Selasa, 31 Maret 2015
Presiden Jokowi menepati janjinya. Pada 17 Maret lalu, ia mengeluarkan Inpres No 5/2015, menggantikan Inpres Nomor 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Substansi isi tidak berbeda. Inpres ditujukan pada menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/bupati/wali kota guna mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian terkait kebijakan perberasan nasional.
Inpres Nomor 5/2015 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksanannya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Yang tak diatur adalah pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di petani Rp3.700 per kg (sebelumnya Rp3.300 per kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650 per kg (sebelumnya Rp4.200 per kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300 per kg (sebelumnya Rp6.600 per kg). Rata-rata naik 11 persen.
Inpres ini ditunggu-tunggu banyak pihak: petani, pedagang pengumpul, pemilik penggilingan padi, dan Bulog. Bagi petani Inpres Perberasan penting untuk mendorong peningkatan produksi padi. Karena itu Presiden Soeharto biasa mengeluarkan Inpres pada Oktober atau menjelang tanam agar petani terangsang berproduksi. Dengan patokan harga gabah/beras baru petani bisa mengkalkulasi untung-rugi. Tujuannya jelas. Namun, setelah reformasi tidak ada pola tetap. Bahkan, Inpres sering dikeluarkan pada Januari-Februari, yang fungsinya hanya sebagai patokan harga di pasar. Tak lebih tak kurang.
Pedagang pengumpul dan pemilik penggilingan padi berkepentingan karena dari Inpres itulah mereka mengais untung. Dalam Inpres biasanya dicantumkan pengadaan beras untuk keluarga miskin (Raskin). Dalam setahun, jumlah Raskin kira-kira tiga juta ton. Para pedagang dan pemilik penggilingan akan berlomba-lomba memburu gabah sehingga harga terangkat signifikan. Mereka akan bertanya-tanya kalau tak ada Raskin. Mereka tak bergairah jika pengadaan hanya untuk cadangan beras pemerintah, yang cuma 0,35 juta.
Bagi Bulog, Inpres Perberasan penting karena bakal menjadi pedoman pembelian gabah/beras. Apabila ada Raskin, pengadaan Bulog dalam setahun minimal harus tiga juta ton setara beras. Apabila ditambah cadangan beras pemerintah, pengadaan Bulog paling tidak harus 3,5 juta ton setara beras. Jika pengadaan kurang dari itu, pasar mudah sekali "panas" karena cadangan kurang memadai. Apalagi bila pada saat berjalan terjadi banyak bencana yang menguras cadangan beras pemerintah dan Raskin diberikan lebih dari 12 kali. Ujung semua itu membuat cadangan menipis, dan pasar mudah sekali memanas.
Inpres Perberasan yang baru amat penting bagi Bulog karena tiga hal. Pertama, Inpres Perberasan Nomor 3/2012 tidak memadai lagi untuk jadi landasan operasional di lapangan. HPP gabah dan beras yang ditetapkan di Inpres itu sudah jauh di bawah harga pasar. Tanpa perubahan HPP gabah/beras Bulog akan kesulitan membeli gabah/beras. HPP merupakan instrumen pokok bagi Bulog untuk menambah persediaan beras. Saat ini cadangan beras di Bulog tinggal 1,2 juta ton, hanya cukup 4-5 bulan kebutuhan Raskin.
Kedua, panen raya merupakan momentum tepat bagi Bulog melakukan pembelian gabah/beras secara besar-besaran. Apabila momentum panen raya terlewatkan, peluang Bulog untuk memperbesar cadangan lewat pembelian dalam negeri bakal menguap. Memang pengadaan masih mungkin dilakukan saat panen gadu. Namun, selain harga gabah/beras mahal saat itu volume panen juga kecil. Melewatkan pengadaan saat panen raya sama saja dengan legalisasi impor beras. Tentu ini tidak kita kehendaki bersama.
Tanam padi yang serentak telah menghasilkan irama panen ajeg, hampir tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Maret sampai Juni nanti merupakan musim panen raya, saat tepat menyerap gabah/beras.
Ketiga, sesuai hukum supply-demand, karena pasokan melimpah sementara permintaan tetap, harga gabah/beras cenderung tertekan rendah saat panen raya. Pada saat itulah Bulog perlu turun tangan membantu petani. Dengan menyerap surplus produksi petani, Bulog akan menjadi aktor penting penyeimbang supply-demand. Kehadiran Bulog merupakan pengejawantahan dari “kehadiran negara” seperti amanat suci konstitusi.
Oleh:
Khudori
Pengamat Pertanian
AHL
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/31/379090/bulog-dan-inpres-perberasan
Selasa, 31 Maret 2015
Terjebak Beras Kualitas Rendah
Selasa, 31 Maret 2015
Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
INSTABILITAS harga beras masih men jadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketika pasokan berkurang se mentara permintaan tetap, harga beras melonjak tinggi seperti yang terjadi awal 2015. Saat ada tekanan di sisi permintaan, seperti menjelang dan saat hari-hari besar keagamaan, harga beras akan melonjak tinggi manakala pasokan tidak memadai. Untuk mengendalikan harga beras, selama ini pemerintah mengandalkan dua langkah, yaitu operasi pasar dan memperbesar penyaluran beras untuk warga miskin (Raskin).
Saat harga beras melonjak tinggi sepanjang Januari-Februari lalu, bahkan di beberapa tempat mencapai 30%, pemerintah memperluas cakupan, meningkatkan volume operasi pasar beras, dan mempercepat penyaluran Raskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan penggunaan stok beras operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23 Februari 2015 karena cadangan beras pemerintah (CBP) tidak mencukupi. Presiden Jokowi memastikan akan mengguyur beras operasi pasar berapa pun kebutuhan pasar. Namun, seperti tahuntahun sebelumnya, harga beras menurun amat lambat.
Ini terjadi karena beras operasi pasar dari CBP dan Raskin tidak langsung dikonsumsi warga, tetapi dioplos dengan beras berkualitas baik. Kualitas beras CBP dan Raskin sama, yakni beras kualitas rendah, kualitas medium. Berbagai studi menemukan kualitas beras Raskin amat rendah, yakni remuk, apak, dan berkutu. Beras CBP juga tidak lebih baik. Karena tersimpan lama, kualitas beras merosot. Inilah alasan pedagang Pasar Induk Beras Cipinang mengoplos beras operasi pasar dengan beras kualitas bagus. Oleh pedagang, beras operasi pasar yang seharusnya dijual Rp7.400/kg dilego di atas Rp8.000/kg setelah dioplos. Ini yang membuat Mendag Rachmat Gobel menuding ada mafia beras.
Dalam beberapa tahun terakhir, Raskin dikucurkan lebih 12 kali dalam setahun. Artinya, dalam bulan-bulan tertentu, terutama saat paceklik (Oktober-Januari), Raskin bisa diberikan lebih sekali sehingga dikenal Raskin ke-13, ke-14, atau ke-15. Namun demikian, efektivitas Raskin (dan operasi pasar) dalam meredam kenaikan harga beras amat rendah. Perlu waktu yang lama untuk menurunkan harga pada saat harga beras melonjak tinggi. Padahal, volume Raskin dikucurkan tiap bulan sebesar 230 ribu ton.
Ini terjadi karena Raskin dan operasi pasar tidak berpengaruh dominan dalam menekan inflasi pangan. Meskipun volume Raskin diperbesar, inflasi tetap tinggi. Misalnya, pada 2014, inflasi ditutup 8,36%. Dari nilai itu, sekitar 2,06% dari kontribusi bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Jadi, secara keseluruhan, pangan memegang peranan 40,31% inflasi nasional.Sumbangan terbesar dari beras.
Dalam setahun, volume Raskin setidaknya mencapai 3 juta ton beras. Ini jumlah yang amat besar jika dibandingkan dengan volume CBP yang hanya 370 ribu ton. Volume Raskin sangat besar tidak hanya berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus melakukan pengadaan gabah atau beras dalam negeri besar-besaran. Padahal, harga beras di pasaran amat tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Ujung-ujungnya, kualitas beras CBP dan Raskin jadi taruhan. Inilah salah satu penyebab kualitas CBP dan Raskin amat rendah. Situasi ini seperti jebakan, yakni volume Raskin amat besar, anggarannya besar, tapi efektivitasnya dalam mengendalikan harga amat rendah.
Situasi menjebak ini sudah lama berlangsung. Sayangnya, belum ada tanda-tanda untuk memperbaikinya. Ini bisa dilihat dari terbitnya Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres yang terbit 17 Maret lalu itu menggantikan Inpres No 3/2012. Substansi dan isinya tidak berbeda. Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/bupati/wali kota un tuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Di dalamnya, ditetapkan HPP tunggal, yakni harga beras medium, b e s a r ny a R p 7 . 3 0 0 / kg (dari sebelumnya Rp6.600/kg).
Kebijakan perberasan, ter utama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas) tidak mengalami perubahan se jak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Pada hal, selama lebih empat dekade, pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. HPP tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas beras tidak sejatinya lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar, yakni saat harga beras naik atau turun tajam.
Kualitas gabah atau beras mengikuti irama panen. Pada saat panen raya (Februari-Mei) gabah atau beras rendah mulai membaik di musim gadu (Juni-September) dan amat baik saat paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah atau beras juga berfluktuasi mengikuti irama panen, yakni harga rendah saat panen raya, naik di musim gadu, dan melambung tinggi saat paceklik. Kenyataan di atas menunjukkan kualitas gabah atau beras bervariasi mengikuti irama panen.Berbeda dengan di Inpres, di pasar ada lebih satu kualitas gabah atau beras.
Inpres Perberasan yang hanya mengatur satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya `melawan' pergerakan harga gabah atau beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios kelontong, misalnya ada 4-5 jenis beras yang tidak hanya kualitas medium seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenisjenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas yang harganya juga berbeda-beda.
Agar lepas dari jebakan beras kualitas rendah, ada dua hal yang bisa dilakukan.Pertama, menghentikan program Raskin untuk tujuan stabilisasi harga beras. Raskin harus dikembalikan ke tujuan awal: mengatasi kekurangan gizi makro (energi dan protein) bagi keluarga miskin. Volume Raskin harus diperkecil, maksimal 2 juta ton. Konsekuensinya, program Raskin perlu ditata ulang agar lebih tepat: sasaran, volume, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Kedua, mengubah CBP dari kualitas medium premium. Volumenya juga perlu diperbesar hingga 1,3 juta ton. Dengan perubahan ini, CBP akan efektif untuk stabilisasi harga beras dan untuk memberikan bantuan negara sahabat. Bahkan, jika masih ada kelebihan volume, CBP bisa untuk tujuan ekspor.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2015/03/31/ArticleHtmls/Terjebak-Beras-Kualitas-Rendah-31032015006003.shtml?Mode=1
Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
INSTABILITAS harga beras masih men jadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketika pasokan berkurang se mentara permintaan tetap, harga beras melonjak tinggi seperti yang terjadi awal 2015. Saat ada tekanan di sisi permintaan, seperti menjelang dan saat hari-hari besar keagamaan, harga beras akan melonjak tinggi manakala pasokan tidak memadai. Untuk mengendalikan harga beras, selama ini pemerintah mengandalkan dua langkah, yaitu operasi pasar dan memperbesar penyaluran beras untuk warga miskin (Raskin).
Saat harga beras melonjak tinggi sepanjang Januari-Februari lalu, bahkan di beberapa tempat mencapai 30%, pemerintah memperluas cakupan, meningkatkan volume operasi pasar beras, dan mempercepat penyaluran Raskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan penggunaan stok beras operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23 Februari 2015 karena cadangan beras pemerintah (CBP) tidak mencukupi. Presiden Jokowi memastikan akan mengguyur beras operasi pasar berapa pun kebutuhan pasar. Namun, seperti tahuntahun sebelumnya, harga beras menurun amat lambat.
Ini terjadi karena beras operasi pasar dari CBP dan Raskin tidak langsung dikonsumsi warga, tetapi dioplos dengan beras berkualitas baik. Kualitas beras CBP dan Raskin sama, yakni beras kualitas rendah, kualitas medium. Berbagai studi menemukan kualitas beras Raskin amat rendah, yakni remuk, apak, dan berkutu. Beras CBP juga tidak lebih baik. Karena tersimpan lama, kualitas beras merosot. Inilah alasan pedagang Pasar Induk Beras Cipinang mengoplos beras operasi pasar dengan beras kualitas bagus. Oleh pedagang, beras operasi pasar yang seharusnya dijual Rp7.400/kg dilego di atas Rp8.000/kg setelah dioplos. Ini yang membuat Mendag Rachmat Gobel menuding ada mafia beras.
Dalam beberapa tahun terakhir, Raskin dikucurkan lebih 12 kali dalam setahun. Artinya, dalam bulan-bulan tertentu, terutama saat paceklik (Oktober-Januari), Raskin bisa diberikan lebih sekali sehingga dikenal Raskin ke-13, ke-14, atau ke-15. Namun demikian, efektivitas Raskin (dan operasi pasar) dalam meredam kenaikan harga beras amat rendah. Perlu waktu yang lama untuk menurunkan harga pada saat harga beras melonjak tinggi. Padahal, volume Raskin dikucurkan tiap bulan sebesar 230 ribu ton.
Ini terjadi karena Raskin dan operasi pasar tidak berpengaruh dominan dalam menekan inflasi pangan. Meskipun volume Raskin diperbesar, inflasi tetap tinggi. Misalnya, pada 2014, inflasi ditutup 8,36%. Dari nilai itu, sekitar 2,06% dari kontribusi bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Jadi, secara keseluruhan, pangan memegang peranan 40,31% inflasi nasional.Sumbangan terbesar dari beras.
Dalam setahun, volume Raskin setidaknya mencapai 3 juta ton beras. Ini jumlah yang amat besar jika dibandingkan dengan volume CBP yang hanya 370 ribu ton. Volume Raskin sangat besar tidak hanya berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus melakukan pengadaan gabah atau beras dalam negeri besar-besaran. Padahal, harga beras di pasaran amat tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Ujung-ujungnya, kualitas beras CBP dan Raskin jadi taruhan. Inilah salah satu penyebab kualitas CBP dan Raskin amat rendah. Situasi ini seperti jebakan, yakni volume Raskin amat besar, anggarannya besar, tapi efektivitasnya dalam mengendalikan harga amat rendah.
Situasi menjebak ini sudah lama berlangsung. Sayangnya, belum ada tanda-tanda untuk memperbaikinya. Ini bisa dilihat dari terbitnya Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres yang terbit 17 Maret lalu itu menggantikan Inpres No 3/2012. Substansi dan isinya tidak berbeda. Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/bupati/wali kota un tuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Di dalamnya, ditetapkan HPP tunggal, yakni harga beras medium, b e s a r ny a R p 7 . 3 0 0 / kg (dari sebelumnya Rp6.600/kg).
Kebijakan perberasan, ter utama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas) tidak mengalami perubahan se jak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Pada hal, selama lebih empat dekade, pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. HPP tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas beras tidak sejatinya lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar, yakni saat harga beras naik atau turun tajam.
Kualitas gabah atau beras mengikuti irama panen. Pada saat panen raya (Februari-Mei) gabah atau beras rendah mulai membaik di musim gadu (Juni-September) dan amat baik saat paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah atau beras juga berfluktuasi mengikuti irama panen, yakni harga rendah saat panen raya, naik di musim gadu, dan melambung tinggi saat paceklik. Kenyataan di atas menunjukkan kualitas gabah atau beras bervariasi mengikuti irama panen.Berbeda dengan di Inpres, di pasar ada lebih satu kualitas gabah atau beras.
Inpres Perberasan yang hanya mengatur satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya `melawan' pergerakan harga gabah atau beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios kelontong, misalnya ada 4-5 jenis beras yang tidak hanya kualitas medium seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenisjenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas yang harganya juga berbeda-beda.
Agar lepas dari jebakan beras kualitas rendah, ada dua hal yang bisa dilakukan.Pertama, menghentikan program Raskin untuk tujuan stabilisasi harga beras. Raskin harus dikembalikan ke tujuan awal: mengatasi kekurangan gizi makro (energi dan protein) bagi keluarga miskin. Volume Raskin harus diperkecil, maksimal 2 juta ton. Konsekuensinya, program Raskin perlu ditata ulang agar lebih tepat: sasaran, volume, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Kedua, mengubah CBP dari kualitas medium premium. Volumenya juga perlu diperbesar hingga 1,3 juta ton. Dengan perubahan ini, CBP akan efektif untuk stabilisasi harga beras dan untuk memberikan bantuan negara sahabat. Bahkan, jika masih ada kelebihan volume, CBP bisa untuk tujuan ekspor.
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2015/03/31/ArticleHtmls/Terjebak-Beras-Kualitas-Rendah-31032015006003.shtml?Mode=1
Stok Beras di Gudang Bulog Mulai Menipis
Selasa, 31 Maret 2015
MAGELANG, KOMPAS — Stok beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional Wilayah V Kedu, Jawa Tengah, mulai menipis. Cadangan beras itu hanya sekitar 14.000 ton. Stok ini cukup untuk kebutuhan penyaluran beras bagi keluarga miskin sekitar tiga bulan mendatang.
Di gudang Bulog di Kabupaten Kebumen dan Wonosobo, Jateng, stok beras untuk rakyat miskin (raskin) yang tersedia bahkan hanya cukup untuk kebutuhan penyaluran selama sebulan. Padahal, pada minggu ini raskin akan disalurkan di sejumlah daerah.
Di Kabupaten Brebes, Jateng, dan Kabupaten Madiun, Jawa Timur, raskin disalurkan masih dengan pola lama. Setiap keluarga miskin menerima beras 15 kilogram dengan tebusan Rp 1.600 per kilogram. Hingga Maret ini, raskin untuk tahun 2015 sudah disalurkan tiga kali.
Sebaliknya, Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih terus mendistribusikan raskin, sekaligus untuk menekan harga beras di pasaran. Bulog juga menyerap hasil panen raya gabah yang berasal dari Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, serta Kabupaten Wajo, Pinrang, Parepare, Sidrap, Bone, dan Sinjai di Sulsel.
"Kami terus mendistribusikan raskin ke daerah, sekaligus untuk menekan harga. Jika warga miskin bisa membeli raskin, tak banyak lagi yang membeli beras dengan harga tinggi," kata Kepala Bulog Divre Sulselbar Abdullah Djawas, di Makassar.
Tak bisa membeli
Sebaliknya, Wakil Kepala Bulog Subdivre Kedu Purwaji, di Magelang, Senin (30/3), menjelaskan, setiap bulan, untuk enam kota/kabupaten di wilayah Kedu, Bulog menyalurkan sekitar 5.600 ton raskin. Di Kebumen saat ini stok raskin yang tersedia hanya 1.500 ton dan di Wonosobo sekitar 1.000 ton.
Menurut Purwaji, Bulog tak bisa menambah pasokan karena harga beras kelas medium, yang sekelas dengan raskin, saat ini di pasaran masih tinggi. "Beras dengan kualitas standar raskin masih dijual Rp 7.400-Rp 7.500 per kg, sedangkan harga pembelian dari pemerintah untuk raskin Rp 7.300 per kg," ujarnya.
Dengan kondisi itu, lanjut Purwaji, Bulog Subdivre Kedu tidak memiliki pilihan lain, kecuali menunggu hingga harga beras turun. Harga beras diperkirakan baru turun pada saat panen raya, April mendatang.
Selama empat bulan terakhir, Perum Bulog Subdivre Wilayah V Kedu belum melakukan aktivitas pengadaan beras. Saat ini sudah dilakukan kontrak dengan mitra untuk pengadaan 15 ton beras dan 30 ton gabah, tetapi belum dipasok ke gudang Bulog.
Purwaji mengatakan, aktivitas pengadaan beras saat ini terbilang terlambat. Tahun sebelumnya, aktivitas pengadaan beras sudah dimulai sejak awal Maret.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Purworejo Eko Anang Sofyan W mengatakan, dari total luas tanaman padi 29.600 hektar, luasan panen baru sekitar 30 persen. Panen raya di Purworejo minggu pertama atau kedua April.
Asisten II Pemerintah Kabupaten Brebes Muhammad Iqbal, Senin, menuturkan, hingga Maret ini raskin di kabupaten itu sudah tiga kali disalurkan.
Perbaiki distribusi
Di Madiun, warga penerima raskin juga berharap pemerintah meningkatkan kualitas beras dan membenahi sistem distribusi raskin sehingga penyimpangan bisa diminimalkan. Sugianto (45), pegawai Kecamatan Kare, Madiun, mengatakan, pembagian raskin membantu warga miskin mendapatkan bahan pangan pokok yang lebih baik. Bagi warga di lereng Gunung Wilis, makanan mereka didiversifikasi dengan jagung dan ketela yang dihasilkan dari kebun atau ladang.
"Tebusan raskin, Rp 1.600 per kg, jauh lebih murah dibandingkan dengan beras yang di tingkat pedagang sekitar Rp 8.000 per kg. Bantuan beras tetap diperlukan oleh warga," kata Sugianto.
Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno mengatakan, bantuan beras tidak semata program amal atau bagi-bagi untuk warga miskin. Dalam program ini ada pula pemberdayaan petani sebagai penghasil beras dan peran Bulog sebagai pengelola raskin. "Raskin tidak didapat gratis oleh warga miskin," ujarnya.
Ia menambahkan dalam distribusi raskin, penyelewengan tidak selamanya merugikan. Contoh kasus, ada warga miskin yang tak mampu menebus jatahnya 15 kg per bulan, senilai Rp 24.000. Agar haknya tak hilang, penerima diperbolehkan menebus sesuai dengan kemampuan dan sisanya boleh ditebus oleh warga lain.
Suharno mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kualitas beras untuk raskin agar layak dikonsumsi oleh warga. Distribusi raskin harus diperbaiki dengan melakukan validasi ulang data penerima.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga meminta metode penyaluran dan pengadaan raskin sebaiknya diubah dengan banyak melibatkan potensi daerah.
(EGI/WIE/KOR/ESA/ACI/WHO/
RWN/NIK/SIR/MAS/NDY/REN)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150331kompas/#/1/
MAGELANG, KOMPAS — Stok beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional Wilayah V Kedu, Jawa Tengah, mulai menipis. Cadangan beras itu hanya sekitar 14.000 ton. Stok ini cukup untuk kebutuhan penyaluran beras bagi keluarga miskin sekitar tiga bulan mendatang.
Di gudang Bulog di Kabupaten Kebumen dan Wonosobo, Jateng, stok beras untuk rakyat miskin (raskin) yang tersedia bahkan hanya cukup untuk kebutuhan penyaluran selama sebulan. Padahal, pada minggu ini raskin akan disalurkan di sejumlah daerah.
Di Kabupaten Brebes, Jateng, dan Kabupaten Madiun, Jawa Timur, raskin disalurkan masih dengan pola lama. Setiap keluarga miskin menerima beras 15 kilogram dengan tebusan Rp 1.600 per kilogram. Hingga Maret ini, raskin untuk tahun 2015 sudah disalurkan tiga kali.
Sebaliknya, Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih terus mendistribusikan raskin, sekaligus untuk menekan harga beras di pasaran. Bulog juga menyerap hasil panen raya gabah yang berasal dari Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, serta Kabupaten Wajo, Pinrang, Parepare, Sidrap, Bone, dan Sinjai di Sulsel.
"Kami terus mendistribusikan raskin ke daerah, sekaligus untuk menekan harga. Jika warga miskin bisa membeli raskin, tak banyak lagi yang membeli beras dengan harga tinggi," kata Kepala Bulog Divre Sulselbar Abdullah Djawas, di Makassar.
Tak bisa membeli
Sebaliknya, Wakil Kepala Bulog Subdivre Kedu Purwaji, di Magelang, Senin (30/3), menjelaskan, setiap bulan, untuk enam kota/kabupaten di wilayah Kedu, Bulog menyalurkan sekitar 5.600 ton raskin. Di Kebumen saat ini stok raskin yang tersedia hanya 1.500 ton dan di Wonosobo sekitar 1.000 ton.
Menurut Purwaji, Bulog tak bisa menambah pasokan karena harga beras kelas medium, yang sekelas dengan raskin, saat ini di pasaran masih tinggi. "Beras dengan kualitas standar raskin masih dijual Rp 7.400-Rp 7.500 per kg, sedangkan harga pembelian dari pemerintah untuk raskin Rp 7.300 per kg," ujarnya.
Dengan kondisi itu, lanjut Purwaji, Bulog Subdivre Kedu tidak memiliki pilihan lain, kecuali menunggu hingga harga beras turun. Harga beras diperkirakan baru turun pada saat panen raya, April mendatang.
Selama empat bulan terakhir, Perum Bulog Subdivre Wilayah V Kedu belum melakukan aktivitas pengadaan beras. Saat ini sudah dilakukan kontrak dengan mitra untuk pengadaan 15 ton beras dan 30 ton gabah, tetapi belum dipasok ke gudang Bulog.
Purwaji mengatakan, aktivitas pengadaan beras saat ini terbilang terlambat. Tahun sebelumnya, aktivitas pengadaan beras sudah dimulai sejak awal Maret.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Purworejo Eko Anang Sofyan W mengatakan, dari total luas tanaman padi 29.600 hektar, luasan panen baru sekitar 30 persen. Panen raya di Purworejo minggu pertama atau kedua April.
Asisten II Pemerintah Kabupaten Brebes Muhammad Iqbal, Senin, menuturkan, hingga Maret ini raskin di kabupaten itu sudah tiga kali disalurkan.
Perbaiki distribusi
Di Madiun, warga penerima raskin juga berharap pemerintah meningkatkan kualitas beras dan membenahi sistem distribusi raskin sehingga penyimpangan bisa diminimalkan. Sugianto (45), pegawai Kecamatan Kare, Madiun, mengatakan, pembagian raskin membantu warga miskin mendapatkan bahan pangan pokok yang lebih baik. Bagi warga di lereng Gunung Wilis, makanan mereka didiversifikasi dengan jagung dan ketela yang dihasilkan dari kebun atau ladang.
"Tebusan raskin, Rp 1.600 per kg, jauh lebih murah dibandingkan dengan beras yang di tingkat pedagang sekitar Rp 8.000 per kg. Bantuan beras tetap diperlukan oleh warga," kata Sugianto.
Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno mengatakan, bantuan beras tidak semata program amal atau bagi-bagi untuk warga miskin. Dalam program ini ada pula pemberdayaan petani sebagai penghasil beras dan peran Bulog sebagai pengelola raskin. "Raskin tidak didapat gratis oleh warga miskin," ujarnya.
Ia menambahkan dalam distribusi raskin, penyelewengan tidak selamanya merugikan. Contoh kasus, ada warga miskin yang tak mampu menebus jatahnya 15 kg per bulan, senilai Rp 24.000. Agar haknya tak hilang, penerima diperbolehkan menebus sesuai dengan kemampuan dan sisanya boleh ditebus oleh warga lain.
Suharno mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kualitas beras untuk raskin agar layak dikonsumsi oleh warga. Distribusi raskin harus diperbaiki dengan melakukan validasi ulang data penerima.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga meminta metode penyaluran dan pengadaan raskin sebaiknya diubah dengan banyak melibatkan potensi daerah.
(EGI/WIE/KOR/ESA/ACI/WHO/
RWN/NIK/SIR/MAS/NDY/REN)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150331kompas/#/1/
Jelang Lebaran, Jokowi Minta Menteri Kendalikan Harga Gula
Senin, 30 Maret 2015
Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan sidang kabinet paripurna bersama seluruh jajaran Menteri dan Kepala Lembaga di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (30/3/2015) siang. Dalam sidang paripurna tersebut setidaknya ada dua agenda yang akan dibahas yaitu mengenai ketahanan pangan dan tindak lanjut kunjungan presiden Joko Widodo ke Jepang dan China.
Mengenai agenda ketahanan pangan, Jokowi menyampaikan kepada jajaran menterinya untuk tetap mewaspadai kenaikan harga beras. Meski telah dilakukan operasi pasar, ada kemungkinan harga beras akan kembali naik. Oleh sebab itu Jokowi peminta kepada para menteri memantau harga beras setiap saat.
"Pertama berkaitan dengan harga bahan pokok, meskipun kalau dilihat di lapangan, harga beras sudah berada di posisi normal kembali, tapi saya ingin agar situasi harga itu dipantau dari hari ke hari," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/3/2015).
Beras merupakan salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, untuk itu jika ada kenaikan harga sedikit saja, maka dapat memicu tingginya angka inflasi di beberapa daerah.
Tidak hanya beras, Jokowi juga meminta para menterinya untuk memperhatikan harga-harga bahan pokok lainnya, terlebih mendekati hari raya Idul Fitri yang akan jatuh di bulan Juli 2015. "Tidak hanya urusan beras, karena ini sudah mendekati lebaran, juga urusan dengan gula," tegas Jokowi.
Hingga saat ini Indonesia tercatat masih mengimpor gula dalam jumlah yang besar. Untuk itu, jika pasokan tidak terus diawasi, Jokowi khawatir saat lebaran nanti harga gula mengalami kenaikan.
Sebelumnya, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, mengungkapkan bahwa setelah pemerintah menggelar operasi pasar, harga beras mulai turun sekitar Rp 300 hingga Rp 500 per kilo gram (Kg).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Ngadiran, menjelaskan, harga beras turun memang lebih didorong operasi pasar. Harga beras medium semula Rp 9.500 menjadi Rp 9.000. Sedangkan harga beras operasi pasar sekitar Rp 7.400. "Namun beras operasi pasar masih agak terbatas," kata Ngadiran.
Menurut Ngadiran, panen beras mulai akhir Maret-April. Dengan melihat kondisi itu, Ngadiran menilai, pemerintah tidak perlu melakukan impor beras. Ia mendorong, Bulog membeli gabah petani dalam jumlah besar untuk membantu petani. Langkah tersebut juga membantu stok Bulog. (Yas/Gdn)
http://bisnis.liputan6.com/read/2199401/jelang-lebaran-jokowi-minta-menteri-kendalikan-harga-gula
Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan sidang kabinet paripurna bersama seluruh jajaran Menteri dan Kepala Lembaga di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (30/3/2015) siang. Dalam sidang paripurna tersebut setidaknya ada dua agenda yang akan dibahas yaitu mengenai ketahanan pangan dan tindak lanjut kunjungan presiden Joko Widodo ke Jepang dan China.
Mengenai agenda ketahanan pangan, Jokowi menyampaikan kepada jajaran menterinya untuk tetap mewaspadai kenaikan harga beras. Meski telah dilakukan operasi pasar, ada kemungkinan harga beras akan kembali naik. Oleh sebab itu Jokowi peminta kepada para menteri memantau harga beras setiap saat.
"Pertama berkaitan dengan harga bahan pokok, meskipun kalau dilihat di lapangan, harga beras sudah berada di posisi normal kembali, tapi saya ingin agar situasi harga itu dipantau dari hari ke hari," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/3/2015).
Beras merupakan salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, untuk itu jika ada kenaikan harga sedikit saja, maka dapat memicu tingginya angka inflasi di beberapa daerah.
Tidak hanya beras, Jokowi juga meminta para menterinya untuk memperhatikan harga-harga bahan pokok lainnya, terlebih mendekati hari raya Idul Fitri yang akan jatuh di bulan Juli 2015. "Tidak hanya urusan beras, karena ini sudah mendekati lebaran, juga urusan dengan gula," tegas Jokowi.
Hingga saat ini Indonesia tercatat masih mengimpor gula dalam jumlah yang besar. Untuk itu, jika pasokan tidak terus diawasi, Jokowi khawatir saat lebaran nanti harga gula mengalami kenaikan.
Sebelumnya, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, mengungkapkan bahwa setelah pemerintah menggelar operasi pasar, harga beras mulai turun sekitar Rp 300 hingga Rp 500 per kilo gram (Kg).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Ngadiran, menjelaskan, harga beras turun memang lebih didorong operasi pasar. Harga beras medium semula Rp 9.500 menjadi Rp 9.000. Sedangkan harga beras operasi pasar sekitar Rp 7.400. "Namun beras operasi pasar masih agak terbatas," kata Ngadiran.
Menurut Ngadiran, panen beras mulai akhir Maret-April. Dengan melihat kondisi itu, Ngadiran menilai, pemerintah tidak perlu melakukan impor beras. Ia mendorong, Bulog membeli gabah petani dalam jumlah besar untuk membantu petani. Langkah tersebut juga membantu stok Bulog. (Yas/Gdn)
http://bisnis.liputan6.com/read/2199401/jelang-lebaran-jokowi-minta-menteri-kendalikan-harga-gula
Meski dua Kabupeten Tolak Raskin, Raskin Tetap Disediakan
Senin, 30 Maret 2015
KBRN, Jakarta : Ketua Pelaksana Tim Koordinator Raskin Pusat Chazali Situmorang menyayangkan sikap dari dua kabupaten di tanah air yang menolak adanya bantuan Raskin (Beras Miskin) dari pemerintah pusat. Meski menolak kata Chazali, Raskin untuk dua kabupaten tersebut tetap disediakan oleh pemerintah.
"Kami tidak mengetahui secara jelas alasan penolakan raskin tersebut. Yang pasti kami tetap menyediakan raskin untuk dua kabupaten tersebut. Sebab keberadaan raskin juga dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah setempat boleh saja menolak, namun masyarakat kan tetap membutuhkan," tutur Chazali saat wawancara bersama Radio Republik Indonesia di Jakarta, Senin (30/3/2015).
Untuk itu kata Chazali pemerintah pusat harus menekankan kepada daerah yang menolak program subsidi beras untuk rakyat miskin atau raskin nantinya wajib memiliki komitmen untuk menjamin kesejahteraan rakyat di daerah yang dipimpinnya tersebut.
"Ohya jelas dong bagi wilayah yang menolak raskin mesti tanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya," ujar Chazali.
Seperti diketahui ada dua kabupaten yang menolak raskin. Kabupaten Mukomuko (Bengkulu) dan Malinau (Kaltara) melalui Bupati masing-masing telah menyatakan menolak program subsidi raskin yang akan digulirkan Kemensos per 1 Juni 2013 tersebut. Alasannya jatah raskin yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada warga daerah kerap menjadi permasalahan di kemudian hari, ditambah lagi kualitasnya tidak bagus. (LS/BCS)
http://www.rri.co.id/post/berita/152601/nasional/meski_dua_kabupeten_tolak_raskin_raskin_tetap_disediakan.html
KBRN, Jakarta : Ketua Pelaksana Tim Koordinator Raskin Pusat Chazali Situmorang menyayangkan sikap dari dua kabupaten di tanah air yang menolak adanya bantuan Raskin (Beras Miskin) dari pemerintah pusat. Meski menolak kata Chazali, Raskin untuk dua kabupaten tersebut tetap disediakan oleh pemerintah.
"Kami tidak mengetahui secara jelas alasan penolakan raskin tersebut. Yang pasti kami tetap menyediakan raskin untuk dua kabupaten tersebut. Sebab keberadaan raskin juga dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah setempat boleh saja menolak, namun masyarakat kan tetap membutuhkan," tutur Chazali saat wawancara bersama Radio Republik Indonesia di Jakarta, Senin (30/3/2015).
Untuk itu kata Chazali pemerintah pusat harus menekankan kepada daerah yang menolak program subsidi beras untuk rakyat miskin atau raskin nantinya wajib memiliki komitmen untuk menjamin kesejahteraan rakyat di daerah yang dipimpinnya tersebut.
"Ohya jelas dong bagi wilayah yang menolak raskin mesti tanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya," ujar Chazali.
Seperti diketahui ada dua kabupaten yang menolak raskin. Kabupaten Mukomuko (Bengkulu) dan Malinau (Kaltara) melalui Bupati masing-masing telah menyatakan menolak program subsidi raskin yang akan digulirkan Kemensos per 1 Juni 2013 tersebut. Alasannya jatah raskin yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada warga daerah kerap menjadi permasalahan di kemudian hari, ditambah lagi kualitasnya tidak bagus. (LS/BCS)
http://www.rri.co.id/post/berita/152601/nasional/meski_dua_kabupeten_tolak_raskin_raskin_tetap_disediakan.html
Bulog Sulit Serap Gabah Petani Karena Alasan Ini
Senin, 30 Maret 2015
TEMPO.CO, Jakarta - Harga Pembelian Pemerintah yang rendah menjadi salah satu kendala yang membuat petani enggan menjual berasnya ke Perum Bulog. Direktur Pelayanan Publik Bulog, Lely Pelitasari Soebekty mengatakan, hal ini merupakan tantangan bagi perseroan. "Sudah banyak pemain atau pelaku beras baru yang bisa menyerap banyak dengan harga di atas HPP," kata dia di kantor Kementerian Pertanian pada Senin, 30 Maret 2015.
Lely menjelaskan, Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani berdasarkan HPP 2015 adalah Rp 3.700 per kilogram dan Rp 3.750 di penggilingan. Untuk Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilogram di penggilingan atau Rp4.650 di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras adalah Rp 7.300 per kilogram. Sedangkan, di pasaran, harga gabah bisa mencapai Rp 4.000-5.000 per kilogram. Dengan selisih harga yang cukup jauh, maka petani lebih memilih untuk menjual ke tengkulak pasar. "Bulog tak boleh membeli di atas HPP," kata Lely.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya memberikan fleksibilitas pada jaminan pembelian dan peningkatan produksi petani. Apabila panen petani banyak, harga pasar bisa turun hingga menyentuh HPP, sehingga terbeli oleh Bulog.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Hasil Sembiring mengatakan pemerintah masih terus mengusahakan mekanisme yang tepat untuk mengakali persoalan HPP. Ia mengatakan sempat ada usulan untuk memberdayakan Gerakan Pengelolaan Penanaman Tanaman Terpadu (GP-PTT) padi dengan luas tanah 350 ribu hektar.
URSULA FLORENE SONIA
http://www.tempo.co/read/news/2015/03/30/090654113/Bulog-Sulit-Serap-Gabah-Petani-Karena-Alasan-Ini
TEMPO.CO, Jakarta - Harga Pembelian Pemerintah yang rendah menjadi salah satu kendala yang membuat petani enggan menjual berasnya ke Perum Bulog. Direktur Pelayanan Publik Bulog, Lely Pelitasari Soebekty mengatakan, hal ini merupakan tantangan bagi perseroan. "Sudah banyak pemain atau pelaku beras baru yang bisa menyerap banyak dengan harga di atas HPP," kata dia di kantor Kementerian Pertanian pada Senin, 30 Maret 2015.
Lely menjelaskan, Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani berdasarkan HPP 2015 adalah Rp 3.700 per kilogram dan Rp 3.750 di penggilingan. Untuk Gabah Kering Giling (GKG) Rp4.600 per kilogram di penggilingan atau Rp4.650 di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras adalah Rp 7.300 per kilogram. Sedangkan, di pasaran, harga gabah bisa mencapai Rp 4.000-5.000 per kilogram. Dengan selisih harga yang cukup jauh, maka petani lebih memilih untuk menjual ke tengkulak pasar. "Bulog tak boleh membeli di atas HPP," kata Lely.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya memberikan fleksibilitas pada jaminan pembelian dan peningkatan produksi petani. Apabila panen petani banyak, harga pasar bisa turun hingga menyentuh HPP, sehingga terbeli oleh Bulog.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Hasil Sembiring mengatakan pemerintah masih terus mengusahakan mekanisme yang tepat untuk mengakali persoalan HPP. Ia mengatakan sempat ada usulan untuk memberdayakan Gerakan Pengelolaan Penanaman Tanaman Terpadu (GP-PTT) padi dengan luas tanah 350 ribu hektar.
URSULA FLORENE SONIA
http://www.tempo.co/read/news/2015/03/30/090654113/Bulog-Sulit-Serap-Gabah-Petani-Karena-Alasan-Ini
Senin, 30 Maret 2015
Menko Sofyan Minta Peran Bulog Ditingkatkan
Senin, 30 Maret 2015
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Sofyan Djalil menegaskan, pemerintah akan gencar membenahi beberapa sektor terkait kenaikan harga BBM, salah satunya meningkatkan peran Bulog.
"Struktur pasar diperbaiki dan meningkatkan peran Bulog supaya lebih besar. Hingga Bulog bisa ikut menentukan harga komoditas utama, tapi ini butuh waktu juga," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (30/3/2015).
Beras, tambah dia, selama ini hanya distok. Ke depannya, Sofyan meminta Bulog untuk lebih menjadikan beras tak cuma stok dan lebih proaktif. "Kalau harga turun dia beli di pasar, kalau harga naik dia turun ke pasar supaya menjaga kestabilan harga," imbuhnya.
Untuk lainnya, ungkap Sofyan, UU Anti Monopoli Pasar juga akan diperhatikan. Hal ini agar bisa terjadi kompetisi yang sehat, harga bisa elastis sesuai suply and demand.
"Selama ini ketentuan itu diserahkan ke pemerintah daerah. Harga keekonomian baru terjadi sekarang. Jadi masih proses ya, nanti akan tercipta sendiri harga yang baru," pungkas dia.
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Sofyan Djalil menegaskan, pemerintah akan gencar membenahi beberapa sektor terkait kenaikan harga BBM, salah satunya meningkatkan peran Bulog.
"Struktur pasar diperbaiki dan meningkatkan peran Bulog supaya lebih besar. Hingga Bulog bisa ikut menentukan harga komoditas utama, tapi ini butuh waktu juga," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (30/3/2015).
Beras, tambah dia, selama ini hanya distok. Ke depannya, Sofyan meminta Bulog untuk lebih menjadikan beras tak cuma stok dan lebih proaktif. "Kalau harga turun dia beli di pasar, kalau harga naik dia turun ke pasar supaya menjaga kestabilan harga," imbuhnya.
Untuk lainnya, ungkap Sofyan, UU Anti Monopoli Pasar juga akan diperhatikan. Hal ini agar bisa terjadi kompetisi yang sehat, harga bisa elastis sesuai suply and demand.
"Selama ini ketentuan itu diserahkan ke pemerintah daerah. Harga keekonomian baru terjadi sekarang. Jadi masih proses ya, nanti akan tercipta sendiri harga yang baru," pungkas dia.
Catatan: “Obrolan Warung Kopi”*
Senin,30 Maret 2015
Herman Khoeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI menegaskan bahwa perlu penyempurnaan kelembagaan pangan guna mendukung suatu idealisasi pengendalian harga demi terwujudnya kadaulatan pangan. Tuntutan akan terbentuknya Kelembagaan Pangan, sesuai amanah Undang-udangan Nomor 18 Tahun 2012 menjadi kunci penting. BULOG selaku lembaga pemerintah yang selalu digadang-gadangkan menjadi stabilisator harga pangan, menurut Herman tidak memiliki energi yang cukup untuk mampu mengemban beban berat itu. Mengurus Buffer Stok, Stabilisator, sekaligus pelaku Penyaluran, tidak cukup jika hanya menjadi Operator dengan jumlah “induk” yang tidak sedikit.
Meski begitu, apakah dengan terbentuknya sebuah Lembaga Pangan, akan menjawab semuanya?
Tidak begitu menurut Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bustanul Arifin. Perlu suatu pemaknaan yang lebih cultural, selain pentingnya pembentukan lembaga pangan, perlu juga ada perubahan di dalam penerjemaah kelembagaan itu sendiri. Mana yang harus diperkuat, mana yang harus dibenahi. Harus tercapai sebuah kompromi antara Perum BULOG yang akan tetap berpacu dalam komersialisasinya, dengan Badan Ketahanan Pangan. Perlu penguatan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk mengontrol inefisiensi tata niaga produk pertanian.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani IndonesiaDwi Andreas Santoso, mengatakan perlu ada pemutakhiran data dan fakta. Apakah data yang ada sudah cukup valid, merupakan angka yang real, bukan sekedar data imajiner. Perlu ada kajian khusus untuk meneliti dengan tepat berapa angka konsumsi per kapita ; 139kg per kapita per tahun merupakan angka Food Balancing (World Rice Statistics 1993-94), sudah terlalu tua dan tidak representative terhadap kenyataan angka konsumsi masyarakat sebenarnya. Terkait produksi, jika data yang ada sekarang mengatakan bahwa Indonesia surplus 6,26 juta ton, seharusnya gejolak harga di awal Februari sampai dengan pertengahan Maret 2015 lalu tidak akan pernah terjadi.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik, apakah menjadi jawaban gejolak harga? Bustanul Arifin mengutarakan bahwa ini belum tentu jadi jawaban akan kedaulatan pangan yang ingin dicapai. HPP naik, inflasi naik, harga yang lain akan naik, maka kemampuan daya beli konsumen juga sebenarnya akan berkurang terhadap bahan pangan pokok. Masyarakat perlu dikenalkan akan keberagaman pangan, diversifikasi, guna pemberdayaan pangan lokal yang lebih condong ke akar budaya bangsa. Keputusan waktu menaikan HPP juga menjadi kunci. Jika pemerintah hendak memberi kenyamanan kepada petani, HPP diumumkan sebelum masa tanam dimulai, bukan sebelum panen. HPP seharusnya dirancang dan rutin dievaluasi sebagai “batas ukur” pembiayaan petani untuk memulai usaha taninya.
Pemerintah perlu menghilangkan spekulasi-spekulasi di pasar, untuk mengurangi gejolak harga yang berlebihan. Spekulasi yang terjadi lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah mengambil kebijakan dan seperti kurang serius menangani masalah pangan. Kepala Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)Institut Pertanian Bogor. Rizal Syarif mengatakan, diperlukan komunikasi yang selaras di lingkungan pemerintah, antar kementerian. antar lembaga negara untuk menciptakan satu persepsi yang tidak berpontensi konflik di pasar dan masyarakat. Perlindungan terhadap lahan pertanian yang terus tergerus dan penataan petani juga perlu diperhatikan.
Raskin adalah salah satu instrumen penting dalam pengendalian harga beras di pasar. Terjadi pemenuhan 230 ribu ton beras per bulan kepada masyarakat setiap Raskin di salurkan. Sehingga, penyaluran yang rutin, kontinu dan berkesinambungan setahun penuh selama 12 bulan, setiap bulannya perlu dilakukan. Gejolak harga yang terjadi di awal 2015 ditengarai karena kekosongan penyaluran Raskin pada bulan November dan Desember 2014, yang jatah penyalurannya dimajukan ke bulan Februari dan Maret 2014. Kekhawatiran di masyarakat ditambah dengan mundurnya penyaluran Raskin 2015, yang baru mulai serentak disalurkan pada bulan Maret, belum lagi adanya isu pemerintah akan mengganti Raskin dengan E-Money berhembus kencang. Tentu spekulasi dengan mudah terjadi. Apalagi bulan November - bulan Februari setiap tahunnya, merupakan bulan-bulan packelik, minus produksi beras. Pada masa itu pasokan ke pasar kurang.
Penguatan Perum BULOG sebagai operator negara perlu dilakukan, agar ada respect dari pasar. Tito Pranolo mengatakan, bahwa perlu diberikan fleksibilitas kepada BULOG, berupa kebijakan, agar dalam mengemban tugas sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO) pemerintah, sekaligus menjaga amanat dalam menjalankan usaha komersial sebagai Perum, BULOG dapat berkreasi seperti swasta dan memenuhi kedua amanah tersebut. Sebagai BUMN pro petani, Perum BULOG juga diharapkan mampu membeli hasil produksi petani dalam bentuk gabah, tidak cenderung membeli beras. Jika memungkinkan, BULOG perlu membuat Driyer Center di areal sentra produksi, dan membuka kerjasama dengan koperasi untuk membuka warung di sentra-sentra pasar. Hal ini diharapkan akan mempermudah BULOG dalam mengendalikan harga di tingkat petani, dan mengendalikan harga di pasar saat perlu dilakukan intervensi pasar. - ShalonLy
*Focus Group Discussion (FGD) “Perberasan di Indonesia : Urgensi Penguatan Kelembagaan Pangan untuk Ketahanan Pangan yang Mandiri dan Berdaulat” oleh: Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB)
Moderator FGD, Ig Mahendra Kusuma Putra, menyebut Focus Group Discussion (FGD) kali ini sebagai “Obrolan Warung Kopi” dengan falsafah:
Jika pernah tinggal di Sumatera atau Kalimantan, obrolan warung kopi adalah suatu obrolan yang punya fokus yang terarah. Menjadi forum diskusi yang santai, berdasarkan kesetaraan tanpa prasangka apapun, dengan suasana yang sederhana pinggir jalan, tetapi memiliki potensi konklusi.
Shal_raja
http://m.kompasiana.com/post/read/734084/1/catatan-obrolan-warung-kopi.html
Herman Khoeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI menegaskan bahwa perlu penyempurnaan kelembagaan pangan guna mendukung suatu idealisasi pengendalian harga demi terwujudnya kadaulatan pangan. Tuntutan akan terbentuknya Kelembagaan Pangan, sesuai amanah Undang-udangan Nomor 18 Tahun 2012 menjadi kunci penting. BULOG selaku lembaga pemerintah yang selalu digadang-gadangkan menjadi stabilisator harga pangan, menurut Herman tidak memiliki energi yang cukup untuk mampu mengemban beban berat itu. Mengurus Buffer Stok, Stabilisator, sekaligus pelaku Penyaluran, tidak cukup jika hanya menjadi Operator dengan jumlah “induk” yang tidak sedikit.
Meski begitu, apakah dengan terbentuknya sebuah Lembaga Pangan, akan menjawab semuanya?
Tidak begitu menurut Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bustanul Arifin. Perlu suatu pemaknaan yang lebih cultural, selain pentingnya pembentukan lembaga pangan, perlu juga ada perubahan di dalam penerjemaah kelembagaan itu sendiri. Mana yang harus diperkuat, mana yang harus dibenahi. Harus tercapai sebuah kompromi antara Perum BULOG yang akan tetap berpacu dalam komersialisasinya, dengan Badan Ketahanan Pangan. Perlu penguatan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk mengontrol inefisiensi tata niaga produk pertanian.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani IndonesiaDwi Andreas Santoso, mengatakan perlu ada pemutakhiran data dan fakta. Apakah data yang ada sudah cukup valid, merupakan angka yang real, bukan sekedar data imajiner. Perlu ada kajian khusus untuk meneliti dengan tepat berapa angka konsumsi per kapita ; 139kg per kapita per tahun merupakan angka Food Balancing (World Rice Statistics 1993-94), sudah terlalu tua dan tidak representative terhadap kenyataan angka konsumsi masyarakat sebenarnya. Terkait produksi, jika data yang ada sekarang mengatakan bahwa Indonesia surplus 6,26 juta ton, seharusnya gejolak harga di awal Februari sampai dengan pertengahan Maret 2015 lalu tidak akan pernah terjadi.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik, apakah menjadi jawaban gejolak harga? Bustanul Arifin mengutarakan bahwa ini belum tentu jadi jawaban akan kedaulatan pangan yang ingin dicapai. HPP naik, inflasi naik, harga yang lain akan naik, maka kemampuan daya beli konsumen juga sebenarnya akan berkurang terhadap bahan pangan pokok. Masyarakat perlu dikenalkan akan keberagaman pangan, diversifikasi, guna pemberdayaan pangan lokal yang lebih condong ke akar budaya bangsa. Keputusan waktu menaikan HPP juga menjadi kunci. Jika pemerintah hendak memberi kenyamanan kepada petani, HPP diumumkan sebelum masa tanam dimulai, bukan sebelum panen. HPP seharusnya dirancang dan rutin dievaluasi sebagai “batas ukur” pembiayaan petani untuk memulai usaha taninya.
Pemerintah perlu menghilangkan spekulasi-spekulasi di pasar, untuk mengurangi gejolak harga yang berlebihan. Spekulasi yang terjadi lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah mengambil kebijakan dan seperti kurang serius menangani masalah pangan. Kepala Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM)Institut Pertanian Bogor. Rizal Syarif mengatakan, diperlukan komunikasi yang selaras di lingkungan pemerintah, antar kementerian. antar lembaga negara untuk menciptakan satu persepsi yang tidak berpontensi konflik di pasar dan masyarakat. Perlindungan terhadap lahan pertanian yang terus tergerus dan penataan petani juga perlu diperhatikan.
Raskin adalah salah satu instrumen penting dalam pengendalian harga beras di pasar. Terjadi pemenuhan 230 ribu ton beras per bulan kepada masyarakat setiap Raskin di salurkan. Sehingga, penyaluran yang rutin, kontinu dan berkesinambungan setahun penuh selama 12 bulan, setiap bulannya perlu dilakukan. Gejolak harga yang terjadi di awal 2015 ditengarai karena kekosongan penyaluran Raskin pada bulan November dan Desember 2014, yang jatah penyalurannya dimajukan ke bulan Februari dan Maret 2014. Kekhawatiran di masyarakat ditambah dengan mundurnya penyaluran Raskin 2015, yang baru mulai serentak disalurkan pada bulan Maret, belum lagi adanya isu pemerintah akan mengganti Raskin dengan E-Money berhembus kencang. Tentu spekulasi dengan mudah terjadi. Apalagi bulan November - bulan Februari setiap tahunnya, merupakan bulan-bulan packelik, minus produksi beras. Pada masa itu pasokan ke pasar kurang.
Penguatan Perum BULOG sebagai operator negara perlu dilakukan, agar ada respect dari pasar. Tito Pranolo mengatakan, bahwa perlu diberikan fleksibilitas kepada BULOG, berupa kebijakan, agar dalam mengemban tugas sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO) pemerintah, sekaligus menjaga amanat dalam menjalankan usaha komersial sebagai Perum, BULOG dapat berkreasi seperti swasta dan memenuhi kedua amanah tersebut. Sebagai BUMN pro petani, Perum BULOG juga diharapkan mampu membeli hasil produksi petani dalam bentuk gabah, tidak cenderung membeli beras. Jika memungkinkan, BULOG perlu membuat Driyer Center di areal sentra produksi, dan membuka kerjasama dengan koperasi untuk membuka warung di sentra-sentra pasar. Hal ini diharapkan akan mempermudah BULOG dalam mengendalikan harga di tingkat petani, dan mengendalikan harga di pasar saat perlu dilakukan intervensi pasar. - ShalonLy
*Focus Group Discussion (FGD) “Perberasan di Indonesia : Urgensi Penguatan Kelembagaan Pangan untuk Ketahanan Pangan yang Mandiri dan Berdaulat” oleh: Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB)
Moderator FGD, Ig Mahendra Kusuma Putra, menyebut Focus Group Discussion (FGD) kali ini sebagai “Obrolan Warung Kopi” dengan falsafah:
Jika pernah tinggal di Sumatera atau Kalimantan, obrolan warung kopi adalah suatu obrolan yang punya fokus yang terarah. Menjadi forum diskusi yang santai, berdasarkan kesetaraan tanpa prasangka apapun, dengan suasana yang sederhana pinggir jalan, tetapi memiliki potensi konklusi.
Shal_raja
http://m.kompasiana.com/post/read/734084/1/catatan-obrolan-warung-kopi.html
Koordinasi Pembagian Raskin Bermasalah
Senin, 30 Maret 2015
Penyaluran Terkendala Data
SURABAYA, KOMPAS — Pada minggu ini beras untuk keluarga miskin di daerah kembali dibagikan. Namun, pelaksanaan pembagian raskin di sejumlah daerah masih terkendala oleh koordinasi antara pemerintah daerah dan Bulog. Gudang untuk menyimpan raskin berada jauh dari penerimanya.
Laporan dari beberapa daerah hingga Minggu (29/3) menyebutkan, kendala jarak antara gudang dan penerima itu membuat beras untuk warga miskin (raskin) tak bisa dibagikan setiap saat. Kualitas raskin yang semestinya beras medium, saat dibagikan, terkadang buruk, seperti berbau dan pecah-pecah. Penerima raskin pun menjual kembali beras itu atau harus mengolahnya kembali agar tetap bisa dikonsumsi.
Untuk pembagian raskin, Bulog bertanggung jawab hingga titik distribusi di tingkat kecamatan/kota/kabupaten. Penyaluran raskin dari titik distribusi ke titik bagi di tingkat desa merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, tak sedikit pemerintah daerah yang tak mau menanggung biaya distribusi ini.
Koordinasi dalam pembagian raskin yang masih bermasalah itu diakui Ketua Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Masrukhi Backhro. Namun, ia mengingatkan, pembagian raskin yang sudah berlangsung 17 tahun, dengan sebelumnya dinamai program operasi pasar khusus, perlu dipertahankan. Mekanisme dan sistem penyalurannya yang harus segera dibenahi.
Gudang penyimpanan raskin, kata Masrukhi, harus didekatkan dengan penerima. Ini untuk menekan biaya penyaluran raskin. Gudang penyimpanan harus ada di setiap desa, atau kecamatan. Pengelolaannya bisa dilakukan badan usaha milik daerah (BUMD) pertanian, atau BUMD bekerja sama dengan Bulog.
Dengan adanya gudang di tiap desa atau kecamatan, selain akan memperpendek jalur distribusi, juga beras tidak terlampau lama disimpan. Kualitas beras akan lebih bagus dan terhindar dari kerusakan.
Kepala Bulog Divisi Regional Jawa Timur Witono di Surabaya, Minggu, mengakui, tidak setiap saat raskin bisa dibagikan. Di Jatim rata-rata beras, termasuk untuk raskin, disimpan dalam gudang Bulog paling lama 4 bulan. Namun, jika ada raskin yang ketika disalurkan kepada warga kondisinya buruk, Bulog segera mengganti dengan stok baru.
Dalam gudang Bulog di Jatim juga disimpan raskin untuk jatah wilayah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan sebagian untuk wilayah Sumatera.
Pemerintah daerah
Di Jakarta, Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekty tak menampik masih adanya masalah dalam distribusi raskin. Upaya perbaikan juga terus dilakukan, antara lain dengan melibatkan pemerintah daerah dalam pengecekan kualitas beras di gudang Bulog, sebelum dikirim ke titik distribusi.
Tantangannya memang jarak tempuh dari daerah ke gudang Bulog yang belum tentu dekat. Di luar Jawa ada yang butuh waktu sehari-semalam untuk menjangkau gudang Bulog.
Peran pemerintah daerah sangat penting dalam membantu mengawal raskin. Dengan alokasi raskin 3 juta ton setahun dalam kemasan 15 kilogram, terdapat 200 juta kantong raskin yang dikelola. "Tentu tak semuanya sempurna. Ada kemungkinan satu atau beberapa kantong yang turun kualitasnya. Ibarat dalam satu keranjang telur, ada saja yang pecah. Namun, Bulog terus berupaya meningkatkan kualitas raskin," kata Lely.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun mengakui, penyaluran raskin terkendala, terutama dengan data. Kasus raskin tak diterima oleh keluarga yang layak atau masih banyak rumah tangga sasaran yang belum masuk ke dalam daftar penerima. Oleh karena itu, data penerima raskin perlu dikaji ulang.
Berdasarkan pedoman umum raskin tahun 2015 yang dibuat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah penerima raskin tahun ini 15.530.897 rumah tangga sasaran. Beras yang dialokasikan 2,79 juta ton. "Kementerian Sosial sedang memvalidasi data. Secara umum sudah kami lakukan sejak November 2014, dan harus dikerjakan secara bertahap," katanya.
Penerima raskin akan dicocokkan dengan data program keluarga harapan (PKH), kartu keluarga sejahtera (KKS), dan kartu Indonesia pintar (KIP) sehingga pengawasannya akan mudah. Kementerian Sosial juga mengalokasikan 500.000 penerima raskin cadangan (buffer) dalam APBN Perubahan tahun 2015, untuk mengantisipasi jika ada warga miskin yang belum terdata.
Akibat data tak valid, Khofifah mengakui, pembagian raskin di masyarakat tidak sesuai dengan aturan. Lazim terjadi pembagian sama rata karena kepala desa atau lurah merasa tidak adil apabila hanya keluarga tertentu yang menerima beras. Ada pula pembagian raskin secara bergilir antarwarga di desa itu.
Raskin keras
Dari sisi kualitas, raskin yang harus ditebus penerimanya sebesar Rp 1.600 per kilogram dinilai tak layak konsumsi. Butiran berasnya patah-patah dan banyak mengandung batu. Warna beras itu pun kekuning-kuningan. Agar layak dikonsumsi, raskin harus digiling ulang ke penggilingan beras keliling agar putih.
"Ini beras tadinya hitam. Namun, setelah digiling dan susut setengah kilogram jadi putih dan bisa dimakan," kata Ny Kiptiyah (48), warga Desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember, Jatim, yang menerima raskin.
Harun, pemilik penggilingan padi di Desa Sempolan, Kecamatan Silo, Jember, mengatakan kerap menerima jasa penggilingan beras dari penerima raskin. Kebanyakan beras yang diterima oleh keluarga miskin itu tak layak dikonsumsi jika langsung ditanak. Selain berbau apak, warna beras itu juga kuning.
Rodiatun (42), warga Kelurahan Debong Kidul, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Jateng, yang menerima raskin pada Sabtu lalu, mengatakan, nasi dari raskin biasanya keras. Oleh sebab itu, dari 15 kilogram raskin yang diterimanya, ia menukar 5 kilogram di antaranya dengan beras yang lebih baik sehingga saat dicampur, rasa beras itu menjadi lebih enak.
(ETA/SIR/WIE/MAS/B04/DNE/NIT/IRE/EGI/KOR/NIK)
http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000012852818.aspx
Penyaluran Terkendala Data
SURABAYA, KOMPAS — Pada minggu ini beras untuk keluarga miskin di daerah kembali dibagikan. Namun, pelaksanaan pembagian raskin di sejumlah daerah masih terkendala oleh koordinasi antara pemerintah daerah dan Bulog. Gudang untuk menyimpan raskin berada jauh dari penerimanya.
Laporan dari beberapa daerah hingga Minggu (29/3) menyebutkan, kendala jarak antara gudang dan penerima itu membuat beras untuk warga miskin (raskin) tak bisa dibagikan setiap saat. Kualitas raskin yang semestinya beras medium, saat dibagikan, terkadang buruk, seperti berbau dan pecah-pecah. Penerima raskin pun menjual kembali beras itu atau harus mengolahnya kembali agar tetap bisa dikonsumsi.
Untuk pembagian raskin, Bulog bertanggung jawab hingga titik distribusi di tingkat kecamatan/kota/kabupaten. Penyaluran raskin dari titik distribusi ke titik bagi di tingkat desa merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, tak sedikit pemerintah daerah yang tak mau menanggung biaya distribusi ini.
Koordinasi dalam pembagian raskin yang masih bermasalah itu diakui Ketua Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Masrukhi Backhro. Namun, ia mengingatkan, pembagian raskin yang sudah berlangsung 17 tahun, dengan sebelumnya dinamai program operasi pasar khusus, perlu dipertahankan. Mekanisme dan sistem penyalurannya yang harus segera dibenahi.
Gudang penyimpanan raskin, kata Masrukhi, harus didekatkan dengan penerima. Ini untuk menekan biaya penyaluran raskin. Gudang penyimpanan harus ada di setiap desa, atau kecamatan. Pengelolaannya bisa dilakukan badan usaha milik daerah (BUMD) pertanian, atau BUMD bekerja sama dengan Bulog.
Dengan adanya gudang di tiap desa atau kecamatan, selain akan memperpendek jalur distribusi, juga beras tidak terlampau lama disimpan. Kualitas beras akan lebih bagus dan terhindar dari kerusakan.
Kepala Bulog Divisi Regional Jawa Timur Witono di Surabaya, Minggu, mengakui, tidak setiap saat raskin bisa dibagikan. Di Jatim rata-rata beras, termasuk untuk raskin, disimpan dalam gudang Bulog paling lama 4 bulan. Namun, jika ada raskin yang ketika disalurkan kepada warga kondisinya buruk, Bulog segera mengganti dengan stok baru.
Dalam gudang Bulog di Jatim juga disimpan raskin untuk jatah wilayah timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan sebagian untuk wilayah Sumatera.
Di Jakarta, Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekty tak menampik masih adanya masalah dalam distribusi raskin. Upaya perbaikan juga terus dilakukan, antara lain dengan melibatkan pemerintah daerah dalam pengecekan kualitas beras di gudang Bulog, sebelum dikirim ke titik distribusi.
Tantangannya memang jarak tempuh dari daerah ke gudang Bulog yang belum tentu dekat. Di luar Jawa ada yang butuh waktu sehari-semalam untuk menjangkau gudang Bulog.
Peran pemerintah daerah sangat penting dalam membantu mengawal raskin. Dengan alokasi raskin 3 juta ton setahun dalam kemasan 15 kilogram, terdapat 200 juta kantong raskin yang dikelola. "Tentu tak semuanya sempurna. Ada kemungkinan satu atau beberapa kantong yang turun kualitasnya. Ibarat dalam satu keranjang telur, ada saja yang pecah. Namun, Bulog terus berupaya meningkatkan kualitas raskin," kata Lely.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun mengakui, penyaluran raskin terkendala, terutama dengan data. Kasus raskin tak diterima oleh keluarga yang layak atau masih banyak rumah tangga sasaran yang belum masuk ke dalam daftar penerima. Oleh karena itu, data penerima raskin perlu dikaji ulang.
Berdasarkan pedoman umum raskin tahun 2015 yang dibuat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah penerima raskin tahun ini 15.530.897 rumah tangga sasaran. Beras yang dialokasikan 2,79 juta ton. "Kementerian Sosial sedang memvalidasi data. Secara umum sudah kami lakukan sejak November 2014, dan harus dikerjakan secara bertahap," katanya.
Penerima raskin akan dicocokkan dengan data program keluarga harapan (PKH), kartu keluarga sejahtera (KKS), dan kartu Indonesia pintar (KIP) sehingga pengawasannya akan mudah. Kementerian Sosial juga mengalokasikan 500.000 penerima raskin cadangan (buffer) dalam APBN Perubahan tahun 2015, untuk mengantisipasi jika ada warga miskin yang belum terdata.
Akibat data tak valid, Khofifah mengakui, pembagian raskin di masyarakat tidak sesuai dengan aturan. Lazim terjadi pembagian sama rata karena kepala desa atau lurah merasa tidak adil apabila hanya keluarga tertentu yang menerima beras. Ada pula pembagian raskin secara bergilir antarwarga di desa itu.
Raskin keras
Dari sisi kualitas, raskin yang harus ditebus penerimanya sebesar Rp 1.600 per kilogram dinilai tak layak konsumsi. Butiran berasnya patah-patah dan banyak mengandung batu. Warna beras itu pun kekuning-kuningan. Agar layak dikonsumsi, raskin harus digiling ulang ke penggilingan beras keliling agar putih.
"Ini beras tadinya hitam. Namun, setelah digiling dan susut setengah kilogram jadi putih dan bisa dimakan," kata Ny Kiptiyah (48), warga Desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember, Jatim, yang menerima raskin.
Harun, pemilik penggilingan padi di Desa Sempolan, Kecamatan Silo, Jember, mengatakan kerap menerima jasa penggilingan beras dari penerima raskin. Kebanyakan beras yang diterima oleh keluarga miskin itu tak layak dikonsumsi jika langsung ditanak. Selain berbau apak, warna beras itu juga kuning.
Rodiatun (42), warga Kelurahan Debong Kidul, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Jateng, yang menerima raskin pada Sabtu lalu, mengatakan, nasi dari raskin biasanya keras. Oleh sebab itu, dari 15 kilogram raskin yang diterimanya, ia menukar 5 kilogram di antaranya dengan beras yang lebih baik sehingga saat dicampur, rasa beras itu menjadi lebih enak.
(ETA/SIR/WIE/MAS/B04/DNE/NIT/IRE/EGI/KOR/NIK)
http://print.kompas.com/baca/KOMPAS_ART0000000000000000012852818.aspx
Tengkulak Nelangsakan Petani
Senin, 30 Maret 2015
CILACAP - Panen raya yang terjadi di Kabupaten Cilacap dan sekitarnya membuat harga gabah kering di tingkat petani semakin terpuruk. Bahkan kini harganya di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang Rp 3.700 per kilogram.
Ketua Forum Warga Kalikudi Kecamatan Adipala, Kuntang Sunardi mengatakan kini harga gabah kering di tingkat petani hanya Rp 3.400 hingga Rp 3.500 per kilogram. "Padahal pada 1 Maret lalu masih Rp 4.000," ujarnya, kemarin.
Dia menduga penurunan harga yang drastis ini disebabkan permainan tengkulak atau bandar besar. Stok gabah berlimpah karena panen serempak di empat kabupaten juga membuat harga tidak bisa bertahan. "Kalau harga di bawah Rp 4.000 per kilogram petani rugi. Sebab pupuk saja sudah mahal setelah pemerintah mengurangi subsidi," ungkapnya.
Kuntang menambahkan berdasar informasi yang diterimanya, Bulog bakal mulai menarik beras untuk stok gudang pada 1 April mendatang. Tentu para rekanan bulog berlomba mengisi gudang untuk menyuplai bulog berdasar jumlah yang disepakati. "Yang turun ke desa-desa adalah tengkulak sehingga harganya tidak bisa tinggi," katanya.
Kuntang berharap agar pemerintah lebih cepat membuka gudang bulog agar gabah petani segera terserap. Pasalnya, penurunan harga di bawah HPP ini sudah berlangsung hampir setiap tahun. (RM)
CILACAP - Panen raya yang terjadi di Kabupaten Cilacap dan sekitarnya membuat harga gabah kering di tingkat petani semakin terpuruk. Bahkan kini harganya di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang Rp 3.700 per kilogram.
Ketua Forum Warga Kalikudi Kecamatan Adipala, Kuntang Sunardi mengatakan kini harga gabah kering di tingkat petani hanya Rp 3.400 hingga Rp 3.500 per kilogram. "Padahal pada 1 Maret lalu masih Rp 4.000," ujarnya, kemarin.
Dia menduga penurunan harga yang drastis ini disebabkan permainan tengkulak atau bandar besar. Stok gabah berlimpah karena panen serempak di empat kabupaten juga membuat harga tidak bisa bertahan. "Kalau harga di bawah Rp 4.000 per kilogram petani rugi. Sebab pupuk saja sudah mahal setelah pemerintah mengurangi subsidi," ungkapnya.
Kuntang menambahkan berdasar informasi yang diterimanya, Bulog bakal mulai menarik beras untuk stok gudang pada 1 April mendatang. Tentu para rekanan bulog berlomba mengisi gudang untuk menyuplai bulog berdasar jumlah yang disepakati. "Yang turun ke desa-desa adalah tengkulak sehingga harganya tidak bisa tinggi," katanya.
Kuntang berharap agar pemerintah lebih cepat membuka gudang bulog agar gabah petani segera terserap. Pasalnya, penurunan harga di bawah HPP ini sudah berlangsung hampir setiap tahun. (RM)
Sabtu, 28 Maret 2015
Perkuat Bulog, DPR akan Bentuk Lembaga Ketahanan Pangan Nasional
Jumat, 27 Maret 2015
Metrotvnews.com, Jakarta: Semakin menurunnya peran Perum Bulog menjadikan lembaga ini hanya memiliki ruang gerak yang sedikit. Terlebih lagi, ini tak sebanding dengan tugas yang dibebankan kepada Bulog.
"Perubahan Bulog dari sebelumnya Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) semakin mempersempit ruang gerak Bulog," ujar Dirut Perum Bulog, Lenny Sugihat, di Gedung KAHMI Center Jalan Turi I Nomor 14, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (27/3/2015).
Menurutnya, tiga pilar utama peran Perum Bulog adalah untuk menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas diharuskan bertanggung jawab kepada banyak institusi pemerintahan.
Pilar-pilar tadi, kemudian direalisasikan dengan menjaga harga di tingkat petani serta menjaga kecukupan stok. Selain itu juga dengan menjalankan program raskin dan melakukan operasi pasar.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, peran Bulog yang sedikit juga tidak sebanding dengan tanggung jawab yang dibebankan. "Bulog operator bukan regulator," lanjut dia.
Dia menambahkan, nantinya akan dibentuk lembaga ketahanan pangan nasional. Tujuannya adalah untuk memperkuat peran dan kewenangan yang dimiliki Perum Bulog.
AHL
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/27/377596/perkuat-bulog-dpr-akan-bentuk-lembaga-ketahanan-pangan-nasional
Metrotvnews.com, Jakarta: Semakin menurunnya peran Perum Bulog menjadikan lembaga ini hanya memiliki ruang gerak yang sedikit. Terlebih lagi, ini tak sebanding dengan tugas yang dibebankan kepada Bulog.
"Perubahan Bulog dari sebelumnya Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) semakin mempersempit ruang gerak Bulog," ujar Dirut Perum Bulog, Lenny Sugihat, di Gedung KAHMI Center Jalan Turi I Nomor 14, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (27/3/2015).
Menurutnya, tiga pilar utama peran Perum Bulog adalah untuk menjaga ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas diharuskan bertanggung jawab kepada banyak institusi pemerintahan.
Pilar-pilar tadi, kemudian direalisasikan dengan menjaga harga di tingkat petani serta menjaga kecukupan stok. Selain itu juga dengan menjalankan program raskin dan melakukan operasi pasar.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron mengatakan, peran Bulog yang sedikit juga tidak sebanding dengan tanggung jawab yang dibebankan. "Bulog operator bukan regulator," lanjut dia.
Dia menambahkan, nantinya akan dibentuk lembaga ketahanan pangan nasional. Tujuannya adalah untuk memperkuat peran dan kewenangan yang dimiliki Perum Bulog.
AHL
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/27/377596/perkuat-bulog-dpr-akan-bentuk-lembaga-ketahanan-pangan-nasional
Bulog Dilarang Pinjam Uang Bank Untuk Raskin
Jumat, 27 Maret 2015
Bisnis.com, JAKARTA – Perum Bulog tidak lagi dapat menarik pinjaman dari perbankan jika dana untuk mendukung penugasan pengadaan dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin alias raskin belum cukup.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 36/PMK.02/2015 yang mengatur tata cara penyediaan subsidi beras tidak lagi menetapkan ketentuan tentang permohonan jaminan kredit perbankan oleh Bulog kepada Menteri Keuangan.
Ini berbeda dengan beleid sebelumnya, yakni PMK No 94/PMK.02/2014, yang menyebutkan Menkeu dapat menerbitkan surat persetujuan jaminan kredit perbankan, sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (3). Bank pemberi kredit nantinya melaporkan penyaluran kredit bagi Bulog kepada pemerintah setiap tiga bulan.
Dalam aturan baru, seluruh dana pelaksanaan raskin harus berasal dari APBN atau APBN Perubahan, seperti tercantum dalam pasal 7 ayat (1).
Dimintai keterangan, Direktur Anggaran III Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Dwi Pujiastuti mengatakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) raskin saat ini ditetapkan sebelum tahun anggaran dimulai. Dengan demikian, dana dipastikan cukup sehingga Bulog tidak perlu meminjam ke perbankan.
UU No 27/2014 tentang APBN 2015 mengamanatkan DIPA, termasuk anggaran program pengelolaan subsidi, selesai paling lambat 30 November 2014. Untungnya, dana raskin dalam revisi UU APBN 2015 tidak berubah dari pagu APBN induk senilai Rp18,9 triliun untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS).
“Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang DIPA-nya baru bisa ditetapkan dalam tahun berjalan,” katanya saat dihubungi, Jumat (27/3/2015).
Dengan regulasi itu pula, Bulog pun tidak dapat menarik kredit perbankan dengan jaminan pemerintah sewaktu-waktu jika di tengah tahun berjalan muncul proyeksi dana pelaksanaan raskin melebihi jumlah yang bakal dibayarkan pemerintah, misalnya karena kenaikan biaya distribusi.
Dwi menjelaskan jika terjadi pembengkakan subsidi beras, masalah itu dapat diselesaikan melalui mekanisme APBNP. Apalagi, tuturnya, realisasi raskin selama ini tidak pernah keluar dari siklus APBN/APBNP.
Bisnis.com, JAKARTA – Perum Bulog tidak lagi dapat menarik pinjaman dari perbankan jika dana untuk mendukung penugasan pengadaan dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin alias raskin belum cukup.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 36/PMK.02/2015 yang mengatur tata cara penyediaan subsidi beras tidak lagi menetapkan ketentuan tentang permohonan jaminan kredit perbankan oleh Bulog kepada Menteri Keuangan.
Ini berbeda dengan beleid sebelumnya, yakni PMK No 94/PMK.02/2014, yang menyebutkan Menkeu dapat menerbitkan surat persetujuan jaminan kredit perbankan, sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (3). Bank pemberi kredit nantinya melaporkan penyaluran kredit bagi Bulog kepada pemerintah setiap tiga bulan.
Dalam aturan baru, seluruh dana pelaksanaan raskin harus berasal dari APBN atau APBN Perubahan, seperti tercantum dalam pasal 7 ayat (1).
Dimintai keterangan, Direktur Anggaran III Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Dwi Pujiastuti mengatakan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) raskin saat ini ditetapkan sebelum tahun anggaran dimulai. Dengan demikian, dana dipastikan cukup sehingga Bulog tidak perlu meminjam ke perbankan.
UU No 27/2014 tentang APBN 2015 mengamanatkan DIPA, termasuk anggaran program pengelolaan subsidi, selesai paling lambat 30 November 2014. Untungnya, dana raskin dalam revisi UU APBN 2015 tidak berubah dari pagu APBN induk senilai Rp18,9 triliun untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS).
“Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang DIPA-nya baru bisa ditetapkan dalam tahun berjalan,” katanya saat dihubungi, Jumat (27/3/2015).
Dengan regulasi itu pula, Bulog pun tidak dapat menarik kredit perbankan dengan jaminan pemerintah sewaktu-waktu jika di tengah tahun berjalan muncul proyeksi dana pelaksanaan raskin melebihi jumlah yang bakal dibayarkan pemerintah, misalnya karena kenaikan biaya distribusi.
Dwi menjelaskan jika terjadi pembengkakan subsidi beras, masalah itu dapat diselesaikan melalui mekanisme APBNP. Apalagi, tuturnya, realisasi raskin selama ini tidak pernah keluar dari siklus APBN/APBNP.
Jumat, 27 Maret 2015
Impor Beras Harus Melalui Survei
JUMAT, 27 Maret 2015
Batam center (HK) - Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu(PTST) dan Humas BP Batam Djoko Wiwoho mengatakan, pengajuan impor beras untuk Batam seperti yang diinginkan DPRD bisa saja dilakukan. Namun terlebih dahulu harus melalui mekanisme survei untuk mengetahui kebutuhan kekurangan pasokan di masyarakat.
" Keinginan DPRD dan Disperindag Kota Batam mengajukan impor beras bisa-bisa saja. Namun harus melalui survei agar diketahui dengan pasti jumlah kebutuhan masyarakat," kata Dwi Djoko Wiwoho yang dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (26/3).
Sebelumnya, DPRD Kota Batam mengajak Disperindag dan BP Batam untuk melobi Kementerian Perdagangan agar bisa memasukkan beras ke Batam dengan alasan pemenuhan kebutuhan masyarakat Batam.
DPRD beralasan harga beras impor di Batam jauh lebih murah dibanding beras dalam negeri, sehingga lebih menguntungkan masyarakat Batam.
" Apapun pertimbangannya, survei dulu dengan benar. Benarkah Batam kekurangan pasokan beras," kata dia.
Jika memang hasil survei menujukkan Batam kekurangan pasokan beras, kata dia, maka DPRD dan Disperindag Kota Batam bisa mengusulkan impor beras ke Dewan Kawasan (DK) Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
" Nantinya DK yang meneruskan ke Kementerian Perdagangan. Barulah kalau disepakati bisa dilakukan impor langsung ke Batam," kata Djoko.
Djoko mengatakan hingga saat ini Kementerian Perdagangan memang tidak memberikan izin impor beras untuk Batam sehingga semua beras luar yang masuk ke Batam statusnya ilegal.
" 2014 dan 2015 tidak ada kuota impor. Kalau ada beredar, itu ilegal," terangnya.
Djoko menyebutkan, jika pada 2015 ada izin untuk mengimpor beras langsung ke Batam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seharusnya sejak akhir 2014 sudah ada pemberitahuan nama importir dan besaran kuota yang diberikan.
Namun, Peraturan impor untuk Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 27 tahun 2012.
" Kalau ada juga yang masuk, itu impor ilegal karena tidak melalui prosedur sesuai peraturan pemerintah yang berlaku," kata Djoko.
Djoko mengatakan, selain tidak ada kuota impor beras juga tidak ada kuota impor gula khusus untuk mencukupi kebutuhan Batam. " Izin impor gula juga tidak ada. Seharusnya semua yang beredar adalah produk lokal," tutupnya. (par)
http://www.haluankepri.com/batam/75677-impor-beras-harus-melalui-survei.html
Batam center (HK) - Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu(PTST) dan Humas BP Batam Djoko Wiwoho mengatakan, pengajuan impor beras untuk Batam seperti yang diinginkan DPRD bisa saja dilakukan. Namun terlebih dahulu harus melalui mekanisme survei untuk mengetahui kebutuhan kekurangan pasokan di masyarakat.
" Keinginan DPRD dan Disperindag Kota Batam mengajukan impor beras bisa-bisa saja. Namun harus melalui survei agar diketahui dengan pasti jumlah kebutuhan masyarakat," kata Dwi Djoko Wiwoho yang dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (26/3).
Sebelumnya, DPRD Kota Batam mengajak Disperindag dan BP Batam untuk melobi Kementerian Perdagangan agar bisa memasukkan beras ke Batam dengan alasan pemenuhan kebutuhan masyarakat Batam.
DPRD beralasan harga beras impor di Batam jauh lebih murah dibanding beras dalam negeri, sehingga lebih menguntungkan masyarakat Batam.
" Apapun pertimbangannya, survei dulu dengan benar. Benarkah Batam kekurangan pasokan beras," kata dia.
Jika memang hasil survei menujukkan Batam kekurangan pasokan beras, kata dia, maka DPRD dan Disperindag Kota Batam bisa mengusulkan impor beras ke Dewan Kawasan (DK) Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
" Nantinya DK yang meneruskan ke Kementerian Perdagangan. Barulah kalau disepakati bisa dilakukan impor langsung ke Batam," kata Djoko.
Djoko mengatakan hingga saat ini Kementerian Perdagangan memang tidak memberikan izin impor beras untuk Batam sehingga semua beras luar yang masuk ke Batam statusnya ilegal.
" 2014 dan 2015 tidak ada kuota impor. Kalau ada beredar, itu ilegal," terangnya.
Djoko menyebutkan, jika pada 2015 ada izin untuk mengimpor beras langsung ke Batam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seharusnya sejak akhir 2014 sudah ada pemberitahuan nama importir dan besaran kuota yang diberikan.
Namun, Peraturan impor untuk Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 27 tahun 2012.
" Kalau ada juga yang masuk, itu impor ilegal karena tidak melalui prosedur sesuai peraturan pemerintah yang berlaku," kata Djoko.
Djoko mengatakan, selain tidak ada kuota impor beras juga tidak ada kuota impor gula khusus untuk mencukupi kebutuhan Batam. " Izin impor gula juga tidak ada. Seharusnya semua yang beredar adalah produk lokal," tutupnya. (par)
http://www.haluankepri.com/batam/75677-impor-beras-harus-melalui-survei.html
Beras Impor Ilegal Diduga Dioplos Beras Lokal, PAC PP Bengkong Bakal Lapor ke Polisi
KAMIS, 26 Maret 2015
BATAMTODAY.COM, Batam - Beras impor ilegal yang diklaim beredar luas di Kota Batam dan dikonsumsi masyarakat luas, menimbulkan persoalan baru. Selain masuk dengan cara diselundupkan, disinyalir beras impor itu juga dioplos atau dicampur dengan beberapa jenis beras lain dan dipasarkan dalam kemasan beras lokal.
Informasi yang dihimpun BATAMTODAY.COM, masuknya beras impor ke Batam ternyata sudah berlangsung lama. Diperkirakan penyelundupan beras impor itu mulai berlangsung sekitar tahun 2010, dimana BP Batam selaku perpanjangan tangan Pemerintah Pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dokumen izin impor beras.
Kendati sudah berlangsung lama, penyelundupan beras impor ke Batam seakan dianggap legal. Pasalnya, Pemerintah khusunya pihak yang memiliki wewenang mengawasi dan menindak seperti tutup mata dengan apa yang terjadi.
Belakangan, penyelundupan beras impor di Batam menjadi persoalan yang mencuat ke permukaan. Hal ini bermula, saat organisasi masyarakat (ormas) Pemuda Pancasila (PP), Kecamatan Bengkong menyoroti penimbunan beras impor di gudang milik anggota DPRD Batam, Firman Ucok Tambusai, yang terletak di daerah Bengkong Dalam.
Di dalam gudang itu, ditemukan ratusan karung beras impor asal Thailand. Tak hanya sekedar melakukan penimbunan, disinyalir di dalam gudang itu juga terjadi pengoplosan, beras impor itu dicampur dengan beberapa jenis beras dan dikemas ke dalam karung beras lokal.
"Tak hanya penimbunan yang kami soroti. Kami dapat informasi dari masyarakat di dalam gudang itu terjadi pengoplosan beras. Hal ini, yang mendasari PP Bengkong mendatangi gudang milik anggota DPRD Batam itu," kata Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PP Bengkong, Adi Tio, Kamis (26/3/2015) siang.
Masih kata Adi Tio, selain adanya penimbunan dan dugaan pengoplosan beras di gudang milik anggota DPRD Batam, pihaknya juga khawatir beras lokal yang beredar di pasar merupakan hasil oplosan.
"Sudah banyak juga masyarakat yang mengeluh. Beras lokal yang beredar di pasar berbeda, kadang besar berasnya berbeda, ada juga yang warnanya menjadi kekuning-kuningan, dan ada juga yang busuk. Kalau memang tak ada pengoplosan, saya yakin kualitas beras lokal pasti bagus. Tidak seperti yang kebanyakan saat ini," jelas dia.
Memang, sambungnya, setelah persoalan itu mencuat, ratusan karung beras impor di dalam gudang anggota DPRD Batam itu langsung dikosongkan atau dipindahkan ke tempat lain. Bahkan, kata dia, tempat penimbunan yang baru beras impor itu setelah dipindah juga diketahuinya.
"Kami tahu ke mana ratusan karung beras itu dipindahkan. Buktinya ada, berupa foto dan video," ujar dia.
Tak cukup di situ saja, lanjut Adi Tio, PAC PP Kecamatan Bengkong dalam waktu dekat ini akan melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. Sebab, dia berharap penyelundupan dan pengoplosan beras itu perlu ditindak tegas.
"Kasus ini pasti akan kami laporkan ke Polisi, bisa ke Polresta Barelang dan bisa jadi ke Polda Kepri. Kami lagi rampungkan bukti-buktinya sebagai bahan laporan," tutupnya.
http://batamtoday.com/berita55286-Beras-Impor-Ilegal-Diduga-Dioplos-Beras-Lokal,-PAC-PP-Bengkong-Bakal-Lapor-ke-Polisi.html
BATAMTODAY.COM, Batam - Beras impor ilegal yang diklaim beredar luas di Kota Batam dan dikonsumsi masyarakat luas, menimbulkan persoalan baru. Selain masuk dengan cara diselundupkan, disinyalir beras impor itu juga dioplos atau dicampur dengan beberapa jenis beras lain dan dipasarkan dalam kemasan beras lokal.
Informasi yang dihimpun BATAMTODAY.COM, masuknya beras impor ke Batam ternyata sudah berlangsung lama. Diperkirakan penyelundupan beras impor itu mulai berlangsung sekitar tahun 2010, dimana BP Batam selaku perpanjangan tangan Pemerintah Pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dokumen izin impor beras.
Kendati sudah berlangsung lama, penyelundupan beras impor ke Batam seakan dianggap legal. Pasalnya, Pemerintah khusunya pihak yang memiliki wewenang mengawasi dan menindak seperti tutup mata dengan apa yang terjadi.
Belakangan, penyelundupan beras impor di Batam menjadi persoalan yang mencuat ke permukaan. Hal ini bermula, saat organisasi masyarakat (ormas) Pemuda Pancasila (PP), Kecamatan Bengkong menyoroti penimbunan beras impor di gudang milik anggota DPRD Batam, Firman Ucok Tambusai, yang terletak di daerah Bengkong Dalam.
Di dalam gudang itu, ditemukan ratusan karung beras impor asal Thailand. Tak hanya sekedar melakukan penimbunan, disinyalir di dalam gudang itu juga terjadi pengoplosan, beras impor itu dicampur dengan beberapa jenis beras dan dikemas ke dalam karung beras lokal.
"Tak hanya penimbunan yang kami soroti. Kami dapat informasi dari masyarakat di dalam gudang itu terjadi pengoplosan beras. Hal ini, yang mendasari PP Bengkong mendatangi gudang milik anggota DPRD Batam itu," kata Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PP Bengkong, Adi Tio, Kamis (26/3/2015) siang.
Masih kata Adi Tio, selain adanya penimbunan dan dugaan pengoplosan beras di gudang milik anggota DPRD Batam, pihaknya juga khawatir beras lokal yang beredar di pasar merupakan hasil oplosan.
"Sudah banyak juga masyarakat yang mengeluh. Beras lokal yang beredar di pasar berbeda, kadang besar berasnya berbeda, ada juga yang warnanya menjadi kekuning-kuningan, dan ada juga yang busuk. Kalau memang tak ada pengoplosan, saya yakin kualitas beras lokal pasti bagus. Tidak seperti yang kebanyakan saat ini," jelas dia.
Memang, sambungnya, setelah persoalan itu mencuat, ratusan karung beras impor di dalam gudang anggota DPRD Batam itu langsung dikosongkan atau dipindahkan ke tempat lain. Bahkan, kata dia, tempat penimbunan yang baru beras impor itu setelah dipindah juga diketahuinya.
"Kami tahu ke mana ratusan karung beras itu dipindahkan. Buktinya ada, berupa foto dan video," ujar dia.
Tak cukup di situ saja, lanjut Adi Tio, PAC PP Kecamatan Bengkong dalam waktu dekat ini akan melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian. Sebab, dia berharap penyelundupan dan pengoplosan beras itu perlu ditindak tegas.
"Kasus ini pasti akan kami laporkan ke Polisi, bisa ke Polresta Barelang dan bisa jadi ke Polda Kepri. Kami lagi rampungkan bukti-buktinya sebagai bahan laporan," tutupnya.
http://batamtoday.com/berita55286-Beras-Impor-Ilegal-Diduga-Dioplos-Beras-Lokal,-PAC-PP-Bengkong-Bakal-Lapor-ke-Polisi.html
Akses Bulog Rumit, Petani Terpaksa Jual ke Tengkulak Dibawah HPP
Kamis, 26 Maret 2015
Jombang-(satujurnal.com) Kendati pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur kenaikan harga pembelian pemerintah,(HPP) gabah sebesar Rp 3.700 perkilogram, namun tidak berimbas di kalangan petani. Gabah petani sampai saat ini masih dihargai Rp 3.500 perkilogram. Mereka terpaksa menjualnya dengan harga dibawah HPP, karena tidak bisa menjual gabahnya ke gudang Perum Bulog. Kondisi ini yang dialami sebagian petani padi di kawasan Kabupaten Jombang yang tengah panen raya. Harga gabah tidak seperti yang diharapkan petani. Petani saat ini terpaksa menjual gabahnya seharga Rp 3.500 perkilogramnya ke tengkulak. Pasalnya mereka tidak bisa menyetorkan gabahnya ke perum gudang Bulog. Hudi, ketua kelompok tani Desa Pojokkulon, Kecamatan Kesamben Jombang mengakui harga gabah masih belum sesuai dengan harapan petani, meskipun pemerintah sudah menetapkan harga HPP namun tidak berlaku dilapangan. "Para petani terpaksa menjual ke tengkulak meskipun masih merugi," katanya, Kamis (25/3/2015). Menurut Hudi, sejumlah petani tidak bisa mengakses penjualan ke gudang perum Bulog karena birokrasi dan terkendala modal. Lilia Agustina, anggota komisi B DPRD Jawa Timur menyayangkan masih rendahnya harga gabah ditingkat petani. Dia berharap petani memiliki strategi untuk bisa menjual gabahnya dengan harga tinggi. Pasalnya, meskipun HPP sudah ditentukan, saat panen raya harga gabah cenderung anjlok dan petani merugi. Wakil rakyat ini menambahkan saat ini DPRD masih menyiapkan perda untuk penundaan penjualan gabah petani. Dengan perda penundaan penjualan gabah ini diharapkan petani bisa mendapatkan untung besar. Gabah baru akan dikeluarkan setelah musim panen habis dan harga cenderung bagus. Sedang untuk kebutuhan petani pasca panen akan dibiayai oleh lembaga keuangan yang akan ditunjuk dalam perda tersebut.(rg)
Jombang-(satujurnal.com) Kendati pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang mengatur kenaikan harga pembelian pemerintah,(HPP) gabah sebesar Rp 3.700 perkilogram, namun tidak berimbas di kalangan petani. Gabah petani sampai saat ini masih dihargai Rp 3.500 perkilogram. Mereka terpaksa menjualnya dengan harga dibawah HPP, karena tidak bisa menjual gabahnya ke gudang Perum Bulog. Kondisi ini yang dialami sebagian petani padi di kawasan Kabupaten Jombang yang tengah panen raya. Harga gabah tidak seperti yang diharapkan petani. Petani saat ini terpaksa menjual gabahnya seharga Rp 3.500 perkilogramnya ke tengkulak. Pasalnya mereka tidak bisa menyetorkan gabahnya ke perum gudang Bulog. Hudi, ketua kelompok tani Desa Pojokkulon, Kecamatan Kesamben Jombang mengakui harga gabah masih belum sesuai dengan harapan petani, meskipun pemerintah sudah menetapkan harga HPP namun tidak berlaku dilapangan. "Para petani terpaksa menjual ke tengkulak meskipun masih merugi," katanya, Kamis (25/3/2015). Menurut Hudi, sejumlah petani tidak bisa mengakses penjualan ke gudang perum Bulog karena birokrasi dan terkendala modal. Lilia Agustina, anggota komisi B DPRD Jawa Timur menyayangkan masih rendahnya harga gabah ditingkat petani. Dia berharap petani memiliki strategi untuk bisa menjual gabahnya dengan harga tinggi. Pasalnya, meskipun HPP sudah ditentukan, saat panen raya harga gabah cenderung anjlok dan petani merugi. Wakil rakyat ini menambahkan saat ini DPRD masih menyiapkan perda untuk penundaan penjualan gabah petani. Dengan perda penundaan penjualan gabah ini diharapkan petani bisa mendapatkan untung besar. Gabah baru akan dikeluarkan setelah musim panen habis dan harga cenderung bagus. Sedang untuk kebutuhan petani pasca panen akan dibiayai oleh lembaga keuangan yang akan ditunjuk dalam perda tersebut.(rg)
Kamis, 26 Maret 2015
Harga Beli Pemerintah Naik, Bulog Serap 50 Ribu Ton Beras
Rabu, 25 Maret 2015
TEMPO.CO, Banyuwangi - Badan Urusan Logistik (Bulog) Subdivisi Regional Banyuwangi, Jawa Timur, tahun ini optimistis dapat menyerap 50 ribu ton beras atau gabah. Keyakinan itu muncul setelah pemerintah menaikkan harga pembelian beras dan gabah sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. “Hari ini kami sosialisasikan inpres baru tersebut ke petani,” kata Kepala Bulog Subdivre Banyuwangi Sopran Kenedi kepada Tempo, Rabu, 25 Maret 2015.
Angka 50 ribu ton itu berdasarkan pengadaan beras atau gabah tahun kemarin. Dari target 75 ribu ton tahun 2013, ternyata hanya mampu terealisasi 48 ribu ton.
Untuk memaksimalkan pengadaan beras, Bulog bekerja sama dengan 26 pengusaha penggilingan padi dan 29 gabungan kelompok tani. Bulog yakin petani lebih bergairah dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang lebih tinggi dibandingkan tahun kemarin.
Sesuai Inpres, HPP beras yang sebelumnya Rp 6.600 kini menjadi Rp 7.300 per kilogram. HPP gabah kering giling naik dari Rp 4.200 menjadi Rp 4.650 per kilogram. Sedangkan harga gabah kering panen juga meningkat dari sebelumnya Rp 3.300 menjadi Rp 3.700 per kilogram.
Menurut Sopran, dari 50 ribu ton target pengadaan, 60 persen di antaranya berupa gabah dan sisanya beras. Pengadaan gabah akan menjadi lebih banyak agar bisa digiling mendekati distribusi beras miskin. “Jadi lebih fresh.”
Selain untuk Banyuwangi, Bulog juga memasok beras ke sejumlah daerah. Pada tahun ini, Bulog Banyuwangi telah mengirimkan 17 ribu ton beras ke Malang, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.
Harga beras di Pasar Banyuwangi sudah turun sejak dua pekan lalu. Sumarsono, pedagang sembako, mengatakan harga beras kualitas bagus turun dari Rp 11.000 menjadi Rp 10.500 per kilogram. Sedangkan harga beras medium dari Rp 10.000 turun menjadi Rp 9.500 per kilogram.
Menurut dia, penurunan harga beras ini terjadi karena petani mulai panen. Karena itu, kata dia, pasokan beras kepada pedagang lebih lancar dibandingkan Februari lalu. “Bulan lalu harus menunggu satu minggu beras baru dikirim.”
TEMPO.CO, Banyuwangi - Badan Urusan Logistik (Bulog) Subdivisi Regional Banyuwangi, Jawa Timur, tahun ini optimistis dapat menyerap 50 ribu ton beras atau gabah. Keyakinan itu muncul setelah pemerintah menaikkan harga pembelian beras dan gabah sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. “Hari ini kami sosialisasikan inpres baru tersebut ke petani,” kata Kepala Bulog Subdivre Banyuwangi Sopran Kenedi kepada Tempo, Rabu, 25 Maret 2015.
Angka 50 ribu ton itu berdasarkan pengadaan beras atau gabah tahun kemarin. Dari target 75 ribu ton tahun 2013, ternyata hanya mampu terealisasi 48 ribu ton.
Untuk memaksimalkan pengadaan beras, Bulog bekerja sama dengan 26 pengusaha penggilingan padi dan 29 gabungan kelompok tani. Bulog yakin petani lebih bergairah dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang lebih tinggi dibandingkan tahun kemarin.
Sesuai Inpres, HPP beras yang sebelumnya Rp 6.600 kini menjadi Rp 7.300 per kilogram. HPP gabah kering giling naik dari Rp 4.200 menjadi Rp 4.650 per kilogram. Sedangkan harga gabah kering panen juga meningkat dari sebelumnya Rp 3.300 menjadi Rp 3.700 per kilogram.
Menurut Sopran, dari 50 ribu ton target pengadaan, 60 persen di antaranya berupa gabah dan sisanya beras. Pengadaan gabah akan menjadi lebih banyak agar bisa digiling mendekati distribusi beras miskin. “Jadi lebih fresh.”
Selain untuk Banyuwangi, Bulog juga memasok beras ke sejumlah daerah. Pada tahun ini, Bulog Banyuwangi telah mengirimkan 17 ribu ton beras ke Malang, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.
Harga beras di Pasar Banyuwangi sudah turun sejak dua pekan lalu. Sumarsono, pedagang sembako, mengatakan harga beras kualitas bagus turun dari Rp 11.000 menjadi Rp 10.500 per kilogram. Sedangkan harga beras medium dari Rp 10.000 turun menjadi Rp 9.500 per kilogram.
Menurut dia, penurunan harga beras ini terjadi karena petani mulai panen. Karena itu, kata dia, pasokan beras kepada pedagang lebih lancar dibandingkan Februari lalu. “Bulan lalu harus menunggu satu minggu beras baru dikirim.”
Bulog Akan Beli Langsung 7 Komoditas Pertanian Dengan Syarat Ini
Rabu, 25 Maret 2015
Bisnis.com, MEDAN - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik saat ini bukan saja dapat membeli beras secara langsung dari petani, tetapi juga terhadap enam komoditas pertanian dan peternakan lainnya.
Rudy Adlin, Humas Bulog Divre Sumut mengungkapkan, sejak pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjalan, Bulog diberikan kewenangan untuk melakukan pembelian langsung ke petani untuk tujuh komoditas pertanian dan peternakan.
"Antara lain Beras, gula pasir, jagung, bawang merah, cabe merah, kedelai dan daging," ujarnya, Rabu (25/3/2015).
Namun demikian, Rudy menjelaskan bahwa pembelian komoditas pertanian dan peternakan oleh Bulog itu juga membutuhkan kerja sama dari pihak petani, yakni dengan pendirian suatu wadah khusus. Bulog membutuhkan wadah, apakah berbentuk koperasi atau lainnya, yang diisi oleh beberapa gabungan kelompok petani (gabpoktan) dan memiliki status badan hukum.
Selain memiliki kepastian hukum, dengan wadah ini Bulog juga dapat mengetahui lebih jelas kemampuan produksi petani karena gabpoktan sendiri belum tentu mengetahuinya secara rinci.
Setelah wadah tersebut dibentuk, barulah Bulog dapat menjalin kesepakatan atau MoU dengan para petani mengenai pembelian langsung hasil pertanian.
"Pembentukan wadah itu juga hendaknya didukung oleh pemerintah daerah," sambungnya. Seperti yang selama ini dilakukan Bulog untuk komoditas beras dan cabai merah di Kabupaten Batubara, baru-baru ini.
Pada Akhir Februari 2015, Bulog Sumut melakukan pembelian langsung 50 ton cabai merah dari petani di Kabupaten Batubara. Pembelian itu dilakukan setelah sebelumnya para gabpoktan di sana membentuk koperasi. Melalui koperasi itulah Bulog melakukan pembelian. Pembelian langsung cabai merah itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan Bulog di Indonesia.
Namun dia menegaskan bahwa pembentukan wadah bukan hanya untuk komoditas beras dan cabai, tetapi untuk lima lainnya yang dapat dibeli langsung Bulog dari petani. Selain beras, Bulog Sumut sendiri sejauh ini telah melakukan pembelian langsung komoditas gula, jagung dan cabai merah dari petani. "Bulog pasti akan membeli sepanjang petani mau menjualnya ke Bulog," kata Rudy
http://industri.bisnis.com/read/20150325/99/415672/bulog-akan-beli-langsung-7-komoditas-pertanian-dengan-syarat-ini
Bisnis.com, MEDAN - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik saat ini bukan saja dapat membeli beras secara langsung dari petani, tetapi juga terhadap enam komoditas pertanian dan peternakan lainnya.
Rudy Adlin, Humas Bulog Divre Sumut mengungkapkan, sejak pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjalan, Bulog diberikan kewenangan untuk melakukan pembelian langsung ke petani untuk tujuh komoditas pertanian dan peternakan.
"Antara lain Beras, gula pasir, jagung, bawang merah, cabe merah, kedelai dan daging," ujarnya, Rabu (25/3/2015).
Namun demikian, Rudy menjelaskan bahwa pembelian komoditas pertanian dan peternakan oleh Bulog itu juga membutuhkan kerja sama dari pihak petani, yakni dengan pendirian suatu wadah khusus. Bulog membutuhkan wadah, apakah berbentuk koperasi atau lainnya, yang diisi oleh beberapa gabungan kelompok petani (gabpoktan) dan memiliki status badan hukum.
Selain memiliki kepastian hukum, dengan wadah ini Bulog juga dapat mengetahui lebih jelas kemampuan produksi petani karena gabpoktan sendiri belum tentu mengetahuinya secara rinci.
Setelah wadah tersebut dibentuk, barulah Bulog dapat menjalin kesepakatan atau MoU dengan para petani mengenai pembelian langsung hasil pertanian.
"Pembentukan wadah itu juga hendaknya didukung oleh pemerintah daerah," sambungnya. Seperti yang selama ini dilakukan Bulog untuk komoditas beras dan cabai merah di Kabupaten Batubara, baru-baru ini.
Pada Akhir Februari 2015, Bulog Sumut melakukan pembelian langsung 50 ton cabai merah dari petani di Kabupaten Batubara. Pembelian itu dilakukan setelah sebelumnya para gabpoktan di sana membentuk koperasi. Melalui koperasi itulah Bulog melakukan pembelian. Pembelian langsung cabai merah itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan Bulog di Indonesia.
Namun dia menegaskan bahwa pembentukan wadah bukan hanya untuk komoditas beras dan cabai, tetapi untuk lima lainnya yang dapat dibeli langsung Bulog dari petani. Selain beras, Bulog Sumut sendiri sejauh ini telah melakukan pembelian langsung komoditas gula, jagung dan cabai merah dari petani. "Bulog pasti akan membeli sepanjang petani mau menjualnya ke Bulog," kata Rudy
http://industri.bisnis.com/read/20150325/99/415672/bulog-akan-beli-langsung-7-komoditas-pertanian-dengan-syarat-ini
Mutu Raskin Rendah, Ini yang Perlu Dilakukan Bulog!
Rabu, 25 Maret 2015
REPUBLIKA.CO.ID, DEMAK -- Bulog terus melakukan upaya-upaya untuk menjamin kualitas raskin. Di Kabupaten Demak, Bulog mencoba memprioritaskan gabah dibandingkan beras pada pengadaan raskin di daerah ini.
Kepala Gudang Bulog Demak Sub Drive I Semarang, Sri Hartati mengakui telah memperoleh informasi dari pihak Bulog Divre Jawa Tengah terkait upaya yang perlu dilakukan.
Hal ini untuk menyikapi keluhan kualitas raskin yang masih rendah jamak disampaikan oleh rumah tangga sasaran (RTS) penerima manfaat, di Kabupaten Demak.
"Guna menjamin kualitas raskin, dalam pengadaan selanjutnya agar lebih memprioritaskan dalam bentuk gabah kering panen," ungkapnya di Demak, Rabu (25/3).
Ide penyerapan gabah kering panen ini, jelas Hartati, muncul karena dalam propses penyimpanannanya relatif lebih aman daripada menyimpan dalam bentuk beras.
Dengan begitu, kualitas raskin yang diterima penerima manfaat juga lebih terjamin. "Jadi pengadaan selanjutnya, rencananya bakal dilakulan dengan komposisi 60 persen gabah 40 persen beras," katanya.
Kepala Sub Bagian Produksi Perekonomian Daerah Setda Kabupaten Demak, Yahya mengakui, persoalan rendahnya kualitas raskin memang masih rentan terjadi. Menurutnya perawatan raskin yang harus disimpan lebih dari enam bulan, sebelum didistribusikan bukanlah persoalan yang mudah.
Belum lagi, distribusi dan proses pengadaan di lapangan juga tidak dibarengi dengan ketersediaan petugas pengawas yang memadai.
"Saat pelaksanaan pengadaan beras yang, Bulog hanya sebatas melakukan pengecekan 5 persen dari keseluruhan beras yang diserap," jelasnya.
Kurang maksimalnya pengawasan, tambah Yahya, kian membuka peluang munculnya persoalan yang berbasis kualitas raskin. Sehingga rendahnya kualitas raskin ini juga memunculkan masalah baru setelah diterima oleh RTS penerima manfaat raskin ini.
Ia pun sudah menyampaikan kepada pihak Bulog agar benar-benar memperhatikan proses pengawasan dan pemantauan saat penyerapan beras. Misalnya dalam hal pengecekan kualitas beras yang diserap jangan hanya 5 persen. Bila perlu dilakukan hingga 30 persen dari total penyerapan.
"Termasuk mitra Bulog juga harus diawasi. Sehingga praktik-praktik 'kotor' dalam pengadaan beras ini dapat diminimalisir," tambahnya.
REPUBLIKA.CO.ID, DEMAK -- Bulog terus melakukan upaya-upaya untuk menjamin kualitas raskin. Di Kabupaten Demak, Bulog mencoba memprioritaskan gabah dibandingkan beras pada pengadaan raskin di daerah ini.
Kepala Gudang Bulog Demak Sub Drive I Semarang, Sri Hartati mengakui telah memperoleh informasi dari pihak Bulog Divre Jawa Tengah terkait upaya yang perlu dilakukan.
Hal ini untuk menyikapi keluhan kualitas raskin yang masih rendah jamak disampaikan oleh rumah tangga sasaran (RTS) penerima manfaat, di Kabupaten Demak.
"Guna menjamin kualitas raskin, dalam pengadaan selanjutnya agar lebih memprioritaskan dalam bentuk gabah kering panen," ungkapnya di Demak, Rabu (25/3).
Ide penyerapan gabah kering panen ini, jelas Hartati, muncul karena dalam propses penyimpanannanya relatif lebih aman daripada menyimpan dalam bentuk beras.
Dengan begitu, kualitas raskin yang diterima penerima manfaat juga lebih terjamin. "Jadi pengadaan selanjutnya, rencananya bakal dilakulan dengan komposisi 60 persen gabah 40 persen beras," katanya.
Kepala Sub Bagian Produksi Perekonomian Daerah Setda Kabupaten Demak, Yahya mengakui, persoalan rendahnya kualitas raskin memang masih rentan terjadi. Menurutnya perawatan raskin yang harus disimpan lebih dari enam bulan, sebelum didistribusikan bukanlah persoalan yang mudah.
Belum lagi, distribusi dan proses pengadaan di lapangan juga tidak dibarengi dengan ketersediaan petugas pengawas yang memadai.
"Saat pelaksanaan pengadaan beras yang, Bulog hanya sebatas melakukan pengecekan 5 persen dari keseluruhan beras yang diserap," jelasnya.
Kurang maksimalnya pengawasan, tambah Yahya, kian membuka peluang munculnya persoalan yang berbasis kualitas raskin. Sehingga rendahnya kualitas raskin ini juga memunculkan masalah baru setelah diterima oleh RTS penerima manfaat raskin ini.
Ia pun sudah menyampaikan kepada pihak Bulog agar benar-benar memperhatikan proses pengawasan dan pemantauan saat penyerapan beras. Misalnya dalam hal pengecekan kualitas beras yang diserap jangan hanya 5 persen. Bila perlu dilakukan hingga 30 persen dari total penyerapan.
"Termasuk mitra Bulog juga harus diawasi. Sehingga praktik-praktik 'kotor' dalam pengadaan beras ini dapat diminimalisir," tambahnya.
Rabu, 25 Maret 2015
Raskin Masih Dibutuhkan
Rabu, 25 Maret 2015
Penggantian dengan Uang Tunai Rawan Penyelewengan
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan, mulai petani, kepala desa, pakar, wakil wali kota, pejabat pemerintah provinsi, hingga wakil gubernur, tidak setuju beras untuk rakyat miskin diganti dengan uang. Program raskin sebaiknya tetap diteruskan karena masih membantu masyarakat yang membutuhkan.
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, di Surabaya, Selasa (24/3), menegaskan, penyaluran raskin tetap berupa beras bukan uang tunai. Alasannya, jika diberikan uang, penggunaan dikhawatirkan bukan untuk kebutuhan pokok.
Menurut Saifullah, yang perlu dibenahi dalam penyaluran raskin adalah bagaimana warga yang menikmati benar-benar layak. Artinya tidak salah sasaran, seperti yang terjadi saat ini. ”Program raskin tidak sekadar bagi-bagi beras, tapi untuk menyeimbangkan harga beras serta membantu penduduk miskin. Kalau dibagikan uang tunai, yang dibeli bukan beras atau singkong, tapi pulsa atau barang lain,” katanya.
Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jatim Witono menjelaskan, raskin untuk seluruh warga sasaran akan disalurkan melalui 8.506 wilayah distribusi.
Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3) di Semarang, menyatakan, pembagian raskin sebaiknya dihentikan dan diganti dengan bantuan uang tunai supaya warga tidak bergantung pada beras. Penggantian raskin dengan uang tunai dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif (Kompas, Selasa, 24/3).
Petani di Banten pun meminta raskin tidak diganti dengan uang tunai. Menurut mereka, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas raskin.
”Saya kurang setuju raskin diganti uang tunai,” kata Anton Haerul, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Pandeglang, Banten.
Ketua KTNA Banten Oong Sahroni menyebutkan pula, pihaknya tidak menyetujui penggantian raskin dengan uang tunai. Pemberian uang dinilai lebih mudah menimbulkan kerawanan. Warga lain yang tidak mendapat uang dapat cemburu.
Menurut Oong, penyaluran uang tunai juga diperkirakan berdampak terhadap penyerapan beras petani melalui Perum Bulog. Distribusi beras kepada masyarakat yang ditiadakan menyebabkan penyerapan pangan di tingkat petani juga berkurang.
Subagyo, Ketua KTNA Kabupaten Serang, menyebutkan, peningkatan mutu raskin merupakan langkah yang lebih baik daripada mengganti dengan uang.
Dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dilaporkan, sejumlah perangkat desa juga berharap agar raskin tetap disalurkan dan tidak diganti dengan uang. Raskin dianggap lebih tepat sasaran, membantu kehidupan masyarakat, sedangkan bantuan uang lebih sering disalahgunakan.
Iswoyo, Kepala Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, mengatakan, uang sebagai pengganti raskin dianggap tidak tepat. Bantuan dana biasanya jarang dimanfaatkan untuk membeli kebutuhan bahan pangan.
”Ketika mendapat uang, perilaku masyarakat biasanya cenderung tidak terkendali. Hanya dalam waktu singkat untuk beragam kebutuhan lain,” ujarnya.
Sebaliknya, raskin akan lebih dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi cadangan pangan keluarga selama seminggu lebih. Raskin biasanya dikonsumsi warga dengan cara dicampur dengan beras lain yang lebih enak.
Iswoyo mengatakan, sebagian warga memang ada yang menjual jatah raskin miliknya ke pasar. Namun, raskin tetap dibutuhkan untuk dikonsumsi warga, baik untuk keluarganya sendiri bahkan malah dibagi-bagi dengan tetangga yang lain.
Ketersediaan pangan
Pakar komoditas pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang, Prof Andy Mulyana, mengatakan, raskin dinilai masih dibutuhkan sebagai jaminan ketersediaan pangan pokok bagi rakyat miskin. Pengalihan bantuan beras menjadi uang tunai dinilai dapat menurunkan daya beli masyarakat, saat harga beras lebih tinggi dari jumlah bantuan.
”Saat itu terjadi, bantuan uang tunai tak setara dengan beras yang diperoleh dalam bentuk raskin sehingga secara tak langsung menurunkan daya beli masyarakat tak mampu. Ini faktor yang perlu diperhitungkan untuk mengubah beras menjadi uang tunai,” katanya.
Asisten III Pemerintah Provinsi Sumsel Bidang Kesejahteraan Rakyat Ahmad Najib mengatakan pula, program raskin juga membantu penyerapan beras dari petani. Apalagi, Sumsel selalu surplus beras hingga lebih dari 1 juta ton.
Namun, Kepala Perum Bulog Divre Sumsel dan Bangka Belitung Abdul Basid mengatakan, pihaknya siap melaksanakan semua program pemerintah pusat. Jika raskin diubah menjadi uang tunai, beras yang diserap Bulog dapat dilepas ke pasar bebas.
Ide mengganti raskin dengan uang tunai juga dinilai belum cocok diterapkan untuk Kota Makassar. Selain rawan salah peruntukan, juga tidak begitu membantu warga miskin saat harga beras melambung. Masalah yang harus dibenahi adalah pembaruan data dan kualitas beras yang disalurkan. ”Di Makassar program raskin sebaiknya tetap dijaga karena masih signifikan membantu,” kata Wakil Wali Kota Makassar Syamsu Rizal.
Kepala Dinas Sosial Bali Nyoman Wenten mengatakan pula, tahun 2015 sebanyak 151.924 keluarga di Bali mendapat raskin.
Setuju uang
Di Kota Semarang dan Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejumlah warga yang selama ini menerima setuju raskin diganti uang tunai. Raskin yang mereka terima banyak yang dijual lagi kepada pedagang karena raskin yang diterimanya beras yang sudah terlalu lama disimpan.
Raskin yang ditebus seharga Rp 1.600 per kilogram itu jarang dimakan. Beras itu biasanya dijual lagi kepada pedagang pengecer seharga Rp 2.300 hingga Rp 2.500 per kilogram. ”Raskin dijual lagi karena ada yang menampung,” ujar Suminah (50), warga Pedurungan, Semarang.(ETA/EGI/BAY/IRE/WHO/REN/AYS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150325kompas/#/23/
Penggantian dengan Uang Tunai Rawan Penyelewengan
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan, mulai petani, kepala desa, pakar, wakil wali kota, pejabat pemerintah provinsi, hingga wakil gubernur, tidak setuju beras untuk rakyat miskin diganti dengan uang. Program raskin sebaiknya tetap diteruskan karena masih membantu masyarakat yang membutuhkan.
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, di Surabaya, Selasa (24/3), menegaskan, penyaluran raskin tetap berupa beras bukan uang tunai. Alasannya, jika diberikan uang, penggunaan dikhawatirkan bukan untuk kebutuhan pokok.
Menurut Saifullah, yang perlu dibenahi dalam penyaluran raskin adalah bagaimana warga yang menikmati benar-benar layak. Artinya tidak salah sasaran, seperti yang terjadi saat ini. ”Program raskin tidak sekadar bagi-bagi beras, tapi untuk menyeimbangkan harga beras serta membantu penduduk miskin. Kalau dibagikan uang tunai, yang dibeli bukan beras atau singkong, tapi pulsa atau barang lain,” katanya.
Kepala Perum Bulog Divisi Regional Jatim Witono menjelaskan, raskin untuk seluruh warga sasaran akan disalurkan melalui 8.506 wilayah distribusi.
Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3) di Semarang, menyatakan, pembagian raskin sebaiknya dihentikan dan diganti dengan bantuan uang tunai supaya warga tidak bergantung pada beras. Penggantian raskin dengan uang tunai dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif (Kompas, Selasa, 24/3).
Petani di Banten pun meminta raskin tidak diganti dengan uang tunai. Menurut mereka, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas raskin.
”Saya kurang setuju raskin diganti uang tunai,” kata Anton Haerul, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Pandeglang, Banten.
Ketua KTNA Banten Oong Sahroni menyebutkan pula, pihaknya tidak menyetujui penggantian raskin dengan uang tunai. Pemberian uang dinilai lebih mudah menimbulkan kerawanan. Warga lain yang tidak mendapat uang dapat cemburu.
Menurut Oong, penyaluran uang tunai juga diperkirakan berdampak terhadap penyerapan beras petani melalui Perum Bulog. Distribusi beras kepada masyarakat yang ditiadakan menyebabkan penyerapan pangan di tingkat petani juga berkurang.
Subagyo, Ketua KTNA Kabupaten Serang, menyebutkan, peningkatan mutu raskin merupakan langkah yang lebih baik daripada mengganti dengan uang.
Dari Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dilaporkan, sejumlah perangkat desa juga berharap agar raskin tetap disalurkan dan tidak diganti dengan uang. Raskin dianggap lebih tepat sasaran, membantu kehidupan masyarakat, sedangkan bantuan uang lebih sering disalahgunakan.
Iswoyo, Kepala Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, mengatakan, uang sebagai pengganti raskin dianggap tidak tepat. Bantuan dana biasanya jarang dimanfaatkan untuk membeli kebutuhan bahan pangan.
”Ketika mendapat uang, perilaku masyarakat biasanya cenderung tidak terkendali. Hanya dalam waktu singkat untuk beragam kebutuhan lain,” ujarnya.
Sebaliknya, raskin akan lebih dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi cadangan pangan keluarga selama seminggu lebih. Raskin biasanya dikonsumsi warga dengan cara dicampur dengan beras lain yang lebih enak.
Iswoyo mengatakan, sebagian warga memang ada yang menjual jatah raskin miliknya ke pasar. Namun, raskin tetap dibutuhkan untuk dikonsumsi warga, baik untuk keluarganya sendiri bahkan malah dibagi-bagi dengan tetangga yang lain.
Ketersediaan pangan
Pakar komoditas pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang, Prof Andy Mulyana, mengatakan, raskin dinilai masih dibutuhkan sebagai jaminan ketersediaan pangan pokok bagi rakyat miskin. Pengalihan bantuan beras menjadi uang tunai dinilai dapat menurunkan daya beli masyarakat, saat harga beras lebih tinggi dari jumlah bantuan.
”Saat itu terjadi, bantuan uang tunai tak setara dengan beras yang diperoleh dalam bentuk raskin sehingga secara tak langsung menurunkan daya beli masyarakat tak mampu. Ini faktor yang perlu diperhitungkan untuk mengubah beras menjadi uang tunai,” katanya.
Asisten III Pemerintah Provinsi Sumsel Bidang Kesejahteraan Rakyat Ahmad Najib mengatakan pula, program raskin juga membantu penyerapan beras dari petani. Apalagi, Sumsel selalu surplus beras hingga lebih dari 1 juta ton.
Namun, Kepala Perum Bulog Divre Sumsel dan Bangka Belitung Abdul Basid mengatakan, pihaknya siap melaksanakan semua program pemerintah pusat. Jika raskin diubah menjadi uang tunai, beras yang diserap Bulog dapat dilepas ke pasar bebas.
Ide mengganti raskin dengan uang tunai juga dinilai belum cocok diterapkan untuk Kota Makassar. Selain rawan salah peruntukan, juga tidak begitu membantu warga miskin saat harga beras melambung. Masalah yang harus dibenahi adalah pembaruan data dan kualitas beras yang disalurkan. ”Di Makassar program raskin sebaiknya tetap dijaga karena masih signifikan membantu,” kata Wakil Wali Kota Makassar Syamsu Rizal.
Kepala Dinas Sosial Bali Nyoman Wenten mengatakan pula, tahun 2015 sebanyak 151.924 keluarga di Bali mendapat raskin.
Setuju uang
Di Kota Semarang dan Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejumlah warga yang selama ini menerima setuju raskin diganti uang tunai. Raskin yang mereka terima banyak yang dijual lagi kepada pedagang karena raskin yang diterimanya beras yang sudah terlalu lama disimpan.
Raskin yang ditebus seharga Rp 1.600 per kilogram itu jarang dimakan. Beras itu biasanya dijual lagi kepada pedagang pengecer seharga Rp 2.300 hingga Rp 2.500 per kilogram. ”Raskin dijual lagi karena ada yang menampung,” ujar Suminah (50), warga Pedurungan, Semarang.(ETA/EGI/BAY/IRE/WHO/REN/AYS)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150325kompas/#/23/
Mentan Amran Minta Bulog Serap 4 Juta Ton Beras Tahun Ini
Selasa, 24 Maret 2015
Jakarta, GATRAnews - Menteri Pertanian Amran Sulaiman menginstruksikan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap 4 juta ton beras dari petani pada 2015 ini. Pasalnya, tahun ini Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras mencapai 45 juta ton. Karena itu, idealnya Bulog menguasai pasokan sekitar 3-4 juta ton agar dapat menjaga stabilitas harga beras.
Amran memahami bahwa serapan sebanyak itu sulit dicapai Bulog karena Harga Pembelian Petani (HPP) beras masih kurang ideal. Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015, ditetapkan HPP beras naik 10% menjadi Rp 7.300/kg. Meski naik, HPP beras masih jauh di bawah harga pasar saat ini. Akibatnya, petani lebih suka menjual pada tengkulak daripada ke Bulog. Karena itu, Amran meminta Bulog untuk menggunakan mekanisme lain di samping pengadaan beras dengan menggunakan harga sesuai HPP, misalnya membeli beras petani dengan harga di atas HPP menggunakan dana internal Bulog.
"Saya sudah panggil Bulog, jadi di samping mereka menyerap langsung dengan harga sesuai HPP sebesar Rp 7.300/kg, kami minta serap dengan mekanisme lain sehingga total penyerapan mereka 3-4 juta ton," kata Amran saat ditemui GATRAnews, Selasa (24/3).
Amran meminta Bulog bekerja maksimal dalam pengadaan beras. Diharapkan, stok akhir tahun Bulog mencapai paling tidak 1,5 juta ton agar dapat meredam gejolak harga beras saat musim paceklik dari November 2015 hingga Februari 2016. Dia menilai stok Bulog sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan 6 bulan penyaluran pada akhir tahun sudah aman. "Yang menjadi critical point kan di November-Januari. Kalau ada 1,5 juta ton saja di akhir tahun sudah aman," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, meski pemerintah telah menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras yang menaikkan Harga Pembelian Petani (HPP) beras sebesar 10% dari Rp 6.600/kg menjadi Rp 7.300/kg, Bulog tetap kesulitan menyerap beras dari petani. Para petani masih lebih memilih menjual berasnya pada tengkulak.
Penyebabnya, HPP baru yang ditetapkan pemerintah masih terlalu rendah, harga pasaran beras saat ini sudah melambung lebih dari 10%. Para tengkulak berani membeli beras petani dengan harga di atas HPP. Akibatnya, petani pun lebih memilih menjual pada tengkulak daripada ke Bulog.
"Sekarang HPP Rp 7.300/kg, di lapangan petani katakan bisa menjual Rp 7.500/kg, kalau bisa jual segitu ngapain dia jual ke Bulog Rp 7.300/kg? Mendingan dia jual ke pasar Rp 7.500/kg," tutur Direktur Pelayanan Publik Bulog, Lely Pelitasari, pekan lalu.
Menurut perhitungan Bulog sendiri, idealnya kenaikan HPP adalah 15 persen. Usulan ini sudah pernah disampaikan Bulog kepada pemerintah pada saat pembahasan HPP beras. "Sebetulnya kenaikan harga yang sekarang bisa dikatakan pas. Pas-pasan ya, kalau kita bicara ideal untuk Bulog sendiri itu kemarin sudah sampai usulan 15 persen kenaikannya," dia mengungkapkan.
Akibat kenaikan HPP yang hanya 10% ini, Bulog pun menurunkan target pengadaan beras tahun ini dari 3,2 juta ton menjadi hanya 2,5-2,75 juta ton, sebab bila HPP hanya Rp 7.300 maka petani bakal lebih banyak menjual berasnya pada tengkulak daripada ke Bulog. "Kalau kenaikannya 15 persen, target kami 3,2 juta ton. Kami punya target disesuaikan dengan HPP," cetusnya.
Dengan pengadaan yang disesuaikan menjadi 2,75 juta ton, target stok beras di akhir tahun pun juga disesuaikan menjadi 1,5 juta ton dari sebelumnya 2 juta ton. "Sekarang kalau melihat rekomendasi Kementan terkait dengan cadangan beras ideal itu minimal dijaga di 1,5 juta ton," papar dia.
Lebih lanjut, dirinya berharap produksi beras pada musim panen tahun ini meningkat sesuai target pemerintah, sehingga surplus banyak dan harga beras tidak setinggi sekarang. Dengan demikian, disparitas antara harga pasaran dan HPP beras yang ditetapkan pemerintah tidak terlalu jauh. "Mungkin akan menurun seiring dengan kenaikan panen. Kita berharap kenaikan panen betul-betul bagus sehingga kenaikan 10% ini menjadi signifikan untuk pengadaan Bulog," pungkasnya.
Jakarta, GATRAnews - Menteri Pertanian Amran Sulaiman menginstruksikan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap 4 juta ton beras dari petani pada 2015 ini. Pasalnya, tahun ini Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras mencapai 45 juta ton. Karena itu, idealnya Bulog menguasai pasokan sekitar 3-4 juta ton agar dapat menjaga stabilitas harga beras.
Amran memahami bahwa serapan sebanyak itu sulit dicapai Bulog karena Harga Pembelian Petani (HPP) beras masih kurang ideal. Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015, ditetapkan HPP beras naik 10% menjadi Rp 7.300/kg. Meski naik, HPP beras masih jauh di bawah harga pasar saat ini. Akibatnya, petani lebih suka menjual pada tengkulak daripada ke Bulog. Karena itu, Amran meminta Bulog untuk menggunakan mekanisme lain di samping pengadaan beras dengan menggunakan harga sesuai HPP, misalnya membeli beras petani dengan harga di atas HPP menggunakan dana internal Bulog.
"Saya sudah panggil Bulog, jadi di samping mereka menyerap langsung dengan harga sesuai HPP sebesar Rp 7.300/kg, kami minta serap dengan mekanisme lain sehingga total penyerapan mereka 3-4 juta ton," kata Amran saat ditemui GATRAnews, Selasa (24/3).
Amran meminta Bulog bekerja maksimal dalam pengadaan beras. Diharapkan, stok akhir tahun Bulog mencapai paling tidak 1,5 juta ton agar dapat meredam gejolak harga beras saat musim paceklik dari November 2015 hingga Februari 2016. Dia menilai stok Bulog sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan 6 bulan penyaluran pada akhir tahun sudah aman. "Yang menjadi critical point kan di November-Januari. Kalau ada 1,5 juta ton saja di akhir tahun sudah aman," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, meski pemerintah telah menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras yang menaikkan Harga Pembelian Petani (HPP) beras sebesar 10% dari Rp 6.600/kg menjadi Rp 7.300/kg, Bulog tetap kesulitan menyerap beras dari petani. Para petani masih lebih memilih menjual berasnya pada tengkulak.
Penyebabnya, HPP baru yang ditetapkan pemerintah masih terlalu rendah, harga pasaran beras saat ini sudah melambung lebih dari 10%. Para tengkulak berani membeli beras petani dengan harga di atas HPP. Akibatnya, petani pun lebih memilih menjual pada tengkulak daripada ke Bulog.
"Sekarang HPP Rp 7.300/kg, di lapangan petani katakan bisa menjual Rp 7.500/kg, kalau bisa jual segitu ngapain dia jual ke Bulog Rp 7.300/kg? Mendingan dia jual ke pasar Rp 7.500/kg," tutur Direktur Pelayanan Publik Bulog, Lely Pelitasari, pekan lalu.
Menurut perhitungan Bulog sendiri, idealnya kenaikan HPP adalah 15 persen. Usulan ini sudah pernah disampaikan Bulog kepada pemerintah pada saat pembahasan HPP beras. "Sebetulnya kenaikan harga yang sekarang bisa dikatakan pas. Pas-pasan ya, kalau kita bicara ideal untuk Bulog sendiri itu kemarin sudah sampai usulan 15 persen kenaikannya," dia mengungkapkan.
Akibat kenaikan HPP yang hanya 10% ini, Bulog pun menurunkan target pengadaan beras tahun ini dari 3,2 juta ton menjadi hanya 2,5-2,75 juta ton, sebab bila HPP hanya Rp 7.300 maka petani bakal lebih banyak menjual berasnya pada tengkulak daripada ke Bulog. "Kalau kenaikannya 15 persen, target kami 3,2 juta ton. Kami punya target disesuaikan dengan HPP," cetusnya.
Dengan pengadaan yang disesuaikan menjadi 2,75 juta ton, target stok beras di akhir tahun pun juga disesuaikan menjadi 1,5 juta ton dari sebelumnya 2 juta ton. "Sekarang kalau melihat rekomendasi Kementan terkait dengan cadangan beras ideal itu minimal dijaga di 1,5 juta ton," papar dia.
Lebih lanjut, dirinya berharap produksi beras pada musim panen tahun ini meningkat sesuai target pemerintah, sehingga surplus banyak dan harga beras tidak setinggi sekarang. Dengan demikian, disparitas antara harga pasaran dan HPP beras yang ditetapkan pemerintah tidak terlalu jauh. "Mungkin akan menurun seiring dengan kenaikan panen. Kita berharap kenaikan panen betul-betul bagus sehingga kenaikan 10% ini menjadi signifikan untuk pengadaan Bulog," pungkasnya.
Pertama Di Indonesia, Bulog Sumut Beli Langsung Cabai Petani
Selasa, 24 Maret 2015
Bisnis.com, MEDAN - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi Regional Sumatera Utara membeli komoditas cabai secara langsung ke petani untuk menekan lonjakan harga.
Menurut Rudy Adlin, Humas Bulog Divre Sumut, pembelian ini merupakan penetrasi pembelian perdana Bulog untuk komoditas cabai sepanjang BUMN itu beroperasi di Sumut, bahkan di Indonesia.
"Di Indonesia, baru kami yang membeli cabai langsung dari petani. Di Indonesia, baru Sumatera Utara" ujarnya di Medan, Selasa (24/3/2015).
Dia menjelaskan, cabai yang dibeli Bulog Sumut berasal dari para petani di Kabupaten Batubara sebanyak 50 ton. Saat pembelian tersebut dilakukan pada akhir Februari 2015, harga cabai di tingkat pedagang senilai Rp20.000 per kg. Pembelian tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya Bulog Sumut membantu menekan harga cabai yang jika dibiarkan akan memengaruhi tingkat inflasi.
Sedangkan Kabupaten Batubara dipilih setelah Bulog Sumut mendapatkan informasi dari Tim Pengendali Inflasi Darah (TPID) adanya panen cabai di daerah tersebut.
Kabupaten Batubara juga menjadi salah satu daerah sentra di Sumatera Utara dengan memiliki sekitar 1.200 hektare lahan cabai, selain Simalungun dan Tanah Karo.
Melalui kerja sama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, Bank Indonesia dan TPID, Bulog Sumut membeli cabai secara langsung dari para Gabpoktan. "Bulog butuh informasi dari TPID dan Pemda karena tidak mengetahui lebih jelas daerah-daerah panen," ujarnya.
Dalam melakukan pembelian, Bulog Sumut memanfaatkan tenaga konsultan yang dimiliki Bank Indonesia. Konsultan menaksir harga pembelian berdasarkan biaya yang dikeluarkan petani mulai dari pembibitan, pemupukan sampai panen, adalah sekitar Rp6.500 per kg. Dan merekomendasikan harga pembelian senilai Rp8.000 per kg. Namun, lanjutnya Rudy, pihaknya memutuskan untuk membeli cabai petani seharga Rp10.000 per kg.
Upaya itu menurutnya langsung berdampak positif. Setelah pembelian cabai dilakukan dan kemudian Bulog mengecernya seharga Rp16.000 per kg, dalam tempo dua hari, harga di tingkat pedagang turun dengan nilai yang sama. Setelah beberapa hari bertahan, akhirnya harga cabai turun lagi menjadi Rp12.000 per kg.
Selain berdampak signifikan terhadap penurunan harga di pasaran, pembelian langsung cabai oleh Bulog Sumut juga mempengaruhi harga di tingkat petani. Saat ini para pengumpul menghargai cabai petani di atas nominal dari yang ditawarkan Bulog Sumut.
"Setelah Bulog masuk, para petani di sana bilang, kalau bisa Bulog jangan meninggalkan kami. Semenjak Bulog turun, baru kali ini kami menikmati hasil pertanian kami," tutur Rudy. Kegembiraan petani di Kabupaten Batubara tersebut bisa dimaklumi mengingat selama ini mereka cuma dipatok harga Rp6.000 per kg oleh para pengumpul meskipun seringkali harga di pasaran melonjak.
http://industri.bisnis.com/read/20150324/99/415179/pertama-di-indonesia-bulog-sumut-beli-langsung-cabai-petani
Bisnis.com, MEDAN - Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi Regional Sumatera Utara membeli komoditas cabai secara langsung ke petani untuk menekan lonjakan harga.
Menurut Rudy Adlin, Humas Bulog Divre Sumut, pembelian ini merupakan penetrasi pembelian perdana Bulog untuk komoditas cabai sepanjang BUMN itu beroperasi di Sumut, bahkan di Indonesia.
"Di Indonesia, baru kami yang membeli cabai langsung dari petani. Di Indonesia, baru Sumatera Utara" ujarnya di Medan, Selasa (24/3/2015).
Dia menjelaskan, cabai yang dibeli Bulog Sumut berasal dari para petani di Kabupaten Batubara sebanyak 50 ton. Saat pembelian tersebut dilakukan pada akhir Februari 2015, harga cabai di tingkat pedagang senilai Rp20.000 per kg. Pembelian tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya Bulog Sumut membantu menekan harga cabai yang jika dibiarkan akan memengaruhi tingkat inflasi.
Sedangkan Kabupaten Batubara dipilih setelah Bulog Sumut mendapatkan informasi dari Tim Pengendali Inflasi Darah (TPID) adanya panen cabai di daerah tersebut.
Kabupaten Batubara juga menjadi salah satu daerah sentra di Sumatera Utara dengan memiliki sekitar 1.200 hektare lahan cabai, selain Simalungun dan Tanah Karo.
Melalui kerja sama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, Bank Indonesia dan TPID, Bulog Sumut membeli cabai secara langsung dari para Gabpoktan. "Bulog butuh informasi dari TPID dan Pemda karena tidak mengetahui lebih jelas daerah-daerah panen," ujarnya.
Dalam melakukan pembelian, Bulog Sumut memanfaatkan tenaga konsultan yang dimiliki Bank Indonesia. Konsultan menaksir harga pembelian berdasarkan biaya yang dikeluarkan petani mulai dari pembibitan, pemupukan sampai panen, adalah sekitar Rp6.500 per kg. Dan merekomendasikan harga pembelian senilai Rp8.000 per kg. Namun, lanjutnya Rudy, pihaknya memutuskan untuk membeli cabai petani seharga Rp10.000 per kg.
Upaya itu menurutnya langsung berdampak positif. Setelah pembelian cabai dilakukan dan kemudian Bulog mengecernya seharga Rp16.000 per kg, dalam tempo dua hari, harga di tingkat pedagang turun dengan nilai yang sama. Setelah beberapa hari bertahan, akhirnya harga cabai turun lagi menjadi Rp12.000 per kg.
Selain berdampak signifikan terhadap penurunan harga di pasaran, pembelian langsung cabai oleh Bulog Sumut juga mempengaruhi harga di tingkat petani. Saat ini para pengumpul menghargai cabai petani di atas nominal dari yang ditawarkan Bulog Sumut.
"Setelah Bulog masuk, para petani di sana bilang, kalau bisa Bulog jangan meninggalkan kami. Semenjak Bulog turun, baru kali ini kami menikmati hasil pertanian kami," tutur Rudy. Kegembiraan petani di Kabupaten Batubara tersebut bisa dimaklumi mengingat selama ini mereka cuma dipatok harga Rp6.000 per kg oleh para pengumpul meskipun seringkali harga di pasaran melonjak.
http://industri.bisnis.com/read/20150324/99/415179/pertama-di-indonesia-bulog-sumut-beli-langsung-cabai-petani
Selasa, 24 Maret 2015
Krisis dan Otoritas Pangan
Rabu, 18 Maret 2015
TONGGAK kegagalan Kabinet Indonesia Bersatu adalah gagalnya swasembada pangan untuk gula, kedelai, jagung dan daging sapi, serta surplus 10 juta ton beras, 2014. Alih-alih surplus, swasembada beras 2014 masih tanda tanya, antara kenyataan, sulapan dan pencitraan.
Mengingat kebutuhan dasar publik dan makna finansialnya yang luar biasa, Kabinet Kerja (KK) telah menjanjikan hal yang sama: swasembada pangan. Untuk menghindari keterjebakan dalam politisasi yang sama: kenyataan-sulapan-pencitraan, mulai hari ini tiba waktunya merancang sistem pelembagaan yang lebih seksama sebagaimana telah ditegaskan dalam UU 18/2012 tentang Pangan yang berpayung pada kedaulatan pangan.
Sungguh membanggakan bahwa realitasnya para Menteri KK sangat progresif menyambut tekad kedaulatan pangan Jokowi. Kedaulatan pangan ini bahkan telah digelorakan jauh sebelum masa Pilpres. Dalam masa kampanye, kedaulatan pangan itulah kata yang paling populer bergema. Konsekuensi dari janji, begitu pelantikan kabinet, pemerintahan digenjot segera merespons kedaulatan pangan. Bak Lomba Maraton Borobudur 10K, semua berlari kencang dalam aneka kinerja.
Menteri Pertanian lari kencang dengan target swasembada dengan kata populernya: nyawa saya taruhannya. Menteri Susi berlari kencang membakari kapal ikan pencuri. Pak Basuki pun melempar dasi menyingsingkan baju untuk membangun 190 waduk, meski belum tentu terisi. Menteri Kehutanan serta merta mulai mengatur tanaman di sana-sini, sementara Menteri Ferry telah tegas mambangun komitmen dan janji-janji tata ruang demi kedaulatan pangan RI. Begitu pula instansi terkait lainnya, Bulog, Kementerian Perdagangan, semua berjanji atas nama kedaulatan pangan, misi suci Jokowi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua semakin kencang berlari ke aneka arah: ke sana-ke mari. Akan tetapi, belum ada petunjuk nyata siapa gerangan yang harus bertanggung jawab manakala swasembada hanya sampai di sini, pada tingkat janji dan tidak terealisasi.
Ada beberapa pertanyaan publik yang sangat sederhana tetapi memerlukan klarifikasi. Pertama, pada tingkat mana harus kompromi ketika gerakan swasembada garam, gula dan sapi, harus menghadapi hobi Kemendag dalam importasi? Kedua, apa pula yang terjadi ketika 190 waduk yang dibangun Basuki ternyata tanpa isi karena gundhulnya hutan tidak siap mengairi? Ketiga, siapa yang disalahkan saat swasembada beras harus menyadari antisipasi pas-pasan dari Bulog sebagai institusi distribusi seperti yang terjadi minggu-minggu ini? Keempat, apa yang terjadi ketika sebagian air irigasi mengairi lahan sawah yang terkonversi?
Sudah barang tentu masih seabreg pertanyaan sejenis yang memerlukan klarifikasi yang sedari dini sudah harus diantisipasi. Bermunculannya seabreg pertanyaan dimaksud sudah pasti menjadi-jadi ketika fenomena birokrasi menunjukkan larinya birokrasi ke sana-ke mari. Indikasi sudah mulai nampak pada krisis perberasan, garam produksi rakyat tani, dan makin dijejalinya konsumsi dengan gula rafinasi. Siapa yang bertanggung jawab atas aneka krisis ini?
Kesigapan memang memerlukan harmoni dan seringkali harus kompromi. Amanat legal Undang Undang No 18/2012 tentang Pangan sudah teramat jelas arahnya, tertuang dalam Pasal 126: Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tiga puluh bulan sudah amanat ini diundangkan dengan tujuan untuk bisa membangun harmoni dan kompromi mengendalikan perjalanan sistem pangan RI yang bertanggung jawab kepada presiden. Sampai hari ini amanat tersebut masih terbentur sebagai janji restrukturisasi. Sementara pihak sebetulnya sudah sangat menanti-nanti karena keyakinan akademisnya pada fungsionalisasi lembaga pangan inilah segala harapan akan secara terpadu bisa terealisasi.
Belum jauh beranjak dari seratus hari masa transisi. Pelembagaan menurut UU 18/12 sungguh sebuah langkah cerdas ketika para pemimpin negara sudi mencermati pertanyaan sederhana tentang tanggung jawab urusan pangan ini meski jalannya bisa ke sana-ke mari.
(M Maksum Machfoedz. Ketua PB NU, Guru Besar FTP UGM)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3887/krisis-dan-otoritas-pangan.kr
TONGGAK kegagalan Kabinet Indonesia Bersatu adalah gagalnya swasembada pangan untuk gula, kedelai, jagung dan daging sapi, serta surplus 10 juta ton beras, 2014. Alih-alih surplus, swasembada beras 2014 masih tanda tanya, antara kenyataan, sulapan dan pencitraan.
Mengingat kebutuhan dasar publik dan makna finansialnya yang luar biasa, Kabinet Kerja (KK) telah menjanjikan hal yang sama: swasembada pangan. Untuk menghindari keterjebakan dalam politisasi yang sama: kenyataan-sulapan-pencitraan, mulai hari ini tiba waktunya merancang sistem pelembagaan yang lebih seksama sebagaimana telah ditegaskan dalam UU 18/2012 tentang Pangan yang berpayung pada kedaulatan pangan.
Sungguh membanggakan bahwa realitasnya para Menteri KK sangat progresif menyambut tekad kedaulatan pangan Jokowi. Kedaulatan pangan ini bahkan telah digelorakan jauh sebelum masa Pilpres. Dalam masa kampanye, kedaulatan pangan itulah kata yang paling populer bergema. Konsekuensi dari janji, begitu pelantikan kabinet, pemerintahan digenjot segera merespons kedaulatan pangan. Bak Lomba Maraton Borobudur 10K, semua berlari kencang dalam aneka kinerja.
Menteri Pertanian lari kencang dengan target swasembada dengan kata populernya: nyawa saya taruhannya. Menteri Susi berlari kencang membakari kapal ikan pencuri. Pak Basuki pun melempar dasi menyingsingkan baju untuk membangun 190 waduk, meski belum tentu terisi. Menteri Kehutanan serta merta mulai mengatur tanaman di sana-sini, sementara Menteri Ferry telah tegas mambangun komitmen dan janji-janji tata ruang demi kedaulatan pangan RI. Begitu pula instansi terkait lainnya, Bulog, Kementerian Perdagangan, semua berjanji atas nama kedaulatan pangan, misi suci Jokowi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua semakin kencang berlari ke aneka arah: ke sana-ke mari. Akan tetapi, belum ada petunjuk nyata siapa gerangan yang harus bertanggung jawab manakala swasembada hanya sampai di sini, pada tingkat janji dan tidak terealisasi.
Ada beberapa pertanyaan publik yang sangat sederhana tetapi memerlukan klarifikasi. Pertama, pada tingkat mana harus kompromi ketika gerakan swasembada garam, gula dan sapi, harus menghadapi hobi Kemendag dalam importasi? Kedua, apa pula yang terjadi ketika 190 waduk yang dibangun Basuki ternyata tanpa isi karena gundhulnya hutan tidak siap mengairi? Ketiga, siapa yang disalahkan saat swasembada beras harus menyadari antisipasi pas-pasan dari Bulog sebagai institusi distribusi seperti yang terjadi minggu-minggu ini? Keempat, apa yang terjadi ketika sebagian air irigasi mengairi lahan sawah yang terkonversi?
Sudah barang tentu masih seabreg pertanyaan sejenis yang memerlukan klarifikasi yang sedari dini sudah harus diantisipasi. Bermunculannya seabreg pertanyaan dimaksud sudah pasti menjadi-jadi ketika fenomena birokrasi menunjukkan larinya birokrasi ke sana-ke mari. Indikasi sudah mulai nampak pada krisis perberasan, garam produksi rakyat tani, dan makin dijejalinya konsumsi dengan gula rafinasi. Siapa yang bertanggung jawab atas aneka krisis ini?
Kesigapan memang memerlukan harmoni dan seringkali harus kompromi. Amanat legal Undang Undang No 18/2012 tentang Pangan sudah teramat jelas arahnya, tertuang dalam Pasal 126: Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tiga puluh bulan sudah amanat ini diundangkan dengan tujuan untuk bisa membangun harmoni dan kompromi mengendalikan perjalanan sistem pangan RI yang bertanggung jawab kepada presiden. Sampai hari ini amanat tersebut masih terbentur sebagai janji restrukturisasi. Sementara pihak sebetulnya sudah sangat menanti-nanti karena keyakinan akademisnya pada fungsionalisasi lembaga pangan inilah segala harapan akan secara terpadu bisa terealisasi.
Belum jauh beranjak dari seratus hari masa transisi. Pelembagaan menurut UU 18/12 sungguh sebuah langkah cerdas ketika para pemimpin negara sudi mencermati pertanyaan sederhana tentang tanggung jawab urusan pangan ini meski jalannya bisa ke sana-ke mari.
(M Maksum Machfoedz. Ketua PB NU, Guru Besar FTP UGM)
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3887/krisis-dan-otoritas-pangan.kr
Raskin Ganti Uang Saja
Selasa, 24 Maret 2015
Harga Beras di Sulawesi Selatan Masih Tinggi
SEMARANG, KOMPAS — Pembagian beras untuk rakyat miskin sebaiknya dihentikan dan digantikan dengan bantuan uang tunai saja supaya warga tidak tergantung dengan beras. Penggantian raskin dengan uang tunai dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif sesuai program diversifikasi pangan yang digariskan pemerintah.
Hal itu dikatakan Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3) di Semarang, terkait banyaknya keluhan warga penerima beras untuk rakyat miskin (raskin), terutama terkait kualitas beras yang kurang baik. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun menemukan sekitar 240 ton raskin berkualitas buruk di sejumlah gudang awal Februari 2015.
”Program raskin itu sudah berlangsung 17 tahun. Program itu semestinya bisa dikelola dengan baik, termasuk penyediaan raskin makin berkualitas. Namun, kenyataannya problem raskin selalu sama, yakni mutu beras jelek, beras berkutu, dan tak layak dimakan,” ujar Daniel.
Daniel menyebutkan, menjaga kualitas beras yang disimpan lebih dari enam bulan tak mudah. Apalagi, pengawasan distribusi di lapangan tidak diimbangi dengan ketersediaan personel. Bulog sebagai penyedia raskin hanya berperan di tingkat distribusi.
Dengan minimnya pengawasan, raskin juga menciptakan masalah baru, selain kualitas berasnya. Masalah lain itu, antara lain, pembagian raskin tidak merata, raskin dinikmati orang yang tak berhak, serta tak jarang raskin dioplos dan dijual lagi.
Berdasarkan data di Pemprov Jateng, sasaran penerima raskin tahun 2013 sebanyak 2,4 juta rumah tangga. Masing-masing menerima 15 kilogram (kg) per bulan dengan harga tebus raskin Rp 1.600 per kg.
Kualitas medium
Wakil Kepala Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Jateng Siti Kuwati mengakui, raskin sebenarnya beras yang berkualitas setara beras medium. Beras itu hasil pengadaan Bulog yang disimpan minimal enam bulan.
Kualitas raskin berasal dari gabah dengan kadar air maksimal 15 persen. Beras dari gabah ini tak berubah rasanya meski disimpan lama. Dalam pembagian, raskin sebelumnya dicek kelayakannya oleh tim survei independen dan tim Bulog.
”Soal kualitas, Bulog memberi garansi, apabila raskin dinilai jelek dan tak layak konsumsi, akan diganti dengan beras yang bagus. Namun, Bulog tak bisa mengontrol kualitas beras saat lepas dari distribusi sebelum diterima warga miskin,” kata Siti Kuwati.
Soal temuan raskin yang bermutu jelek, Siti Kuwati menyatakan, setelah dilakukan pengecekan beras itu masih layak makan. Terbukti setelah diproses ulang dan dimasak, nasi dari raskin itu tetap enak rasanya.
Bulog juga mengakui kesulitan mencegah adanya praktik pengoplosan raskin atau pembagian raskin secara merata demi keadilan. Pola bagi rata itu membuat setiap rumah tangga hanya menerima 10 kg per bulan. Kebijakan membagi rata ditetapkan kelurahan atau aparat desa.
Untuk menjamin kualitas raskin, Bulog Jateng mulai pengadaan tahun 2015 memprioritaskan dalam bentuk gabah kering panen. Penyimpanan gabah lebih aman ketimbang beras.
Terus distribusikan
Bulog Divre Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terus mendistribusikan raskin untuk menekan harga beras yang masih tinggi di tengah panen raya yang sedang berlangsung. Bulog juga terus menyerap hasil panen raya di sejumlah daerah untuk memenuhi target pengadaan raskin dan cadangan.
Menurut Kepala Bulog Divre Sulselbar Abdullah Djawas di Makassar, Senin, harga beras kualitas medium di Makassar dan sekitarnya, termasuk di Pasar Pa’Baeng-Baeng dan Toddopuli masih berkisar Rp 10.000-Rp 13.000 per kg. Padahal, harga beras jenis ini sebelumnya kurang dari Rp 9.000 per kg.
”Kami terus mendistribusikan raskin ke daerah untuk menekan harga. Harapan kami, jika warga miskin bisa memperoleh raskin, tak banyak lagi yang akan membeli beras dengan harga tinggi dan membuat harga berangsur turun. Seiring panen yang terus berlangsung dan ketersediaan beras yang mencukupi, harga beras secepatnya normal,” kata Djawas.
Saat ini, kata Djawas, Bulog Divre Sulselbar terus menyerap hasil panen raya yang akan berlangsung hingga pertengahan tahun. Penyerapan antara lain dilakukan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, serta Kabupaten Wajo, Pinrang, Parepare, Sidrap, Bone, dan Sinjai di Sulsel.
Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dilaporkan menjelang panen raya ini harga beras turun sekitar 10 persen. Beras kualitas premium dari Rp 11.000/kg menjadi Rp 10.000/kg, dan kualitas medium dari Rp 9.800/kg menjadi Rp 9.250/kg.
Fauzan, pedagang beras di Pasar Tanjung, Jember, Senin, menyebutkan, harga semua jenis beras mengalami penurunan. Kepala Bulog Divre Jatim Witono pun menyatakan siap membeli gabah petani di provinsi itu. (WHO/RWN/SIR/REN/ACI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150324kompas/#/21/
Harga Beras di Sulawesi Selatan Masih Tinggi
SEMARANG, KOMPAS — Pembagian beras untuk rakyat miskin sebaiknya dihentikan dan digantikan dengan bantuan uang tunai saja supaya warga tidak tergantung dengan beras. Penggantian raskin dengan uang tunai dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif sesuai program diversifikasi pangan yang digariskan pemerintah.
Hal itu dikatakan Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3) di Semarang, terkait banyaknya keluhan warga penerima beras untuk rakyat miskin (raskin), terutama terkait kualitas beras yang kurang baik. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun menemukan sekitar 240 ton raskin berkualitas buruk di sejumlah gudang awal Februari 2015.
”Program raskin itu sudah berlangsung 17 tahun. Program itu semestinya bisa dikelola dengan baik, termasuk penyediaan raskin makin berkualitas. Namun, kenyataannya problem raskin selalu sama, yakni mutu beras jelek, beras berkutu, dan tak layak dimakan,” ujar Daniel.
Daniel menyebutkan, menjaga kualitas beras yang disimpan lebih dari enam bulan tak mudah. Apalagi, pengawasan distribusi di lapangan tidak diimbangi dengan ketersediaan personel. Bulog sebagai penyedia raskin hanya berperan di tingkat distribusi.
Dengan minimnya pengawasan, raskin juga menciptakan masalah baru, selain kualitas berasnya. Masalah lain itu, antara lain, pembagian raskin tidak merata, raskin dinikmati orang yang tak berhak, serta tak jarang raskin dioplos dan dijual lagi.
Berdasarkan data di Pemprov Jateng, sasaran penerima raskin tahun 2013 sebanyak 2,4 juta rumah tangga. Masing-masing menerima 15 kilogram (kg) per bulan dengan harga tebus raskin Rp 1.600 per kg.
Kualitas medium
Wakil Kepala Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Jateng Siti Kuwati mengakui, raskin sebenarnya beras yang berkualitas setara beras medium. Beras itu hasil pengadaan Bulog yang disimpan minimal enam bulan.
Kualitas raskin berasal dari gabah dengan kadar air maksimal 15 persen. Beras dari gabah ini tak berubah rasanya meski disimpan lama. Dalam pembagian, raskin sebelumnya dicek kelayakannya oleh tim survei independen dan tim Bulog.
”Soal kualitas, Bulog memberi garansi, apabila raskin dinilai jelek dan tak layak konsumsi, akan diganti dengan beras yang bagus. Namun, Bulog tak bisa mengontrol kualitas beras saat lepas dari distribusi sebelum diterima warga miskin,” kata Siti Kuwati.
Soal temuan raskin yang bermutu jelek, Siti Kuwati menyatakan, setelah dilakukan pengecekan beras itu masih layak makan. Terbukti setelah diproses ulang dan dimasak, nasi dari raskin itu tetap enak rasanya.
Bulog juga mengakui kesulitan mencegah adanya praktik pengoplosan raskin atau pembagian raskin secara merata demi keadilan. Pola bagi rata itu membuat setiap rumah tangga hanya menerima 10 kg per bulan. Kebijakan membagi rata ditetapkan kelurahan atau aparat desa.
Untuk menjamin kualitas raskin, Bulog Jateng mulai pengadaan tahun 2015 memprioritaskan dalam bentuk gabah kering panen. Penyimpanan gabah lebih aman ketimbang beras.
Terus distribusikan
Bulog Divre Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terus mendistribusikan raskin untuk menekan harga beras yang masih tinggi di tengah panen raya yang sedang berlangsung. Bulog juga terus menyerap hasil panen raya di sejumlah daerah untuk memenuhi target pengadaan raskin dan cadangan.
Menurut Kepala Bulog Divre Sulselbar Abdullah Djawas di Makassar, Senin, harga beras kualitas medium di Makassar dan sekitarnya, termasuk di Pasar Pa’Baeng-Baeng dan Toddopuli masih berkisar Rp 10.000-Rp 13.000 per kg. Padahal, harga beras jenis ini sebelumnya kurang dari Rp 9.000 per kg.
”Kami terus mendistribusikan raskin ke daerah untuk menekan harga. Harapan kami, jika warga miskin bisa memperoleh raskin, tak banyak lagi yang akan membeli beras dengan harga tinggi dan membuat harga berangsur turun. Seiring panen yang terus berlangsung dan ketersediaan beras yang mencukupi, harga beras secepatnya normal,” kata Djawas.
Saat ini, kata Djawas, Bulog Divre Sulselbar terus menyerap hasil panen raya yang akan berlangsung hingga pertengahan tahun. Penyerapan antara lain dilakukan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar, serta Kabupaten Wajo, Pinrang, Parepare, Sidrap, Bone, dan Sinjai di Sulsel.
Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dilaporkan menjelang panen raya ini harga beras turun sekitar 10 persen. Beras kualitas premium dari Rp 11.000/kg menjadi Rp 10.000/kg, dan kualitas medium dari Rp 9.800/kg menjadi Rp 9.250/kg.
Fauzan, pedagang beras di Pasar Tanjung, Jember, Senin, menyebutkan, harga semua jenis beras mengalami penurunan. Kepala Bulog Divre Jatim Witono pun menyatakan siap membeli gabah petani di provinsi itu. (WHO/RWN/SIR/REN/ACI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150324kompas/#/21/
Bulog Harus Serap Gabah Petani
Senin, 23 Maret 2015
BANDUNG, (PRLM).- Anggota Komisi pangan DPR RI Rofi Munawar meminta badan urusan logistik (Bulog) serius dalam menyerap gabah dan beras petani. Mengingat saat ini berdasarkan Inpres terbaru no 5 tahun 2015 terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras telah dinaikan sekitar 10 – 15 persen dibandingkan Inpres terdahulu no 3 tahun 2012.
“Kenaikan HPP beras dan gabah menjelang panen raya merupakan langkah baik, namun kebijakan itu akan sia-sia jika Bulog tidak optimal dalam melakukan serapan gabah dan beras langsung ketingkat petani,” ungkap Rofi Munawar dalam keterangan persnya pada Senin (23/3).
Dalam Inpres no 5 tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 17 Maret 2015 disebutkan untuk harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp3.700 per kilogram (kg) di petani, atau Rp3.750/kg di penggilingan.
Sementara itu, harga pembelian Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp4.600/kg di penggilingan atau Rp4.650/kg di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp7.300/kg di gudang Perum Bulog.
“Bagi petani, diharapkan naiknya HPP dapat menjadi stimulus bagi petani untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas gabah serta beras. Karena berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, minimnya perlindungan harga membuat petani lebih memilih menjual ke tengkulak atau pedagang besar. Tentu saja hal ini sangat merugikan, mengingat setiap panen semua gabah/beras dijual, sementara saat musim tanam atau paceklik petani harus membeli beras dengan mahal dari para pengecer” tukas Rofi.(Sarnapi/A-108)***
http://www.pikiran-rakyat.com/node/320850
BANDUNG, (PRLM).- Anggota Komisi pangan DPR RI Rofi Munawar meminta badan urusan logistik (Bulog) serius dalam menyerap gabah dan beras petani. Mengingat saat ini berdasarkan Inpres terbaru no 5 tahun 2015 terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras telah dinaikan sekitar 10 – 15 persen dibandingkan Inpres terdahulu no 3 tahun 2012.
“Kenaikan HPP beras dan gabah menjelang panen raya merupakan langkah baik, namun kebijakan itu akan sia-sia jika Bulog tidak optimal dalam melakukan serapan gabah dan beras langsung ketingkat petani,” ungkap Rofi Munawar dalam keterangan persnya pada Senin (23/3).
Dalam Inpres no 5 tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 17 Maret 2015 disebutkan untuk harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp3.700 per kilogram (kg) di petani, atau Rp3.750/kg di penggilingan.
Sementara itu, harga pembelian Gabah Kering Giling (GKG) dengan kualitas kadar air minum 14 persen dan kotoran maksimum 3 persen adalah Rp4.600/kg di penggilingan atau Rp4.650/kg di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras kualitas kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, kadar menir maksimum 2 persen dan derajat sosoh minimum 95 persen adalah Rp7.300/kg di gudang Perum Bulog.
“Bagi petani, diharapkan naiknya HPP dapat menjadi stimulus bagi petani untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas gabah serta beras. Karena berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, minimnya perlindungan harga membuat petani lebih memilih menjual ke tengkulak atau pedagang besar. Tentu saja hal ini sangat merugikan, mengingat setiap panen semua gabah/beras dijual, sementara saat musim tanam atau paceklik petani harus membeli beras dengan mahal dari para pengecer” tukas Rofi.(Sarnapi/A-108)***
http://www.pikiran-rakyat.com/node/320850
Bulog Perlu Inovasi Kelola Beras
Senin.,23 Maret 2015
SEMARANG, suaramerdeka.com – Bulog perlu melakukan inovasi dalam mengelola beras. Jadi jangan sampai ada beras disimpan terlalu lama di gudang bulog yang berakibat tidak layak konsumsi. Demikian penjelasan Dr. Messy Widiastuti Komisi B DPRD Jateng, Senin (23/3).
“Selain itu, bulog juga perlu melakukan manajemen yang baik dalam distribusi beras. Sehingga masyarakat tidak sampai menghakimi bulog, lantaran beredar beras tidak layak konsumsi. Terutama beras miskin (raskin),” tambah Messy.
Messy menambahkan, bahwa selama ini Bulog belum mengelola secara rapi. Terutama terkait pendataan bagi masyarakat miskin yang menerima raskin. Sehingga distribusi raskin kerap salah sasaran.
(Nugroho Wahyu Utomo/CN41/SMNetwork)
http://berita.suaramerdeka.com/bulog-perlu-inovasi-kelola-beras/
SEMARANG, suaramerdeka.com – Bulog perlu melakukan inovasi dalam mengelola beras. Jadi jangan sampai ada beras disimpan terlalu lama di gudang bulog yang berakibat tidak layak konsumsi. Demikian penjelasan Dr. Messy Widiastuti Komisi B DPRD Jateng, Senin (23/3).
“Selain itu, bulog juga perlu melakukan manajemen yang baik dalam distribusi beras. Sehingga masyarakat tidak sampai menghakimi bulog, lantaran beredar beras tidak layak konsumsi. Terutama beras miskin (raskin),” tambah Messy.
Messy menambahkan, bahwa selama ini Bulog belum mengelola secara rapi. Terutama terkait pendataan bagi masyarakat miskin yang menerima raskin. Sehingga distribusi raskin kerap salah sasaran.
(Nugroho Wahyu Utomo/CN41/SMNetwork)
http://berita.suaramerdeka.com/bulog-perlu-inovasi-kelola-beras/
Senin, 23 Maret 2015
Implementasi Distribusi Raskin Perlu Dibenahi
Senin, 23 Maret 2015
TUJUANprogram subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin) sebagai pengurang beban pengeluaran rumah tangga sasaran (RTS) dengan terpenuhinya sebagian kebutuhan pangan beras ternyata belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.
Di lapangan berbagai permasalahan terutama distribusi soal program raskin masih sering terjadi hingga sekarang, tak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Temuan anggota DPRD Banyumas beberapa waktu lalu yang melihat bahwa raskin telah terdistribusi menjadi ”rasta” atau beras yang dibagi rata kepada masyarakat tak sepenuhnya salah. Hal itu hanya salah satu permasalahan yang terlihat di lapangan.
Masalah-masalah lain membuktikan bahwa prinsip dan target penyaluran raskin secara tepat sasaran, tepat harga, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu dan tepat administrasi belum sepenuhnya terimplementasi. Di Banyumas sendiri, pengawasan dan pemantauan penyaluran raskin oleh pemerintah desa dan satgas raskin desa tak dapat langsung terpantau sampai ke tingkat RT secara menyeluruh.
Kenyataan di lapangan khususnya di tingkat masyarakat, penyaluran raskin sebagai barang bersubsidi kerap menimbulkan pro-kontra. Tak jarang keberadaan program raskin juga berdampak pada ketidakharmonisan sosial masyarakat. Sosialisasi Maksimal ”Pemerintah desa sudah memberikan sosialisasi semaksimal mungkin terkait program raskin, tentang berapa jumlah, siapa sasaran, berapa harga dan sebagainya. Namun memang kenyataan di lapangan tak seideal sebagaimana yang dituliskan dalam prosedur yang ada,” kata Agus Srinarno, Pj Kepala Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen.
Dijelaskan Agus, tak semua masyarakat memiliki kesadaran dan pemahamanan yang sama dalam program raskin. Padahal sosialisasi dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terkait program bagi rakyat miskin terus dilakukan. Hal ini diyakininya dirasakan oleh pemerintah desa lainnya. ”Raskin sebagai program subsidi, memang seperti program BLT (bantuan langsung tunai). Meski sering dianggap miring, namun masyarakat tetap membutuhkan. Pemerintah desa di level paling bawh sering mengalami dilema, namun kami semaksimal mungkin menjalankan sesuai prosedur yang ada,” jelasnya.
Satgas Raskin Desa Cibangkong, Panut Ahmadi, men- gatakan pihaknya telah berupaya menyalurkan raskin sebagaimana prosedur yang diamanatkan. Dari mulai pengambilan raskin dari Bulog hingga tingkat desa, ia terus memantau dengan jelas. Ia pun telah memberikan keterangan tentang prosedur penyaluran dan administrasi kepada masyarakat. Pemahaman tentang pedoman umum raskin 2015 kepada satgas ataupun tokoh masyarakat, kata Panut, memang sangat penting untuk meminimalisasi kesalahpahaman atau keluhan terhadap program raskin di masyarakat. ”Contohnya saja, selama ini pemahaman kualitas raskin masih berbeda-beda. Tak bisa dipungkiri kalau masyarakat menginginkan kalau beras raskin dapat sepadan dengan beras kualitas premium,” jelasnya.
Berbedanya harga dan kualitas beras raskin juga menjadikan perbedaan perlakuan terhadap para penerimanya. Sebagian RTS penerima raskin memang benarbenar memanfaatkan raskin untuk konsumsi sehari-hari, namun ada pula yang memanfaatkannya untuk kebutuhan lain. Lebih Putih Warga penerima raskin asal Cibangkong, Pekuncen, Sutinah, mengaku harus menyosoh (menggiling kembali) raskin ke penggilingan padi sebelum dikonsumsi sebagai nasi. Maksud dari penyosohan adalah untuk membersihkan dan memutihkan kembali raskin, meski sebenarnya mengalami penyusutan. ”Kalau disosoh akan lebih putih dan bersih dan bisa langsung dimasak. Itupun terkadang harus dicampur dengan beras lain, sehingga dapat lebih enak dimakan,” katanya.
Selain dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari, beras raskin juga umumnya digunakan masyarakat untuk kebutuhan lain seperti untuk memberikan sumbangan kepada saudara atau tetangga yang mempunyai hajat tertentu seperti nikahan, sunatan dan sebagainya. Tak heran jika hasil sumbangan orang hajatan itu sebagian besar merupakan beras raskin. ”Karena merupakan beras raskin, maka beras sumbangan juga harganya cukup rendah dibanding beras biasa.
Makanya kalau ada orang hajatan yang bertepatan dengan pembagian raskin, nahas sekali karena sebagian besar beras hasil sumbangan itu dipastiakn beras raskin. Selain untuk beras sumbang, raskin juga sering menjadi bahan pembuat tepung beras,” jelas Triyah, warga Pekuncen.
Meski dijual dengan harga subsidi Rp 1600 per kilogram, namun seringkali ada RTS yang tak sanggup menebus langsung jumlah 15 kilogram paket raskin tersebut. Akibatnya hal ini juga kerap membuat kesulitan penyaluran raskin secara tepat jumlah, sasaran, dan tepat waktu. (Susanto-17)
TUJUANprogram subsidi beras untuk rakyat miskin (raskin) sebagai pengurang beban pengeluaran rumah tangga sasaran (RTS) dengan terpenuhinya sebagian kebutuhan pangan beras ternyata belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.
Di lapangan berbagai permasalahan terutama distribusi soal program raskin masih sering terjadi hingga sekarang, tak terkecuali di Kabupaten Banyumas. Temuan anggota DPRD Banyumas beberapa waktu lalu yang melihat bahwa raskin telah terdistribusi menjadi ”rasta” atau beras yang dibagi rata kepada masyarakat tak sepenuhnya salah. Hal itu hanya salah satu permasalahan yang terlihat di lapangan.
Masalah-masalah lain membuktikan bahwa prinsip dan target penyaluran raskin secara tepat sasaran, tepat harga, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu dan tepat administrasi belum sepenuhnya terimplementasi. Di Banyumas sendiri, pengawasan dan pemantauan penyaluran raskin oleh pemerintah desa dan satgas raskin desa tak dapat langsung terpantau sampai ke tingkat RT secara menyeluruh.
Kenyataan di lapangan khususnya di tingkat masyarakat, penyaluran raskin sebagai barang bersubsidi kerap menimbulkan pro-kontra. Tak jarang keberadaan program raskin juga berdampak pada ketidakharmonisan sosial masyarakat. Sosialisasi Maksimal ”Pemerintah desa sudah memberikan sosialisasi semaksimal mungkin terkait program raskin, tentang berapa jumlah, siapa sasaran, berapa harga dan sebagainya. Namun memang kenyataan di lapangan tak seideal sebagaimana yang dituliskan dalam prosedur yang ada,” kata Agus Srinarno, Pj Kepala Desa Cibangkong, Kecamatan Pekuncen.
Dijelaskan Agus, tak semua masyarakat memiliki kesadaran dan pemahamanan yang sama dalam program raskin. Padahal sosialisasi dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terkait program bagi rakyat miskin terus dilakukan. Hal ini diyakininya dirasakan oleh pemerintah desa lainnya. ”Raskin sebagai program subsidi, memang seperti program BLT (bantuan langsung tunai). Meski sering dianggap miring, namun masyarakat tetap membutuhkan. Pemerintah desa di level paling bawh sering mengalami dilema, namun kami semaksimal mungkin menjalankan sesuai prosedur yang ada,” jelasnya.
Satgas Raskin Desa Cibangkong, Panut Ahmadi, men- gatakan pihaknya telah berupaya menyalurkan raskin sebagaimana prosedur yang diamanatkan. Dari mulai pengambilan raskin dari Bulog hingga tingkat desa, ia terus memantau dengan jelas. Ia pun telah memberikan keterangan tentang prosedur penyaluran dan administrasi kepada masyarakat. Pemahaman tentang pedoman umum raskin 2015 kepada satgas ataupun tokoh masyarakat, kata Panut, memang sangat penting untuk meminimalisasi kesalahpahaman atau keluhan terhadap program raskin di masyarakat. ”Contohnya saja, selama ini pemahaman kualitas raskin masih berbeda-beda. Tak bisa dipungkiri kalau masyarakat menginginkan kalau beras raskin dapat sepadan dengan beras kualitas premium,” jelasnya.
Berbedanya harga dan kualitas beras raskin juga menjadikan perbedaan perlakuan terhadap para penerimanya. Sebagian RTS penerima raskin memang benarbenar memanfaatkan raskin untuk konsumsi sehari-hari, namun ada pula yang memanfaatkannya untuk kebutuhan lain. Lebih Putih Warga penerima raskin asal Cibangkong, Pekuncen, Sutinah, mengaku harus menyosoh (menggiling kembali) raskin ke penggilingan padi sebelum dikonsumsi sebagai nasi. Maksud dari penyosohan adalah untuk membersihkan dan memutihkan kembali raskin, meski sebenarnya mengalami penyusutan. ”Kalau disosoh akan lebih putih dan bersih dan bisa langsung dimasak. Itupun terkadang harus dicampur dengan beras lain, sehingga dapat lebih enak dimakan,” katanya.
Selain dikonsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari, beras raskin juga umumnya digunakan masyarakat untuk kebutuhan lain seperti untuk memberikan sumbangan kepada saudara atau tetangga yang mempunyai hajat tertentu seperti nikahan, sunatan dan sebagainya. Tak heran jika hasil sumbangan orang hajatan itu sebagian besar merupakan beras raskin. ”Karena merupakan beras raskin, maka beras sumbangan juga harganya cukup rendah dibanding beras biasa.
Makanya kalau ada orang hajatan yang bertepatan dengan pembagian raskin, nahas sekali karena sebagian besar beras hasil sumbangan itu dipastiakn beras raskin. Selain untuk beras sumbang, raskin juga sering menjadi bahan pembuat tepung beras,” jelas Triyah, warga Pekuncen.
Meski dijual dengan harga subsidi Rp 1600 per kilogram, namun seringkali ada RTS yang tak sanggup menebus langsung jumlah 15 kilogram paket raskin tersebut. Akibatnya hal ini juga kerap membuat kesulitan penyaluran raskin secara tepat jumlah, sasaran, dan tepat waktu. (Susanto-17)
Gudang di Bengkong Dalam Disinyalir Timbun Beras Ilegal
Minggu, 22 Maret 2015
Diduga Milik Oknum Anggota DPRD Batam
BATAMTODAY.COM, Batam - Beras impor tak berizin yang marak beredar di Batam disinyalir ditimbun terlebih dahulu di gudang-gudang khusus tempat penyimpanan yang tersebar di berbagai tempat sebelum dipasarkan. Salah satunya yang terpantau oleh pewarta berada di kawasan Bengkong Dalam.
Pantauan di lokasi, gudang tersebut berada di sebelah kiri saat memasuki gerbang Bengkong Kolam. Di depannya, merupakan sebuah bengkel, sehingga jika melewati lokasi mata akan lebih terfokus ke bengkel.
Gudang tersebut diduga menjadi tempat penimbunan beras yang diimpor dari Thailand sebelum dipasarkan. "Itu gudang beras. Di depannya memang bengkel mobil," kata salah satu warga sekitar saat ditanya pewarta, Jumat (20/3/2015).
Informasi yang didapat, gudang tersebut milik oknum anggota DPRD Kota Batam berinisial UT. Namun, soal kepelikan UT pewarta belum mendapatkan keterangan lebih lanjut.
Maraknya beras ilegal asal Thailand beredar di Batam, sebelumnya diakui pihak Bea dan Cukai Tipe B Batam menjadi hal yang dilematis. Meskipun ketentuan impor beras selama ini belum ada, namun beras tersebut marak beredar. (Baca juga: Bea Cukai Mesti Perketat Pegawasan Beras Impor ke Kawasan FTZ)
"Batam bukanlah daerah pertanian. Karena itu memang membutuhkan suplai beras, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun yang menjadi permasalahan, sampai sekarang ketentuan izin impor beras di daerah FTZ ini belum ada. Itu yang menjadi dilematis," kata Kabid Penindakan dan Penyelidikan (P2) Bea dan Cukai Batam, Kunto Prasti, Rabu (28/1/2015) lalu.
Dikatakan Kunto, ada atau tidaknya izin, membuat banyaknya pihak-pihak yang berusaha memasukkan beras dari pelabuhan-pelabuhan tikus, karena beras memang menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi. "Kalau peredaran beras Thailand memang ilegal," katanya.
Untuk upaya yang dilakukan, lanjutnya, Bea dan Cukai sudah beberapa kali melakukan tindakan dan menangkap kapal yang membawa sembako. Namun ia meyakini bahwa aktivitas ilegal masih banyak hingga kini. Terbukti masih banyak beras-beras ilegal yang beredar di masyarakat.
"Kalau untuk pengawasan barang ekspor atau impor pastinya akan terus ditingkatkan. Siapa yang bersalah pasti akan ditindak," tegasnya. (*)
http://batamtoday.com/berita55126-Gudang-di-Bengkong-Dalam-Disinyalir-Timbun-Beras-Ilegal.html
Diduga Milik Oknum Anggota DPRD Batam
BATAMTODAY.COM, Batam - Beras impor tak berizin yang marak beredar di Batam disinyalir ditimbun terlebih dahulu di gudang-gudang khusus tempat penyimpanan yang tersebar di berbagai tempat sebelum dipasarkan. Salah satunya yang terpantau oleh pewarta berada di kawasan Bengkong Dalam.
Pantauan di lokasi, gudang tersebut berada di sebelah kiri saat memasuki gerbang Bengkong Kolam. Di depannya, merupakan sebuah bengkel, sehingga jika melewati lokasi mata akan lebih terfokus ke bengkel.
Gudang tersebut diduga menjadi tempat penimbunan beras yang diimpor dari Thailand sebelum dipasarkan. "Itu gudang beras. Di depannya memang bengkel mobil," kata salah satu warga sekitar saat ditanya pewarta, Jumat (20/3/2015).
Informasi yang didapat, gudang tersebut milik oknum anggota DPRD Kota Batam berinisial UT. Namun, soal kepelikan UT pewarta belum mendapatkan keterangan lebih lanjut.
Maraknya beras ilegal asal Thailand beredar di Batam, sebelumnya diakui pihak Bea dan Cukai Tipe B Batam menjadi hal yang dilematis. Meskipun ketentuan impor beras selama ini belum ada, namun beras tersebut marak beredar. (Baca juga: Bea Cukai Mesti Perketat Pegawasan Beras Impor ke Kawasan FTZ)
"Batam bukanlah daerah pertanian. Karena itu memang membutuhkan suplai beras, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun yang menjadi permasalahan, sampai sekarang ketentuan izin impor beras di daerah FTZ ini belum ada. Itu yang menjadi dilematis," kata Kabid Penindakan dan Penyelidikan (P2) Bea dan Cukai Batam, Kunto Prasti, Rabu (28/1/2015) lalu.
Dikatakan Kunto, ada atau tidaknya izin, membuat banyaknya pihak-pihak yang berusaha memasukkan beras dari pelabuhan-pelabuhan tikus, karena beras memang menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi. "Kalau peredaran beras Thailand memang ilegal," katanya.
Untuk upaya yang dilakukan, lanjutnya, Bea dan Cukai sudah beberapa kali melakukan tindakan dan menangkap kapal yang membawa sembako. Namun ia meyakini bahwa aktivitas ilegal masih banyak hingga kini. Terbukti masih banyak beras-beras ilegal yang beredar di masyarakat.
"Kalau untuk pengawasan barang ekspor atau impor pastinya akan terus ditingkatkan. Siapa yang bersalah pasti akan ditindak," tegasnya. (*)
http://batamtoday.com/berita55126-Gudang-di-Bengkong-Dalam-Disinyalir-Timbun-Beras-Ilegal.html
Sabtu, 21 Maret 2015
Petani Keluhkan Kebijakan Bulog
Jumat, 20 Maret 2015
KBR, Jakarta – Petani beras Indonesia mengeluh karena Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya berencana menyerap sekitar 10% dari total hasil panen beras nasional.
Pendiri Asosiasi Petani Beras Indonesia Nuril Arifin mengatakan, dalam setahun petani bisa menghasilkan 25 juta ton beras. Jika Bulog hanya menyerap 2,5 juta ton saja, petani terpaksa menjual berasnya ke tengkulak. Padahal, kata Nuril, tengkulak pasti membeli gabah petani di bawah harga yang ditentukan pemerintah.
“Itu akan dimakan oleh para tengkulak. Kalau tengkulak belinya pasti tidak sesuai harga dasar gabah. Alasannya butir kuningnya begini, alasannya kadar airnya begini, alasannya bentuknya begini. Walah macam-macam,” kata Nuril kepada KBR, Jumat (20/3).
“Akhirnya petani jadi kalahan terus selamanya. Harusnya berapa pun jumlah petani yang panen, dibeli dulu oleh pemerintah. Itu namanya tanggung jawab. Karena ini kebutuhan hidup,” tambahnya.
Kata Nuril, seharusnya pemerintah bisa menyerap semua produksi beras petani Indonesia sehingga tak ada lagi alasan impor beras. Menurut Nuril, di negara lain seperti Thailand, Vietnam, India dan Pakistan beras yang diproduksi rakyat semuanya dibeli pemerintah.
“Karena kebutuhan untuk negara saja tidak cukup. Harusnya dibeli dulu kemudian dijual kepada rakyat dengan harga yang wajar. Kalau toh bisa mengambil keuntungan, keuntungannya wajar dan bisa dikembalikan ke rakyat.”
Sebelumnya Bulog menurunkan target penyerapan beras petani tahun ini dari 3,2 juta ton menjadi 2,5-2,7 juta ton. Alasannya, karena pemerintah sudah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah.
Asosiasi Petani Beras Indonesia pun tak menyambut keputusan Presiden Joko Widodo yang baru saja menaikkan HPP gabah dan beras. Kata Nuril, meski harga gabah bisa mencapai Rp 3.750 namun harga jual beras di pasaran bisa mencapai Rp 10 ribu.
“Yang untung siapa? Tengkulaknya,” tuding Nuril. Ia pun mensinyalir Bulog sebagai badan plat merah yang gencar mencari selisih keuntungan dari beras petani.
KBR, Jakarta – Petani beras Indonesia mengeluh karena Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya berencana menyerap sekitar 10% dari total hasil panen beras nasional.
Pendiri Asosiasi Petani Beras Indonesia Nuril Arifin mengatakan, dalam setahun petani bisa menghasilkan 25 juta ton beras. Jika Bulog hanya menyerap 2,5 juta ton saja, petani terpaksa menjual berasnya ke tengkulak. Padahal, kata Nuril, tengkulak pasti membeli gabah petani di bawah harga yang ditentukan pemerintah.
“Itu akan dimakan oleh para tengkulak. Kalau tengkulak belinya pasti tidak sesuai harga dasar gabah. Alasannya butir kuningnya begini, alasannya kadar airnya begini, alasannya bentuknya begini. Walah macam-macam,” kata Nuril kepada KBR, Jumat (20/3).
“Akhirnya petani jadi kalahan terus selamanya. Harusnya berapa pun jumlah petani yang panen, dibeli dulu oleh pemerintah. Itu namanya tanggung jawab. Karena ini kebutuhan hidup,” tambahnya.
Kata Nuril, seharusnya pemerintah bisa menyerap semua produksi beras petani Indonesia sehingga tak ada lagi alasan impor beras. Menurut Nuril, di negara lain seperti Thailand, Vietnam, India dan Pakistan beras yang diproduksi rakyat semuanya dibeli pemerintah.
“Karena kebutuhan untuk negara saja tidak cukup. Harusnya dibeli dulu kemudian dijual kepada rakyat dengan harga yang wajar. Kalau toh bisa mengambil keuntungan, keuntungannya wajar dan bisa dikembalikan ke rakyat.”
Sebelumnya Bulog menurunkan target penyerapan beras petani tahun ini dari 3,2 juta ton menjadi 2,5-2,7 juta ton. Alasannya, karena pemerintah sudah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah.
Asosiasi Petani Beras Indonesia pun tak menyambut keputusan Presiden Joko Widodo yang baru saja menaikkan HPP gabah dan beras. Kata Nuril, meski harga gabah bisa mencapai Rp 3.750 namun harga jual beras di pasaran bisa mencapai Rp 10 ribu.
“Yang untung siapa? Tengkulaknya,” tuding Nuril. Ia pun mensinyalir Bulog sebagai badan plat merah yang gencar mencari selisih keuntungan dari beras petani.
Jual Gabah ke Bulog Belum Untungkan Petani
Jumat, 20 Maret 2015
Harianjogja.com, SLEMAN—Kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah 2015 dari Rp3.300 menjadi Rp3.700 diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Hanya saja, prosedur penjualan gabah dari petani kepada Bulog, dinilai ribet dan masih merepotkan petani.
Terkait dengan besaran kenaikan yang hanya Rp400, Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian, Azis Hidayat mengatakan, pemerintah harus ekstra hati-hati dalam menentukan HPP gabah.
Aziz mengungkapkan, di samping swasembada pangan, sasaran pemerintah lainnya adalah menyejahterakan petani. Namun, HPP gabah tidak bisa dinaikkan begitu saja.
“Kalau terlalu tinggi, nanti petani sejahtera tapi konsumen keberatan karena harga beras naik. Jadi bagaimana caranya supaya petani sejahtera, tapi harga jual ke konsumen juga tidak terlalu tinggi,” ucap Aziz, seusai panen raya di Dusun Karongan, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Kamis (19/3/2015).
Serapan gabah oleh Bulog juga diklaim terus meningkat. “Kami berharap tidak ada tengkulak atau perantara. Petani juga jangan mudah tergoda jika diminta segera menjual karena nanti harganya jatuh. Inilah perlunya pendampingan penyuluh lapangan,” papar Aziz.
Kendati demikian, menjual gabah ke Bulog ternyata dianggap ribet oleh sebagian petani. “Dulu Bulog pernah ke sini tapi banyak ketentuannya. Kami tentukan harga sekian tapi dia tidak mau. Padahal petani tahunya itu asal yang beli mau dan yang punya boleh, ya sudah,” ungkap Siswanto, Ketua Kelompok Tani Sedyo Maju di Dusun Karongan.
Siswanto mengaku kelompoknya belum tergabung dalam koperasi. Dia juga memilih menjual gabah langsung kepada tengkulak.
“Harga gabahnya tergantung yang beli. Biasanya disesuaikan harga beras. Kalau sekarang harga beras Rp8.000 sampai Rp10.000, harga gabahnya seharusnya setengah dari itu,” katanya.
Bupati Sleman Sri Purnomo juga berpendapat, menjual gabah langsung ke Bulog itu belum tentu menguntungkan petani. Sebab sering kali, harga yang dipatok lebih rendah dibanding harga di pasaran.
“Yang penting, masyarakat menjual lewat koperasi agar tidak dipermainkan. Kelompok tani juga berperan penting agar orang-orang tidak saling menjatuhkan harga,” ujar Sri Purnomo.
Sri Purnomo menambahkan, pada dasarnya petani diberi kebebasan untuk menjual hasil panennya secara umum. Namun, petani juga disarankan memaksimalkan keberdaan lumbung pangan. “Jangan langsung dijual semua saat panen raya. Disimpan dulu dan dikeluarkan saat tidak musim panen. Itu juga bagian dari langkah pengendalian secara mikro,” ucapnya.
Harianjogja.com, SLEMAN—Kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah 2015 dari Rp3.300 menjadi Rp3.700 diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Hanya saja, prosedur penjualan gabah dari petani kepada Bulog, dinilai ribet dan masih merepotkan petani.
Terkait dengan besaran kenaikan yang hanya Rp400, Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian, Azis Hidayat mengatakan, pemerintah harus ekstra hati-hati dalam menentukan HPP gabah.
Aziz mengungkapkan, di samping swasembada pangan, sasaran pemerintah lainnya adalah menyejahterakan petani. Namun, HPP gabah tidak bisa dinaikkan begitu saja.
“Kalau terlalu tinggi, nanti petani sejahtera tapi konsumen keberatan karena harga beras naik. Jadi bagaimana caranya supaya petani sejahtera, tapi harga jual ke konsumen juga tidak terlalu tinggi,” ucap Aziz, seusai panen raya di Dusun Karongan, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Kamis (19/3/2015).
Serapan gabah oleh Bulog juga diklaim terus meningkat. “Kami berharap tidak ada tengkulak atau perantara. Petani juga jangan mudah tergoda jika diminta segera menjual karena nanti harganya jatuh. Inilah perlunya pendampingan penyuluh lapangan,” papar Aziz.
Kendati demikian, menjual gabah ke Bulog ternyata dianggap ribet oleh sebagian petani. “Dulu Bulog pernah ke sini tapi banyak ketentuannya. Kami tentukan harga sekian tapi dia tidak mau. Padahal petani tahunya itu asal yang beli mau dan yang punya boleh, ya sudah,” ungkap Siswanto, Ketua Kelompok Tani Sedyo Maju di Dusun Karongan.
Siswanto mengaku kelompoknya belum tergabung dalam koperasi. Dia juga memilih menjual gabah langsung kepada tengkulak.
“Harga gabahnya tergantung yang beli. Biasanya disesuaikan harga beras. Kalau sekarang harga beras Rp8.000 sampai Rp10.000, harga gabahnya seharusnya setengah dari itu,” katanya.
Bupati Sleman Sri Purnomo juga berpendapat, menjual gabah langsung ke Bulog itu belum tentu menguntungkan petani. Sebab sering kali, harga yang dipatok lebih rendah dibanding harga di pasaran.
“Yang penting, masyarakat menjual lewat koperasi agar tidak dipermainkan. Kelompok tani juga berperan penting agar orang-orang tidak saling menjatuhkan harga,” ujar Sri Purnomo.
Sri Purnomo menambahkan, pada dasarnya petani diberi kebebasan untuk menjual hasil panennya secara umum. Namun, petani juga disarankan memaksimalkan keberdaan lumbung pangan. “Jangan langsung dijual semua saat panen raya. Disimpan dulu dan dikeluarkan saat tidak musim panen. Itu juga bagian dari langkah pengendalian secara mikro,” ucapnya.
Jumat, 20 Maret 2015
Perum Bulog Siap Serap Beras 2,75 Juta Ton
Jumat, 20 Maret 2015
Harga di Tingkat Petani di Sejumlah Daerah Anjlok
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog siap menyerap gabah atau beras dari petani 2,75 juta ton pada 2015. Penyerapan itu akan dilakukan secara bertahap. Harga gabah atau beras akan diserap Bulog sesuai dengan harga pembelian pemerintah yang baru ditetapkan.
"Dana untuk membeli beras berasal dari pinjaman bank. Kami belum bisa menggunakan dana penyertaan modal negara senilai Rp 3 triliun karena dana itu belum cair," kata Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekti di Jakarta, Kamis (19/3).
Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah pada 17 Maret lalu. Inpres itu mengatur pula HPP beras.
Harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (GKP) ditentukan Rp 3.700 per kg di tingkat petani dan Rp 3.750 per kg di penggilingan. HPP gabah kering giling (GKG) Rp 4.600 per kg di penggilingan dan Rp 4.650 per kg di gudang Bulog. HPP beras Rp 7.300 per kg di gudang Bulog.
Dari Palembang, Sumatera Selatan, dilaporkan, harga GKP anjlok menjadi Rp 3.500 pada puncak panen raya dari sebelumnya Rp 4.600 per kg GKP. Jatuhnya harga gabah itu membuat petani tak menikmati panen raya yang saat ini tengah berlangsung.
Harga GKP di Kecamatan Muara Telang anjlok menjadi Rp 3.400-Rp 3.500 per kg selama sebulan terakhir. Pada awal panen Februari lalu, harga gabah di kecamatan penghasil beras itu masih berkisar Rp 4.500-Rp 4.900 per kg.
Ketua Kelompok Tani Harapan Sejahtera Desa Telang Karya Tashadi mengatakan, para petani merasa dirugikan dengan rendahnya harga gabah. Harga itu dinilai tak setara dengan besarnya biaya dan tenaga yang dikeluarkan.
"Harga selalu jatuh saat panen raya. Petani dituntut dengan produksi tinggi, tetapi tak ada jaminan harga dari pemerintah saat panen raya. Padahal, harga Rp 4.000 per kg saja kami sudah lega," kata Tashadi, Kamis.
Menurut Tashadi, mayoritas petani menjual hasil panen ke para pedagang perantara atau tengkulak meski di Desa Telang Karya ada gudang Bulog. Mereka enggan menjual hasil panen ke Bulog karena Bulog hanya menerima GKG. Di sisi lain, petani hanya mampu mengolah menjadi GKP.
Kemerosotan harga GKP juga terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Selain karena areal panen makin meluas, penurunan harga juga terjadi karena banyaknya pasokan gabah dan beras dari daerah lain. Ginwarno, salah seorang pengelola penggilingan padi di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, mengatakan, gabah dan beras dari Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, banyak ditawarkan pedagang.
Waspadai inflasi
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, langkah yang harus segara dilakukan pemerintah adalah mengantisipasi dampak kenaikan HPP terhadap inflasi. Inflasi naik akan membuat pekerja menuntut kenaikan upah minimum.
Mantan Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengatakan, dengan HPP gabah atau beras seperti sekarang, belum tentu Bulog bisa membeli gabah atau beras. "Dalam lima tahun terakhir, harga transaksi gabah/beras yang terjadi selalu di atas HPP," katanya.
Sementara itu, Perum Bulog Divisi Regional Kalimantan Selatan berupaya meningkatkan serapan gabah. "Kami berupaya menyerap gabah di tingkat petani. Target minimal serapan 27.000 ton," kata Kepala Bulog Divisi Regional Kalsel Insan Taufik di Banjarmasin,
(HEN/MAS/JUM/WIE/ACI/SIR/
WHO/IRE/WER/EGI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150320kompas/#/22/
Harga di Tingkat Petani di Sejumlah Daerah Anjlok
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog siap menyerap gabah atau beras dari petani 2,75 juta ton pada 2015. Penyerapan itu akan dilakukan secara bertahap. Harga gabah atau beras akan diserap Bulog sesuai dengan harga pembelian pemerintah yang baru ditetapkan.
"Dana untuk membeli beras berasal dari pinjaman bank. Kami belum bisa menggunakan dana penyertaan modal negara senilai Rp 3 triliun karena dana itu belum cair," kata Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekti di Jakarta, Kamis (19/3).
Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah pada 17 Maret lalu. Inpres itu mengatur pula HPP beras.
Harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (GKP) ditentukan Rp 3.700 per kg di tingkat petani dan Rp 3.750 per kg di penggilingan. HPP gabah kering giling (GKG) Rp 4.600 per kg di penggilingan dan Rp 4.650 per kg di gudang Bulog. HPP beras Rp 7.300 per kg di gudang Bulog.
Dari Palembang, Sumatera Selatan, dilaporkan, harga GKP anjlok menjadi Rp 3.500 pada puncak panen raya dari sebelumnya Rp 4.600 per kg GKP. Jatuhnya harga gabah itu membuat petani tak menikmati panen raya yang saat ini tengah berlangsung.
Harga GKP di Kecamatan Muara Telang anjlok menjadi Rp 3.400-Rp 3.500 per kg selama sebulan terakhir. Pada awal panen Februari lalu, harga gabah di kecamatan penghasil beras itu masih berkisar Rp 4.500-Rp 4.900 per kg.
Ketua Kelompok Tani Harapan Sejahtera Desa Telang Karya Tashadi mengatakan, para petani merasa dirugikan dengan rendahnya harga gabah. Harga itu dinilai tak setara dengan besarnya biaya dan tenaga yang dikeluarkan.
"Harga selalu jatuh saat panen raya. Petani dituntut dengan produksi tinggi, tetapi tak ada jaminan harga dari pemerintah saat panen raya. Padahal, harga Rp 4.000 per kg saja kami sudah lega," kata Tashadi, Kamis.
Menurut Tashadi, mayoritas petani menjual hasil panen ke para pedagang perantara atau tengkulak meski di Desa Telang Karya ada gudang Bulog. Mereka enggan menjual hasil panen ke Bulog karena Bulog hanya menerima GKG. Di sisi lain, petani hanya mampu mengolah menjadi GKP.
Kemerosotan harga GKP juga terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Selain karena areal panen makin meluas, penurunan harga juga terjadi karena banyaknya pasokan gabah dan beras dari daerah lain. Ginwarno, salah seorang pengelola penggilingan padi di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, mengatakan, gabah dan beras dari Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, banyak ditawarkan pedagang.
Waspadai inflasi
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, langkah yang harus segara dilakukan pemerintah adalah mengantisipasi dampak kenaikan HPP terhadap inflasi. Inflasi naik akan membuat pekerja menuntut kenaikan upah minimum.
Mantan Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengatakan, dengan HPP gabah atau beras seperti sekarang, belum tentu Bulog bisa membeli gabah atau beras. "Dalam lima tahun terakhir, harga transaksi gabah/beras yang terjadi selalu di atas HPP," katanya.
Sementara itu, Perum Bulog Divisi Regional Kalimantan Selatan berupaya meningkatkan serapan gabah. "Kami berupaya menyerap gabah di tingkat petani. Target minimal serapan 27.000 ton," kata Kepala Bulog Divisi Regional Kalsel Insan Taufik di Banjarmasin,
(HEN/MAS/JUM/WIE/ACI/SIR/
WHO/IRE/WER/EGI)
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150320kompas/#/22/
Langganan:
Postingan (Atom)