Senin, 09 Maret 2015

Destruksi Pasar Beras

Senin, 9 Maret 2015

Pernyataan ini menggambarkan keadaan pasar secara tepat: pasar adalah refleksi dari eksistensi kekuasaan sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol (Miller, 1988). Pasar mengontrol keseimbangan pasokan dan permintaan lewat sinyal harga. Jika harga naik, itu tanda pasokan mesti ditambah. Begitu pula sebaliknya.

Seluruh proses itu bisa dikoordinasi secara rapi oleh pasar, tanpa perlu intervensi negara, jika situasi pasar bersaing sempurna. Akan tetapi, mengandaikan situasi pasar seperti deskripsi itu acap kali membuat frustrasi karena pasar persaingan sempurna lebih layak disebut fatamorgana.

Di dalam pasar kerap kali bagian hulu (produksi) dikerjakan segelintir pelaku ekonomi. Distribusi dikuasai kelompok kecil kawanan. Adapun pemasaran dibekap oleh sedikit pemain kakap. Pada kondisi inilah, pasar dikontrol pemilik kuasa tersebut.

Situasi itulah yang sekarang terjadi pada pasar beras nasional. Berikut ini kronologinya. Pemerintah sementara waktu menghentikan pasokan beras untuk rakyat miskin (raskin) sejak akhir 2014. Pemerintah kemudian mengumumkan panen raya tahun ini mundur menjadi sekitar Maret/April 2015. Setelah itu, Bulog juga membuka data bahwa beras yang ada di gudangnya hanya 1,4 juta ton.

Kisah itu bagi orang awam mungkin tak memiliki banyak arti. Namun, bagi pelaku ekonomi (pedagang beras), hal itu merupakan informasi yang sempurna untuk melakukan atraksi spekulasi.

Jika diperas, rangkaian data itu punya dua bunyi: pasokan beras di pasar akan segera mengering (jumlahnya menyusut) dan Bulog tak memiliki kekuatan yang besar untuk intervensi. Celakanya lagi, telah lama diketahui, pasar distribusi beras (juga pangan lainnya) adalah oligopolistik.

Tak perlu waktu yang lama, destruksi pasar akhirnya terjadi. Dalam tempo cepat, harga beras melonjak tak terkendali.

Pada November 2014, harga beras medium masih Rp 8.544 per kilogram. Pada Desember 2014, harganya menjadi Rp 9.343 per kilogram. Kemudian, Januari 2015, harganya menjadi Rp 9.646 per kilogram, Februari sebesar Rp 9.943 per kilogram, dan Maret menjadi Rp 10.591 per kilogram (Kementerian Perdagangan, 2015).

Jadi, kenaikan harga beras itu sebetulnya keniscayaan yang seharusnya bisa diantisipasi. Pertama, pemerintah terlambat mengantisipasi masuk ke pasar saat pasokan terindikasi berkurang, baik akibat tidak adanya raskin maupun panen yang telat. Pemerintah panik dan baru siuman ketika harga melesat. Kedua, pedagang leluasa menahan pasokan karena mengharap margin yang lebih tinggi. Mereka mampu melakukan itu karena menguasai stok dalam jumlah besar. Kapasitas Bulog untuk melakukan intervensi juga mudah dibaca sehingga pedagang bisa mengukurnya.

Kenaikan harga beras sebesar 30 persen itu tentu meluluhlantakkan daya tahan ekonomi rumah tangga miskin. Studi yang dilakukan Dawe dan Timmer (2012) menyebutkan, 25-40 persen pendapatan kaum miskin digunakan untuk konsumsi beras.

Jika menggunakan angka 40 persen, kenaikan harga beras 30 persen bakal menggerogoti pendapatan riil rumah tangga miskin sebesar 12 persen. Apabila pendapatan rumah tangga hanya 10 persen di atas garis kemiskinan, status mereka langsung jatuh sebagai kelompok miskin baru.

Dengan demikian, stabilisasi harga beras merupakan keharusan demi menyelamatkan tiga hal sekaligus, yakni stabilitas ekonomi warga miskin, pendapatan petani (beras), dan makroekonomi. Pendapatan petani turut terjaga apabila harga stabil, khususnya saat panen raya. Ketika harga naik, petani juga sering tak menikmati karena sebagian besar margin diambil pedagang.

Lantas, apa yang mesti disiapkan agar peristiwa serupa tak seperti cerita berseri? Bulog sebaiknya menambah stok minimal 10 persen dari kebutuhan domestik. Dengan kekuatan itu, Bulog bisa berperan sebagai penentu harga, khususnya ketika pasar bergejolak. Bulog tak perlu pula mengumumkan jumlah stoknya karena akan menjadi informasi empuk pedagang.

Berikutnya, titik-titik baru jalur distribusi dan pemasaran harus diciptakan sehingga tata niaga tidak didominasi segelintir pelaku yang memiliki kuasa mengendalikan pasokan. Selebihnya, pemerintah mesti terus berada di pasar untuk mengukur suhu harga dan pasokan. Informasi pasokan wajib diperbaiki dari hari ke hari dan proyeksi pasokan mingguan atau bulanan harus valid. Kredibilitas atau proyeksi data dan kesigapan eksekusi merupakan modal yang dibutuhkan Bulog untuk menguasai keadaan.

Kualitas beras yang dipegang Bulog juga tidak bisa lagi yang jenisnya rendah. Di lapangan, beras semacam itu (raskin) sebagian tak dikonsumsi langsung, tetapi dijual kembali kepada pedagang eceran dan dioplos. Ketika operasi pasar diperlukan, beras kualitas rendah juga tak efektif menurunkan harga secara cepat.

Pertanyaan yang acap diulang, apakah impor dibutuhkan dalam situasi seperti sekarang? Impor tidak diperlukan ketika kondisi pelonjakan harga sudah terjadi (dan Bulog masih pegang stok) sehingga sikap Menteri Perdagangan tidak mengimpor beras sudah tepat. Namun, langkah itu perlu dilengkapi operasi pasar untuk memastikan tak ada beras yang ditahan pemain kakap.

Jadi, dua jenis operasi pasar dilakukan sekaligus untuk memastikan pasokan bertambah. Apabila masih ditemukan pelaku ekonomi yang mengeruk laba dengan cara jahat, pemerintah wajib menindaknya. Pasar harus dijinakkan, jangan dibiarkan membinasakan.

AHMAD ERANI YUSTIKA EKONOM UNIVERSITAS BRAWIJAYA; DIREKTUR EKSEKUTIF INDEF

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150309kompas/#/15/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar