Sabtu, 13 Juni 2015

Pak Jokowi Benar, Bulog Bukan Cari Untung

Jumat, 12 Juni 2015


Berita pergantian Kepala Bulog Lenny Sugihat oleh Djarot Kusumayakti beberapa hari lalu tidak terlalu banyak diperbincangkan. Bisa dipahami karena ada beberapa leading issues yang sangat menarik perhatian. Di antaranya acara “Jokowi mantu” di Solo yang menyedot perhatian masyarakat luas.

Selain itu ada juga usulan penggantian Panglima TNI yang akan kembali dijabat oleh figur dari TNI-AD sehingga membuat pihak TNI-AU sedikit agak tersinggung. Juga rencana penetapan Letjen (Purn) Sutiyoso untuk jadi Kepala BIN menggantikan Marciano Norman, dan kontroversi gairah anggota DPR untuk memperoleh jatah uang negara melalui rencangan pos anggaran Dana Aspirasi, dan beberapa lainnya.

Tetapi sebenarnya pergantian kepala Bulog itu sangat-sangat urgen untuk diperbincangkan. Konon Lenny yang baru menjabat lima bulan diganti lantaran tak memenuhi target empat juta ton stock beras yang harus dibeli dari para petani domestik. Atau entah karena apa lagi, tak jelas. Karena hanya itulah isu penyebab yang mencuat di media massa.

Dan barangkali itulah yang dijadikan acuan sebagai indikator kinerja minimal dari seorang Kepala Bulog, sehingga andai saja konsisten maka untuk lima bulan ke depan harus mencapai target stock sebesar itu. Jika tidak, maka Djarot pun harus siap-siap diganti juga.

Kendati demikian, diskusi mendasar yang harus dilakukan tidak sekedar target stock beras itu. Harus menyentuh pada persoalan paradigma pengelolaan Bulog. Bulog, selama ini khususnya setelah keluar PP No. 7 tahun 2003, tampaknya berada dalam posisi ‘gamang’, lantaran orientasinya tidak fokus.

Lembaga itu memperoleh mandat ganda, yakni sebagai BUMN yang berorientasi profit, namun pada saat yang sama dituntut memainkan tugas atau fungsi sosial dengan “harus” menjamin ketersedian kebutuhan pokok (utamanya beras) bagi kepentingan rakyat bangsa ini.

Di antara dua sisi itu, bagi manajemen internalnya, tentu saja akan lebih kuat rangsangan untuk menangani sektor yang berorientasi profit. Ya..., tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang apa sebabnya, karena naluri kita pasti hampir sama, yakni aktor-aktor pengelolanya niscaya akan memperoleh bagian dari cipratan profit itu termasuk melalui cara-cara yang tidak wajar.

Makanya tidak heran jika tugas sosial potensial untuk selalu terabaikan. Sehingga oleh karena itu pula sangat mudah dipahami mengapa target stock yang empat juta dan harus dibeli dari petani domestik itu tidak tercapai. Apalagi memang waktunya sangat singkat dengan problem manajemen internal yang niscaya terlebih dahulu Ibu Lenny perlu beradaptasi.

Soal fokus untuk tugas memperhatikan pelayanan kebutuhan pangan rakyat itu sebenarnya sudah jadi bagian dari agenda awal Presiden Jokowi. Masih sangat lekat dalam ingatan saya, ketika masih jadi pimpinan DPD RI di penghujung masa jabatan dan setelah ada kepastian Jokowi-JK terpilih untuk pimpin Indonesia, ada acara makan siang dengan Pak Jokowi di suatu restoran di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

Jokowi didampingi oleh Ibu Rini Sumarno dan Hasto Kristianto. Di pihak kami, bertiga pimpinan DPD RI (Irman Gusman, saya dan Ibu Kanjeng Ratu Hemas) yang juga didampingi Sekjen DPD RI Prof. Sudarsono Herjosukarto.

Sekitar hampir tiga jam kami makan siang sambil cerita berbagai hal strategis untuk negeri ini, di antaranya menyinggung soal Bulog. Saat itu Jokowi dengan gaya bahasanya sendiri menginginkan agar Bulog fokus pada bagaimana menyiapkan kebutuhan pangan rakyat, tidak boleh mengutamakan keuntungan (profit).

Saya sendiri mengapresiasi tinggi kehendak politik Pak Jokowi itu, seraya memberi argumen sosio-ekonomis berdasarkan pengalaman lapangan. Kesimpulannya, pengelolaan Bulog ke depan harus fokus pada bagaimana rakyat tidak kekurangan kebutuhan pokok, dan sebaliknya produk petani harus dijamin harganya oleh pemerintah di mana elemen-elemen Bulog di seluruh daerah di Indonesia yang bernama Dolog (depot logistik) harus berperan penting di dalamnya.

Pengalaman lapangan saya terkait dengan produk-produk petani memang sangat memprihatinkan. Pada banyak kasus saya menemukan kelompok-kelompok petani yang harga jual berasnya rendah di banding dengan harga di pasar, bahkan tidak terbeli. Para tengkulak pun memainkan keadaan.

Sementara Dolog setempat terus menerus menerima beras impor atau beras dari daerah lain. Kasus yang serupa juga dialami oleh para petani jenis lain seperti petani rumput laut, penghasil kopra, dan sebagainya. Sungguh memprihatinkan harga-harga hasil usaha tani mereka dengan mudah dimainkan oleh para tengkulak, atau bahkan jadi rusak akibat tidak terbeli.

Pada titik itulah sebenarnya Bulog harus berperan untuk memastikan ada kepastian hasil usaha tani, apalagi beras, memiliki harga jual yang layak. Subsidi pada petani, dengan demikian, sebenarnya bukan dengan cara memberikan pupuk dan sejenisnya, melainkan berupa jaminan kepastian harga atau lakunya barang-barang hasil usaha tani mereka.

Untuk bisa diwujudkannya angan-angan seperti ini, yang saya pastikan merupakan bagian dari harapan Presiden Jokowi, maka fokus orientasi Bulog harus segera dirubah ke arah pelayanan kebutuhan pokok dan jaminan hasil usaha dari para petani dan nelayan.(*)

Oleh La Ode Ida, TEROPONGSENAYAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar