Kamis, 5 Maret 2015
Lonjakan harga beras, di tengah kenaikan berbagai harga kebutuhan hidup pasca ‘penyesuaian’ harga BBM November lalu, menohok sendi perekonomian rumah tangga pas-pasan, apalagi yang hampir miskin. Operasi pasar dan pembagian raskin biasanya manjur sebagai penyelamat darurat. Masalah utamanya jauh lebih mendasar. Di antaranya, kesadaran mengantisipasi dan memerangi mafia beras.
TIBA-TIBA saja harga beras merangkak naik. Lonjakan harga yang bahkan mencapai kisaran Rp13.000/kg kali ini tergolong tak lazim. Sebab, tak ada faktor luar biasa yang secara logis ‘mengabsahkan’ kenaikan hingga 30 persen itu. Masyarakat mau tak mau harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kebutuhan pokok ini. Alhasil, 2-3 bulan terakhir, konsumen dan pedagang di pasar dan toko-toko menjerit, miris dan kebingungan.
Harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, sempat menyentuh angka Rp12.000/kg. Padahal, dalam hitungan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog, seharusnya harga jual itu hanya Rp7.400/kg. Apa musabab kenaikan itu? Stok yang minim? Distribusi yang centang perenang? Apa yang tak beres? Adakah pihak yang ikut ‘bermain’ untuk kepentingan yang jauh lebih besar dari sekadar utak-atik profit margin?
Bahwa stok beras cukup untuk kebutuhan seluruh masyarakat, itu merupakan jaminan langsung dari Presiden. “Saya tegaskan bahwa stok beras kita cukup untuk masa panen, ada 1,4 juta ton,” kata Jokowi saat blusukan ke Gudang Beras Bulog, Jakarta Utara (25/02), setelah mengecek gudang belakang Bulog dan berbicara dengan para menteri dan pejabat Bulog. Ditegaskan, alokasi 300 ribu ton beras untuk rakyat miskin (raskin) untuk berbagai daerah didorong agar terserap habis.
Pasar komoditas beras di Indonesia cenderung bermasalah karena bersifat oligopolistik, dikuasai beberapa pedagang besar. “Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harga bisa naik secara signifikan,” kata Jimmy M. Rifai Gani, ekonom dari IPMI International Business School.
Di tengah kelangkaan seperti sekarang, impor beras bukanlah jawaban. Sebab, hal itu akan merugikan harga di tingkat petani dan memperlemah daya saing beras lokal. Kalaupun mesti mendatangkan beras dari luar negeri, ujar Jimmy Rifai, mantan Direktur Utama PT Sarinah, hanya untuk keperluan tertentu yang jenisnya tidak bisa dihasilkan di Tanah Air. Misalnya, Japonica Rice asal Jepang, yang dikonsumsi kalangan terbatas karena harganya jauh di atas beras untuk konsumsi umum.
Pengecekan di lapangan yang dilakukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, menunjukkan ada yang salah dalam skema pendistribusian beras, terutama di perkotaan. Ketika sampai di kota, harga beras melonjak. Berbeda dengan kenaikan harga di desa, yang biasanya terjadi akibat tengkulak yang mempermainkan harga.
Fungsi Stabilisator, Bukan Inventory
Ketika harga beras di Jakarta dan kota besar lainnya sudah menembus Rp12 ribu/kg, “Artinya, harga gabah kering siap giling harusnya 70 persen dari harga beras atau Rp9.000/kg. Namun, harga gabah nyatanya masih di bawah Rp5.000/kg.” Panen raya di daerah Dampet, Demak, misalnya, lumayan menambah pasokan yang sekaligus meredam lonjakan harga. Harga beras yang tinggi di beberapa kota itu merupakan dampak dari buruknya pendistribusian di samping ulah mafia beras. “Mafia inilah yang bermain di balik naiknya harga pangan utama masyarakat,’’ ujarnya.
Karenanya, mempersoalkan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai stabilisator, yang menjaga nisbah harga di tingkat produsen dan konsumen, menjadi relevan dalam hal ini. “Saya harapkan Bulog bisa menjadi stabilisator, bukan ‘inventory‘ atau tempat persediaan barang saja, agar tidak ada lagi lonjakan harga beras seperti yang terjadi saat ini,” kata Mentan saat melakukan kunjungan kerja di Malang, Rabu (25/2).
Salah satu masalah terpenting yang perlu dijawab dengan tuntas adalah bagaimana mekanisme penyaluran beras di lapangan. Masih memadaikah model pendistribusian yang ada? Bulog selama ini memiliki tiga sistem pendistribusian beras operasi pasar, pertama beras didistribusikan ke food station seperti di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, atau yang selama ini rutin dilakukan Bulog. Kedua, beras didistribusikan langsung ke PD Pasar Jaya. Ketiga, melalui satgas yang mendistribusikan beras langsung ke konsumen di pasar.
Dalam upaya menurunkan harga komoditas beras ke tingkat wajar, pemerintah terus berkoordinasi dengan Bulog dalam penyaluran beras ke daerah-daerah yang bermasalah. Operasi pasar dan pemberian raskin merupakan jawaban tradisional yang dianggap ampuh sebagai langkah tanggap darurat. Bagaimanapun, kerja gerak cepat ini sangat penting diambil karena dampak gejolak harga bahan pokok masyarakat ini sangat sensitif dan potensial memicu gejolak sosial.
Kerja sama memberdayakan koperasi-koperasi pasar yang ada untuk membantu penyaluran beras di setiap pasar dijalin antara Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Perdagangan. Kebijakan ini diharapakan mempersempit ruang mafia beras. “Sistem penyalurannya akan jelas. Harga beras yang sampai di pedagang pasar tersebut sesuai dengan ketentuan pemerintah, bukan beras oplosan yang sering dilakukan oleh mafia,” kata Menkop UKM Anak Agung Gde Ngurah Puspayoga.
Di Jawa Barat, misalnya, stok dari gudang-gudang Bulog di wilayah pantura seperti Cirebon, Indramayu, dan Subang digeser ke wilayah yang belum panen. Di antaranya Bandung, Cianjur, dan Ciamis. Pengosongan gudang dilakukan karena wilayah pantura memasuki masa panen. “Stok dipastikan akan berlipat seusai panen,’’ kata Kepala Bulog Divre Jawa Barat, Alip Afandi, yang memperkirakan tahun ini dapat menyerap 400 ribu ton hasil panen.
Di Bali, yang sebagian besar pasokan berasnya selama ini berasal dari Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, masalahnya lain lagi. Lahan pertanian di Jawa banyak yang gagal panen akibat faktor cuaca/hujan berkepanjangan. Petani yang sudah panen pun sering mengalami gagal jemur. Karenanya, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Panusunan Siregar, minta Pemda Bali mewaspadai kemungkinan masyarakat beralih mengonsumsi beras miskin (raskin).
Di Jakarta, meski persediaan beras di pasar Jakarta masih aman, “Bahkan cukup untuk beberapa bulan ke depan walaupun pasokannya berkurang”, kata Direktur Usaha dan Pengembangan PD Pasar Jaya, Ivo Edwin Ariyanto, Pasar Jaya tetap melakukan operasi pasar bersama Bulog di 12 pasar, terutama di pasar yang pengunjungnya tinggi. Ivo mengklaim belum ada kenaikan harga beras. “Kami tidak mematok harga karena harga terbentuk melalui keseimbangan pasar.’’
Operasi pasar praktis berlangsung sejak Desember 2014 sampai dengan Januari 2015 telah melakukan operasi pasar. Sekitar 75.000 ton beras Bulog sudah disalurkan, nyatanya masih belum bisa menurunkan harga kebutuhan pokok tersebut. Pada Februari 2015, pemerintah mengerahkan satgas untuk segera mendistribusikan beras Bulog langsung ke masyarakat, melalui 12 titik pasar rakyat dan 50 titik permukiman di Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi.
“Kita menggunakan satgas, karena mereka langsung ke simpul-simpul masyarakat. Ketika dicermati, skenario dengan menggunakan model selama ini ternyata kurang efektif. Kita akan lihat apakah sistemnya harus diubah. Kita juga akan audit sistem yang ada selama ini,” kata Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel.
Selain penyaluran raskin, Presiden Jokowi juga memastikan harapannya tentang operasi pasar. “Dalam operasi pasar, berapa pun yang dibutuhkan akan kami dorong masuk ke pasar. Kami akan memasok ke sana,” kata Jokowi. Dia mencontohkan, pemerintah melakukan operasi pasar di Pasar Induk Beras Cipinang. “Di pasar Induk Cipinang kami akan lakukan operasi pasar kurang lebih 2.000 ton dalam dua hari, dengan harapan harga beras segera kembali normal.
Tangan Kotor Mafia Beras
Banyak pihak bersuara senada tentang adanya campur tangan mafia beras terkait lonjakan harga yang terjadi secara sekonyong-konyong. Tak kurang dari Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, menegaskan hal tersebut. “Mafia beras itu ada dan harus diberantas. Itu harus kita lakukan. Kita harus lawan. Kita bersihkan,” katanya. Ia menunjuk masuknya 1.800 ton beras Bulog di Pasar Induk Berars Cipinang dalam waktu beberapa hari terakhir, sementara dari gudang Bulog sendiri tidak ada pengiriman.
Sejumlah fakta temuan Mendag memperkuat dugaan bahwa pelaku pengoplosan dan penimbunan beras di gedung Cakung melibatkan orang dalam Bulog. “Indikasi kedua ada DO (delivery order). Saya bsama Bu Lenny (Dirut Bulog) akan lihat. Ya, DO itu kan dikasih (dikeluarkan) oleh Bulog, kita akan periksa nanti,” katanya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Perum Bulog sedang melakukan investigasi terkait temuan penimbunan dan pengoplosan beras operasi pasar (OP) Perum Bulog gudang di Cakung, Jakarta Timur, pada 18 Januari 2015. Gobel menyebut, berdasarkan bukti yang ada, dugaan sementara pelakunya melibatkan orang dalam Perum Bulog yang bekerjasama dengan mafia beras..
Pihaknya telah memegang DO yang dimaksud dan akan diinvestigasi lebih lanjut oleh Kemendag dan Perum Bulog. Menurut Gobel, praktik penimbunan dan pengoplosan beras Bulog yang dilakukan di Cakung jelas merugikan negara dan masyarakat. “Siapa yang bermain di sana. Saya akan tunjukkan foto sidak. Sidak di Cakung di depan ini ada mesin proses. Kalau mau disalurkan, kan seharusnya pakai karung Bulog. Ini semua beras Bulog (dan ada) indikasi menahan stok,” papar Gobel.
Dirut Bulog Lenny Sugihat belum mau mengungkapkan siapa oknum orang dalam Bulog yang bermain terkait pengoplosan dan penimbunan beras Bulog di Gudang Cakung Jakarta Timur. Saat ini proses penyelidikan masih dilakukan dengan melibatkan banyak pihak seperti BPK dan Kejaksaan. “Semua akan kita bereskan, tanpa toleransi atas tindakan kejahatan. Seluruh sistem akan dievaluasi terus-menerus. Jika dalam tubuh Bulog ada indikasi itu, akan saya kejar. Kalau ada yang terlibat, akan diproses secara hukum,” tegas Lenny.
Pendapat berbeda justru dikemukakan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Wapres lagi-lagi membantah adanya ulah mafia yang menyebabkan tingginya harga beras. Menurut dia, urusannya suplai beras bukan mafia. Kalaupun mafia itu benar-benar ada, ia mengaku tak khawatir. Ia mempersilakan mereka menimbun beras dan pemerintah akan mengatasinya dengan memasok beras melalui operasi pasar. “Mau nimbun satu juta ton, besok kita kasih dua juta ton,’’ kata Wapres yang pernah menjabat Kepala Bulog.
Kalau memang ada indikasi mafia beras, pengamat ekonomi pertanian Bustanul Arifin mendesak pemerintah segera menindaknya. Namun, harus dilihat juga seberapa kuat mafia tersebut memainkan harga di pasar. Seharusnya Bulog lebih kuat dibandingkan mafia beras. Sebab, Bulog memiliki kapasitas gudang mencapai empat juta ton. Sedangkan para pedagang belum tentu mempunyai kapasitas gudang sebesar Bulog. “Dengan demikian, semestinya Bulog mampu melakukan stabilisasi,’’ kata Bustanul Arifin.
Bustanul Arifin mendorong pemerintah memperhatikan manajemen stok beras. Ini ia anggap penting saat siklus produksi berkurang seperti sekarang karena belum masuknya masa panen. Selain itu, pemerintah perlu mengidentifikasi peta produksi panen. Ada beras yang masuk dari daerah tetapi tidak melalui Bulog. Berarti ada peta produksi yang tidak tertangani sehingga mesti diidentifikasi beras itu diambil pedagang langsung atau Bulog.
http://majalahpeluang.com/politik-beras-amburadul/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar