Senin, 02 Maret 2015
SUDAH menjadi duri dalam daging bahwa pergolakan harga beras kerap menyakiti di awal tahun. Siapa pun direktur utamanya, dia selalu gagal mengeluarkan duri tersebut dari dalam tubuh Perum Badan Urusan Logistik (Bulog).
Jadi, sepanjang masa, Bulog hidup sakit-sakitan. Pada Januari lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menunjuk 'dokter baru' dengan harapan dapat menyembuhkan Bulog.
Lenny Sugihat resmi menjadi Direktur Utama Bulog terhitung 2 Januari 2015, menggantikan Soetarto Ali Muso yang memasuki masa pensiun. Lenny dipercaya karena dalam pekerjaannya sudah terbiasa mengendalikan risiko karena sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pengendalian Risiko Bank Rakyat Indonesia.
Sayangnya, pergantian direksi Bulog belum berdampak positif, malah memicu kenaikan harga beras sejak awal Januari 2015. Memasuki Februari, kenaikan harga bahkan melambung tinggi hingga 30%, yakni di Samarinda, Kalimantan Timur, dilaporkan harga beras meroket hingga 80%.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terheran-heran karena di wilayahnya, harga gabah petani tetap relatif rendah, tetapi di pasar, harga beras melonjak liar dan merata.
Sesuai teori ekonomi Adam Smith, tutur Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, kenaikan harga terjadi jika pasokan kurang dan permintaan meningkat. "Di Jabar suplai normal, permintaan aman, tetapi harga beras tetap naik. Saya khawatir ada mafia," tandasnya.
Semakin mengherankan, di tengah harga beras meroket, Bulog tetap menidurkan stoknya. Operasi pasar baru dirancang setelah Presiden Joko Widodo mendatangi gudang Bulog, pekan lalu.
Saat ini, stok Bulog di gudang mencapai 1,4 juta ton yang berarti cukup selama 20 hari karena kebutuhan makan bangsa Indonesia sekitar 2,5 juta ton per bulan. Bulan Maret mulai musim panen sehingga pasokan akan normal dan gudang Bulog dapat diisi kembali.
"Kami sangat merasakan gerakan mafia dalam lonjakan harga beras kali ini. Mendag Rachmat Gobel juga menemukan penimbunan beras. Itu mengindikasikan ada yang bermain," cetus Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan.
Karena itu, ada kecurigaan bahwa mafia beras mengganjal stok beras Bulog agar tetap tidur di gudang. Dengan sedikitnya pasokan dari petani dan Bulog diam saja, maka harga akan naik. Mafia beras akan mendapatkan keuntungan berlipat karena sebelumnya sudah menimbun dalam jumlah besar. Gudang mereka selalu aman karena dilindungi aparat keamanan.
Ketika pemerintah berteriak-teriak akan menetralisasi harga, mafia menanti Bulog menggelar operasi pasar. Beras Bulog yang seharusnya buat pedagang kecil, malah mereka borong dan masuk gudang Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur.
Mengatur operasi pasar
Mafia beras, jelas Agusdin, mengatur harga beras untuk operasi pasar. Dari Bulog beras dibanderol Rp6.800/kg, lalu dijual ke pedagang kecil dalam operasi pasar seharga Rp7.600/kg atau untung Rp800/kg.
Mereka menciptakan toko-toko beras fiktif, seolah-olah beras Bulog juga disalurkan ke sana. Sebagian lagi dioplos dengan beras bagus untuk dijual dengan harga premium, seperti Ramos dan Rojolele, atau membuatkan merek baru.
"Mafia beras yang bermarkas di Pasar Induk Cipinang dikenal dengan sebutan jaringan semut. Mereka menjalin mata rantai dengan orang Bulog, tapi yang utama adalah jalinan dengan pejabat terkait di pemerintahan," tandas Agusdin.
Bersama dengan pejabat pemerintahan dan Bulog, jaringan semut juga mengatur impor beras. Jika pemerintah memperbolehkan impor beras, jumlah yang datang lebih besar dari manifes. Kelebihan itu langsung didistribusikan ke gudang-gudang pedagang besar.
Terhadap jaringan semut yang selama ini leluasa mempermainkan harga beras, Presiden Joko Widodo menyatakan akan memidanakan mereka. "Selalu ada yang memanfaatkan dalam situasi ini. Kalau sudah diidentifikasi, ada pidananya, ya langsung tangkap," tegas Jokowi saat blusukan di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/2).
Mantan Dirut Bulog Soetarto Ali Muso yang dipandang ikut bertanggung jawab atas melambungnya harga beras saat ini, menampik tudingan pihaknya bekerja sama dengan mafia melakukan kartel.
Menurutnya, pemerintah harus mengeluarkan cadangan beras yang dimiliki. Dirinya sudah mengantisipasi kondisi musim paceklik dengan memperkuat cadangan beras sekitar 1,4 juta ton pada 2014.
"Kita tidak perlu impor beras. Saat ini, tinggal bagaimana pemerintah mengelola cadangan. Bila pasar disuplai 50 ribu ton sehari, tentunya harga tidak akan melonjak-lonjak. Bisa kita tahan," terang Soetarto.
Terkait tudingan Bulog merupakan bagian dari jaringan semut, Soetarto menegaskan, selama kepemimpinannya banyak pegawai Bulog dimutasi dan dipecat. Mereka yang melanggar aturan dilaporkan kepada penegak hukum. "Kasusnya sudah ada yang ditangani kejaksaan seperti di Jawa Timur," imbuhnya.
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/8831/Jaringan-Semut-di-Kandang-Bulog/2015/03/02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar