Itulah raskin yang lebih sering penyebutannya diplesetkan menjadi beras <I>penguk<P>, beras remuk, beras berkutu (rasnguk, rasmuk, rastu) atau kombinasi dari ketiganya. Sebagian penerima, oleh karena rasa syukurnya menyebut bahwa masih lumayan dapat jatah rasmuk, bukan remukan beras.
Bersyukurnya rumah tangga miskin (RTM) itu telah terwujud dalam nyaris tiadanya <I>claim<P>, protes dan tuntutan dari pihak RTM. Boleh jadi karena harga tebusnya yang hanya Rp 1.600/kg. Atau dalam kultur masyarakat, penerima yang <I>wong cilik<P> cenderung diam dan <I>narima ing pandum<P>, daripada namanya dicoret dari daftar. Bersyukurnya RTM ternyata adalah senjata empuk para pengelola raskin. Dan TMS-nya raskin tetap saja berkepanjangan.
Sementara itu, karena TMS, tidak sedikit yang ditukar dengan beras yang memenuhi syarat (MS), layak pangan dengan harga jual raskin TMS yang bisa mencapai lebih kecil dari separohnya, 50% dari harga beras yang memenuhi syarat minimal sebagai pangan. Dan pasti lebih kecil lagi dari <I>book value<P> raskin sebagaimana teranggarkan dan tercatat dalam angka anggaran Kementerian Sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Benar bahwa tebusannya hanya Rp 1.600/kg. Tetapi, hak RTM adalah raskin yang harus memenuhi syarat: mutu, catu, waktu, target, harga dan administratif, yang dalam penyelenggaraannya disebut sebagai Enam Tepat (6T). Sebagian dari 6T ini berkenaan dengan sifat beras dengan <I>mutu-catu-waktu<P> yang memenuhi syarat sebagai hak RTM. Sementara secara keseluruhan 6T dimaksud sangat berkenaan dengan sistem keuangan negara.
Lantas apakah makna penyimpangan terhadap hak RTM selama sekian lama? Mudah sekali dihitung, bahwa selama ini hak RTM disunat, terutama dalam hal mutu raskin TMS. Keluhannya ada di mana-mana, sampai dikeluhkan Jokowi. Penyunatan kualitas ini pun luar biasa besarannya ketika diukur dari harga jualnya yang bisa mencapai 50%. Tanpa menyebut siapa yang bertanggung jawab, implikasi dari penyimpangan tersebut tentu manipulatif dan koruptif.
Misteriusnya adalah tiada mencuatnya kasus korupsi dan/atau manipulasi raskin yang bisa mencapai sebesar itu, serta terkesan aman-aman saja. Lebih aneh, bahkan mencitrakan kebesaran pemerintah sebagai dewa penyelamat yang mencintai rakyat fakir-miskin.
Ternyata penuh manipulasi. Besaran itu pun berdampak sampai ke segala arah. Tidak hanya merampas hak RTM. TMS-nya raskin sekaligus tidak efektif sebagai cara pengendalian stabilitas pasar beras. Cadangan raskin adalah hasil pengadaan beras besar-besaran waktu panen. Ketika raskin tidak dikonsumsi karena TMS, maka akan muncul permintaan tambahan pada tingkat individu dan membuat pasar beras setempat membengkak. Karena semuanya butuh pangan, bukan pakan. Harga beras pun berpotensi meroket gara-gara ada permintaan ganda, <I>doubling demand<P>. Pada gilirannya, inflasi dan instabilitas perekonomian nasional akan menjadi-jadi. Untuk diketahui, rerata kontribusi beras terhadap inflasi pangan selama ini bisa mencapai 20%.
Raskin dengan demikian punya potensi pemenuhan konsumsi, pengendalian inflasi sampai stabilitas perekonomian. Ketika raskin memenuhi syarat, maka tidak butuh impor, tidak sibuk urusan inflasi, dan terjaminlah stabilitas Indonesia. Karenanya, kegusaran Jokowi harus diterjemahkan secara operasional dengan: mengharamkan peredaran raskin TMS. Insya Allah, stabilitas perekonomian akan terjaga.
M Maksum Machfoedz
(Penulis adalah Ketua PBNU, Guru Besar UGM, dan Anggota Pokja Ahli DKP Pusat)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/4066/haramnya-raskin-tms.kr?r=1&width=1366&Height=768
Tidak ada komentar:
Posting Komentar