Kamis, 30 Juli 2015
Saya tengah membaca laporan World Economy Forum (WEF) 2015 yang membahas 10 tren masalah yang bakal mengemuka di dunia dalam 15 hingga 18 bulan ke depan.
Laporan itu menyebutkan dengan mengetahui apa saja masalahnya, kita bakal tahu langkah-langkah apa yang mesti disiapkan untuk mengantisipasi. Laporan WEF itu mengasyikkan, tetapi sekaligus menggetarkan. Pengantar untuk tulisan tersebut dibuat Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat. Lalu, setiap tren juga ditulis tokoh-tokoh ternama.
Misalnya, artikel tentang terus meningkatnya jumlah pengangguran di dunia ditulis Larry Summer dari Harvard University. Untuk kali ini saya akan membahas topik yang ditulis Matt Damon, seorangaktoryangpunya perhatian besar terhadap isu-isu lingkungan hidup dan pendiri water.org, serta Gary White yang CEO water.org. Topiknya tentang increasing water stress.
Saya pilih topik ini karena kebetulan cocok dengan kondisi aktual yang terjadi di Indonesia, yakni masalah kekeringan. Bagi saya kekeringan itu adalah salah satu gambaran dari masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia. Apa itu? Akses terhadap ketersediaan air.
Dampak Kekeringan
Saya akan mulai dengan isu kekeringan. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan tentu merasakan betul fenomena ini. Panas kian terik menyengat. Debu-debu kian banyak yang berhamburan. Sungai-sungai kering, airnya menghitam bak jelaga. Saking keringnya bahkan di sana akhirnya kita bisa melihat sampah-sampah yang terbenam di bagian dasarnya.
Tapi kita yang tinggal di kota masih beruntung karena sampai kolom ini ditulis kita tidak sampai mengalami kekurangan pasokan air. Krankran air kita masih mengucur. Alirannya masih deras meski mutunya memprihatinkan. Kadang keruh dan kita bisa menemukan endapan kotorannya. Tapi di banyak wilayah lain, sebaliknya telah terjadi.
Di daerah tertentu kondisinya lebih memprihatinkan. Mereka tidak bisa memperoleh air. Kita bisa membacanya melalui laporan berbagai media. Setidak-tidaknya ada 12 provinsi yang terancam kekeringan. Kali ini lebih parah ketimbang kekeringan pada tahuntahun sebelumnya.
Sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, keluhan ini dilontarkanTatang, seorang warga Indramayu, Jawa Barat, yang sudah 25 tahun menjadi petani. Parahnya kekeringan kali ini juga dipicu fenomena El Nino. Bagi yang masih awam, saya sederhanakan saja pengertiannya. Fenomena El Nino dipicu meningkatnya suhu permukaan air laut di kawasan Pasifik.
Akibatnya massa uap air yang berada di Indonesia ditarik ke kawasan tersebut. Indonesia pun miskin uap air. Ini yang membuat hujan tak kunjung turun. Jadi kalau dalam kondisi normal mungkin Agustus atau September hujan mulai turun. Namun kali ini mungkin hujan baru mulai turun pada November 2015. Mundur tiga sampai empat bulan.
Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai dampak El Nino kali ini lebih buruk ketimbang yang terjadi pada 1997-1998. Bicara tahun itu, saya tibatiba bergidik. Kita semua tentu masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang terjadi pada tahun-tahun itu.
Itulah tahun ketika bangsa kita mengalami krisis ekonomi dan krisis politik bahkan sebetulnya krisis moral ketika menyaksikan penjarahan dan kekerasan yang terjadi sekaligus yang mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto. Kali ini, dampak El Nino agaknya bakal lumayan serius. Di beberapa daerah saya baca berita tentang sawah yang puso atau gagal panen akibat kekeringan.
Luasannya lumayan masif. Ini membuat produksi padi bakal menurun. Kita terancam kekurangan pasokan pangan. Itu sebabnya kali ini saya bisa mengerti kalau Bulog sudah harus mengimpor beras dalam volume yang lumayan besar, mencapai 500.000 ton. Saya kira, El Nino berpotensi mengganggu produksi pangan, bukan hanya di negara kita, tetapi juga di tingkat global.
Panen yang buruk bakal terjadi di berbagai belahan dunia. Di Brasil, misalnya, kekeringan juga terjadi secara meluas. Saya baca, di sana panen kopi di sana terancam gagal. Brasil adalah produsen kopi terbesar di dunia. Mudahmudahan ini tak sampai membuat harga kopi, yang kita nikmati setiap pagi, bakal naik.
Di Australia, El Nino juga mengancam panen tebu, pisang, dan bahkan mengganggu produksi hewan ternak. Lalu di India, El Nino mengancam produksi padi dan kacangkacangan. Dengan kondisi semacam itu, tak mengherankan kalau harga-harga produk pangan bakal melonjak.
Bank Indonesia memperkirakan dampak kekeringan bakal membuat harga sejumlah komoditas pangan bakal naik 5% sampai 10%. Jadi, kali ini Bulog harus benar-benar agresif berburu beras di pasar untuk mengamankan stok. Saya berharap aksi Bulog kali ini tidak diganggu politisi atau dipolitisasi.
Kemudian dikait-kaitkan dengan pilkada serentak pada Desember nanti. Lalu, yang juga tak kalah mengeringkan adalah El Nino mengakibatkan titik-titik api di sejumlah lokasi terus meningkat. Selama beberapa tahun silam kebakaran hutan terjadi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Negara kita kemudian disebut sebagai eksportir asap.
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Kita tentu tak mau peristiwa tersebut berulang. Maka kita tak bisa lagi mengantisipasi kekeringan dengan caracara biasa. Cara-cara yang kita lakukan di masa lalu.
Salah satu isu untuk mencegah kebakaran hutan adalah pembuatan canal blocking. Kanal-kanal ini dibuat untuk mencegah api merambat dari satu lokasi ke lokasi lain. Mestinya sampai Mei 2015 kita sudah membuat 10 canal blocking . Kenyataannya itu tidak terjadi karena kalangan pemerintah daerah tak berani mengambil keputusan untuk mengeksekusi gagasan tersebut.
Waduk
Baiklah, kita kembali bicara soal kajian WEF yang bicara soal krisis air tadi. Intinya begini. Menurut kajian WEF, krisis air mencakup dua isu utama, yakni ketersediaan cadangan air dengan akses terhadap cadangan tersebut. Ada kawasan yang cadangan airnya berlimpah, tapi masyarakatnya mengalami krisis air.
Ini, misalnya, terjadi di Ethiopia. Tapi, ada daerah yang sumber airnya sangat terbatas, tetapi pasokan air bagi masyarakatnya sangat berlimpah. Ini, misalnya, terjadi di Arab Saudi. Bagaimana dengan di Asia, seperti Indonesia? Cadangan air mungkin bukan masalah serius. Tapi tingginya kepadatan penduduk di beberapa kawasan di Asia mungkin berpotensi menimbulkan masalah yang serius.
Lalu, krisis air makin juga diperparah dengan adanya kemiskinan. Di India, misalnya, sekitar 100 juta warganya yang miskin kesulitan memperoleh akses air bersih. Perubahan iklim yang berkelanjutan juga bakal menjadi masalah besar. Proyeksi water.org begini.
Jika tahun 2005 kelangkaan air dialami oleh 2,837 miliar penduduk bumi, untuk tahun 2030 bakal meningkat sekitar 38% menjadi 3,901 miliar. Mengerikan. Mudah-mudahan itu tak sampai terjadi. Solusinya, pemerintah mesti berperan aktif. Dan saya gembiramelihat pemerintahan kita kali ini rajin membangun waduk.
Jangan lupa, kita juga punya teknologi membuat air dari penguapan di udara (embun). Kalau mau, sekarang ada banyak jalan. Mudahmudahan kita tak sampai mengalami krisis air.
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
http://nasional.sindonews.com/read/1027533/18/kekeringan-air-dan-kita-1438219879/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar