Rabu, 25 Maret 2015
Penggantian dengan Uang Tunai Rawan Penyelewengan
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan, mulai petani, kepala desa, pakar, wakil wali kota, pejabat pemerintah provinsi, hingga wakil gubernur, tidak setuju beras untuk rakyat miskin diganti dengan uang. Program raskin sebaiknya tetap diteruskan karena masih membantu masyarakat yang membutuhkan.
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, di Surabaya, Selasa (24/3), menegaskan, penyaluran raskin tetap berupa beras bukan uang tunai. Alasannya, jika diberikan uang, penggunaan dikhawatirkan bukan untuk kebutuhan pokok.
Menurut Saifullah, yang perlu dibenahi dalam penyaluran raskin adalah bagaimana warga yang menikmati benar-benar layak. Artinya tidak salah sasaran, seperti yang terjadi saat ini. ”Program raskin tidak sekadar bagi-bagi beras, tapi untuk menyeimbangkan harga beras serta membantu penduduk miskin. Kalau dibagikan uang tunai, yang dibeli bukan beras atau singkong, tapi pulsa atau barang lain,” katanya.
Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jatim Witono menjelaskan, raskin untuk seluruh warga sasaran akan disalurkan melalui 8.506 wilayah distribusi.
Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3) di Semarang, menyatakan, pembagian raskin sebaiknya dihentikan dan diganti dengan bantuan uang tunai supaya warga tidak bergantung pada beras. Penggantian raskin dengan uang tunai dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif (Kompas, Selasa, 24/3).
Petani di Banten pun meminta raskin tidak diganti dengan uang tunai. Menurut mereka, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas raskin.
”Saya kurang setuju raskin diganti uang tunai,” kata Anton Haerul, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Pandeglang, Banten.
Ketua KTNA Banten Oong Sahroni menyebutkan pula, pihaknya tidak menyetujui penggantian raskin dengan uang tunai. Pemberian uang dinilai lebih mudah menimbulkan kerawanan. Warga lain yang tidak mendapat uang dapat cemburu.
Menurut Oong, penyaluran uang tunai juga diperkirakan berdampak terhadap penyerapan beras petani melalui Perum Bulog. Distribusi beras kepada masyarakat yang ditiadakan menyebabkan penyerapan pangan di tingkat petani juga berkurang.
Subagyo, Ketua KTNA Kabupaten Serang, menyebutkan, peningkatan mutu raskin merupakan langkah yang lebih baik daripada mengganti dengan uang.
Dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dilaporkan, sejumlah perangkat desa juga berharap agar raskin tetap disalurkan dan tidak diganti dengan uang. Raskin dianggap lebih tepat sasaran, membantu kehidupan masyarakat, sedangkan bantuan uang lebih sering disalahgunakan.
Iswoyo, Kepala Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, mengatakan, uang sebagai pengganti raskin dianggap tidak tepat. Bantuan dana biasanya jarang dimanfaatkan untuk membeli kebutuhan bahan pangan.
”Ketika mendapat uang, perilaku masyarakat biasanya cenderung tidak terkendali. Hanya dalam waktu singkat untuk beragam kebutuhan lain,” ujarnya.
Sebaliknya, raskin akan lebih dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi cadangan pangan keluarga selama seminggu lebih. Raskin biasanya dikonsumsi warga dengan cara dicampur dengan beras lain yang lebih enak.
Iswoyo mengatakan, sebagian warga memang ada yang menjual jatah raskin miliknya ke pasar. Namun, raskin tetap dibutuhkan untuk dikonsumsi warga, baik untuk keluarganya sendiri bahkan malah dibagi-bagi dengan tetangga yang lain.
Ketersediaan pangan
Pakar komoditas pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang, Prof Andy Mulyana, mengatakan, raskin dinilai masih dibutuhkan sebagai jaminan ketersediaan pangan pokok bagi rakyat miskin. Pengalihan bantuan beras menjadi uang tunai dinilai dapat menurunkan daya beli masyarakat, saat harga beras lebih tinggi dari jumlah bantuan.
”Saat itu terjadi, bantuan uang tunai tak setara dengan beras yang diperoleh dalam bentuk raskin sehingga secara tak langsung menurunkan daya beli masyarakat tak mampu. Ini faktor yang perlu diperhitungkan untuk mengubah beras menjadi uang tunai,” katanya.
Asisten III Pemerintah Provinsi Sumsel Bidang Kesejahteraan Rakyat Ahmad Najib mengatakan pula, program raskin juga membantu penyerapan beras dari petani. Apalagi, Sumsel selalu surplus beras hingga lebih dari 1 juta ton.
Namun, Kepala Perum Bulog Divre Sumsel dan Bangka Belitung Abdul Basid mengatakan, pihaknya siap melaksanakan semua program pemerintah pusat. Jika raskin diubah menjadi uang tunai, beras yang diserap Bulog dapat dilepas ke pasar bebas.
Ide mengganti raskin dengan uang tunai juga dinilai belum cocok diterapkan untuk Kota Makassar. Selain rawan salah peruntukan, juga tidak begitu membantu warga miskin saat harga beras melambung. Masalah yang harus dibenahi adalah pembaruan data dan kualitas beras yang disalurkan. ”Di Makassar program raskin sebaiknya tetap dijaga karena masih signifikan membantu,” kata Wakil Wali Kota Makassar Syamsu Rizal.
Kepala Dinas Sosial Bali Nyoman Wenten mengatakan pula, tahun 2015 sebanyak 151.924 keluarga di Bali mendapat raskin.
Setuju uang
Di Kota Semarang dan Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejumlah warga yang selama ini menerima setuju raskin diganti uang tunai. Raskin yang mereka terima banyak yang dijual lagi kepada pedagang karena raskin yang diterimanya beras yang sudah terlalu lama disimpan.
Raskin yang ditebus seharga Rp 1.600 per kilogram itu jarang dimakan. Beras itu biasanya dijual lagi kepada pedagang pengecer seharga Rp 2.300 hingga Rp 2.500 per kilogram. ”Raskin dijual lagi karena ada yang menampung,” ujar Suminah (50), warga Pedurungan, Semarang.(ETA/EGI/BAY/IRE/WHO/REN/AYS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150325kompas/#/23/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar