Kenaikan harga beras sepanjang Februari 2015 seharusnya tidak terlalu rumit untuk dikendalikan karena bersifat domestik.Pasar internasional beras cukup stabil rendah, yaitu sekitar 370 dollar AS per ton pada Jumat, 6 Maret 2015, untuk beras Thailand kualitas medium (25 persen broken) dan 340 dollar AS per ton untuk beras Vietnam.
Harga beras kualitas premium (5 persen broken) sekitar 405 dollar AS per ton untuk beras Thailand dan 370 dollar AS per ton untuk beras Vietnam. Harga beras kualitas medium setara Rp 4.500 per kilogram pada kurs rupiah saat ini atau setengah dari harga eceran beras domestik.
Harga beras kualitas medium masih berada di atas batas psikologis Rp 10.000 per kilogram walaupun operasi pasar gencar dilakukan selama seminggu terakhir. Ekspektasi pemerintah dan Perum Bulog adalah bahwa harga beras akan turun pada minggu kedua dan ketiga Maret karena beberapa daerah telah memasuki musim panen.
Panen raya akan terjadi pada akhir Maret atau awal April karena musim tanam yang terlambat akibat kemarau panjang pada 2014. Banyak pertanyaan yang masih perlu dijawab, khususnya seberapa solid fondasi stabilisasi harga beras dan kebutuhan pokok lain dalam menghadapi gangguan keseimbangan internal dan gangguan eksternal?
Strategi stabilisasi harga
Fondasi strategi stabilisasi harga beras atau pangan secara umum dapat dirunut jauh sampai ke belakang, apakah negara membiarkan proses pembentukan harga diserahkan kepada mekanisme pasar atau apakah negara harus melakukan intervensi. Ekonom neoklasik atau mainstream sampai sekarang masih konsisten menolak keras campur tangan pemerintah dalam stabilisasi harga pangan, terutama dalam rentang jangka panjang.
Adalah Peter Timmer, Scott Pearson, dan Walter Falcon asal Harvard University dan Stanford University yang mengembangkan teori ekonomi intervensi pemerintah, terutama pada tahap awal pembangunan. Mereka menolak tegas pemikiran simplifikasi dan kesalahan persepsi para ekonom mainstream yang tidak paham sejarah perkembangan bangsa-bangsa Asia.
Tiga serangkai ekonom Timmer-Pearson-Falcon (TPF) secara resmi membantu menjadi arsitek pembangunan ekonomi pada masa awal Presiden Soeharto, terutama dalam mendesain strategi stabilisasi harga. Teori ekonomi intervensi pemerintah tersebut dipakai dan diadopsi di seluruh dunia serta mewarnai literatur ekonomi pertanian dan ekonomi pembangunan.
Fungsi strategis stabilisasi inilah yang menjadi falsafah utama kebijakan harga dasar gabah dan harga atap beras serta sebagai justifikasi pendirian Bulog sebagai lembaga logistik nasional yang kini menjadi badan usaha milik negara (BUMN) Perum Bulog. Tanpa mengurangi peran Kepala Bulog lainnya, Jenderal Bustanil Arifin menjadi amat fenomenal karena kemampuannya secara ketat dan militeristik dalam menjalankan stabilisasi harga.
Esensinya adalah fluktuasi harga beras masih dapat dibenarkan sepanjang tidak lebih tinggi dari harga atap beras dan tidak lebih rendah dari harga dasar gabah.Koperasi unit desa (KUD) seakan menjadi prasyarat dalam pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga karena berhubungan langsung dengan petani untuk memenuhi syarat mutu beras, seperti teknis kadar air, tingkat patahan, kotoran, dan sosoh.
Pada akhir 1990-an, strategi stabilisasi harga terebut mulai menghadapi masalah di lapangan, terutama karena persoalan governansi, bahkan sampai pada lembaga negara yang bertanggung jawab menjalankan stabilisasi harga dan fungsi logistik.
Para ekonom mainstream mulai meragukan strategi intervensi negara, terutama jika menimbulkan distorsi ekonomi dan inefisiensi yang cukup akut.Argumennya adalah bahwa manfaat yang dapat dipetik dari tindakan upaya stabilisasi harga umumnya sangat kecil, bahkan negatif. Biaya transaksi (transaction cost) yang ditimbulkan oleh upaya intervensi pemerintah tersebut ternyata sangat besar (Alberto Valdes dan William Foster, 2005).
Korupsi kronis yang senantiasa menyertai strategi stabilisasi harga bahan pangan, terutama di kebanyakan negara berkembang, adalah salah satu bentuk biaya transaksi yang harus ditanggung masyarakat luas.Pada kesempatan lain (Arifin, 2008), penulis melakukan studi komprehensif tentang stabilisasi harga pangan dan kinerja lembaga parastatal, seperti Bulog, serta negara Asia lain, seperti India, Pakistan, Banglades, Thailand, dan Filipina.
Salah satu temuan penting studi kolaboratif tersebut adalah bahwa kelompok kepentingan (vested interests) selalu melingkupi proses perumusan, organisasi, dan implementasi kebijakan intervensi, bukan untuk tujuan stabilisasi harga semata, melainkan untuk kepentingan dan kelompoknya sendiri.
Operasi pasar
Kini, sekian tahun kemudian, setelah terjadi eskalasi harga beras lebih dari 25 persen, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memerintahkan operasi pasar 300.000 ton kepada Perum Bulog.Ternyata, harga eceran beras di pasar masih lambat untuk bergerak turun walaupun para pedagang beras di Pasar Induk Cipinang telah dipanggil ke Istana Negara.
Seharusnya, para pejabat baru di pemerintahan dan Perum Bulog mampu melihat fakta lapangan bahwa rangkaian instrumen stabilisasi harga beras merupakan satu kesatuan strategi yang terintegrasi dan terukur. Maksudnya, dari kinerja produksi, pengadaan beras, referensi harga pembelian pemerintah (HPP), manajemen stok, subsidi harga beras untuk keluarga miskin (raskin), sampai pada operasi pasar itu sendiri tidak dapat dilaksanakan secara sepotong-sepotong.
Ketiadaan penyaluran raskin pada November -Desember 2014 dan Januari 2015 tidak akan pernah dapat dipecahkan dengan satu perintah operasi pasar begitu saja. Setiap bulan, pemerintah biasanya menyalurkan beras raskin sekitar 242.000 ton setiap bulan. Artinya, para keluarga miskin yang seharusnya tidak perlu membeli beras, harus membeli beras sekitar 725.000 ton selama tiga bulan.
Operasi pasar 150.000 ton beras pun belum akan mampu menurunkan harga beras. Apalagi, secara administratif, birokrasi penunjukan kuasa pengguna anggaran (KPA) pada program raskin tahun 2015 ini sempat tersendat. Implikasi paling penting dari eskalasi harga beras ini adalah rencana pemerintah mengganti penyaluran raskin dengan uang elektronik sebaiknya tidak perlu tergesa-gesa karena mudaratnya masih lebih besar daripada manfaatnya.
Masyarakat pasti akan memberikan penilaian kepada Kabinet Kerja, apakah mampu membangun fondasi strategi stabilisasi harga dan menjalankan secara konsisten atau hanya akan diselamatkan oleh panen raya sampai harga turun nanti. Kesungguhan, niat tulus, dan bahasa tubuh akan menjelaskan semuanya, bukan bayangan kamera.
BUSTANUL ARIFIN, GURU BESAR UNILA; EKONOM INDEF; DAN KETUA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar