Senin, 2 Maret 2015
Pak Jokowi baru saja mendapat kiriman paket menohok: isinya nasi aking dan beras busuk. Paket dikirim minggu lalu, lewat pemberitaan koran (nasi aking) dan televisi (beras busuk).
Entahlah, apakah paket itu sampai ke tangan Pak Jokowi atau tidak. Tapi mestinya sampai ke tangan pembantunya, sekurangnya Dirut Bulog.
Kenapa Bulog? Karena lembaga inilah yang bertanggung-jawab melakukan Operasi Pasar dan Penyaluran Raskin. Jadi, kalau masih ada warga yang makan nasi aking dan beroleh beras OP/Raskin busuk, maka telunjuk memang harus diarahkan padanya.
Tapi mengapa harus menyebut Presiden Jokowi di sini? Ada dua alasan.
Pertama, minggu lalu Pak Jokowi dan juga Pak Jusuf Kalla, secara demonstratif telah memimpin langsung OP/Raskin dalam rangka mengatasi krisis beras di pasaran dalam satu bulan terakhir. Pak Jokowi blusukan ke gudang Bulog. Pak JK menantang mafia atau spekulan atau kartel beras, atau apapun namanya itu. Jadi, kalau masih ada warga yang makan nasi aking atau beras busuk, maka tuah kepemimpinan beliau-beliau harus dipertanyakan.
Kedua, Pak Jokowi sudah mencanangkan swasembada beras tahun 2015 ini. Sedangkan jagung dan kedelai paling lambat tahun 2018. Artinya, tahun 2015 harus bebas nasi aking dan beras OP/Raskin busuk.
Jangan pula ada dalih, “Oh, nasi aking itu hanya kasus terbatas di Indramayu. Beras busuk berulat itu hanya kasus kecil di Cirebon atau Tegal.”
Maaf, sekalipun hanya satu orang warga negara yang makan nasi aking, atau yang kebagian beras berulat, keseriusan pemerintah menjamin kecukupan dan kedaulatan pangan bangsa tetap harus dipertanyakan. Apakah presiden akan mengabaikan fakta seandainya satu orang itu adalah keponakannya?
Mengapa saya harus menuliskan masalah ini? Karena Pak Jokowi senang blusukan. Artinya beliau sangat memperhatikan detil terkecil di lapangan. Tidak berpikir dan bertindak makro semata.
Jadi, kalau masih ada seorang warga yang makan nasi aking atau beroleh beras OP/Raskin busuk, maka itu seharusnya menjadi tanggungjawab Pak Jokowi. Itu sebabnya tulisan ini diberi judul seperti itu.
Saya kira, saatnya Pak Jokowi harus ketat juga pada mutu, bukan semata mengutamakan jumlah. Sebab bisa saja Pak Jokowi mendapat laporan di akhir 2015 bahwa rerata konsumsi beras nasional mencapai 139 kg/kapita/tahun. Persis, angka swasembada.
Tapi kalau 70 kg dari 139 kg itu adalah nasi aking atau beras busuk, apakah bisa dikatakan kita sudah swasembada beras?(*)
http://politik.kompasiana.com/2015/03/02/nasi-aking-dan-beras-busuk-untuk-jokowi-709665.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar