang telah memberikan pasokan dan info cepat terhadap pangan yang dibutuhkan masyarakat dan Bulog.

"Misal kemarin selalu dipantau mana daerah yang kekurangan dan mana daerah yang sedang panen atau cukup pasokan, lalu di mix and balance," katanya kepada gresnews.com, Jumat (24/7).

Pola mix and balance tersebut efektif mempertemukan daerah-daerah yang kelebihan dan kekurangan pasokan pangan. Terlebih sistem itu ternyata ditangani tanpa melewati jalur distribusi yang panjang. Bulog lah yang memegang peran sentral menjalankan pola tersebut dengan menghubungkan daerah sentra produksi dengan konsumen. Tapi, tantangan prestasi kinerja Bulog yang sesungguhnya baru terlihat awal Agustus mendatang, apakah mampu meredam inflasi dan mengendalikan harga pangan.

EL NINO MENGHADANG - Apalagi, Indonesia saat ini sedang menghadapi El Nino yang menyebabkan kekeringan pada September, Oktober bahkan hingga November 2015 mendatang. Imbasnya, sebagian lahan pertanian kemungkinan akan kering dan gagal panen.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widodo Sulistyo menjelaskan kekeringan di musim kemarau terasa lebih dari sebelumnya. Penyebabnya tahun ini ada penyimpangan iklim akibat adanya gangguan El Nino.

"Akibat penyimpangan ini, Indonesia dilanda kekeringan yang lebih dibandingkan beberapa tahun terakhir," kata Widodo, Jumat (24/7) malam.

Arti El Nino berarti suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Penyimpangan ini akhirnya berdampak penyimpangan kondisi laut hingga terjadi penyimpangan iklim.

Ia mengatakan kekeringan ini tak hanya dirasakan di Bogor dan pulau Jawa tapi hampir sebagian wilayah Indonesia terlebih bagian timur. Namun, Bogor menjadi sorotan karena sebagian wilayah yang kerap hujan di musim kemarau, di tahun ini curah hujannya sangat minim.

"Normalnya dalam sebulan masih ada satu atau beberapa kali hujan, namun tahun ini berbeda. Meski sempat terjadi gerimis, tapi itu pengaruhnya tidak signifikan," sambungnya.

Menurutnya, kekeringan adalah kondisi yang paling kering seperti ini akan berlangsung sepanjang musim kemarau atau hingga September bahkan bisa berkepanjangan hingga Oktober dan November. Meski beberapa kali langit terlihat mendung, tetapi beberapa faktor penunjang terjadinya hujan tidak terpenuhi seperti kondisi iklim yang lembab dan angin yang bertiup tenang.
KEBIJAKAN STABILISASI HARGA - Pengamat pangan Chudori pun mengusulkan pemerintah untuk tetap meneruskan cara penyetabilan harga yang dilakukan pada bulan Ramadhan lalu. Ditambah pengecekan ketersediaan sejumlah komoditas, apakah tetap bisa diproduksi atau kurang, jika kurang maka hendaknya segera memutuskan impor agar tidak mendadak.

"Jangka pendek ini bisa memastikan produksi dan konsumsi per bulan," ujarnya.

Jangka panjang tantangan penyetabilan harga ini harus dilakukan kebijakan untuk mningkatkan produktivitas seperti memperluas lahan, dan memastikan petani tak berisiko gagal dalam mengusahakan komoditas tertentu. Hal ini bisa dengan cara mengajarkan petani menerjemahkan iklim dan memastikan ketersediaan sumber air hulu agar saat musim kering tak kekurangan air.

"Perlu juga ada peraturan hukum di bawah UU Perdagangan dan UU Pangan untuk menstabilkan harga, Malaysia sudah punya ini sejak tahun 1950-an," katanya.

Pemerintah juga harus membentuk cadangan pangan pusat dan daerah serta menentukan harga-harganya sebelum November tahun ini. Dengan disokongnya setiap lini pangan jangka panjang ini, pemerintah tak perlu khawatir adanya fluktuasi harga pangan pada hari-hari besar keagamaan.

"Jika semua sudah dilakukan maka tinggal mengendalikan instrumen stabilisasi untuk mengelola cadangan, dan memastikan anggarannya cukup," katanya.

Ia menilai selama ini selain belum adanya Permen yang menetapkan harga pangan, pemerintah juga kurang dalam mengatur anggaran cadangan pangan.
ANDALKAN OPERASI PASAR - Operasi pasar yang dilakukan pemerintah selama dan saat lebaran ternyata juga dianggap efektif menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan oleh DPD RI. Selama ini banyak pihak meragukan efektivitas operasi pasar yang dilakukan Kemendag karena bersifat parsial dan reaktif. Kemendag dinilai seperti pemadam kebakaran, karena menjelang lebaran baru melakukan operasi pasar. Namun, ternyata langkah tersebut efektif, harga-harga stabil dan ketersediaan atau pasokan pangan aman.

"Diharapkan prestasi baik ini tetap dipertahankan sehingga rakyat dapat merasakan betul apa yang dilakukan pemerintah saat ini," kata Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/7).

Ia juga mengapresiasi Kemendag yang mampu memberantas mafia pangan, yang selama ini membuat harga-harga mahal karena menimbun barang kebutuhan pokok. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dianggap bisa mengendalikan harga dan distribusi barang serta memotong rantai mafia pangan, sehingga harga relatif stabil sejak Ramadhan, lebaran dan paska lebaran.

Walaupun memang ada kenaikan harga pada beberapa daerah namun tidak terlalu signifikan. Hal terjadi karena distribusi barang belum merata ke seluruh daerah di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga beberapa komoditas pangan di tingkat lokal.

Sementara, Tulus Abadi Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan walaupun operasi pasar yang dilakukan Kemendag sukses menstabilkan harga-harga, namun ia khawatir operasi pasar tak bisa membuat harga-harga stabil untuk ke depannya.

"Apalagi paska lebaran ini harga pangan malah tinggi, hingga H+6 dinyatakan alasannya akibat gangguan distribusi, para pelaku pasar belum pulang ke daerah masing-masing," katanya kepada gresnews.com, Jumat (24/7).

Dalam jangka panjang, Kemendag juga perlu menfokuskan penyetabilan harga pada persoalan harga pangan hulu. Dimana terdapat banyak mafia dan kartel, pemerintah harus melihat struktur pasar yang tak sehat karena ada dominasi kelompok tertentu sementara selama ini pemerintah kurang mampu mengintervensi harga pasokan.

Harga kebutuhan pokok yang diserahkan kepada pasar secara 100 persen ini membuat persaingan oligopoli dan monopoli di pasar tak diendus pemerintah. Walaupun begitu, ia tetap mengapresiasi langkah Mendag melakukan operasi pemberantasan mafia dan kartel pangan karena masalah pokok harga pangan ada di permainan keduanya.

"Tapi operasi pasar tak bisa menyelesaikan masalah jangka panjang, persaingan tak sehat yang tak bisa diendus pemerintah ini membuat mereka sulit mengambil alih dan mengintervensi pasar," katanya.

Ia mengingatkan, dalam UU Pangan telah diamanatkaan membentuk lembaga pangan yang kuat untuk mengintervensi dari segi pasokan dan harga serta mewujudkan ketahanan pangan. Namun, mulai dari UU tersebut dibentuk, hingga saat ini, lembaga yang diamanatkan belumlah ada.

"Jika belum terbentuk, maka jangka panjangnya, saya yakin konsumen akan terus terombang-abing dalam kenaikan harga saat terjadi gonjang-ganjing apapun," ujarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar