Rabu, 18 Maret 2015
TONGGAK kegagalan Kabinet Indonesia Bersatu adalah gagalnya swasembada pangan untuk gula, kedelai, jagung dan daging sapi, serta surplus 10 juta ton beras, 2014. Alih-alih surplus, swasembada beras 2014 masih tanda tanya, antara kenyataan, sulapan dan pencitraan.
Mengingat kebutuhan dasar publik dan makna finansialnya yang luar biasa, Kabinet Kerja (KK) telah menjanjikan hal yang sama: swasembada pangan. Untuk menghindari keterjebakan dalam politisasi yang sama: kenyataan-sulapan-pencitraan, mulai hari ini tiba waktunya merancang sistem pelembagaan yang lebih seksama sebagaimana telah ditegaskan dalam UU 18/2012 tentang Pangan yang berpayung pada kedaulatan pangan.
Sungguh membanggakan bahwa realitasnya para Menteri KK sangat progresif menyambut tekad kedaulatan pangan Jokowi. Kedaulatan pangan ini bahkan telah digelorakan jauh sebelum masa Pilpres. Dalam masa kampanye, kedaulatan pangan itulah kata yang paling populer bergema. Konsekuensi dari janji, begitu pelantikan kabinet, pemerintahan digenjot segera merespons kedaulatan pangan. Bak Lomba Maraton Borobudur 10K, semua berlari kencang dalam aneka kinerja.
Menteri Pertanian lari kencang dengan target swasembada dengan kata populernya: nyawa saya taruhannya. Menteri Susi berlari kencang membakari kapal ikan pencuri. Pak Basuki pun melempar dasi menyingsingkan baju untuk membangun 190 waduk, meski belum tentu terisi. Menteri Kehutanan serta merta mulai mengatur tanaman di sana-sini, sementara Menteri Ferry telah tegas mambangun komitmen dan janji-janji tata ruang demi kedaulatan pangan RI. Begitu pula instansi terkait lainnya, Bulog, Kementerian Perdagangan, semua berjanji atas nama kedaulatan pangan, misi suci Jokowi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua semakin kencang berlari ke aneka arah: ke sana-ke mari. Akan tetapi, belum ada petunjuk nyata siapa gerangan yang harus bertanggung jawab manakala swasembada hanya sampai di sini, pada tingkat janji dan tidak terealisasi.
Ada beberapa pertanyaan publik yang sangat sederhana tetapi memerlukan klarifikasi. Pertama, pada tingkat mana harus kompromi ketika gerakan swasembada garam, gula dan sapi, harus menghadapi hobi Kemendag dalam importasi? Kedua, apa pula yang terjadi ketika 190 waduk yang dibangun Basuki ternyata tanpa isi karena gundhulnya hutan tidak siap mengairi? Ketiga, siapa yang disalahkan saat swasembada beras harus menyadari antisipasi pas-pasan dari Bulog sebagai institusi distribusi seperti yang terjadi minggu-minggu ini? Keempat, apa yang terjadi ketika sebagian air irigasi mengairi lahan sawah yang terkonversi?
Sudah barang tentu masih seabreg pertanyaan sejenis yang memerlukan klarifikasi yang sedari dini sudah harus diantisipasi. Bermunculannya seabreg pertanyaan dimaksud sudah pasti menjadi-jadi ketika fenomena birokrasi menunjukkan larinya birokrasi ke sana-ke mari. Indikasi sudah mulai nampak pada krisis perberasan, garam produksi rakyat tani, dan makin dijejalinya konsumsi dengan gula rafinasi. Siapa yang bertanggung jawab atas aneka krisis ini?
Kesigapan memang memerlukan harmoni dan seringkali harus kompromi. Amanat legal Undang Undang No 18/2012 tentang Pangan sudah teramat jelas arahnya, tertuang dalam Pasal 126: Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tiga puluh bulan sudah amanat ini diundangkan dengan tujuan untuk bisa membangun harmoni dan kompromi mengendalikan perjalanan sistem pangan RI yang bertanggung jawab kepada presiden. Sampai hari ini amanat tersebut masih terbentur sebagai janji restrukturisasi. Sementara pihak sebetulnya sudah sangat menanti-nanti karena keyakinan akademisnya pada fungsionalisasi lembaga pangan inilah segala harapan akan secara terpadu bisa terealisasi.
Belum jauh beranjak dari seratus hari masa transisi. Pelembagaan menurut UU 18/12 sungguh sebuah langkah cerdas ketika para pemimpin negara sudi mencermati pertanyaan sederhana tentang tanggung jawab urusan pangan ini meski jalannya bisa ke sana-ke mari.
(M Maksum Machfoedz. Ketua PB NU, Guru Besar FTP UGM)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3887/krisis-dan-otoritas-pangan.kr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar