Jumat, 6 Maret 2015
Dalam seminggu terakhir, pemerintah memperluas cakupan, meningkatkan volume operasi pasar beras, dan mempercepat penyaluran beras untuk rakyat miskin.
Wapres Jusuf Kalla memutuskan penggunaan stok beras operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23 Februari 2015 karena cadangan beras pemerintah (CBP) tak mencukupi. Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah akan melakukan operasi pasar berapa pun yang dibutuhkan pasar (Kompas, 26/2).
Kenaikan harga beras saat ini mirip kejadian akhir 2006 dan awal 2007. Pasar bereaksi negatif atas pernyataan petinggi kementerian/lembaga, saling menyalahkan, menuduh pedagang (sekarang mafia beras), sehingga persoalan intinya terlupakan, yaitu kekurangan suplai gabah/beras karena terundurnyapanen raya padi hingga dua bulan.
Pertumbuhan produksi padi juga merosot tajam pada 2006 hanya 0,56 persen, jauh di bawah target 5 persen per tahun. Hal itu telah berdampak terhadap carry over stock untuk tahun berikutnya menjadi sangat kecil. Pada waktu itu, pemerintah juga terlambat mengintervensi pasar.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai hasil intervensi pasar pemerintah, tetapi menyoal mengapa pemerintah menggunakan beras kualitas rendah untuk operasi pasar, padahal itu kurang efektif dan mahal.
Kualitas raskin
Kualitas beras CBP dan beras untuk rakyat miskin (raskin) tak ada bedanya: beras kualitas rendah, kualitas medium. Namun, tujuan kedua program tersebut sangat berbeda.
Pada 2005, pemerintah memutuskan membangun CBP dengan tujuan: (i) membantu pangan buat masyarakat pada waktu/setelah bencana alam/konflik sosial; (ii) mengintervensi pasar untuk mengatasi instabilitas harga; (iii) membantu pangan buat negara sahabat yang mengalami bencana, termasuk mengisi cadangan beras darurat ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve.
Adapun tujuan utama program raskin mengatasi kekurangan gizi makro—energi dan protein—buat keluarga miskin. Namun, sejak 2008, pada bulan-bulan instabilitas harga beras tinggi, raskin digunakan sebagai instrumen stabilisasi harga beras, seperti yang dilakukan sekarang ini. Raskin digelontorkan secara besar-besaran, dua kali lipat dari jumlah normal penyaluran bulanan, sehingga dikenal raskin ke-13, ke-14, ke-15.
Dalam beberapa tahun terakhir, volume beras yang disalurkan melalui program raskin mencapai 3,2 juta ton per tahun, suatu jumlah yang sangat besar. Namun, raskin tidak mampu secara langsung menstabilkan harga beras yang sedang bergejolak. Perlu waktu relatif lama walau jumlah yang disalurkan banyak: 400.000-500.000 ton per bulan saat instabilitas harga beras tinggi. Hal itu karena beras tersebut tak langsung dikonsumsi masyarakat, tetapi dioplos dengan beras kualitas yang lebih baik. Obral harga beras (Rp 1.600/kg) melalui raskin yang terlalu banyak dan masif telah menyulitkan pemerintah menurunkan konsumsi beras seperti yang ditargetkan, yakni 1,5 persen per tahun.
Alokasi dana APBN untuk raskin, yang dijabarkan ke volume beras, selalu ditetapkan setahun sebelumnya: raskin tahun 2015 diputuskan pada 2014. Kalau kebutuhan beras raskin bisa dipatok tinggi, tetapi pertumbuhan produksi padi/beras sulit diduga, juga volume pengadaan beras dalam negeri bergantung terutama pada iklim, hama penyakit, dan harga gabah/beras.
Penetapan volume raskin sangat besar tidak hanya berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri secara besar-besaran dalam situasi harga beras tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah. Maka, kualitas beras menjadi taruhannya sehingga kualitas beras untuk program raskin menjadi sangat rendah.
Persoalan CBP tidak hanya volumenya sangat sedikit buat negara besar seperti Indonesia, sekitar 370.000 ton/tahun, tetapi juga kualitas beras CBP sama dengan beras raskin. Padahal, beras kualitas medium kurang diminati konsumen, tidak dominan pengaruhnya dalam menentukan tingkat inflasi pangan. Operasi pasar beras kualitas rendah pada saat terjadi instabilitas harga beras kurang efektif dalam meredam harga, seperti dokter memberi obat kepada pasien kurang dosisnya sehingga sembuhnya jadi lebih lama.
Beras kualitas bagus
Lantas, apa yang perlu dilakukan pemerintah? Pertama, pemerintah perlu menghentikan program raskin untuk tujuan stabilisasi harga. Program ini awalnya memang tidak dirancang untuk tujuan tersebut. Kedua, gunakan CBP untuk tujuan stabilisasi harga beras. Agar CBP kuat, perbesar volume CBP, ditingkatkan mencapai 1,3 juta ton dengan kualitas premium. Pada saat yang sama, rancang juga penyaluran CBP tidak hanya untuk tiga keperluan tersebut, juga dapat ekspor, program food for work, dan lain-lain.
Dengan beras kualitas bagus, intervensi pasar bisa langsung diterima pasar tanpa perlu dioplos. Di samping itu, penyaluran CBP beras kualitas bagus pada saat situasi darurat, misalnya untuk dapur umum, akan lebih manusiawi daripada harus memberi beras kualitas rendah dalam situasi manusia menderita dan keterbatasan lauk. Demikian juga, Indonesia lebih berani tampil membantu beras buat negara sahabat yang terkena musibah.
M HUSEIN SAWITMANTAN KETUA FORUM KOMUNIKASI PROFESOR RISET KEMENTAN DAN SENIOR ADVISOR PERUM BULOG PERIODE 2003-2010
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150306kompas/#/7/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar