Selasa, 21 Juli 2015

Malukah Kita Mengimpor Beras? (2-Habis)

Selasa, 21 Juli 2015

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Said Abdullah (Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan/KRKP)

Sejak Orde Baru hingga kini, sesungguhnya strategi yang digunakan tak ada yang berubah. Semua pemerintahan menggunakan pendekatan “Revolusi Hijau” dalam meningkatkan produksi beras nasional. Hal ini dapat kita lihat dari pendekatan dan implementasi program yang diambil. Alih-alih menggunakan pendekatan pertanian berkelanjutan, penggunaan input luar buatan korporasi terus ditingkatkan. Subsidi benih, pupuk, pestisida dilakukan setiap tahun dengan anggaran yang terus meningkat.

Padahal candu dari Revolusi Hijau itu sudah terbukti gagal meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Pendekatan ini juga terbukti tidak efisien, bahkan boros. Sebagai ilustrasi, dalam sepuluh tahun terakhir anggaran pertanian naik 611 persen. Tapi hal itu diiringi dengan naiknya subsidi benih menjadi Rp 7,6 trilun dan subsidi pupuk menjadi Rp 132,7 trilun. Tapi apa yang terjadi dengan produksi? Dengan anggaran sebanyak itu kenaikan produksi hanya terjadi sebesar 17,4 persen!

Persoalan mendasar lainnya adalah kegagalan pemahaman dan rendahnya komitmen pemerintah. Selama ini pembangunan pertanian diarahkan hanya pada upaya peningkatan produksi. Dengan terjadinya peningkatan produksi diasumsikan kesejahteraan petani meningkat. Pemahaman ini harus dirubah karena terbukti kenaikan produksi tidak berkolerasi positif dengan pengingkatan kesejahteraan petani.

Pembangunan pertanian semestinya ditujukan untuk mensejahterakan petani agar produksi meningkat. Dalam bahasa guyon para petani mengatakan, jika petani mendapat harga jual bagus dan sejahtera, tak perlu disuruh untuk menanam karena pasti mereka akan melakukannya secara sukarela.

Saat ini petani seakan “dipaksa” menanam tapi tanpa diberi jaminan soal harga. Tak ada insentif bagi petani, menjadi penyebab semakin meningkatnya migrasi tenaga kerja di sektor pertanian dan konversi sawah untuk peruntukan lain.

Swasembada pangan dan kedaulatan pangan adalah keniscayaan. Pemerintah haruslah bersungguh-sungguh mengupayakan dan mewujudkannya. Untuk mencapainya setidaknya ada dua hal mendasar yang patut diimplementasikan.

Pertama, jadikan petani sebagai subyek, bukan sekedar alat produksi. Tujuan pembangunan pertanian haruslah tertuju mewujudkan kemuliaan dan kesejahteraan petani, bukan sebaliknya. Untuk itu diperlukan kebijakan dan program yang utuh. Tak hanya pada sisi input atau produksi tapi juga sampai pasca panen. Jika selama ini kebijakan lebih banyak terkait dengan input pertanian, ke depan perlu diarahkan pada upaya penjaminan harga dan pasar yang berpihak pada petani.

Kedua, sudah saatnya merubah pola produksi menjadi lebih berkelanjutan. Produksi dialihkan dari pendekatan Revolusi Hijau kepada pertanian berkelanjutan. Dengan pertanian berkelanjutan maka peningkatan produksi yang terjadi bukan insidensial namun terencana dan terus menerus.

Pertanian berkelanjutan dinilai cocok dengan keberlimpahan sumberdaya di sektor pertanian yang dimiliki Indonesia. Menjadi sangat sia-sia jika sumberdaya lokal tersebut tak dioptimalkan atau malah dimanfaatkan untuk kesejahteraan pihak lain. Jika dua hal itu dilakukan, semoga saja istilah gemah ripah loh jiwani itu bisa memberi manfaat kepada negeri ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar