Sabtu, 27 Juni 2015

Revitalisasi Komando Logistik

Sabtu, 27 Juni 2015

Mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto (1)

IndonesianReview.com -- Di antara penyakit akut biokrasi dalam mencapai swasembada pangan pasca 1998 adalah lemahnya koordinasi. Seringkali Kementerian Pertanian menyatakan beras surplus, namun tidak bagi Bulog. Ini juga terjadi pada 2015. Saat Presiden Soeharto berkuasa, hal itu sulit terjadi.

Di masa Pak Harto, dualisme data produksi, kebutuhan dan harga beras juga dapat ditekan. Semuanya terintegrasi melalui peran Bulog sebagai ujung tombak otoritas pangan. Konon, data sembilan kebutuhan pokok (sembako), terutama beras sebagai konsumsi pokok rakyat, menjadi ‘sarapan pagi’ Pak Harto saat memulai kerja. Sedikit saja harganya naik, Kepala Bulog langsung dipanggil ke Istana.

Tonggak Pak Harto mengendalikan pangan tak lain terletak pada aspek kepemimpinan. Segala tata laksana hulu-hilir pertanian ia tangani langsung secara komando, bahkan sampai urusan teknis. Tanpa menutup berbagai masukan dari kabinet, ketika kebijakan telah ditetapkan, perintah Pak Harto kepada Kepala Bulog, Bustanil Arifin, dan diteruskan kepada menteri terkait mesti segara dilaksanakan. Tidak ada kamus membangkang.

Hal itu sangat efektif dalam mengkoordinasi para pejabat lintas sektoral tersebut. Ini sebangun dengan persoalan pangan yang memang begitu kompleks dan multi-dimensi. Di masa Pak Harto, tidak sulit bagi Bulog mengkoordinasi internal lembaganya dan kementerian terkait. Maklum, Kepala Bulog sampai Dolog dijabat oleh kalangan militer dimana garis komando sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bustanil Arifin sendiri adalah seorang Letjen TNI. Saking percayanya Pak Harto, ia menjabat sebagai Kepala Bulog terlama sepanjang sejarah, yaitu 15 tahun (1978-1993). Bisa dibayang, meskipun status Bulog kala itu berupa Lembaga Non-Departemen, tapi menteri-menteri terkait sami’na wa atho’na (seiya-sekata) dengan Kepala Bulog.

Pak Harto mengendalikan permasalahan pangan melalui peran Bulog dengan tiga pilar yang saling terkait. Yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) dan stabilitas (stability) pangan, terutama komoditas beras. Pak Harto sangat ketat menjaga ketahanan pilar ini hingga kebutuhan pangan masyarakat selalu terjamin dengan harganya terjangkau.

Dari tiga pilar tersebut, salah satu yang menonjol dari peran Bulog pada masa Pak Harto adalah integrasi Bulog dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Vitalnya peran KUD dalam menopang pangan sampai-sampai kursi Kepala Bulog yang dijabat Bustanil Arifin merangkap sebagai Menteri Muda Koperasi.

Pada pilar ketersediaan sebagai hulu kebijakan pangan, Bulog menjamin kaum petani yang tergabung dalam KUD dalam meningkatkan produktivitas. Paling penting adalah menyalurkan aneka kebutuhan program intensifikasi khusus. Baik benih unggul, pupuk, pestisida hingga alat dan mesin pertanian (alsintan). Ini sudah termasuk alat pemanen, perontok dan pengering gabah.

Tak hanya itu, Bulog melalui Dolog di tiap daerah juga menjamin pasca produksi secara double. Bukan hanya menjamin pemasaran  dengan membeli hasil panen, tapi juga menjamin harga dasar gabah dan beras. Dengan cara ini, kerugian petani dapat ditekan meskipun harga gabah turun karena adanya subsidi melalui KUD.

Betapa vitalnya fungsi KUD itulah Pak Harto menghimbau keras kaum pengusaha besar agar menjual sebagian sahamnya kepada koperasi demi ketahanan kelompok usaha tani tersebut. Ini berarti, para korporasi terjun memberikan modal dan bantuan kepada petani.

Pada pilar keterjangkauan pangan, Bulog mengendalikan lalu lintas distribusi, stok dan harga dengan terjun ke lapangan secara langsung ke konsumen. Bahkan sejak meletusnya peristiwa Malari pada 1974, Bulog bertindak sebagai penjual, bukan hanya di pasar, tapi juga di jalanan.

Sejak 1980 sampai 1998, selain terjun ke lapangan, Bulog menggunakan koperasi-koperasi kecil yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dalam meredam gejolak harga pangan di pasar. Di bawah kendali ‘militer’ Bulog, mana berani para pedagang dan koperasi kecil itu nakal menaikan harga. Tahu sendiri akibatnya.  

Kisah sukses Bulog masa Pak Harto itulah yang memanggil sejumlah kalangan untuk merevitalisasi peran Bulog masa kini. Terlebih bila dihadapkan dengan kenyataan betapa peliknya mengatasi persoalan pangan yang makin beranak-pinak. Di persoalan lahan sebagai media tanamnya saja, tingkat kesuburan lahan teknis sawah dan lahan pertanian lainnya sudah semakin menurun; luas lahan makin menyempit karena terjadi alih-fungsi dan sebagainya.  

Tapi tentu saja revitalisasi Bulog yang dimaksud bukanlah mem-foto copy seluruh dari masa silamnya. Pada jabatan pimpinan Bulog dan Dolog di daerah misalnya, tidak harus lagi dari kalangan militer yang justeru bakal merusak profesionalitas TNI yang sudah baik sekarang ini. Tapi ketegasan dan kepatuhan dalam memimpin dan dipimpin itu yang perlu ditiru.

Begitu pula penyalahgunaan KUD sebagai mesin politik partai penguasa, sudah pasti menjadi tabu jika di-copy paste. Lagi pula, tantangan pertanian di masa kini juga ada yang diakibatkan oleh masa lalu, khususnya banyaknya lahan sawah yang kelelahan dan sakit (fatigue and sick soils). Ini akibat program intensifikasi masa lalu yang menggenjot produksi tanpa henti.

Akibatnya , penggunaan pupuk tidak lagi berimbang. Pestisida pun digunakan secara berlebihan. Tingkat kesuburan lahan atau unsur haranya akhirnya menipis, bahkan habis sama sekali. Wal-hasil, organisme penganggu tanaman (OPT) kebal terhadap pestisida atau indektisida. Kalau lahannya sakit, otomatis hasilnya tidak akan maksimal, selengkap apapun infrastruktur pertanian yang dibangun seperti jaringan irigasi, waduk dan sebagainya.

Mengingat tantangan kepemimpinan yang kompatibel dengan alam demokrasi dan problem pertanian kian kompleks, maka keinginan mengembalikan Bulog seperti era Pak Harto mesti disambut dengan cetak biru (blue print) yang lebih matang. Perencanaan inipun mesti didesain secara aplikatif di lapangan nyata, dan bukan sekedar kertas kerja karya ilmiah.

Perencanaan revitalisasi Bulog tidak hanya merefleksikan persoalan pangan yang sudah bergenarasi ini, tapi juga tertuntut sanggup meringkas kompleksnya urusan pangan sebagai jalan keluar. Kalau hanya refleksi, itu namanya meratapi dan hanya sekedar ingin atau basa basi.

Kalaupun cetak biru revitalisasi Bulog sudah beres, tantangan paling berat adalah pelaksanaan proteksi pangan, terutama pengendalian pengelolaan tata niaganya. Tidak hanya beras, tapi juga gula, kedelai dan jagung yang tak lepas dari praktik kartel, monopoli dan oligopoli.

Tentu Bulog tertuntut untuk membiasakan kelincahan dan ketegasannya seperti sedia. Untuk bisa memproteksi pangan sedemikian rupa itu, Bulog yang pada masa awalnya dikenal sebagai ‘Komando Logistik’ memang mesti dioperasikan dalam satu komando dimana secara hirarkis ketata-negaraan Kepala Bulog bertanggung jawab di bawah presiden. Hirarkis ini kembali ke Bulog era Pak Harto. Kalau tidak begitu, pengalaman biokrasi pasca 1998 berulang kali selalu membuktikan bahwa ego sektoral menyumbang besar terhadap lemahnya koordinasi antar bidang.

Bila ditangani dengan satu komando Bulog, konsekuensinya: birokrasi terkait lainnya di kementerian, lembaga negara atau BUMN lain seperti PT Pupuk Indonesia Holding Company dan bank plat merah, dalam ungkapan politik, tertuntut sinergis dengan Bulog. Namun dalam istilah hukum, mesti tunduk kepada Bulog, sang pemegang otoritas pangan.

Lagi pula, sesuai amanat UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah harus membentuk Badan Otoritas Pangan pada 2015 ini. Badan inilah yang bisa menggabungkan badan ketahanan pangan dan Bulog menjadi satu. Klop! ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar