REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Said Abdullah (Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan/KRKP)
Masih pantaskah istilah gemah ripah loh jiwani itu dilekatkan pada Indonesia? Itulah pertanyaan sederhana di kala melihat begitu derasnya impor berbagai pangan, khususnya beras, yang masuk ke negeri ini. Mungkin, inilah tragedi bagi sebuah negeri yang memiliki kekayaan alam berlimpah.
Simaklah bagaimana Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman pada pekan lalu telah mengakui Indonesia sekarang ini sudah menjelma sebagai importir beras tertinggi di Asia. Malukah kita?
Padahal jika kita mengengok sedikit saja ke belakang, padi -- tanaman yang menghasilkan beras -- bukanlah tanaman baru di Indonesia. Sejarah sudah mencatat sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, padi telah dikenal dan dibudidayakan serta produknya dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat negeri ini.
Lantas, dalam setiap periode pemerintahan, produksi padi selalu dijadikan indikator keberhasilan pembangunan pertanian. Pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, target swasembada ditargetkan dicapai pada 2009 dan pada 2014. Demikian juga dengan duet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang sesumbar menargetkan swasembada beras dalam tiga tahun mendatang.
Lalu berbagai strategi, program dan kebijakan digulirkan untuk mencapai target-target tersebut. Tak sedikit pula anggaran yang dikucurkan untuk mewujudkan swasembada. Produksi memang mengalami peningkatan, namun impor juga terus terjadi dan cenderung meningkat. Sekali lagi, inilah tragedi yang sudah menjadi parodi di negeri ini.
Untuk mengetahui impor yang terus meningkat itu, mari kita tengok data statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Data menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia sudah mengimpor 7,3 juta ton beras. Pada 2007, 2011 dan 2012 merupakan tahun-tahun dengan impor terbesar, yaitu masing-masing 1,2 juta ton, 2,2 juta ton dan 1,4 juta ton.
Dengan volume impor sebanyak itu tentu saja nilai ekonomi yang terbuang juga luar biasa banyak. Jika dalam hitungan sederhana selisih harga beras di pasar internasional dan dalam negeri Rp 500 per kilogram maka dalam 10 tahun tak kurang dari Rp 3,6 triliun sudah kita hamburkan ke negara lain hanya untuk sekedar membeli beras.
Kerugian yang diakibatkan dari meningkatnya impor beras ini tak hanya sebatas ekonomi saja. Lebih penting dari itu, impor beras semakin melemahkan kedaulatan pangan negara ini. Di sini, Indonesia menjadi dibuat tergantung ke negara lain dan pasar internasional. Alhasil, negara ini menjadi lemah lunglai dan tersubordinasi.
Padahal kita tahu, pasar beras internasional itu sangat tipis sehingga rawan guncangan. Jika terjadi spekulasi sedikit saja, pasar beras dunia akan bergolak. Ujungnya, timbullah krisis pangan. Kedaulatan pangan yang lemah pada akhirnya berimbas juga pada kedaulatan petani.
Impor beras yang tinggi mendorong terjadinya distorsi harga di tingkat petani. Asumsi yang muncul, harga jual gabah dan beras tertekan, pendapatan berkurang dan pada akhirnya kesejahteraan petani tak berubah. Situasi ini tergambar dari Nilai Tukar Petani (NTP) dalam sepuluh tahun terakhir yang hanya berubah 0,7.
Upaya peningkatan produksi beras nasional bukan tanpa hasil. Pada era Orde Baru sempat dicapai swasembada bahkan mengekspor beras. Lalu pada tahun 2008 dan 2009 juga terjadi swasembada beras (tak ada impor) dengan peningkatan produksi tertinggi dalam sepuluh tahun, yaitu 5,5 persen dan 6,7 persen.
Namun sayang peningkatan produksi yang terjadi sesaat karena satu tahun berselang, produksi anjlok, impor pangan melejit tajam. Hal ini terjadi sama seperti ketika era Orde Baru mencapai swasembada, namun beberapa tahun berselang impor kembali dilakukan.
Dengan memperhatikan fenomena yang ada maka dapat dikatakan terjadi kesalahan dalam strategi pembangunan pertanian, khususnya peningkatan produksi beras nasional. Di luar diskursus dampak perubahan iklim yang terjadi, kegagalan pencapaian swasembada beras menunjukan lemahnya proses belajar negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar