Senin, 08 Agustus 2016

Ketahanan Pangan dan Kebijakan Impor

Senin, 8 Agustus 2016

Kenaikan harga bahan makanan yang terus terjadi memberikan indikasi adanya permasalahan besar dalam kebijakan pangan Indonesia.

Berbagai indikator menunjukkan, Indonesia masih mempunyai kondisi ketahanan pangan rendah. Lebih mengkhawatirkan lagi kondisi itu terus memburuk. Peringkat Indonesia dalam ketahanan pangan di 2015 (ranking 74) berada di bawah negara yang penghasilannya lebih rendah (Vietnam 65, India 68). Ketika harga dunia produk pangan dan pertanian mencapai harga terendah selama 20 tahun belakangan dan turun 19 persen selama 2015, harga pangan di Indonesia malah naik hampir 5 persen.

Ini menunjukkan perlu adanya perubahan besar dalam kebijakan pangan Indonesia disertai perubahan paradigma. Salah satunya adalah kebijakan impor pangan. Impor sering dianggap sebagai suatu indikator rendahnya kedaulatan pangan, disebabkan oleh adanya anggapan bahwa swasembada adalah keharusan dalam menjamin ketahanan pangan yang lebih baik.

Pembatasan impor dianggap akan mengurangi fluktuasi harga produk pertanian dan pangan. Menurut argumen ini, kenaikan harga pangan dunia yang tinggi akan dengan cepat memengaruhi harga di dalam negeri jika Indonesia melakukan impor. Ketersediaan bahan makanan juga akan mudah terancam jika terjadi masalah di pasar internasional. Namun, data menunjukkan, pembatasan impor malah membuat harga pangan meningkat tajam dan fluktuasi tak terkendali. Selama 2015, misalnya, harga beras medium di pasar domestik naik 13 persen dengan koefisien variasi sebesar 16,3 persen.

Pada periode yang sama harga beras kualitas baik di pasar internasional turun sekitar 7 persen, tanpa fluktuasi berarti. Dalam periode yang lebih panjang, koefisien variasi harga beras internasional terus menurun dari di atas 30 persen pada periode 1970-an menjadi hanya sekitar 9 persen dalam lima tahun belakangan, menandakan harga kian stabil dan lebih terjangkau. Ketersediaan pasar pangan dunia juga terus meningkat dengan berbagai perbaikan teknologi pertanian yang diterapkan.

Alasan lain dari pembatasan impor adalah untuk memberikan insentif dan memakmurkan petani domestik, karena harga dapat dipertahankan lebih tinggi. Namun, data menunjukkan kenaikan harga tak serta-merta meningkatkan kesejahteraan petani. Indeks nilai tukar petani (perbedaan antara harga yang diterima dan dibayarkan oleh petani) hanya naik 0,95 persen pada 2015 meskipun harga bahan makanan naik secara signifikan.

Ini disebabkan kenaikan harga pangan pada tingkat konsumen dan pedagang tak sebanding dengan kenaikan harga produk pertanian di tingkat petani. Disparitas harga eceran dan harga produsen semakin membesar sehingga kenaikan harga lebih dinikmati pedagang dan perantara, bukan petani. Selain itu, kenaikan harga bahan makanan juga memicu kenaikan harga barang lainnya yang akan menurunkan nilai tukar petani.

Kebijakan pengaturan impor pangan

Pengaturan impor dijalankan dengan membuka keran impor jika pasokan dari dalam negeri dianggap tak cukup memenuhi permintaan pasar. Kuota akan diberikan kepada pihak yang ditunjuk untuk melakukan impor. Secara ideal, pengaturan ini akan memenuhi kekurangan pasokan pangan. Namun, keberhasilannya tergantung dari tiga faktor.

Pertama, kemampuan memprediksi dengan tepat pasokan dan kebutuhan yang ada. Ini membutuhkan data yang akurat dan metodologi yang tepat. Sayangnya, kedua hal ini sering tak terpenuhi. Data yang tersedia lebih sering didasarkan atas estimasi yang akurasinya juga tergantung dari berbagai faktor. Prediksi ketersediaan dan kebutuhan juga sangat kompleks, apalagi jika harus dilakukan untuk berbagai periode dan lokasi.

Kedua, ketepatan waktu pelaksanaan impor. Tidak hanya volume impor harus ditentukan, waktu masuknya impor juga harus disesuaikan. Sering terjadi impor baru dilakukan ketika kelangkaan telah terjadi dan harga telah mengalami kenaikan.

Ketiga, kemampuan melakukan impor secara cepat dan efisien. Aktivitas impor memerlukan berbagai kemampuan, seperti pembiayaan, pengangkutan dan penyimpanan, ataupun pengetahuan dan hubungan dengan pasar internasional. Sering pihak yang mendapat kuota impor tidak mempunyai kemampuan tersebut, tetapi lebih disebabkan kedekatan pada pihak pengambil kebijakan. Di sini terbuka lebar praktik pemburuan rente ekonomi, di mana kuota tersebut kemudian "dijual" kepada pihak lain yang menjalankan impor.

Tanpa tersedianya tiga faktor tersebut, kebijakan impor menjadi tidak responsif terhadap kelangkaan, tidak efektif dalam menstabilkan harga, dan bahkan cenderung menyebabkan rente ekonomi. Selain itu, keputusan mengenai kapan dan berapa banyak impor perlu dilakukan telah mengakibatkan kebijakan impor rawan untuk dipolitisasi.

Kebijakan impor alternatif

Sistem pembatasan dan pengaturan ini dapat diganti dengan penerapan bea masuk yang lebih transparan dan mudah pengaturannya. Impor dapat dilakukan sejumlah pihak, tidak dengan pemberian kuota seperti pada saat ini, tetapi dengan dikenakan bea masuk yang cukup tinggi. Bea masuk yang dikenakan bisa mencapai tingkat puluhan persen.

Ketentuan WTO memperbolehkan Indonesia menetapkan bea masuk (BM) hingga 160 persen untuk beras impor, sementara impor produk daging dapat dikenakan BM hingga 50 persen. Kebebasan melakukan impor dengan BM ini juga dapat dikombinasikan dengan penerapan kuota jika volume impor telah mencapai batas tertentu yang dianggap terlalu tinggi.

Dengan kebijakan itu, tujuan untuk kestabilan harga dan stabilitas pasokan dapat ditempuh dengan lebih efektif. Ini akan menguntungkan konsumen, terutama kelompok yang rentan terhadap gejolak harga pangan. Di sisi lain, kebijakan ini juga memberikan perlindungan kepada petani karena ada perbedaan yang jelas dan cukup besar antara harga dalam negeri dan harga internasional. Pembayaran BM impor juga dapat menjadi sumber pemasukan negara, bukan hanya dinikmati oleh pemburu rente ekonomi yang selama ini mendapatkan kuota.

Yang lebih penting lagi, energi dan sumber daya yang selama ini terbuang untuk mendebatkan perlu atau tidaknya impor dapat digunakan untuk hal yang lebih produktif. Misalnya untuk upaya meningkatkan produktivitas dan kinerja pertanian Indonesia. Sebagai negara dengan populasi besar, produksi pertanian domestik wajib diperbaiki, tetapi dengan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan hanya melalui kebijakan pengaturan perdagangan dan kenaikan harga.

YOSE RIZAL DAMURI

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160808kompas/#/7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar