Jumat, 6 Maret 2015
Lonjakan harga beras yang terjadi sejak awal tahun ini diyakini akibat ulah mafia yang telah mengakar kuat di mata rantai perdagangan. Sekian lamanya kehadiran mereka seolah tak tersentuh dan sulit dibasmi. Akibatnya, dari tahun ke tahun masyarakat selalu didera dengan kenaikan harga beras.
Pemerintah bukannya tak ada niat dan keberanian untuk membasmi mafia perdagangan bahan pangan, seperti beras dan gula. Membasmi mafia tidak sekadar dengan pendekatan penegakan hukum, dengan menangkap pelaku dan memutuskan jaringan mafia.
Penyelesaian yang hanya mengandalkan penegakan hukum, justru berpotensi menimbulkan dampak yang tak diharapkan, misalnya beras menjadi langka di pasar dan harga melonjak tak terkendali. Hal itu karena mafia beras sangat mendominasi mata rantai perdagangan di dalam negeri.
Mereka menguasai jaringan pemasaran, sehingga mampu mengendalikan harga sesuai kemauan mereka. Untuk komoditas beras, misalnya, 80% distribusi beras ke Jakarta dan sekitarnya sangat bergantung pada pasokan di Pasar Induk Cipinang. Monopoli semacam inilah, yang rawan disusupi jaringan mafia perdagangan.
Dengan penguasaan distribusi perdagangan beras hingga 80%, harga beras di Cipinang menjadi referensi harga beras nasional. Naik-turunnya harga beras di Cipinang menjadi referensi para pedagang beras di berbagai wilayah Indonesia.
Dominasi ini yang kini hendak dikurangi pemerintah. Mafia beras, dan mafia perdagangan komoditas pangan lainnya, selama ini beroperasi layaknya pedagang. Jaringan yang begitu kuat mulai dari tingkat produsen, dalam hal ini petani, hingga ke hilir, membuat mereka memiliki informasi akurat mengenai kondisi pasar, terutama berapa banyak beras yang tersedia dan berapa banyak kebutuhan di setiap daerah.
Dukungan gudang-gudang besar, termasuk gudang milik Bulog untuk menimbun beras, memudahkan mereka untuk mengendalikan suplai ke pasar, yang berdampak pada kontrol harga. Pada akhirnya, tingginya harga tidak membuat petani bertambah sejahtera. Para pedagang lah yang mengeruk keuntungan besar.
Mereka membeli produk dari petani dengan harga rendah, dan menjual dengan harga tinggi. Ketika beras dari petani tidak menguntungkan, mereka menciptakan situasi genting, beras dibuat langka dan harganya melonjak, untuk mendapatkan alasan untuk mengimpor. Dominasi mafia beras inilah yang tidak boleh dibiarkan. Meski demikian, pola penyelesaiannya tidak bisa sekadar menangkap dan menghukum pelakunya.
Cara penyelesaiannya adalah dengan menciptakan mata rantai perdagangan komoditas yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Semua pihak yang ambil bagian dalam mata rantai perdagangan ini harus tunduk pada aturan main yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan. Dengan demikian, tak ada lagi sekelompok pedagang yang memonopoli atau membentuk kartel dalam mata rantai perdagangan komoditas.
Produsen atau petani maupun konsumen diberi pilihan, mana mata rantai yang menguntungkan mereka. Pemerintah bisa memanfaatkan koperasi yang tersebar di seluruh pelosok negeri, untuk menjadi bagian dari mata rantai perdagangan beras dan komoditas pangan strategis lainnya. Dengan cara ini, lambat laun keberadaan mafia akan lenyap dengan sendirinya.
Selain menciptakan mata rantai perdagangan baru yang lebih kompetitif, pemerintah juga perlu mampu mengidentifikasi modus yang selalu dilakukan jaringan mafia, dan tujuan akhir dari gonjang-ganjing harga beras di Tanah Air. Umumnya, mafia beras menjalankan aksinya dengan memanfaatkan momentum kenaikan harga BBM, serta defisit pasokan akibat bencana alam banjir yang menggagalkan panen petani dan mengganggu jalur distribusi atau kemarau panjang. Modus ini selalu berulang, mengingat kondisi-kondisi tersebut kerap terjadi di negeri ini.
Dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa tersebut, umumnya mafia mengkondisikan pasokan di dalam negeri terganggu, sehingga memaksa pemerintah untuk membuka keran impor beras. Inilah tujuan akhir dari semua permainan kotor pedagang beras yang menjadi bagian dari mafia. Sebab, harga beras impor dari negara-negara yang mengalami surplus, seperti Vietnam, umumnya lebih murah dari harga beras di dalam negeri. Dengan demikian, pedagang berharap mendapat keuntungan berlipat dari impor beras.
Dengan memahami pola permainan dan sasaran akhir mafia beras, pemerintah perlu menegaskan sikap untuk tidak mengimpor beras. Hal ini tentu didasari perhitungan cermat mengenai jumlah produksi dan perkiraan konsumsi nasional.
Sejalan dengan itu, pemerintah, melalui Perum Bulog, perlu terus meningkatkan cadangan beras, dengan membeli langsung dari petani dengan harga wajar. Cadangan beras yang mencukupi, akan memudahkan pemerintah untuk mengintervensi pasar jika harga tiba-tiba melonjak.
Namun, hal yang lebih penting di atas semua itu adalah pertama, perlunya pemerintah menggenjot produktivitas pangan nasional. Pemerintah harus mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Kedua, aparat pemerintah, termasuk di Bulog, bebas dari anasir jahat, yakni oknum pejabat pemerintah yang bekerja sama dengan mafia.
Dengan produksi yang berlimpah, disertai kemampuan pemerintah membangun mata rantai perdagangan sendiri, niscaya gonjang-ganjing harga beras dan komoditas pangan lainnya bisa dihindari. Petani produsen dan masyarakat konsumen sama-sama diuntungkan. Pedagang pun bisa menjalankan usahanya secara sehat. ***
http://sp.beritasatu.com/home/akhiri-mafia-pangan/80327
Tidak ada komentar:
Posting Komentar