Sabtu, 27 Juni 2015
Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (2)
IndonesianReview.com -- Ada beberapa skenario dalam merevitalisasi Bulog menjadi Badan Otoritas Pangan. Namun mesti bersepakat terlebih dulu, bahwa otoritas yang dimaksud adalah mengembalikan Bulog sebagai ujung tombak pengendali pangan.
Dengan menjadi pengendali, Bulog dapat memonopoli kebutuhan pangan dengan pemikiran bahwa kebutuhan pokok yang menjadi hajat hidup rakyat dikuasai oleh negara. Hak monopoli ini tak lain amanat Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ekonomi Indonesia. Pada ayat 2 pasal tersebut secara gamblang disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah dikuasai oleh negara.
Selama ini, sejak perubahan status Bulog dari Lembaga Non Departemen (LND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) BUMN, keberadaan Bulog begitu ambigu. Akibat perubahan itu, Bulog kini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik dan fungsi komersial.
Di satu sisi, pada fungsi komersil, kalau Bulog tidak maksimal menjalankan fungsi komersialnya, maka para direksi akan dianggap tidak berprestasi. Sebab Bulog secara organisasi bertanggungjawab kepada Menteri BUMN. Di sisi lainnya, Bulog harus menjalankan fungsi sosialnya dalam rangka menjamin keamanan dan ketersediaan pangan nasional.
Pelaksanaan fungsi sosialnya selama ini dilakukan setengah hati. Maklum, Perum Bulog saat ini adalah bentukan IMF melalui program liberalisasi pangan hingga membunuh Bulog sebagai lembaga buffer stock negara. Maka tak mengherankan bila kini Bulog lebih berorientasi kepada profit dan menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar. Ia telah melenceng dari tujuan awalnya yang menyejahterakan petani dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Dalam menyejahterakan petani, Perum Bulog sekarang ini selalu kalah gesit dan kalah modal dengan para tengkulak lokal. Para tengkulak itu lebih dianggap sebagai dewa penolong bagi para petani. Mereka bukan saja memberikan modal yang akan dibayar petani saat panen, tapi juga membeli hasil panennya dengan kualitas apa saja. Harga pembeliannya pun selalu di atas Bulog.
Sedangkan Bulog selalu memilah-milih dalam membeli hasil panen. Pada komoditas beras, Bulog inginnya selalu berkualitas premium. Kalau kualitas gurem alias kadar airnya tinggi mana mau. Padahal kendala petani gurem sangat kompleks sejak masa awal tanam. Saat panen pun mereka tak berdaya menjemur gabahnya karena mengandalkan alam di hari cerah. Kalau hujan dan tidak ada mesin pengering, kualitasnya menurun sampai menjadi beras miskin (raskin).
Dalam mengendalikan harga, Bulog juga selalu kalah cepat dengan para penimbun yang sudah begitu hafal dengan siklus yang kerap dimainkan. Terlebih lagi saat pemerintah melakukan impor dimana informasinya bergayung sambut sudah seperti pengumuman kondangan. Akibatnya, sentimen harga sudah muncul terlebih dulu.
Mata rantai tata niaga pangan panjangnya juga sudah seperti kereta dan dikuasai oleh praktik kartel, monopoli dan oligopoli. Akibatnya, harga di tingkat produsen dan konsumen perbedaannya cukup lebar. Kendala memenuhi pangan rakyat belum dihitung dari distribusi antar daerah atau antar pulau. Sarana dan prasarana distribusinya terkadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri. Bulog pernah mengeluhkan hal ini dalam kasus pengiriman beras dari Surabaya ke Medan. Biaya pengirimannya lebih mahal ketimbang dari Vietnam ke Jakarta.
Dengan memonopoli pangan, Bulog yang akan berubah menjadi Badan Otoritas Pangan leluasa menjamin tiga pilar ketahanan pangan. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability). Dalam monopoli ini, di antara skenarionya adalah badan tersebut menjadi ujung tombak data pangan. Ini untuk mengakhiri perbedaan data dengan Kementerian Pertanian. Padahal, akurasi data sangat penting untuk menetapkan aneka kebijakan dan inovasi pangan. Kelak, data badan ini bisa menjadi pembanding data BPS.
Skenario lainnya tak lain tertuju pada ketersediaan pangan itu sendiri, terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat. Ini merupakan pilar paling awal sebelum melangkah ke pilar selanjutnya. Akan tidak efektif mengejar keterjangkauan dan stabilitas pangan jika produksinya melorot. Sebab dari produksi dapat menentukan kuantitas dan kualitas produk yang menjadi proyeksi hilirisasinya pada pilar keterjangkauan dan stabilitas.
Melaksanakan skenario paling hulu ini, Bulog tidak perlu membuka lahan persawahan khusus untuk menjaga pasokan berupa Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Bulog merasa perlu membuka on farm sendiri dengan alasan agar pemerintah tidak pusing menaikkan HPP beras tiap tahun. Padahal andai terlaksana akan kontraproduktif dengan petani karena otomatis terjadi persaingan. Pihak petani dipastikan kalah dengan pemerintah yang memiliki sumber daya besar untuk melakukan sesuatu.
Dengan kembali ke fungsi awalnya yang memonopoli pilar ketersediaan pangan, Badan Otoritas Pangan cukup memaksimalkan sumber daya yang ada. Dalam hal ini, badan tersebut dapat bertindak sebagai ‘tengkulak’ yang ramah sekaligus pendamping inovasi dalam program intensifikasi untuk menggenjot hasil produksi.
Sebagai ‘tengkulak’, kalaupun badan ini menalangi modal, akan dilunasi petani pasca panen, atau dengan sistem bagi hasil. Sebagai pendamping intensifikasi, badan tersebut dapat bertindak sebagai pembina dalam penerapan berbagai teknologi yang murah-meriah. Ini juga untuk mengapresiasi temuan para insinyur dan memacu mereka agar terus produktif dalam berinovasi.
Dari sekian inovasi yang sudah ada adalah teknologi yang dapat melipatgandakan hasil panen, memulihkan dan meningkatkan kesuburan lahan, hemat bibit dan air, mengefisiensi masa tanam dan sebagainya. Di Indonesia, teknologi semacam ini sudah ada, yaitu Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO).
Teknologi tersebut murah-meriah karena bertopang pada kekuatan biologis tanah dan sinar matahari yang gratis. Ini telah diterapkan oleh Tim Fakultas Pertanian Universitas Unpad sejak 2006 dan telah diuji coba di berbagai provinsi. Di Sulawesi Selatan misalnya, penerapan IPAT-BO mampu menghasilkan antara 8-12 ton gabah kering panen (GKP) per haktare.
Pelaksanaan teknisnya, Badan Otoritas Pangan bisa mengoptimalkan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang sudah ada dengan merangsang kesadaran masyarakat membentuk Gapoktan baru. Gapoktan inilah yang dioptimalkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Jangkauan operasinya juga dapat dimaksimalkan pada kegiatan hilirisasi pertanian (spin off industry).
Cara tersebut mengingatkan pada peran Bulog masa Pak Harto. Unsur edukasi pemerintah tetap hadir dan mendekatkan diri ke tengah masyarakat, tidak sekedar blusukan. Salah satu instrumennnya melalui Bulog yang memberdayakan KUD dalam mengoptimalkan alat produksi petani sekaligus mempertahankan swasembada pangan yang pernah tercapai.
Pertanian dan segala program membangun Indonesia dari pinggirian dengan memperkuat peran desa bukankah menjadi nafas Nawa Cita Presiden Jokowi hari ini. Menggerakan Badan Otoritas Pangan seperti Bulog era Pak Harto sebagai mesin pembangunan desa melalui peningkatan produktivitas pertanian adalah salah satu bentuk kongkritnya.
Presiden Jokowi pasti sangat sadar bahwa pertanian adalah kunci pamungkas dari konsesus politik yang dia bangun, mirip seperti Pak Harto. Namun Pak Harto lebih spesifik lagi dimana mesin politik pertanian yang ia bangun terletak pada Bulog. Kalau menoleh ke belakang sejenak, setelah tensi peristiwa Malari 1974 sudah agak tenang, Pak Harto pernah mengatakan Bustanil Arifin, Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah.
“Apapun yang terjadi, masalah-masalah non ekonomi boleh jebol. Tetapi pangan, terutama beras, harus tersedia kapan saja dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Bulog adalah pertahanan saya yang terakhir, pertahanan ekonomi”.
Bustanil Arifin dapat memaklumi curhatan Pak Harto kala itu. Sebab stabilisasi bahan pangan merupakan penjamin untuk dapat menstabilkan bidang-bidang lainnya. Sedikit saja harga beras naik, harga-harga barang lainnya ikut terkerek naik. Bahkan sampai hari ini, pengaruh harga beras merupakan penyumbang besar terhadap laju inflasi. Ini mengingat pengeluaran terbesar rumah tangga terletak pada kebutuhan pangan. Saat Bustanil Arifin menjabat Kepala Bulog, besarnya di atas 30 % dari pengeluaran. Pasca 1998, Bulog menyatakan sudah di atas 50 %.
Tentu saja Presiden Jokowi ogah kalau Nawa Cita-nya akan merubah jadi ‘duka cita’ kalau terus membiarkan Bulog terkatung-katung seperti sekarang. Bulog hari ini sangat sadar akan keterbatasannya yang tidak memiliki otoritas kuat dalam mengendalikan ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas pangan. Bersaing dengan tengkulak lokal saja Bulog keok.***
http://indonesianreview.com/viva-yoga-mauladi/jangan-sampai-nawa-cita-jadi-duka-cita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar