Senin,30 Maret 2015
Herman Khoeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI menegaskan bahwa perlu penyempurnaan kelembagaan pangan guna mendukung suatu idealisasi pengendalian harga demi terwujudnya kadaulatan pangan. Tuntutan akan terbentuknya Kelembagaan Pangan, sesuai amanah Undang-udangan Nomor 18 Tahun 2012 menjadi kunci penting. BULOG selaku lembaga pemerintah yang selalu digadang-gadangkan menjadi stabilisator harga pangan, menurut Herman tidak memiliki energi yang cukup untuk mampu mengemban beban berat itu. Mengurus Buffer Stok, Stabilisator, sekaligus pelaku Penyaluran, tidak cukup jika hanya menjadi Operator dengan jumlah “induk” yang tidak sedikit.
Meski begitu, apakah dengan terbentuknya sebuah Lembaga Pangan, akan menjawab semuanya?
Tidak begitu menurut Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bustanul Arifin. Perlu suatu pemaknaan yang lebih cultural, selain pentingnya pembentukan lembaga pangan, perlu juga ada perubahan di dalam penerjemaah kelembagaan itu sendiri. Mana yang harus diperkuat, mana yang harus dibenahi. Harus tercapai sebuah kompromi antara Perum BULOG yang akan tetap berpacu dalam komersialisasinya, dengan Badan Ketahanan Pangan. Perlu penguatan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk mengontrol inefisiensi tata niaga produk pertanian.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani IndonesiaDwi Andreas Santoso, mengatakan perlu ada pemutakhiran data dan fakta. Apakah data yang ada sudah cukup valid, merupakan angka yang real, bukan sekedar data imajiner. Perlu ada kajian khusus untuk meneliti dengan tepat berapa angka konsumsi per kapita ; 139kg per kapita per tahun merupakan angka Food Balancing (World Rice Statistics 1993-94), sudah terlalu tua dan tidak representative terhadap kenyataan angka konsumsi masyarakat sebenarnya. Terkait produksi, jika data yang ada sekarang mengatakan bahwa Indonesia surplus 6,26 juta ton, seharusnya gejolak harga di awal Februari sampai dengan pertengahan Maret 2015 lalu tidak akan pernah terjadi.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik, apakah menjadi jawaban gejolak harga? Bustanul Arifin mengutarakan bahwa ini belum tentu jadi jawaban akan kedaulatan pangan yang ingin dicapai. HPP naik, inflasi naik, harga yang lain akan naik, maka kemampuan daya beli konsumen juga sebenarnya akan berkurang terhadap bahan pangan pokok. Masyarakat perlu dikenalkan akan keberagaman pangan, diversifikasi, guna pemberdayaan pangan lokal yang lebih condong ke akar budaya bangsa. Keputusan waktu menaikan HPP juga menjadi kunci. Jika pemerintah hendak memberi kenyamanan kepada petani, HPP diumumkan sebelum masa tanam dimulai, bukan sebelum panen. HPP seharusnya dirancang dan rutin dievaluasi sebagai “batas ukur” pembiayaan petani untuk memulai usaha taninya.
Pemerintah perlu menghilangkan spekulasi-spekulasi di pasar, untuk mengurangi gejolak harga yang berlebihan. Spekulasi yang terjadi lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah mengambil kebijakan dan seperti kurang serius menangani masalah pangan. Kepala Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)Institut Pertanian Bogor. Rizal Syarif mengatakan, diperlukan komunikasi yang selaras di lingkungan pemerintah, antar kementerian. antar lembaga negara untuk menciptakan satu persepsi yang tidak berpontensi konflik di pasar dan masyarakat. Perlindungan terhadap lahan pertanian yang terus tergerus dan penataan petani juga perlu diperhatikan.
Raskin adalah salah satu instrumen penting dalam pengendalian harga beras di pasar. Terjadi pemenuhan 230 ribu ton beras per bulan kepada masyarakat setiap Raskin di salurkan. Sehingga, penyaluran yang rutin, kontinu dan berkesinambungan setahun penuh selama 12 bulan, setiap bulannya perlu dilakukan. Gejolak harga yang terjadi di awal 2015 ditengarai karena kekosongan penyaluran Raskin pada bulan November dan Desember 2014, yang jatah penyalurannya dimajukan ke bulan Februari dan Maret 2014. Kekhawatiran di masyarakat ditambah dengan mundurnya penyaluran Raskin 2015, yang baru mulai serentak disalurkan pada bulan Maret, belum lagi adanya isu pemerintah akan mengganti Raskin dengan E-Money berhembus kencang. Tentu spekulasi dengan mudah terjadi. Apalagi bulan November - bulan Februari setiap tahunnya, merupakan bulan-bulan packelik, minus produksi beras. Pada masa itu pasokan ke pasar kurang.
Penguatan Perum BULOG sebagai operator negara perlu dilakukan, agar ada respect dari pasar. Tito Pranolo mengatakan, bahwa perlu diberikan fleksibilitas kepada BULOG, berupa kebijakan, agar dalam mengemban tugas sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO) pemerintah, sekaligus menjaga amanat dalam menjalankan usaha komersial sebagai Perum, BULOG dapat berkreasi seperti swasta dan memenuhi kedua amanah tersebut. Sebagai BUMN pro petani, Perum BULOG juga diharapkan mampu membeli hasil produksi petani dalam bentuk gabah, tidak cenderung membeli beras. Jika memungkinkan, BULOG perlu membuat Driyer Center di areal sentra produksi, dan membuka kerjasama dengan koperasi untuk membuka warung di sentra-sentra pasar. Hal ini diharapkan akan mempermudah BULOG dalam mengendalikan harga di tingkat petani, dan mengendalikan harga di pasar saat perlu dilakukan intervensi pasar. - ShalonLy
*Focus Group Discussion (FGD) “Perberasan di Indonesia : Urgensi Penguatan Kelembagaan Pangan untuk Ketahanan Pangan yang Mandiri dan Berdaulat” oleh: Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB)
Moderator FGD, Ig Mahendra Kusuma Putra, menyebut Focus Group Discussion (FGD) kali ini sebagai “Obrolan Warung Kopi” dengan falsafah:
Jika pernah tinggal di Sumatera atau Kalimantan, obrolan warung kopi adalah suatu obrolan yang punya fokus yang terarah. Menjadi forum diskusi yang santai, berdasarkan kesetaraan tanpa prasangka apapun, dengan suasana yang sederhana pinggir jalan, tetapi memiliki potensi konklusi.
Shal_raja
http://m.kompasiana.com/post/read/734084/1/catatan-obrolan-warung-kopi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar