Kamis, 5 Maret 2015
Ono dino ono upo. Falsafah Jawa yang berarti ada hari ada nasi atau ada hari ada makanan itu menandakan pangan merupakan bagian terpenting dari kehidupan. Artinya, selama manusia masih hidup, manusia membutuhkan pangan.
Pangan, terutama beras, menjadi topik hangat belakangan ini. Harga pangan utama itu melambung secara tidak wajar. Harga beras medium yang biasa dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah naik dari Rp 8.200 per kilogram (kg) menjadi Rp 12.000 per kg dalam kurun waktu dua bulan.
Berbagai penyebab kenaikan harga digunjingkan. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyebut ada mafia beras yang mempermainkan harga beras. Selain pedagang, mafia itu diduga melibatkan oknum Perum Bulog.
Ada pula yang menyebut kenaikan harga beras itu akibat terlambatnya pemerintah mendistribusikan beras untuk rakyat miskin (raskin). Sejumlah pihak menyorot kegagalan pemerintah mengatur tata niaga atau manajemen perberasan nasional.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan, kenaikan harga beras terutama terjadi di DKI Jakarta. DKI Jakarta yang merupakan daerah konsumen beras tidak mendapatkan pasokan beras secara normal karena sejumlah daerah produsen beras belum panen raya.
Sofyan juga mengatakan, berkurangnya pasokan raskin turut mengatrol kenaikan harga beras. Raskin pada November dan Desember 2014 tidak dibagikan lagi karena sudah didistribusikan pada bulan-bulan sebelumnya. Di sisi lain, raskin pada Januari dan Februari 2015 baru disalurkan mendekati 300.000 ton, padahal seharusnya 464.000 ton.
Apa pun penyebabnya, harga beras yang tinggi membuat daya beli 15,5 juta rumah tangga miskin semakin turun. Mereka berpikir dua kali untuk membeli beras dengan harga setinggi itu. Namun, mau bagaimana lagi? Ono dino ono upo. Mereka mau tidak mau terpaksa membeli beras dengan harga tinggi. Yang tidak mampu membeli terpaksa mengonsumsi nasi aking.
Hal itu menjadi salah satu potret masih rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Penyelesaiannya tidak melulu bertumpu pada swasembada pangan, operasi pasar, peningkatan kuota raskin, mengoptimalkan peran Bulog, serta menata kembali manajemen dan logistik pangan.
Ada dua sektor penting yang sedikit terlupakan, yaitu lumbung pangan dan ekonomi pekarangan. Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 32 Ayat 2 mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi pengembangan cadangan pangan masyarakat sesuai kearifan lokal. Salah satunya adalah membangun dan memperkuat lumbung pangan.
Pedoman umumnya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 8 Tahun 2014. Dalam pedoman umum itu dijabarkan sasaran pembangunan dan perkuatan 652 kelompok lumbung pangan masyarakat (KLPM). Sebanyak 407 KLPM merupakan kelompok baru untuk tahap pengembangan dan 245 KLPM merupakan kelompok lama untuk tahap kemandirian.
Apakah program itu berlanjut dan memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan? Terlepas dari itu, sistem lumbung pangan telah lama dikembangkan masyarakat. Masyarakat Baduy di Jawa Barat memiliki leuit, Toraja (Sulawesi) mempunyai tongkonan, Karo (Sumatera) ada keben, dan Nusa Tenggara Barat mempunyai alang (lumbung Suku Samawa), jompa (lumbung Suku Mbojo, Bima), dan pantek (lumbung Suku Sasak).
Di sisi lain, banyak masyarakat desa dan kota yang menerapkan ekonomi pekarangan. Dengan keberadaan lumbung dan ekonomi pekarangan, mereka diharapkan tak terpengaruh kenaikan harga beras dan cabai. Jika harga komoditas itu melonjak, mereka tinggal mengambil dari lumbung atau pekarangan. Ketahanan pangan berbasis masyarakat itu perlu terus ditumbuhkan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. (HENDRIYO WIDI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150305kompas/#/17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar